Showing posts with label PKI. Show all posts
Showing posts with label PKI. Show all posts

23 October 2016

Memoar dan Sketsa Gregorius Soeharsojo Goenito: Para “Pahlawan Repelita” Orde Harto


"Penggembala dan domba / Di bawah kokangan meriam dan kaliber / Ayo jalan, area sawah dekat / Di sini kuserahkan untuk masa depan" ~ Gregorius Soeharsojo, “Pelita 1969”, Tiada Jalan, hlm. 72

Kesaksian tentang Buru sudah kerap diekspresikan oleh mereka yang kena gebuk dan merasakan satu sekade berada dalam kerja di bawah popor bedil, bentakan, dan sepakan lars yang bikin ciut nyali. Ekspresi itu beberapa sudah dibukukan, dan beberapa lagi masih dalam kepala para tahanan politik (tapol) yang usianya makin menuju titik akhir cerita.

14 August 2016

Wajah Indonesia dan Seni (di) Airport

Bingkai judul media daring (dalam jaringan) yang menjadi viral sepanjang Jumat (12/8) atau sepekan sebelum Republik Indonesia merayakan ulang tahun ke-71 memang bikin bulu kuduk meremang: D.N. Aidit hadir di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten.

Bayangkan, di terminal penumpang yang baru dibuka 9 Agustus itu hadir –dalam bahasa intelijen kita, ”poster”– wajah Aidit. Saya pertegas, supaya bikin merinding warga ibu kota, di beranda depan Republik Indonesia hadir ”momok” yang melahirkan sebuah rezim bernama Orde Baru. Momok itu adalah Aidit, hantu itu adalah PKI. 

Munculnya pun bukan di hutan-hutan sawit di Sumatera atau Sulawesi Barat, melainkan di paras depan Indonesia. Saya mempersalahkan media daring yang menjadi penyambung histeria dangkal itu? Tidak! Sebab, itu adalah gambaran watak umum bagaimana republik ini mendaras sejarah Indonesia. Dan di Terminal 3 Ultimate itu kita dihadapkan kepada sejarah Indonesia dalam medium visual bernama lukisan. 

Lukisan, Bapak Polisi, bukan poster! Bukan pula selebaran gelap! 

D.N. Aidit adalah Wajah Tokoh ke-35 dari 400-an Tokoh yang Dilukis Galam Zulkifli dalam "The Indonesian Idea" yang Dicopot dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten

Dari 400-an wajah tokoh yang dilukis secara manual (tanpa teknologi sablon atau pun proyektor) dengan cermat dan presisi, justru wajah D.N. Aidit yang berukuran "kecil" itu yang menyebabkan lukisan berjudul "The Indonesia Idea" (ID) itu diturunkan secara paksa dari dinding Terminal 3 Ultimate Bandar Udara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten, (Jumat, 12 Agustus 2016).

Dalam susunan tokoh yang dilukis, D.N. Aidit adalah wajah ke-35 yang dilukis Galam Zulkifli setelah Mas Marco Kartodikromo. Wajah pertama yang ada di kanvas adalah H.O.S. Tjokroaminoto, disusul Sutan Sjahrir, Hasyim Asy'ari, Achmad Dahlan, dan Tan Malaka. Sementara wajah tokoh paling terakhir adalah Kak Seto Mulyadi.

Berikut croping susunan wajah yang dilukis Galam Zulkifli yang saya ambil dari video proses lahirnya lukisan "The Indonesian Idea" yang berdurasi 58 menit, 18 detik. (Muhidin M. Dahlan)
H.O.S. Tjokroaminoto (Wajah Tokoh ke-1)

Sutan Sjahrir (Wajah Tokoh ke-2)

K.H. Hasjim Asj'ari (Wajah Tokoh ke-3)

K.H. Achmad Dahlan (Wajah Tokoh ke-4)

Tan Malaka (Wajah Tokoh ke-5)

D.N. Aidit (Wajah ke-35)

Kak Seto (Wajah Tokoh Terakhir)

Baca ulasan khusus lukisan yang menggegerkan ini: "Sejarah Indonesia dan Seni (di) Airport" oleh Muhidin M. Dahlan. 




