Showing posts with label Kabar Buruk. Show all posts
Showing posts with label Kabar Buruk. Show all posts

26 May 2010

Apa Sih Cinta Itu?

::achsin el-qudsy

Cinta oleh sebagian orang begitu dipuja. Banyak seniman, satrawan yang menghasilkan karya tentang cinta. Muhidin M Dahlan dalam karya novel “Kabar Buruk Dari Langit.” Tokoh utama novel tersebut bahkan berkata: “Aku tak tahu apa aku berpindah agama atau tidak, karena aku sudah tak terikat pada agama apa pun. Cintalah agamaku. Cinta melampaui semua ikatan agama.”

Cinta pula yang menginspirasi Raja Agra untuk membangun Taj Mahal di India sebagai kuburan mendiang istri yang dicintainya.

Seorang laki-laki rela bekerja seharian, bersusah payah memeras keringat sebagai petani, nelayan, guru, buruh, karyawan, atau lainnya, didorong oleh rasa cinta terhadap anak dan istrinya.

Seorang perempuan, turut membantu suaminya mencari nafkah, merawat dan membesarkan anak-anaknya, membersihkan rumah dan menyiapkan makan keluarganya, juga didorong oleh rasa cintanya kepada keluarga.

Seorang anak mematuhi perintah ayah dan ibu, merawat dan memelihara keduanya setelah mereka uzur didorong oleh cinta. Kita bersadakah, menolong dan membantu orang lain yang kesusahan adalah karena kita cinta pada sesama.

Namun, lihat di sisi lain. Seorang suami atau isteri berbuat selingkuh juga didorong oleh rasa cinta ‘yang lain’. Seorang pemuda tertarik pada lawan jenisnya, berpacaran dan kemudian berzina juga didorong oleh rasa cinta.

Seorang anak berani membantah dan melanggar keinginan orangtua, hanya karena rasa cinta yang lebih besar pada kekasih hatinya. Bahkan aborsi yang dilakukan seorang wanita, tidak jarang adalah buah rasa cinta dengan pacarnya.

Semua itu sengaja dipaparkan untuk menggambarkan fakta di sekeliling kita yang berkaitan dengan cinta. Sebenarnya, definisi cinta sampai sekarang masih beragam. Ada yang mensinonimkannya dengan kata kasih sayang.

Bahkan salah seorang teman pernah mengatakan, cinta adalah sesuatu yang profan, abstrak, surealis untuk didefinisikan. Cinta manunggaling dengan alam, kehidupan dan manusia, katanya. Begitulah.
Jadi Cinta????

Sumber: filsafat.kompasiana.com

06 April 2008

Pedihnya Perjalanan Menuju Tuhan

::santi widianti, penggiat isola pos 2001-2005

Agama kerap muncul dalam serangkaian aturan kaku yang dibakukan. Pemahaman me-ngenainya diseragamkan. Tak peduli pengalaman manusia yang beragam. Agama harus tunduk pada penafsiran yang telah ditetapkan kelompok manusia yang menjadi pucuk pimpinan agama. Barang siapa yang memiliki penafsiran yang lain, bersiap-siaplah untuk menghadapi tuduhan bidah, sesat, dan label-label lain.

Telah banyak orang yang nasibnya berakhir tragis hanya karena memiliki pemikiran yang berbeda. Sebut saja diantaranya Syekh Siti Jenar atau Al Hallaj. Ini menggiring kita untuk mempertanyakan apa-kah penafsiran agama hanya milik sekelompok manusia? Mereka mengklaim bahwa penafsiran ini atau pemikiran itu adalah sesuatu yang absolut, final dan tak terban-tahkan. Sesuatu yang paling benar. Seolah-olah mereka sudah bertemu Tuhan.

Novel berjudul Kabar Buruk Dari Langit: Luka Cinta Pencari Tuhan ini adalah karya terbaru dari Muhidin M. Dahlan setelah sebe-lumnya ia menulis antara lain buku Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta dan Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Seorang Pelacur. Tulisan Kabar Buruk Dari Langit tak terlihat jelas pada sampul novel ini.

Huruf-hurufnya berwarna hitam de-ngan latar yang juga berwarna hitam. Sekilas, pembaca akan me-ngira judul novel ini adalah Luka Cinta Pencari Tuhan. Entahlah apakah ini kesalahan teknis atau suatu kesengajaan. Jika penulis memang sengaja mengaburkan tulisan Kabar Buruk Dari Langit, barangkali ia ingin mengabarkan pesan gelap dalam novel ini. Atau mungkin ia ingin berada di tempat yang gelap untuk melihat sisi yang terang.

Tokoh utama dalam novel ini dihinggapi kegelisahan meski ia berada dalam kemapanan. Sang tokoh yang tak jelas siapa namanya dan hanya kerap disebut Pangelmu ini mengalami mimpi aneh di bulan Ramadhan. Dalam mimpinya ada perempuan jalang yang dirajam. Keanehan tak berhenti di situ. Tiba-tiba ia juga berjumpa dengan seseorang bersayap yang mengaku malaikat Jibril yang mengajaknya mengisap ganja.

Penggambaran nyeleneh dalam novel ini bisa mengagetkan pembaca yang konvensional. Sementara bagi para pelahap karya-karya Danarto, kenyelenehan ini mengingatkan pada tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen Godlob. Memang, banyak tokoh yang nyeleneh ala Godlob dalam novel ini, meski tentu tak persis benar. Selain si malaikat pengisap ganja dan perempuan jalang yang disiksa, si Pangelmu bertemu pula dengan perempuan setengah gila yang terobsesi membunuh Nabi Muhammad SAW. Ujarnya, "Aku benci nama itu. Nama yang sering menjadi alasan suamiku untuk kawin dan terus kawin. Nama yang menjadikanku perempuan singgahan dan setelah itu ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan ..." (hal. 264).

Pada bagian ini, pengarang novel ini seperti hendak menyentil pembenaran perilaku yang seolah-olah suci atas nama agama, demi menutupi bopeng-bopeng kebanalan dan kerakusan syahwat manusia. Perempuan sebagai istri selalu menjadi pihak yang tak berdaya ketika disudutkan pada ancaman 'pilih poligami atau zina'. Persis seperti korban perampokan yang hanya disodori pilihan 'harta atau nyawa?'

