Showing posts with label Jalan Sunyi. Show all posts
Showing posts with label Jalan Sunyi. Show all posts

04 December 2010

Sepotong Sajak Cinta – Muhidin M. Dahlan

Karena engkau begitu agresif dengan energi
keaktifan yang luar biasa, sedangkan aku hanyalah
cunguk yang sering meringkuk dalam kediaman yang
bisu, maka kita berhitung

Karena engkau adalah perempuan yang lahir dari
tradisi mall, sedangkan aku hanyalah seorang kumuh
yang hanya sanggup berada di antara deretan aksara
buku yang seakan-akan kuat tapi sesungguhnya
rapuh, maka kita berjarak

Karena engkau berpedoman pada jenis cinta yang
erotis, sedangkan aku lebih memahaminya sebagai
sabda-sabda yang suci, maka kita berbeda akar
Karena engkau mengatakan aku butuh kolam buat
ikan sepertimu, maka kita bercarai hati

Karena engkau berkhianat, maka cinta apa lagi yang
diharapkan di sana. Sebab kalau pun kupaksa hidup
dalam kolam khianat, toh aku mati juga dalam
ganggang dalam lumpur dalam gelembung keperihan
yang sudah-sudah

Aku sudah melihatnya–melihatnya sudah
Aku sudah mengetahuinya–mengetahuinya sudah

Dan aku memutuskan: sampai di sini saja hubungan
kita yang paling dingin dan aneh ini. Lain
waktu bisa bertemu lagi. Itupun kalau kamu masih
percaya pada pertemuan waktu


Catastrova Prima: lahir di Pati, Jawa Tengah. Besar di sana juga, tapi akhirnya hijrah ke Semarang dan berharap bisa menetap di luar Jawa. Penyuka hening dan penikmat keindahan. Suka tertawa dan membuat orang lain tertawa. Muda, sehat, serta memilih bahagia. Bermimpi bisa keliling Indonesia bersama seorang suami yang hebat.

Sumber: catastrovaprima.wordpress.com

11 November 2008

Catatan Buat Muhidin M Dahlan

::uyab

Saya tidak mengenalnya terlampau jauh. Kecuali sekadar mengenal tingkah polahnya yang tak kenal diam di dunia perbukuan. Lewat karya-karyanya yang berani. Berani menghentak dan berani pula ia pertanggungjawabkan.

Semua bermula di medio 2004, saat saya sedang menyusuri selasar buku di perpustakaan Kota Malang,saya secara tidak sengaja menemukan buku dengan sampul cokelat muda dengan gambar seorang anak muda dengan membonceng begitu banyak buku. Judul buku itu "Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta".

Isi buku itu semacam memoar darinya tentang perjuangannya menekuni dunia buku yang penuh gigil dan karib dengan keterasingan. Ia yang hijrah dari tanah kelahirannya di pesisir pantai di kawasan Sulawesi menuju kota pelajar Djogjakarta. Menempuh pendidikan ilmu sipil, dan tidak selesai karena kegilaannya berkutat dengan dunia buku. Dilanjutkan dengan studi peradaban islam di salah satu perguruan tinggi islam kenamaan, tapi lagi-lagi tidak selesai.Kausalnya sama, ia terlampau jatuh cinta pada sunyi senyapnya dunia perbukuan. Di tanah Djogja ia belajar menulis ke media. Dan lebih sering ditolak daripada diterima. Namun penolakan itu tidak membuat cintanya pada dunia pustaka patah arang.

Setahu saya, buku itu bermetamorfosa sekian kali. Dari sekedar ganti cover,ganti penerbit, hingga berganti judul menjadi "Jalan Sunyi Seorang Penulis.."

Selebihnya, saya mengenal di sedikit lebih jauh. Lewat esai-esainya di koran, buku-buku sufistiknya, dan karya-karya lanjutan yang kontroversial. "Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Seorang Pelacur", "Adam Hawa", "Kabar Buruk dari Langit ", adalah buku-buku yang membuatnya diburu banyak orang dengan gemertak amarah dan tangan terkepal. Pernah saat saya mengahdiri salah satu acara bedah buku di atas tadi, ada seorang aktivis yang dengan amarah memuncak menghujatnya, mencapnya murtad, menyuruhnya keluar dari Islam. Bahkan ada yang bilang darah dari pria yang kerap di sapa Gus Muh ( bukan Gus Muh yang ahli pengobatan alternatif itu ) halal dialirkan.

Pernah juga Majelis Mujahidin Indonesia, organ yang mengklaim sebagai kumpulan mujahid dan ahli surga itu mengirimkan somasi terkait dengan salah satu karyanya yang mereka anggap kurang ajar dan tidak beradab. Perlakuan yang similar dengan The Satanic Verses-nya Salman Rushdie.