26 July 2016

Karl Marx: Demi Cewek, Ia tak Segan Berduel hingga Alis Matanya Terluka

Apa lagi yang Anda harapkan dari seorang pemuda usia 19 tahun. Pemburu cewek, anggur, dan menyanyi. Belum genap 20 tahun itu telah mengumumkan dirinya sebagai seorang ateis dan subversif.

Kutipan ini menunjukkan bahwa Marx bukan hantu. Ia adalah seperti remaja dengin desir darah seumumnya. Mabuk juga. Pemburu cewek juga. Nyanyi juga.

Seperti halnya remaja badung pada umumnya, tentu saja ia emoh ke gereja dan mulailah disandangnya tudingan: Subversif. Di usia berapa? Di usia 20 tahun!


24 July 2016

Sukarno dan Olimpiade: Sumbangan Kiri Indonesia untuk Dunia

Tak ada gelora apa-apa saat atlet-atlet Indonesia berangkat atas nama negara ke gelanggang Olimpiade Rio de Jeneiro, Brasil. Berlaga di pentas olahraga internasional yang menjadi induk dari seluruh arena adalah sebuah kebanggaan. Bukan hanya atlet dengan target mendapatkan panggung dan medali, tapi juga memundaki kehormatan bangsa dan negara. Olimpiade adalah perjumpaan seluruh bangsa yang mendiami planet bumi dalam satu momentum bersama yang bernama olahraga.

Memang, menjadi aneh ketika ingar-bingar dan harapan mencucuk langit tak pernah lagi kita temui saat atlet-atlet terbaik nasional di pelbagai cabang olahraga keluar dari pintu keberangkatan bandar udara Soekarno-Hatta untuk mengambil peran di panggung olimpiade. Ketiadaan prestasi dan olahraga yang dimaknai sebagai rutinitas belaka sebagai bangsa menjadikan keberangkatan ke olimpiade tak ubahnya sekadar menggugurkan hak berpartisipasi.

Di gelanggang olimpiade, bukan saja minim prestasi, tapi kita tunasemangat sebagai bangsa besar yang pernah mengagendakan sebagai negara yang disegani di bidang keolahragaan, sejajar dengan Tiongkok, Korea, Rusia, hingga Amerika Serikat.
Izinkan saya "mendongengkan" sebuah masa di mana Indonesia, tak hanya menebal-nebalkan mimpi dengan memperpanjang tidur di gelanggang olahraga dunia, tapi juga menyusun langkah-langkah taktis dan mendasar yang dimulai dari mental yang disebut Presiden Sukarno "sport-minded".

05 July 2016

Comite Central PKI Mengucapkan Selamat Hari Raya 1 Sjawal

Inilah isi ucapan resmi CC PKI terkait perjumpaan Hari Raya dan Hari Buruh pada 1 Mei:

Central Comite Partai Komunis Indonesia 
menyampaikan selamat kepada seluruh kaum buruh dan Rakyat pekerja Indonesia berhubung dengan hari 1 Mei, hari persatuan dan kemenangan kaum buruh. Hidup persatuan kaum buruh!

Central Comite Partai Komunis Indonesia mengucapkan selamat Hari Raya Idulfitri 1376 H kepada Rakyat Indonesia yang beragama Islam.

Hidup kerjasama dan persatuan seluruh Rakyat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam aliran keagamaan dan politik!


Jakarta, 1 Mei 1957, 1 Syawal 1376

Central Comite
Partai Komunis Indonesia
Sekretaris Jenderal

(D.N. Aidit)

04 June 2016

Warisan Kiri yang Siap Dihancurkan!

Ketika di bulan Mei sekelompok ormas dan didukung segelintir purnawirawan TNI seperti Kivlan Zen menuding-nuding patung warisan komunis di jantung ibu kota Jakarta.