Novel ini menuturkan bahwa perjalanan menuju Tuhan tidaklah mudah. Tak jarang manusia harus tersungkur dalam pencarian ini. Pangelmu yang beroleh nasib tragis, memilih mati meyakini iman yang diperolehnya dengan susah payah ketimbang menerima iman yang sudah jadi.

JUDUL BUKU
Kabar Buruk Dari Langit: Luka Cinta Pencari Tuhan
PENGARANG
Muhidin M. Dahlan
JUMLAH HALAMAN
562 halaman
PENERBIT
ScriPtaManent Yogyakarta
TAHUN TERBUT
Cetakan Pertama, Mei 2005

26 February 2007

"Kabar Buruk" dari Jogja

::zen rachmat sugito, sejarawan partikelir

Muhidin M. Dahlan, novelis muda asal Jogjakarta, datang kembali. Setelah membikin murka banyak orang di Jogja lewat novel sensasional Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, tahun ini ia (lagi-lagi) menghadirkan “teror” bagi siapapun yang “hobi” mengkafirkan orang lain yang laku ibadatnya dianggap menyimpang dan tak sejalan dengan syari’at. Teror itu datang dari sebuah novel “gemuk” berjudul Kabar Buruk dari Langit.

Di helai-helai halaman Kabar Buruk dari Langit, sejarah penyebaran Islam di Jawa dan Nusantara dimampatkan. Tapi bukan sejarah penyebaran Islam yang lurus dan adem ayem seperti yang biasa kita dengar, melainkan kilasan sejarah yang penuh intrik, pertarungan, dan tentu saja berdarah-darah, antara dua model pemahaman Islam yang bertumpu pada syari’ah dan fiqih dengan sebuah model pemahaman Islam yang lebih bertopang pada laku ibadat yang personal dan penuh mistik: ajaran wahdatul wujud (manunggaling kawulo lan Gusti).

Tokoh utama novel ini adalah seorang yang pernah menjadi wakil Kota Kudus untuk belajar agama di tanah Arab. Sepuluh tahun kemudian dia kembali ke Kota Kudus. Dalam sekejap, karena kefasihan dan luasnya wawasan, dia segera menjadi salah seorang ulama muda yang disegani. Khotbah-khotbahnya selalu dikerumuni banyak jemaat.
Orang-orang yang mengaguminya bahkan menasbihkannya sebagai nabi baru sekaligus membuktikan bahwa bukan hanya orang Arab yang bisa mempunyai nabi. Tapi semenjak peristiwa Nuzulul Ganja, dia mulai berubah. Dia seperti terobsesi untuk mencari dan menemukan Jibril. Dia pun diusir dari Kota Kudus oleh Abu Suja’i, anggota terkuat Dewan Sembilan Kota Kudus, karena nekat masuk ke masjid dengan menuntun seekor anjing yang diklaimnya sebagai jelmaan Jibril yang kalah bertarung dengan Kurawa dan Pandawa dari dunia pewayangan.

Dia pun terus mencari Jibril. Pencariannya berujung hingga Pulau Rempah (Maluku). Setelah berhasil menikahi seorang biarawati lewat syarat (1) masuk ke dalam agama Nasrani, (2) membakar al-Qur’an dan (3) memelihara babi selama setahun, dia kembali ke Jawa. Sesampainya di sana, dia ditangkap Tentara Tuhan atas perintah Dewan Sembilan Kota Kudus. Tanpa perlawanan dia ditangkap dengan tuduhan penyebar bid’ah dan ajaran sesat.

Dan seperti al-Hallaj, dia tewas di meja eksekusi setelah disiksa habis-habisan. Secara literer, “Kabar Buruk” menunjukkan bahwa Muhidin selangkah lebih baik ketimbang novel pertamanya Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur yang lebih mirip sebuah transkip wawancara. Saya mencatat ada dua strategi literer yang dilakukannya.
Pertama, dengan mencangkok beberapa fragmen yang memiliki rujukan historis. Kedua, dengan menggunakan prononima (kata ganti) selaku protagonis novel. Sejauh menyangkut laku sufistik, perawian riwayat beberapa tokoh sufi serta imbas yang menimpa para pelaku utama sufisme di Jawa, eksperimen pertama Muhidin tak terlampau berhasil. Nyaris tak mengandung suspense.
Eksperimen Muhidin baru terasa punya daya gigit yang kuat dan terasa orisinal ketika fragmen-fragmen historis yang dicangkoknya adalah fragmen yang masih asing dan nyaris tak dikenal.

Ini tampak, misalnya, ketika Muhidin memaparkan sejarah biara tempat Amicta belajar. Eksperimen literer kedua dengan menggunakan prononima digunakan Muhidin terutama untuk mengisahkan perjalanan tokoh utama. Muhidin menggunakan kata ganti orang kedua tunggal: “kau”.

Prononima “kau” biasanya digunakan agar pembaca merasa dekat dan akrab dengan sosok itu, seakan-akan bukan pengarang melainkan pembaca sendiri yang bertutur dan memanggil si tokoh dengan panggilan “kau”. Sayangnya sasaran ini kurang berhasil karena pembaca gagal terlibat langsung dengan arus emosi dan kesadaran tokoh “kau”.
Hal itu terjadi karena “kau” adalah sosok yang terlampau zuhud dengan tujuan penyatuan dirinya dengan Tuhan. “Kau” adalah karakter manusia sempurna yang tak pernah mengingat masa lalu, tak pernah merasakan derita, emosinya datar, tak pernah diterjang pesimisme, kegelisahan apalagi ketakutan (padahal penyaliban Yesus menjadi terasa manusiawi karena di detik-detik terakhirnya Yesus mengalami rasa takut ketika hendak ditangkap di Taman Getsemani).

Terutama selewat halaman 170- an, “kau” telah menjadi sosok yang terlampau linier: fokusnya menuju jalan penyatuan dengan Tuhan nyaris sempurna. Sejak itu, ingatan dan kesadaran “kau” sudah dicokok mati oleh obsesi terhadap penyatuan dengan Tuhan. Ingatan “kau” menjadi mati di situ. Padahal dengan terus menjaga ingatan “kau”, pengarang bisa menemukan keleluasaan dalam berkisah.