Keberaniannya mengundang banyak cekal dan amis aroma teror.

Dan ia tak bergeming.

"Penulis berwarna, pembaca berwarni', tanggapnya di salah satu tulisannya.

Saya tidak mengenalnya, bahkan pernah berbincang dengannya pun tidak.Tapi saya belajar banyak darinya. Setiap jengkal pilihan, menuntut setiap jengkal konswekensi. Dan perjuangan mewujudkannya bukan rajutan dari omong kosong yang membuat telinga pekak.

Kali ini ia tidak mau berhenti. Mengajak sekumpulan penulis muda yang belum genap berumur 25 tahun, melakukan riset gigantik menelusuri rekaman sejarah bangsa ini dan menuliskannya ulang lewat karya yang luar biasa ( baik kualitas maupun tebalnya ) bertajuk " Kronik Seabad Kebangsaan Indonesia: 1908-2008 "

Tidak hanya itu, bersama Rhoma Dwi Aria, perempuan jelita asal Djogja, ia bekerjasama melahirkan "anak kembar tiga " mereka : Trilogi Lekra Tidak Membakar Buku. Trilogi yang (lagi-lagi) terlahir dengan upaya susah payah meriset. Tiap hari sekitar 15-18 jam mereka berkutat dengan Harian Rakyat tahun 1950-1965. Tidk diijinkan memfotokopi. Apalagi menggunting. Alhasil, mereka harus menyalin dengan tulisan tangan, lalu merangkainya kembali. Pernah pula,mereka terjaga tiga hari tiga malam bergelut tanpa jeda dengan aroma sengak koran. Semuanya adalah upaya agar sejarah tidak lenyap. Lenyap karena dimakan ngengat ataupun karena terlupakan ingatan ..

Saya tidak mengenal dia.Dan sungguh, tanpa pretensi dan tendensi apa-apa saya melabur halaman ini dengan tulisan sederhana ini. Saya hanya mengapresiasi laku dan suluk yang ia tempuh. Bentuk rasa salut terhadap energi yang ia bawa susah payah, dan semoga saya bisa tersabet radiasinya. Semacam bentuk iri yang menguatkan langkah, bahwa setiap orang terlahir terluka, tapi menyerah karenanya adalah pilihan yang tidak memberikan apa-apa.

Sumber:

10 February 2008

Membangkitkan Jiwa Sastra Saya

::bookslavrs

Sebuah pengakuan dari seorang sastrawan mengenai kisah hidupnya sendiri. Berisi pengalaman-pengalamannya mencari jati diri, berinterkasi dengan manusia disekitarnya, berdialog dengan dirinya sendiri dan Tuhannya. Dengan bait-bait puisi yang galau! Terhadap seorang wanita yang tidak bisa disampaikannya melalui ucapannya. Uh! So sad..

Didalam buku ini tergambar emosi kejiwaan Muhidin M Dahlan begitu dalam. Bagaimana perjuangannya mempertahankan untuk tetap bisa makan hari ini, dengan terus mengirm tulisan-tulisannya kepada koran ternama di Indonesia. Perjuangan yang tak putus asa akhirnya membuahkan hasil. Tulisannya di muat di kolom opini sebuah koran tenar di halaman 4, yang pada saat itu adalah halaman angker, tidak semua penulis bisa menerobosnya. Sebuah kebanggan bagi dirinya dan mengangkat derajat dirinya di hadapan kawan-kawan seorganisasinya. Dengan sepeda kumbang tua khas Jawa, mencerminkan kesengsaraan hidupnya yang miskin.

Tulisan-tulisannya hampir sering dimuat di kolom tersebut pada koran yang sama. Tetapi ia tetap saja hidup sengsara. Ironis! Sebetulnya buku ini adalah hasil dari seorang wanita yang sempat mewawancarainya di Jogja. Ia membukukan karya M Dahlan karena rasa penghormatan kepada beliau sebagai sastrawan Indonesia yang benar benar berjiwa sastra, melekat ke hati. Sampai-sampai ia mengakhiri hidupnya dengan tertabrak sebuah bus pada saat akan pulang dengan memboseh sepeda tuanya.

Tragis!

Cerita ini begitu menyentuh emosi saya, menggugah perasaan dan mempermainkan gejolak hati ketika membacanya. Bagaimana ia menentang dosennya yang dianggapnya gila ketika ia menjadi seorang Mahasiswa jurusan yang tidak ada hubungannya dengan dunia sastra sama sekali! Ini yang membangkitkan jiwa sastra saya!! Rreerrr..

Buruan baca untuk mengasah kemampuan sastra kalian. Selami ceritanya, pahami gejolak sang penulis ketika menulis sebuah puisi! Wuiih.. Beracun!