Patung yang lebih dikenal publik dengan "Tugu Tani" itu terletak di lingkaran strategis. Pertemuan antara Menteng-Cikini, Senen, Thamrin, dan Gambir. Patung pak tani bercaping dengan membawa senjata laras panjang dan bu tani membawa bakul ini berdiri di area yang luas dan di bawahnya bunga-bunga berbagai warna penyerap karbondioksida tumbuh subur.

Tudingan bahwa ini patung kiri adalah benar adanya. Patung karya seniman Manizer Bersaudara ini adalah sumbangan Uni Soviet kepada Indonesia. Bahkan pada saat diresmikan pada 1963 oleh Sukarno, tampak hadir Wakil Perdana Menteri Anastas Mikoyan.

14 May 2016

Kejaksaan yang tak bisa move on, baca ulang tuh surat kebirimu dari MK. Dasar parasit buku!

Bunyi berita dari Jogja:

Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta menyita sebuah buku berjudul Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula. Buku itu disita dari penjual di toko buku Shopping Center, Yogyakarta. Buku dianggap memutarbalikkan sejarah terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).

Asisten Intelijen Kejati DIY, Joko Purwanto, mengatakan, buku setebal 528 halaman yang ditulis 32 orang itu disertai ilustrasi provokatif perihal pembantaian yang terjadi sekitar tahun 1965. "Arahnya untuk mempengaruhi anak-anak muda soal ajaran itu (komunisme)," kata Joko, Jumat, (13/5/2016).

BACA JUGAJokowi Minta Penertiban Paham Komunis Tidak dengan SweepingJK: Lagu Genjer-genjer Menyakiti TNIJK: Paham Komunis Sudah Gagal Joko mengungkapkan, buku yang dibeli seharga Rp200 ribu keluaran penerbit Ultimus tersebut tak hanya dijual melalui toko buku. Namun juga secara daring.

Menurutnya, penjual sudah kehabisan stok dan menduga buku itu sudah beredar di masyarakat. "Penjual buku itu menyediakan pemesanan," kata dia.

Bagi para penjual buku aliran kiri, lanjut Joko, tak akan ada langkah hukum dari aparat. Namun, kejaksaan memberikan peringatan agar tidak menjual buku serupa kembali. Sementara, buku yang telah disita tersebut akan dilaporkan ke Kejaksaan Agung.

* * *

Plis deh Kejaksaan. Masih ingat tarung drajat di Pengadilan Mahkamah Konstutisi sejak awal Januari hingga Oktober 2010?! Kewenangan situ dikebiri Mahkamah Konstitusi. Nggak kek dulu-dulu lagi, asal sensi, sita. Asal ada ormas lapor, sweeping. Lalu bakar bareng-bareng.

Wewenang kelian sudah awu-awu, sudah dianu-anu. Menyita, merampas, lalu membakar bersama-sama sudah tak punya landasan hukum. Masak lupa sih.

12 May 2016

Debat Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu vs Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid

Namanya Ryamizard Ryacudu. Jabatan: Menteri Pertahanan RI.

Namanya Hilmar Farid. Jabatan: Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Keduanya adalah aparatus birokrat yang bekerja membantu presiden yang sama: Ir Joko Widodo.

Tema debat: Pancasila, Tuhan, Kominis, dan Hal-hal Merampas Lainnya. Panggil keduanya di Istana Merdeka. Disiarkan secara LIVE oleh dua televisi-berita, live blog oleh web goal.com, serta live tweet oleh selebitas twitter yang ada di barisan penjabat BUMN Bapak Presiden RI Ir Joko Widodo.

Pancingan bisa dimulai dari kutipan kata-kata keduanya yang saling sikut, penuh sangkalan, dan saling membanting.

Marhaban Ya Sweeping Buku Kiri

Dampak dari Pengadilan Rakyat Internasional atau International People's Tribunal untuk korban pembantaian massal 1965 di Den Haag, Belanda (10-13 November 2015) melahirkan sebuah simposium terpenting sejak Orde Harto tumbang. Simposium Tragedi 1965 di Jakarta pada 18-19 April itu tak saja menunjukkan respons positif pemerintahan Jokowi atas pelanggaran berat HAM masa lalu, tapi juga menjadi panggung untuk melihat bagaimana elite politik dan para jenderal berpikir dan berkata-kata.