Dengan ingatan, sebuah fragmen semenit bisa terasa berlangsung tahunan. Begitu juga sebaliknya. Pendorongan, penahanan, pengembalian dan pengocokan ingatan akan membawa sosok “kau” hidup dalam sebuah ‘ruang dan waktu psikologis’ yang bergejolak. Pembaca pun akhirnya berhadapan dengan tokoh dengan arus kesadaran (stream of consciusness) yang fluktuatif.

Sayangnya pembaca akan kesulitan menikmati perjalanan “kau” dalam menempuh ruang dan waktu karena ruang dan waktu di sini sudah dirampatkan ke dalam satu garis linier yang tak berkelok: jalan penyatuan dengan Tuhan. Sekujur novel ini memang dihampari oleh pokok-pokok ajaran wahdatul wujud. Beberapa digelontorkan dengan memaksimalkan kawanan simbol (misalnya ketika seorang perempuan berkoar akan mencincang nabi Muhammad, hlm. 264-7).

Selebihnya, kebanyakan digelontorkan seperti khotbah yang terkadang membikin sejumlah bagian novel ini terasa seperti esai. ‘Khotbah’ ihwal pokok ajaran sufisme itu biasanya dihadirkan dalam paragraf-paragraf yang dicetak miring. Novel ini, saya kira, memang lahir dengan semangat untuk menghadirkan riwayat dan ajaran ‘kaum splinter’ (dalam istilah Azyumardi Azra) atau ‘kaum sempalan’ (dalam istilah Martin van Bruinessen).

Di situlah saya meletakkan posisi novel Kabar Buruk. Novel ini hadir untuk merawikan betapa sejarah Islam di Nusantara bukanlah sebuah riwayat yang dingin-dingin saja. Ada pertarungan sengit antara pelbagai paham. Pertarungan itu bahkan kerap meminta tumbal. Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Ki Ageng Pengging hingga Amongrogo dibunuh.
Para pengikut Fansuri bahkan dikejar- kejar dan dibakar hidup-hidup. Apa yang digambarkan dengan begitu tandas, provokatif dan tanpa tedeng aling-aling oleh novel ini sebenarnya adalah sesuatu yang historis: pernah terjadi di jantung sejarah Islam di Indonesia. Bahkan mungkin juga masih terjadi di hari ini, esok dan entah kapan. Wallahualam.

Mencari Tuhan Berwajah Cinta

::m safrinal, jogja

Tuhan yang diperkenalkan kepada kita adalah Tuhan berwajah besi. Wajah-Nya selalu ditampilkan sebagai tiran yang ganas, yang hanya mengenal larangan dan hukuman. Nama-Nya kerap dilekatkan dalam aksi peperangan, teror, dan kekuasaan tirani. Entah berapa banyak darah telah dikuras atas nama-Nya: Perang Salib, konflik Israel-Palestina, kerusuhan Ambon....Kabar Buruk dari Langit bermaksud menghadirkan wajah Tuhan yang lain. Bukan wajah yang selalu murka, bengis, atau kuasa, tapi wajah yang diliputi penuh dengan kelembutan, kasih, dan cinta. Wajah yang sayangnya lebih sering diasingkan dan dilupakan, sehingga manusia serasa lebih rela untuk menyalahkan ketimbang memaafkan.

Tuhan berwajah lembut dan penuh kasih itulah yang pada akhirnya dipahami figur protagonis dalam novel ini. Bukan perkara gampang ia mencapai pemahaman semacam itu, melainkan dengan perjuangan dan pengorbanan yang tiada terhingga. Semuanya rela ia terabas demi kepuasan spiritualnya yang tak bisa ditawar-tawar lagi: mencari Sang Maha Pengasih!

Upaya pencarian itu ia mulai setelah diusir keluar dari Kota Kudus karena didakwa menyelewengkan syariat Islam, tak peduli betapapun masyhur pengetahuan agama yang dimilikinya. Dan ia sadar caranya bukan dengan menetap dalam diam, tapi dengan bergerak. “Ketika gerak mengandaikan ketiadaan kepemilikan dan ketakpastian masa depan, maka gerak adalah sesuatu yang memberatkan. Dan mustahil untuk mereka yang tidak berjiwa nabi. Hanya yang berjiwa nabi yang bisa bergerak” (hlm. 250).

Maka ia pun bergerak sekehendak langkah kakinya. Sejumlah peristiwa ganjil yang terjadi tak luput dari perhatiannya. Salah satunya adalah peristiwa naas yang menimpa seorang perempuan akibat dirajam orang sepasar yang tak tahan mendengar hinaannya kepada Muhammad. Pasalnya, si perempuan ditipu seorang pria tak bertanggung jawab yang selalu mengatasnamakan Muhammad saat membujuknya.

Ia yang sempat melerai kericuhan itu tak kuasa menahan amarah massa. Dan dengan masygul ia pun berlalu sambil meratapi tumpahnya darah serta kenyataan bahwa si pria tak bertanggung jawab ternyata adalah Kiai Djukriyah, mantan mertuanya sekaligus kiai ternama di Kudus. Peristiwa kelam itu terus membayang mengikuti hingga akhirnya sebuah pertanda memaksanya menuju Bukit Makrifat, bukit beraroma mistik yang kaya akan suasana spiritual.

Di sinilah ia mendirikan pondok pemujaan setelah sebelumnya bercinta dengan Sang Penari Kesuburan. Perempuan jelita ini membimbingnya bagaimana membuang segenap nafsu lahiri lewat “tarian kesuburan”, sehingga pikiran dan jiwa kembali bersih seutuhnya untuk menghadap Sang Maha Pengasih tanpa harus tergelitik lagi oleh berahi, puncak dari segala nafsu lahiri.

Melalui perjuangan beribu-ribu hari, ia tuntaskan pembangunan pondok pemujaan. Sungguh upaya yang luar biasa. Coba bayangkan, ia harus mengukir ribuan anak tangga dengan laju satu per hari, mengangkut bebatuan dan bahan bangunan lainnya ke puncak bukit lewat tangga yang sempit dan terjal. Ini bukan pameran kekuatan fisik semata. Lebih dari itu, aksi ini merupakan perjuangan mental ala nabi: pertarungan antara kehendak melawan keletihan, tarik-menarik antara keikhlasan melawan keputusasaan.