Jalan Sunyi Seorang Penulis
Penulis: Muhidin M Dahlan
Penerbit: ScriPtaManent 2005

28 September 2007

Berawal Dari, "Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta"

::gegen

“Di Bali yang tidak seutuhnya Bali,
aku belum menemukan secuil surga.”


Tinggal di kota yang baru, tentunya membutuhkan adaptasi yang lama, apalagi orang seperti aku yang sudah terbiasa dengan suasana Jogja, kota tempat aku tinggal dulu. Mungkin karena itulah, hari-hari di kota ini selalu aku lewati dengan kehampaan dan kesendirian. Dan dengan kesendirian dan kehampaan itu pula aku bertemu dengan Muhidin M Dahlan, Puthut EA, dan Eka Kurniawan, orang-orang yang tidak saja mengingatkankan aku akan Jogja, namun juga orang-orang yang telah membuat aku “sedikit” menyukai sastra.

Sudah hampir setahun aku tinggal dan bekerja di kota Denpasar. Berarti sudah hampir setahun pula aku meninggalkan Jogja, kota yang begitu aku sayangi dan kangeni. Hari-hari pertama aku tinggal di Denpasar, tidak banyak hal yang bisa aku kerjakan, pagi-pagi jam 8 aku sudah bersiap untuk berangkat kerja, menjelang sore jam 5 aku sudah balik lagi ke kos, malamnya aku gunakan untuk nonton tv. Sedangkan kalau malam minggu tiba, aku biasa melewatinya dengan minum arak di Togog, tempat yang biasa dijadikan tempat minum oleh anak-anak muda Bali.

Di Togog, selain rasa araknya yang “halus”, kalau lagi beruntung kita bisa minum bareng dengan para ABG (Anak Baru Gede) cewek Bali yang dandanananya kadang kelewat seksi dan dewasa dibanding dengan umur mereka. Biasanya setelah acara minum, kita bisa mengajak mereka pulang ke kos, enak bukan? Tapi kalau lagi nggak beruntung, kepala sudah berat, dan tubuh sudah ingin dihangatkan, tenang saja, di jalan DT (Danau Tempe) di kawasan Sanur dan di PGL (Padang Galak), masih banyak kafe yang menyediakan cewek-cewek cantik untuk kita kencani, harganya murah, kalau yang di DT tarifnya 50 ribu rupiah, kalau di PGL tarifnya 30 ribu rupiah. Dibandingkan dengan Sarkem Jogja, cewek-cewek di DT dan PGL masih lumayan (Ada yang mau coba?? He..he..).

Hal seperti itu sudah hampir enam bulan aku lakukan. Aku emang sengaja tidak banyak bergaul dengan orang-orang, entah itu teman kerja atau orang di luar tempat kerja. Nggak tau, aku males aja memulai sebuah persahabatan dari awal. Bukannya aku menutup diri, namun lebih karena suasana Bali, kurang begitu berkenan di hatiku. Semua diukur dengan uang, gaya hidup yang hedonis, pop culture, dan beragam budaya lainya. Mungkin karena dampak dari (industri) pariwisata Bali. Kadang aku berpikir bahwa aku tidak sedang hidup di Indonesia. Di Bali aku merasa asing, Bali lebih dekat dengan budaya barat ketimbang dengan budayanya sendiri. Pariwisata telah membuat masyarakat Bali berada dalam persimpangan, antara mempertahankan nilai budayanya atau menjual nilai budaya mereka, dengan tujuan menggaet tamu untuk datang ke Bali, dan dengan itu, tentu saja dolar yang mengalir deras.

Satu hal lagi yang membuat aku enggan untuk bergaul, yaitu pandangan orang Bali yang selalu curiga terhadap warga pendatang (dari luar Bali). Untuk yang satu ini aku bisa maklumi, mereka begitu trauma dengan peristiwa pemboman yang telah memisahkan mereka dengan anak, suami, istri, kerabat, dan tentu saja dengan tamu mereka. Peristiwa pemboman telah menghanguskan dolar mereka, membuat mereka harus rela berhenti dari pekerjaan sebelumnya entah itu pelayan restoran, room boy, sopir, satpam hotel, atau keamanan diskotek dan memaksa mereka untuk lebih kreatif dalam bertahan hidup. Dipelopori oleh Bali Post dan Bali TV, para tokoh masyarakat Bali kini gencar mengampanyekan slogan “Ajeg Bali”. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan keaslian budaya Bali, namun dalam prakteknya “Ajeg Bali” lebih dimaknai dengan pembersihan Bali dari berbagai budaya luar yang dibawa oleh pendatang, terutama oleh para pekerja dari luar Bali.