Salah satu kutipan paling penting dalam 18 tahun Reformasi berjalan saya kira yang diucapkan jenderal berdarah panas yang juga menjabat Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu: “Pancasila adalah ciptaan Tuhan”. Konteks ucapan itu adalah semua takfiri Pancasila mesti menyingkir sejauh-jauhnya jika ingin berhadapan dengan laskar dan jenderal-jenderal titisan Tuhan. Dan setelah itu, meledaklah di media sosial agitasi gerakan sapu bersih. Salah satunya isu sweeping buku.

Saat diskusi buku Ideologi Saya adalah Pramis di pergelaran “Jogja Itoe Boekoe” di pekan pertama Mei di UIN Sunan Kalijaga, Cak Udin (santri lapak buku murah) menceritakan pengalamannya yang tak tersebar luas ke media massa. Saat membuka lapak bertajuk “Buku Murah” di Gresik dan Pare-Kediri, Jawa Timur, semua buku kiri yang dijualnya dengan modal pas-pasan disikat dan diambil begitu saja oleh aparat yang katanya sudah mendapat mandat dari “atasan”.

02 January 2016

Lima Teladan Retro untuk Resolusi 2016

Saya hampir tak dapat bagian untuk melakukan tabulasi soal apa yang keren dan bangsat di tahun 2015. Kronik peristiwa penting 2015 dan segala keperihannya sudah dibikin Kompas, Tempo, Kedaulatan Rakyat, Nova, Misteri, dan Kokok Dirgantara. Ketika semua sudah menampilkan yang terbaik yang mereka kuasai, saya tiba-tiba ingat kemampuan saya yang sampai saat ini masih saya miliki: menggali sumur masa lalu yang bisa sampai di bulan Januari 1900.

Untuk itu, izinkan saya memberi Anda bayangan resolusi di 2016 lewat cerita teladan sejumlah lelaki muda pemberani yang sialnya dilahirkan oleh sebuah kurun bernama “1915”.

01 January 2016

12 Pesan Tahun Baru dari Politbiro CC PKI

Jika Politbiro CC PKI tahu bahwa di tanggal terakhir tahun lalu, anak muda terbaik dari Perkumpulan Praxis yang sebelumnya ditunjuk sebagai Komisaris Krakatau Steel di Cilegon terpilih sebagai Dirjen Kebudayaan Baru NKRI "Harga Mati", pastilah seluruh arwah yang terluka seluka-lukanya itu bersorak.

Ini tentu hadiah terbesar kekinian dalam kebudayaan progresif di tubuh kapitalisme birokrasi kebudayaan.

Tapi sayang sekali, tak ada pesan khusus Tahun Baru Terakhir dari Politbiro untuk bidang kebudayaan. Sebab ada yang lebih genting dan penting dari kebudayaan, yakni soal ekonomi dan inflasi, soal korupsi, soal dana perusahaan asing (aseng), soal transmigrasi, dan soal proyek padat karya di bidang pertanian. 

Sayang sekali ya! Kalaupun ada untuk Dirjen Kebudayaan Baru kita, ya pesan yang ke-4: berantas (kebudayaan) birokrasi yang boros uang negara. Sebab jabatan Eselon I itu ya jabatan politik, ya jabatan birokrasi juga. Mumpung di birokrasi, bereskan (kapitalis) birokrat yang menyaru bekerja untuk kebudayaan. Di luar soal "berantas kapbir" itu, CC PKI gak punya pesan khusus lagi buat Dirjen Kebudayaan Baru kita.

Tapi begitulah Politbiro itu. Mendahulukan apa yang real, apa yang dirasakan langsung oleh Rakyat ketimbang, ya sudahlah.

Inilah dua belas pesan Tahun Baru terakhir dari Politbiro CC PKI sebelum semuanya disembelih oleh sejarah. Sebuah pesan yang begitu optimistis bahwa kemenangan sudah di depan mata dan sekaligus begitu berat.