Pengalaman tersebut memberinya kematangan spiritual yang kian memuncak. Orang-orang lantas membanjiri Bukit Makrifat untuk meminta suluh agama setelah menerima warta yang entah bagaimana menyebar. Ia pun dengan senang mengajarkan tentang hakikat agama tanpa terpaku pada simbol, tentang Tuhan yang penuh kasih-sayang dan cinta, serta tentang keadilan. Para rakyat tertindas serta para santri yang memujanya juga turut menerabas aturan negeri, hanya karena ia mengatakan bahwa aturan Tuhan-lah yang harus ditaati, bukan aturan pemerintah kolonial atau para ulama yang mengklaim beriman.

Dewan ulama Kudus yang mencium aksinya merasa resah. Rakyat yang mulai berani menolak pajak serta para santri yang kerap membangkang menjadikan para ulama merasa terancam kekuasaannya. Sebab, pemerintah lazimnya menganggap mereka bertanggung jawab atas “ketertiban” masyarakat. Karenanya, di bawah pimpinan Ibnu Suja’i, Tentara Tuhan pun dibentuk untuk menghabisi sang penyuluh beserta para pengikutnya.

Perintah pembantaian segera dilaksanakan. Yang coba melawan, ditumpas tanpa ampun. Ia, yang pada kesempatan pertama gagal ditangkap karena menggenapi pencarian hingga ke Tanah Rempah, akhirnya berhasil digelandang ke penjara dan dipenggal di hadapan umum pada tanggal 14 Februari tahun Masehi.

Tanggal 14 Februari, hari ketika kasih-sayang diperingati kini, sebagaimana pesannya pada istrinya yang terakhir, “Telah benar-benar kutemukan iman yang sempurna dalam perjalanan ini. Bukan dalam agama yang kalian kenal. Bukan dari bentuk yang mereka kenal. Aku telah menemukan cahaya itu dalam keikhlasan cinta. Mata batin ini sudah terbuka. Bukan Islam, Bukan pula Nashara, tapi cinta” (hlm. 554).

Berbeda dengan novel “reportase” Muhidin sebelumnya, Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur (2003), novel tebal yang menggelitik keimanan ini mampu menghadirkan informasi sejarah penyebaran Islam di negeri ini. Bukan sejarah yang lurus-lurus saja tentunya, tapi sejarah yang dipenuhi tekanan, ancaman, bahkan luapan darah.

Darah itu meluap dari nadi siapa saja yang dianggap menyempal dari mainstream beragama yang kini kita kenal. Syekh Siti Jenar divonis mati dengan sebilah pedang semasa Wali Songo, Sultan Panggung dibakar di era Demak, Syekh Amongraga ditenggelamkan ke laut pada masa Sultan Agung. Betapa kejinya, betapa nistanya, hanya karena ketiga figur itu punya cara penafsiran yang berbeda dengan yang dimiliki para penguasa institusi keagamaan. Bukankah seharusnya ibadah itu untuk menghindari perbuatan keji dan nista?

Novel ini setidaknya mengajak kita untuk memahami bahwa perbedaan adalah rahmat, termasuk perbedaan berpikir dalam tafsir agama. Ya, perbedaan adalah buah dari kemerdekaan berpikir. Bukankah Tuhan menghargai setiap ijtihad, kendati kelak terbukti kurang tepat? Sebab, meminjam parafrasa Goenawan Mohamad, Tuhan begitu dahsyat sehingga Ia tak cukup disamakan dengan “akidah tunggal yang benar” yang sebetulnya hanya hasil tafsir.

* Muhammad Safrinal, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta; Pos-e: m_inal@lycos.com

03 December 2006

Jalan Keterasingan Spiritulitas Manusia

::an ismanto, penyair bantul

Spiritualitas manusia bukan hal yang remeh. Umurnya setua manusia sendiri. Sejak jaman yang tak sanggup Sejarah memetakannya, spiritualitas sudah ada. Pada mulanya, catat Mircea Eliade, adalah animisme dan dinamisme. Manusia dibikin takjub oleh penyelenggaraan Alam: guntur, laut, gunung, badai, daur lahir-hidup-mati, dan keberadaan serta segala sesuatu yang tak-terjelaskan. Lantas, entah manusia sendiri atau kekuatan selain manusia yang menyusun, muncul serangkaian tata cara yang membantu manusia memahami kekuatan-kekuatan alam itu. Hal terakhir inilah yang sampai kepada anak cucu manusia sebagai agama, yang pada gilirannya memberi keyakinan dan pedoman dalam berhadapan dengan Alam maupun dengan diri sendiri.

Namun, manusia tak pernah benar-benar terpuaskan oleh pedoman-pedoman dan keyakinan itu. Ada rasa kekurangan dan tidak aman yang membikin manusia tak pernah merasa benar-benar mapan dan penuh dalam dirinya. Tatkala keragu-raguan mulai muncul di dalam batin, manusia mulai merasa asing pada pedoman, pada Alam, dan bahkan pada dirinya sendiri.

Keterasingan dari pedoman yang sudah ada pernah pula dipindai oleh pasal 8 Injil Yohanes. Suatu kali, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menangkap seorang perempuan yang kedapatan berzina. Mereka meminta Yesus menghukum peremuan itu. Para penangkap perempuan itu adalah orang-orang Yahudi, yang pilar keyakinannya sudah tegak sejak jaman Musa. Mereka, tentu saja, merasa harus melakukan perbuatan-perbuatan yang saleh. Seorang pezina adalah duri bagi kesalehan mereka. Maka mereka menangkap si pendosa. Ketika diserahi daulat buat menghukum perempuan itu, Yesus tak langsung menghukum sebagaimana yang diharapkan para penangkapnya. Justru, Yesus meminta orang yang merasa tidak berdosa untuk melemparkan batu kepada si pezina. Tak ada yang berani melakukannya, dan Yesus membiarkan perempuan itu pergi. Parabel ini mengisyaratkan betapa keyakinan setua Yahudi tak sanggup memberikan kepastian kesucian manusia—yang ingin dicapai para penangkap pezina itu—kepada para pemeluknya.