25 December 2015

CC PKI Mengucapkan Selamat Hari Natal. Damai ya Ummat!

Di pojok editorial Harian Rakjat, 24 Desember 1964--atau setahun sebelum penyembelihan besar-besaran terjadi--saya membaca ucapan Selamat Natal terakhir dari CC PKI untuk umat Kristiani di Indonesia.

Salah satu ciri dan isi terpokok daripada hari Natal, tulis editorial ini, adalah ajakan dan seruannya: Damai di Dunia.

"Dunia kita sekarang ini bukanlah satu dunia yang damai, tetapi yang 'gaduh'. Di Vietnam Selatan ummat Kristen tidak dapat merayakan hari Natal dengan suasana damai. DI Konggo demikian. Di mana2 imperialis menebarkan mesiu dan kemiskinan, dan mencegah ummat Kristen merayakan hari Natal menurut harapan agama mereka. Dan yang lebih keterlaluan lagi, ialah bahwa kedjahatan ini dilakukan kaum imperialis dengan sering2 menggunakan nama agama pula!" tulis PKI (yang tak beragama) ini.

Untuk memuluskan jalan cita-cita ummat Kriten dalam Natal itulah, kominis-kominis Indonesia ini menyerukan: "Marilah kita berjuang lebih hebat melawan segala ketidakadilan sosial, melawan imperialisme. Selamat Hari Natal, selamat berjoang!"




Dari luweng-luweng curam, dari galian pasir pantai yang gelap, muara Sungai Berantas, Bengawan, dan Ciliwung, Central Comite (CC) PKI mengucapkan selamat "Hari Natal" dengan harapan: "Bahagia bagi Umat Kristen Indonesia dalam merajakan Hari Natal 25-26 Desember. Semoga kebesaran Hari Natal ini lebih mendorong semangat perdjuangan untuk Persatuan Nasional dan Perdamaian Dunia". (Muhidin M Dahlan)

11 November 2015

Tak Ada Bung Tomo di Pertempuran 10 November

Pertempuran 10 November yang kemudian bertiwikrama menjadi “hari pahala-wan” adalah salah satu pertempuran paling mematikan dalam sejarah perang di Indonesia. Arek-arek Suroboyo bertempur habis-habisan untuk melawan sebuah ultimatum pendudukan setelah 84 hari kemerdekaan diproklamasikan secara hikmat di Jakarta Pusat.

Dan, Allahu Akbar, lahirlah sosok tokoh yang luar biasa jasanya dalam pertempuran paling mematikan itu. Namanya Sutomo. Dipanggil Bung Tomo, mungkin agar manusia pilihan jago nyangkem di mikrofon tidak melulu dimonopoli Bung-Yang-Satu-Itu; Bung yang ditegur Si Bung dari Surabaya ini pada akhir tahun 50-an karena mempraktikkan poligami di Istana Negara.

Mengherankan sebetulnya bagaimana nama Bung Tomo ini ujug-ujug jadi ikon utama pertempuran 10 November. Dalam prosesi penentuan 10 November dijadikan Hari Pahlawan, beberapa pemimpin inti laskar pemuda di depan Sukarno di Jakarta justru menihilkan siapa pahlawan utama dalam peristiwa yang menewaskan ratusan ribu orang dan melantakkan seluruh infrastruktur kota. Siapa gerangan si utama yang baik atau su-tomo itu, ya arek-arek Suroboyo secara keseluruhan.

02 November 2015

Dialita 65

Tiba-tiba saja saya berada di kerumunan Ibu-ibu paruh baya di ruang panitia Biennale Jogja di Jogja National Museum (JNM), Gampingan, Yogyakarta, 1 November 2015, malam. Secepat kilat, saya mengambil posisi jongkok. Dan klik. Kaget betul Astuti Ananta Toer karena kamera saya fokus ke putri Pramoedya Ananta Toer itu. Dan setelah itu Bu Besar, demikian ia biasa  saya panggil, menunjuk-nunjuk saya dan tertawa.

Di malam pembukaan Biennale Jogja, Astuti Ananta Toer termasuk dalam kelompok paduan suara yang tampil. Termasuk puteri Njoto, Irina Dayasih, yang bermandi keringat di "ruang sauna" JNM.

Kehadiran mereka di JNM tanpa tentara dan laskar di tengah keramaian pengunjung pameran seni rupa itu mengingatkan saya pada Ansambel Gembira Jakarta.

Mbah Tuti, Mbah Hartina, Mbah Elly, dan Mbah Murtini adalah anggota-anggota yang tersisa dari Ansambel Gembira Jakarta yang turut serta dalam paduan suara. Ansambel ini menjadi salah satu kelompok paduan musik di bawah Lembaga Musik Indonesia (LMI); salah satu komunitas kreatif Lekra di tahun 1960-an.

Keempat personel Gembira itu kini tergabung dalam kelompok baru bernama Dialita. Dialita yang merupakan akronim dari “Di Atas 50 Tahun” adalah salah satu kelompok paduan suara (choir) yang tampil di malam panggung pembukaan Biennale Jogja XIII.

22 September 2015

Wisata Sumur, Sebuah Panduan Rekreasi terhadap Warisan Agung Haji Muhammad Soeharto

“Pada suatu hari saya menebang pohon pisang dengan sebuah sabit.” (SOEHARTO)

Jika Anda bertanya ke mana rekreasi yang paling tepat di bulan September dan Oktober setiap guliran waktu, saya merekomendasikan museum Soeharto. Nama resmi museum yang dibuka untuk publik pada akhir Agustus 2013 ini adalah Memorial Jenderal Besar H.M. Soeharto.

Menggunakan bus, Anda bisa menjangkaunya melalui jalan Wates. Selain seliweran kendaraan, tak ada yang bisa dinikmati dari Pasar Gamping hingga bangjo (Polres) Sedayu (berjarak 6 kilometer). Sampai di perempatan, belok kanan dan melajulah dengan kecepatan sedang sejauh 2 kilometer. Aspal mulus dan dipastikan sampai setelah melewati rel kereta api dan dua dusun: Panggang dan Kemusuk Kidul. Dua kampung itu masuk dalam wilayah administrasi Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tapi jika Anda penyuka hidup lambat dan sehat alias naik sepeda, saya rekomendasikan lewat Gamping. Rutenya: Pertigaan Patukan, Ambarketawang (sebelum rel dan stasiun kecil Patukan), belok kiri, lalu Anda bisa menikmati hamparan sawah dan ladang marhaen-marhaen Godean sepanjang Jalan Bibis (Patukan-Rewulu). Sebagaimana nasib yang selalu menimpa "jalan alternatif", ya jalan kurang mulus, banyak lubang, dan tentu saja berdebu. Sampai pada pertigaan Balai Benih Ikan, belokkan stang sepeda Anda ke kiri: lewati jalan beraspal Dusun Sembuh Kidul (Rewulu), Puluhan (Argomulyo), hingga Kemusuk Lor (Argomulyo).

20 September 2015

A Sibarani, Budaya Visual, Satyalancana

Pada 18 Januari 2015 esai saya tentang Agustin Sibarani dan kultur karikatur dalam sejarah jurnalistik dimuat di lembar Ruang Putih koran Jawa Pos. Sembilan bulan kemudian pemerintahan Joko Widodo menganugerahkannya Penghargaan Satyalancana di Bidang Kebudayaan.
 

Bersama Kotot Sukardi (film), pemberian anugerah kepada A Sibarani ini tergolong pikiran maju. Dua orang yang selalu berada di saf depan menggerakkan politik-budaya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) ini mendapatkan pengakuan pemerintah yang selama setengah abad bersama lapisan Masyarakat-Yang-Tercuci berada dalam bayang-bayang ketakutan ciptaannya sendiri.
 