Kenapa rasa terasing selalu ada pada manusia? Dan bagaimana menyelamatkan diri darinya?
Eksistensialisme Sartre-an punya penjelasan yang cukup terang buat memahami keterasingan manusia. Memang penjelasan itu sudah agak kuno, dan bahkan sudah ditimbuni kritik, namun asumsi-asumsi dasarnya masih relevan dan cukup adekuat sampai sekarang. Sartre menjelaskan manusia sebagai Ada-untuk-diri (being-for-itself) yang senantiasa terasing, karena selalu saja tak pernah mencapai kondisi yang diinginkannya, yaitu Ada-dalam-diri (being-in-itself). Manusia selalu makhluk yang akan-ada-untuk-diri (to-be-being-to-be). Lebih jauh, Sartre menyatakan bahwa entitas yang sudah penuh dalam dirinya sendiri sekaligus sedang akan menjadi dirinya sendiri tidak pernah ada. Hanya Tuhan yang sudah sempurna sekaligus masih berkepentingan dengan keberadaan yang-lain yang bersifat seperti itu. Itupun kalau Dia ada.

Celakanya, lanjut Sartre, kondisi seperti Tuhan itu merupakan salah satu dari dua jalan keluar, yang keduanya sama-sama sulit, yang mesti dipilih bila manusia mau bebas dari keterasingannya. Manusia punya kehendak buat memilih apa yang ia inginkan dan lakukan. Sayangnya, tidak ada yang menjamin bahwa pilihannya bakal bermanfaat buat dirinya, dan karenanya manusia hidup bersama ketidakpastian. Ini memunculkan angst (anguish=kecemasan). Sepanjang keberadaannya, manusia tak bisa melepaskan diri dari kecemasan ini. Dan ini merupakan kondisi yang tak dapat diubah maupun ditolak oleh keberadaan manusia.

Jalan keluar kedua, yang sama sulitnya dengan yang pertama, ialah menerapkan kehendak bebas manusia untuk memilih dengan menerima “kutukan” keberadaan manusia, dan itu berarti menerima kondisi keterasingan dan konsekuensi psikologis-filosofis yang mengikutinya. Sialnya, kutukan itu terlampau besar untuk ditanggung, dan dalam ketidakpastiannya, manusia pun berusaha melupakan keterasingannya (atau, seturut Erich Fromm, melarikan diri dari kebebasannya), mengubur keterasingan itu dalam kesadaran pra-refleksif dan mengalihkan kesadaran refleksifnya pada hal-hal lain. Namun, pada suatu saat nanti, manusia akan merasakan lagi keterasingannya itu. Dan pada saat itu ia harus memilih antara melupakan kutukan keterasingan itu atau menghadapinya. Sartre dan Fromm yakin bahwa kebanyakan manusia memilih untuk melarikan diri kutukan keberadaannya itu dengan mencari perlindungan pada negara dan otoritas institusional lain. Tak banyak orang yang memilih untuk menghadapi keterasingannya dengan gagah berani.

Keterasingan senantiasa ada pada setiap jaman, dan senantiasa ada tawaran untuk menjelaskan, dan memadamkan, keterasingan itu. Namun, karena sejak awalnya manusia selalu berusaha melupakan dan melarikan diri dari kerkahan keterasingan itu, maka setiap apa yang berusaha menolongnya malah kerap ia sisihkan. Alhasil, selalu ada yang terlupakan. Namun selalu ada pula yang mengingatkan. Bila agama dan sains tak sanggup, dan tak mau, mengingatkan, seni dan sastra yang bakal melakukannya: seni dan sastra kerap dianggap sebagai tawaran buat mengingatkan, menjelaskan, dan membantu manusia menghadapi keterasingannya. Dalam konteks ini, Kabar Buruk dari Langit, sebuah novel tambun karya Muhidin M. Dahlan, menemukan perannya.

Kabar Buruk: Perseteruan “Beragama Rupa-Bentuk” dan "Beragama Isi-Substansi”

Kabar Buruk dari Langit menyergap pembaca dengan cerita jatuhnya Jibril dari langit di dekat “kau” yang sedang duduk-duduk di tepian Abiseka, mengaso dari “zikir yang membosankan”, tepat pada malam 17 Ramadhan, malam sakral ketika wahyu diturunkan untuk pertama kalinya kepada Nabi Muhammad Al-Amin. Jibril jatuh, terhempas ke Bumi dan bukannya mendarat dengan mulus seperti burung pipit.

Sejak malam itu, “kau” adalah seseorang yang merasa asing pada agama yang ia anut dan sebrakan. Padahal, bertahun-tahun silam, “kau” adalah seorang pemuda cerdas yang digadang-gadang menjadi pemuka agama idaman Kudus, dan diberi kesempatan untuk belajar agama langsung di negeri para nabi. Sepulangnya dari sana, ia memang menjadi pemuka agama pilih tanding di kampung halaman. Tapi, pada malam yang sakral itu, Jibril datang kepadanya, bukan membawa wahyu, melainkan rempah mulia bernama ganja Atjeh. Sang malaikat yang tugasnya mirip Hermes mengajarinya menghisap ganja itu dan memberinya banyak pelajaran dan teka-teki. Setelah berpisah dengan Jibril, ia merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk meninggalkan istri dan tugas-tugasnya sebagai pemuka agama, lantas mencari Tuhan.

Ia mengalami mimpi-mimpi ganjil, melakukan perjalanan ke banyak tempat dan bertemu dengan manusia-manusia tak lazim yang memberinya petunjuk-petunjuk. Lantas ia merasa yakin bahwa yang sedang ia cari sejatinya dapat ditemukan dalam dirinya sendiri. Setelah itu, ia mendirikan Bukit Makrifat. Orang-orang mendengar kabar tentang keberhasilannya, lalu mereka berduyun-duyun ingin menjadi pengikutnya. Karena mewajibkan para pengikutnya menjalankan cara-cara yang bertentangan dengan syariah, seperti melakukan senggama dengan bebas di kaki Bukit Makrifat dan menyatakan bahwa ibadah haji tak perlu ke Makkah, elit agama Kudus menuduhnya sebagai pelaku bidah dan berusaha menangkapnya. Namun upaya itu selalu gagal. Dan ia sendiri kian harum di kalangan pengikutnya, hingga ia mereka panggil Begawan Suci, meski ia bersikeras menolak panggilan itu.

Ia sendiri tetap gusar, karena masih ingin bertemu dengan Jibril lagi, yang diyakininya akan memberitahukan kepadanya rahasia hakikat. Kemudian ada petunjuk yang menyatakan bahwa kebenaran sejati dapat ditemukan di Kota Cinta, yang harus ditempuh melewati tujuh lautan maha dalam. Ia menaati petunjuk itu, sampai di Pulau Rempah dan jatuh cinta pada seorang gadis biara. Untuk mendapatkan gadis itu, ia disyaratkan berpindah agama, membakar Quran, dan memelihara babi di biara. Akhirnya ia dinikahkan dengan gadis itu. Sepasang suami istri itu lantas pulang ke Bukit Makrifat. Elit agama Kudus menangkapnya dengan tuduhan bidah dan menjatuhkan vonis mati kepadanya. Ia tak berontak, malahan menerima kematiannya dengan riang, karena ia yakin yang dicari-carinya datang bersama kematian. Orang-orang yang diam-diam kagum kepadanya menyaksikan kematiannya yang mengenaskan, dan langit pun “menitipkan kabar teramat buruk di pedalaman hati mereka masing-masing, yang bakal mereka bawa serta ke mana pun kaki melangkah” (hlm. 549). Dan pencarian “kau” pun usai bersama kematiannya.

Kabar Buruk dari Langit menyeret pembaca untuk mengait-ngaitkan tanda, kata, frase, kalimat, nama tokoh dan peristiwa di dalamnya dengan hal-hal yang sama yang tak termaktub dalam novel bertebal 562 halaman itu. Seakan-akan ia mengingatkan pembaca pada hal-hal yang pernah, atau barangkali masih, ada dalam catatan sejarah maupun yang ada di sekeliling. Misalnya, perjalanan pencarian spiritual portagonis mengingatkan kita pada satu tokoh esoterisme Jawa yang dihukum pancung oleh elit agama: Syekh Siti Jenar. Selain itu, juga beberapa fakta historis yang terabaikan (dan menghentak). Salah satunya ialah uraian Jibril perihal ganja: “setiap kota Islam dianugerahi tanaman-tanaman lezat dan nikmat agar masyarakatnya bisa bekerja dan berkegiatan lebih santai .... di Arab ada hishas (hashis?—penulis) .... di Afgan dan di pulau ini (Jawa—penulis) ada madat. Di Atjeh pun demikian, dengan nama yang lebih khas: ganja” (hlm. 16).

Sejak awal, Kabar Buruk dari Langit telah menunjukkan tanda-tanda keterasingan protagonis. Bahkan sebelum berdialog dengan Jibril, “kau” telah memandang zikir dengan kacamata yang berbeda, meski sebab keterasingan dari zikir itu tak tersurat. Seusai berdialog dengan Jibril, rasa terasingnya membesar, tak terbatas pada zikir saja, tetapi juga pada seluruh fondasi agama dan dengan semua yang mengelilingi dirinya. Ia mulai memandang kedua hal terakhir secara berbeda. Pedoman agama (syariah) dan norma-norma sosial tak dapat lagi ia kukuhi dengan iman selayaknya seorang pemeluk dan anggota masyarakat. Ada kerisauan tak terjelaskan yang menjadikan protagonis tak puas pada kedua hal itu.

Pola ragu-mencari-menemukan-mati mengenaskan juga dialami persona-persona sufistik dalam realitas faktual. Protagonis mengalami proses mental dan spiritual yang kemudian menimbulkan akibat pada tataran eksoteris yang mirip dengan yang dialami Yesus Kristus. Seolah-olah “kau” mengikuti takdir Yesus yang harus mengakhiri hidup denga nista dan salib. Bedanya, eksekusi Kristus bertujuan untuk menebus dosa-dosa umat manusia, sementara “kau” melakukannya demi memenuhi dorongan cintanya kepada Tuhan.

Bila kita cermati, tindakan yang berseberangan dengan moralitas khalayak, yang berakhir dengan kematian protagonis, mendapatkan porsi yang sangat dominan dalam novel ini. Perseteruan lama esoterisme-eksoterisme inilah yang tampaknya menjadi bidikan utama Kabar Buruk dari Langit.

Sebagaimana kita tahu, kedua cara pemahaman keberagamaan ini sudah sejak lama tak akur. Esoterisme dan eksoterisme sama-sama mengklaim memegang kunci penghayatan akan Penyelenggaraan Ilahi yang lebih dalam ketimbang seterunya. Padahal, keduanya berangkat dari asumsi dasar yang berbeda. Esoterisme merujuk pada hal-hal yang hanya boleh diketahui dan dilakukan oleh sebagian anggota saja dari suatu kelompok penganut paham tertentu, yang termanifestasi dalam wacana tentang semua yang batiniah.

Sedangkan eksoterisme menyaran pada hal-hal yang boleh diketahui oleh semua anggota kelompok itu, mewujud dalam semua wacana yang bersangkutan dengan yang lahiriah, seperti ritual dan syariah (Schuon, 1987: 18). Inti esoterisme ialah kemungkinan bagi makhluk untuk partisipasi dalam Penyelenggaraan Ilahi. Mistikus masyhur Meister Eckhart menyatakan bahwa dalam seorang mistikus tidak diciptakan. Ini sepaham dengan keyakinan para pelaku tasawuf bahwa makhluk tak bisa berusaha dari dirinya sendiri untuk menghayati Yang Ilahi.

Dasar asumsi ini ialah bahwa manusia memiliki potensi penghayatan yang terdapat dalam dirinya, yang disebut Intelek. Intelek, dalam pandangan esoterisme, melampau akal, nalar, intuisi dan moral. Lewat Intelek inilah Yang Ilahi melakukan kontak satu arah dengan makhluk. Yang Ilahi sendiri yang menentukan siapa atau apa yang boleh turut serta dalam proses itu, sekaligus menentukan akibat-akibat yang mungkin dari partisipasi itu (Schuon, 1987:37).

Kesan permisif esoterisme, seperti yang tampak pada perilaku protagonis Kabar Buruk dari Langit, menjadi afirmasi pernyataan esoteris bahwa kejahatan tidak ada (Schuon, 1987:97). Karena, tindakan atau ucapan yang tampaknya bertentangan dengan standar moral yang disepakati bersama di tataran eksoteris merupakan keniscayaan esoteris. Seorang ulama setaraf wali menghisap ganja bersama Jibril, mewajibkan calon pengikutnya melakukan seks bebas, menghalalkan daging anjing, membakar al-Quran, memelihara babi di biara Kristen, berpindah agama demi mendapatkan gadis yang diidam-idamkannya. Dari semua hal itu, mana yang tak bakal membakar mata dan telinga seorang pembaca yang percaya pada hal-ihwal yang berkebalikan dari yang diajarkan dan dilakukan sang ulama? Kematian tampaknya setimpal dengan “kejahatan” dan kesesatannya. Namun bagi sorang esoteris kategori moral “kejahatan” tak dapat diterapkan pada protagonis, karena Yang Ilahi sendiri yang menghendakinya.