Bukan kebetulan juga, dua seniman kiri yang mendapatkan anugerah Satyalancana Kebudayaan ini memiliki arsiran dengan dunia film. Kotot Sukardi adalah sutradara kiri terdepan sekaligus pengurus pusat Lekra dan A Sibarani adalah penulis film di Bintang Timur, selain tentu saja perupa dan penulis karikatur. Dan keduanya adalah pembela politik Sukarno yang keras kepala.

17 September 2015

Kotot Sukardi dan Satyalancana Kebudayaan

Allahu Akbar! Kotot Sukardi akhirnya dianugerahi Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI di tahun 2015. 

Siapa Kotot Sukardi?

Ekky Imanjaya menemukan secuitan informasi mengenai Kotot di majalah Film Varia di Film Museum Amsterdam dan KITLV Leiden. Catatan yang kemudian ditulis Ekky di Amsterdam Surprises (2010:142) itu kita menemukan frase "Kotot Sukardi" yang hanya dikutip untuk menjelaskan bahwa Basuki Effendy yang filmnya berjudul Pulang menerima medali di Festival Film Internasional Karlovy Vary ke-8 punya seorang senior di Lekra bernama Kotot Sukardi.

Nama Kotot juga disebut A Teeuw di buku Modern Indonesian Literature (1967: 110) sebagai penulis naskah drama Bende Mataram yang berlatar Perang Jawa (1825-1830). Dan lagi-lagi nama Kotot juga disebut dalam barisan "daftar" di buku Yudiono K.S. yang berjudul Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (2007:94).

Ketika sampai pada pembahasan soal seni, buku Sejarah Nasional Indonesia VI (1975: 408) mencatut nama Kotot, lagi-lagi dalam "daftar", tapi dalam wajahnya yang suram di kereta gelap sejarah sebagai "tokoh-tokoh seniman dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah ormas PKI yang mendukung konsepsi Presiden Soekarno dan mendesak agar seluruh kehidupan seni diperpolitikkan sesuai garis partai mereka".

30 March 2015

Dua Hari untuk Film Nasional

Jamak diketahui syuting pertama film besutan Usmar Ismail, “Darah dan Doa” atau populer dikenal “The Long March” dijadikan sandaran penetapan Hari Film Nasional. Tapi Hari Film yang kita peringati setiap tahunnya ini tak berlangsung mulus di era perkubuan politik film hingga pemerintahan Sukarno tumbang.

Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik adalah satu kubu. Kubu lain adalah sutradara-sutradara kiri yang berafiliasi politik pada semangat Asia Afrika; termasuk di dalamnya Sukarnois di lingkaran BMKN/PNI, PKI, Lekra.

Posisi Usmar dalam perkubuan politik film ini ambigu. Terutama Usmar. Di satu sisi, ia adalah eksponen Lesbumi-NU yang menjadi sekutu dalam lingkar Nasakom. Mestinya posisinya “aman” saat politik Sukarno condong ke kiri. Sebab bagaimana pun NU adalah saudara politik PKI dan PNI di bawah Sang Bapak Pengasuh.

08 March 2015

Setengah Abad Api Diponegoro (Di)padam(kan)

"Kita pewaris2nya jang absah ini, harus melandjutkan api Diponegoro bernjala terus. Abadilah dikau!" ~ Editorial Harian Rakjat, 8 Januari 1955, hlm 1

Episode terakhir Java Oorlog dihidupkan kembali lewat eksibisi seni rupa di Galeri Nasional, Jakarta, pada 6 Februari - 8 Maret 2015, dengan tema: “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh Hingga Kini”.

Selama satu purnama karya Raden Saleh berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro”(1857) dipamerkan secara bersama-sama dengan karya seniman lain seperti Aditya Novali, Basuki Abdullah, Chusin Setyadikara, Eddy Susanto, Eldwin Pradipta, Entang Wiharso, Galam Zulkifli, Guntur Triyadi, Harijadi Sumodidjojo, Heri Dono, Indyra, Maharani Mancanegara, Manguputra, Nasirun, Oscar Matuloh, Pupuk Daru Purnomo, Raden Saleh, Soedjono Abdullah, Sri Astari, Srihadi Soedarsono, dan S.Sudjojono.