Itulah sebabnya kenapa Nietzche, dalam Ecce Homo, mengatakan bahwa kalaupun ia harus menyalahkan penyebab terjadinya kejahatan, ia bakal menyalahkan Tuhan saja. Dengan nalar ini, maka kebebasnilaian esoteris dibuktikan dengan sangat terang. Penyelenggaraan Ilahi sendiri tetap tak terusik dan kejahatan-eksoteris tetap ada. Maka, meski penghukuman protagonis menjadi kabar buruk dari langit, eksekusi itu sama sekali tak menjadi kabar buruk buat langit (bila langit dibaca dengan pengertian yang sama dengan yang dipakai dalam wacana religius eksoteris, yaitu sebagai simbol untuk Yang Ilahi).

Sayangnya, Kabar Buruk dari Langit tak menggali lebih dalam masalah “kejahatan” protagonis. Stimulan abstrak semacam “cinta”, sebagaimana “keadilan”, “kerukunan”, “tanggung jawab”, tampaknya kurang dapat diterima dalam dunia kita yang tak sepenuhnya mencampakkan rasionalisme dan empirisisme. Bila memang “cinta” menjadi satu-satunya elan vital protagonis, Kabar buruk dari Langit nampaknya sedang mengampanyekan individualisme kelas kakap, karena cinta merupakan wacana yang sangat subyektif. Jadinya, rasa terasing manusia pada standar moral tak didasari penjelasan yang kukuh.

Sikap novel ini terhadap keterasingan eksistensial cukup terang. Protagonis ditunjukkan sebagai subyek terasing yang memilih menghadapi keterasingannya dengan cara yang berbeda dari yang dipilih kebanyakan orang. Ia tak memilih berlindung di bawah negara dan otoritas institusional lain seperti agama dan pernikahan. Ia justru menuruti kehendak bebasnya untuk mencari sendiri pemadam keterasingannya itu. Barangkali pilihan terakhir itu yang hendak ditawarkan novel ini: sebuah jalan keluar yang gagah berani, meski bakal dipandang sinis oleh Sartre karena individualisme protagonis tak disandarkan pada kebebasan manusia yang absolut dan bakal berakhir dengan kematian yang tak menyenangkan.

Kabar Buruk: Dari Gus Muh ke Gus Gao

Dalam bercerita, Kabar Buruk dari Langit menggunakan dua sudut pandang, yaitu sudut pandang orang pertama dan orang kedua. Sudut pandang orang pertama hanya dipakai pada bab kedua, ketiga, dan terakhir saja, yang dikisahkan oleh dua orang yang berbeda. Sedangkan perjalanan protagonis sendiri, yang mendominasi penceritaan, diceritakan dengan sudut pandang orang kedua. Sudut pandang orang kedua pernah digunakan oleh nobelis Gao XinJiang dalam beberapa bagian Lingshan (Soul Mountain—Gunung Jiwa, edisi Bahasa Indonesia oleh Jalasutra, 2003).

Pemilihan sudut pandang orang kedua nampaknya bukan tanpa maksud. Bisa jadi, sudut pandang orang kedua dimanfaatkan untuk membentuk suasana membaca. Dengan “kau” yang menjadi pelaku cerita, seolah-olah pembaca sendirilah, dan bukannya orang lain, yang diajak berbicara oleh narator. Pembaca diyakinkan bahwa narator sedang berbicara atau bercerita tentang diri pembaca, seolah-olah narator tahu persis segala sesuatu tentang pembaca. Bila sejak awal pembaca sudah mengidentifikasi dirinya sebagai protagonis, pembaca bakal cepat terhanyut ke dalam arus cerita. Pembaca diajak terlibat dalam penceritaan, meski tanpa boleh berkilah, menjelaskan, atau menjawab. Namun, bila pembaca masih ragu-ragu untuk mengidentifikasi diri sebagai tokoh utama, maka pembaca akan terjebak ke dalam kondisi yang selalu berubah-ubah: bila peristiwa yang menimpa protagonis bersesuaian dengan harapan pembaca, maka pembaca bersedia menerima identifikasi dirinya sebagai protagonis, dan sebaliknya. Ini tentu menjadi pembacaan yang mengasyikkan: pembaca diajak untuk bersabar menunggu terjadinya peristiwa yang menimpa protagonis sebelum menentukan identitasya sendiri.

Meski begitu, pembaca tidak dimatikan. Narator novel ini seperti seorang pendakwa di pengadilan yang mendedahkan rekonstruksi kejahatan seorang terdakwa (pembaca), dan sepanjang rekonstruksi itu sang terdakwa tak berhak untuk menyela. Seperti lazimnya pengadilan, terdakwa pun berhak untuk mengajukan pembelaan, tentunya setelah sang pendakwa menyelesaikan dakwaannya. Dengan begitu, pembaca-terdakwa telah dipancing oleh narator-pendakwa untuk mempekerjakan potensi-potensi intelektualnya agar bisa memberikan tanggapan atas dakwaan padanya. Maka, pembaca menemukan perannya sebagai pihak yang berhak menyangkal atau malah membenarkan rekonstruksi dan dakwaan yang telah dituduhkan sang pendakwa (narator). Dan cerita-cerita yang partisipatif-memancing seperti inilah yang bakal membangun publik-pembaca (dan pada gilirannya publik secara luas) yang kritis dan komunikatif.

Pemakaian sudut pandang orang kedua juga bisa mengisyaratkan makna lain. Protagonis Lingshan, yang diceritakan dengan sudut pandang yang berganti-ganti, kadang orang pertama, kadang orang kedua, dan pada saat lain orang ketiga, adalah persona yang mengalami perasaan terasing dari lingkungannya dan sedang mencari jati diri. Sudut pandang yang berganti-ganti seakan-akan menunjukkan bahwa narator-utama sendiri tak yakin bahwa tokoh yang sedang ia ceritakan adalah tokoh yang sudah lengkap, utuh, dan final. Seolah-olah narator mempersilahkan banyak orang dengan sudut pandang yang berbeda-beda untuk bersaksi atau mengungkapkan pencerapan masing-masing atas tokoh itu, lalu sang narator-utama sendiri mengumpulkan serpihan-serpihan kesaksian dan pencerapan itu untuk menyusun struktur cerita sekaligus untuk menentukan anti-klimaks cerita (yang berarti memberitahukan kepada sang tokoh, dan pembaca, jati diri si tokoh).

Bila mengingat subjudulnya (Luka Cinta Pencari Tuhan) maka sudut pandang orang kedua yang digunakan dalam Kabar Buruk dari Langit sekaligus mengisyaratkan maksud lain, yang tak bakal terpahami bila sekadar membaca rangkaian ceritanya saja. Bisa jadi, bukan pencarian (jati diri) Tuhan itu yang sebenarnya dibidik oleh narator, melainkan jati diri manusia yang melakukan pencarian itu sendiri.

Bila narator dalam Lingshan tak yakin pada identitas tokoh (yang bisa jadi adalah dirinya sendiri) dan merasa terasing dari lingkungannya, maka narator dalam Kabar Buruk dari Langit seolah-olah sudah tahu persis jati diri, pikiran, perasaan, intuisi, Intelek, dan kejadian-kejadian yang menimpa protagonis, dan lalu memberitahukan pengetahuan itu kepada protagonis—yang hanya bisa mendengarkan (membaca) tanpa boleh menanggapi.

Meski begitu, karena narator hanya memberitahukan apa yang ia ketahui itu kepada protagonis (dan pembaca), maka tercipta jarak antara narator dan protagonis, dan pengisahan narator tentang jati diri protagonis (“kau”) tak mungkin benar secara mutlak. Ada lubang-lubang dalam pengisahan itu. Ada yang tetap tak diceritakan, menjadi rahasia. Protagonis tetap memiliki pernik-pernik jati diri yang tersimpan aman dari jangkauan pengetahuan narator dan pembaca. Dengan begitu, jati diri protagonis tak pernah benar-benar diketahui sepenuhnya. Ia, dan kebenaran tentangnya, masih ada di luar sana.

Alih-alih mengenal dan mengabarkan jati diri protagonis kepada pembaca dan protagonis, narator sendiri sebenarnya tak pernah benar-benar mengerti dan memahami protagonis. Lebih parah, narator sendiri asing pada dirinya sendiri dalam hubungannya dengan protagonis. Seluruh penceritaan dalam Kabar Buruk dari Langit adalah pencarian jati diri narator lewat pencarian jati diri protagonis. Di satu sisi, ini malah menegaskan keberadaan narator: tanpa narator, protagonis (“kau”) tak bakal ada. Di sisi lain, ini sekaligus menegaskan keterasingan narator.

Boleh jadi ada kemungkinan lain. Novel ini bisa dibaca dengan anggapan bahwa narator adalah protagonis sendiri, yang sedang melakukan dialog batin dengan dirinya sendiri, dan untuk memudahkan dialog itu ia mengambil jarak dari dirinya sendiri, sehingga ada diri-yang-merenungkan-apa-yang-sudah-dialami (narator) dengan diri-yang-sedang-mengalami (protagonis). Ini benar, sejauh tak diterapkan pada bab-bab yang menggunakan sudut pandang orang pertama. Sayangnya, novel ini harus dibaca secara menyeluruh.

Di titik ini, ruapan aroma keterasingan tak terbendung dan menjadi keniscayaan yang melibatkan protagonis-narator-pembaca. Jikalau diandaikan bahwa narator dan protagonis sudah mencapai tujuan keberadaan mereka, atau sudah mencapai kondisi Ada-dalam-diri mereka masing-masing—dengan berada dalam “kodrat” mereka sebagai penyusun teks Kabar Buruk dari Langit—, maka yang masih harus melepaskan diri dari cengkeraman keterasingan itu ialah pembaca, karena pembaca belum sampai pada kondisi yang dialami narator dan protagonis. Salah satu caranya adalah dengan “melanjutkan” atau “mengubah” teks Kabar Buruk dari Langit—yang bagaimanapun tak bakal mengubah apa yang sudah dicapai oleh teks itu pada ruang dan waktu yang spesifik.

Novel ini rawan disalahtafsirkan. Ceritanya tentang perselisihan esoterisme-eksoterisme membuka lagi luka lama esoteris, atau kemenangan esoteris, yang mengisi sejarah Jawa. Dan spiritual (baca: keberagamaan) bukan hal remeh. Bagi seorang eksoteris, Kabar Buruk dari Langit menjadi kabar buruk buat langit. Namun bagi seorang esoteris, novel ini tidak begitu, karena justru ia menguatkan klaim esoterisme (Islam) dengan upayanya untuk menjernihkan lanksap sejarah esoterisme yang disaput kanon sejarah yang memihak. Analisis yang memihak atasnya juga bakal mengundang kontroversi, karena dengan menyebut perjalanan protagonisnya sebagai suatu keniscayaan (kodrat) bakal menyinggung paham keberagamaan eksoteris. Menyebutnya sebagai gejala psikologis semata bakal menyinggung pelaku esoteris.

Namun, mengingat sifat sastra sebagai teks persepsional yang subyektif, sikap Kabar buruk dari Langit yang “memihak” esoterisme tentu sah-sah saja. Pesan saya, janganlah novel ini disalahtafsirkan. Tapi, kelak, bila ada yang salah menafsir bentuk dan isi Kabar Buruk dari Langit, dan tampaknya Muhidin M. Dahlan memang penulis yang piawai membidik potensi-potensi kontroversi dalam masyarakat kita, itu adalah keniscayaan. Tak ada sesiapa bisa mencegah selisih-tafsir ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Frithjorf Schuon, dan saya yakin diamini oleh para pelaku tasawuf dan mistisisme, Kebenaran hanya bisa dipahami, dihayati, dan dirasakan oleh mereka yang memunyai kemauan, kapasitas dan potensi untuk itu. Mereka yang tak punya kapasitas dan potensi itu bakal salah paham, salah tafsir, tersinggung dan tak bakal memahami.

Tapi, saya berdoa agar salah paham-salah tafsir itu tak menambahkan luka baru pada paras cantik ibu pertiwi yang sekarang ini sudah nyaris remuk dihajar anak-anaknya sendiri. Amin.

Bantul, 2005