Jangan heran kalau sekarang banyak orang Bali yang berprofesi sebagai penjual bakso, penjual sate, dan tukang cukur. Papan nama warung atau salon mereka biasanya di tulis “Bakso Krama Bali”, “Sate Krama Bali”, dst. Sebelumnya jenis pekerjaan tersebut lebih banyak di tekuni para pekerja yang sebagian besar datang dari pulau Jawa, Madura, dan Lombok. Bahkan di salah satu adegan iklan yang ditayangkan oleh Bali TV, “seorang anak mengingatkan temanya yang ingin makan bakso, untuk tidak beli bakso di mas, tapi di bli aja”. Program “Ajeg Bali” menurutku menyimpan potensi konflik horizontal, karena aksi puncak dari program ini adalah sweeping terhadap pendatang. Hal ini pernah diungkapkan oleh Henk Schulte Nordholt dalam bagian pengantar buku “Bali, Narasi Dalam Kuasa Politik & Kekerasan di Bali” yang ditulis oleh penulis muda Bali sendiri yaitu I Ngurah Suryawan. Patut disayangkan memang, masyarakat Bali belum memahami bahwa hidup ini sejatinya adalah pertempuran.

Dari itu semua, kadang aku merindukan suasana Jogja. Entah itu malam Jogja yang hangat, kawan yang tulus, Gunung Merapi dengan kabut pekatnya, angkringan, dan ciu. Namun rasanya aku tidak punya cukup waktu untuk selalu berkunjung ke Jogja. Bukan apa-apa, jarak Denpasar-Jogja lumayan jauh, dan tentu saja uangku tidak cukup banyak untuk bisa selalu pulang ke Jogja. Akhirnya aku cukup puas dengan hanya mendengar atau membaca berita tentang Jogja.

Di saat-saat seperti itulah aku mulai tertarik untuk membaca buku. Kebetulan sewaktu meninggalkan Jogja, aku juga membawa beberapa buku, yang aku beli di sela-sela rutinitas mengantarkan pacarku jalan-jalan ke mall untuk beli baju atau hanya buat nemenin makan. Saat pacarku memilih baju di lantai atas Malioboro Mall, aku kadang sempatkan diri untuk turun ke lantai dasar, ke toko buku Gramedia. Aku males kalau pacarku mulai meminta pendapat dan saranku tentang warna, corak, model baju, celana, atau barang yang akan ia beli. Tetapi, buku-buku yang aku beli di Gramedia dan kadang-kadang di toko buku Social Agency tidak pernah aku baca. Lebih tepatnya tidak pernah selesai aku baca, karena terus terang ketika di Jogja, waktuku lebih banyak tersita pada rutinitas nemenin pacar, acara naik gunung, mabok, dan tentu saja kegiatan MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam), organisasi tempatku beraktifitas.

Buku-buku yang selama ini aku diamkan, satu-persatu mulai aku buka dan baca. Aku masih ingat, dari sekian buku-buku yang aku punya, hanya satu buku yang selesai aku baca yaitu bukunya Tan Malaka, Madilog. Buku itu sangat mempengaruhi hidupku dan sampai sekarang masih aku kagumi. Walaupun seorang Frans Magnis Suseno pernah mengatakan dalam bukunya Di Bawah Bayang-bayang Lenin, bahwa pemikiran Tan Malaka telah usang, namun aku masih beranggapan bahwa Tan Malaka masih merupakan sosok yang sulit dicari tandingannya. Selain Madilog, tema buku yang aku beli waktu itu kebanyakan tentang kajian agama, filsafat, sejarah, dan politik. Saat itu aku masih dipusingkan dengan pertanyaan seperti “manakah yang pertama?”, “benarkah Tuhan itu ada?”, dan “masih bergunakah agama?”, serta beberapa pertanyaan filsafat klasik lainya.

Sedangkan sastra?

Waktu itu aku sama sekali tidak punya satu buku sastra pun, entah novel, cerpen, puisi, atau karya sastra lainnya. Saat itu aku belum banyak tahu tentang sastra, walaupun disetiap hari minggu aku selalu menyempatkan diri untuk membaca cerpen, baik yang di muat di harian Kompas maupun di harian Jawa Pos. Namun secara garis besar aku belum punya minat besar terhadap sastra, aku belum mengetahui bahwa didalam karya sastra terdapat pesan moral yang yang ingin disampaikan pada pembacanya, bahwa didalam sastra terdapat nilai humanisme yang dalam, dan aku juga belum tahu bahwa, banyak orang-orang yang mengubah jalan hidupnya setelah membaca karya sastra dari seorang penulis. Roman seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan, Rumah Kaca (Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer) masih samar dan asing di telinga ku.

Kini aku punya kebiasaan baru di setiap hari minggu sore, jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Biasanya rak yang kutuju pertama kali adalah rak buku filsafat. Niat awalku adalah mencari buku tentang filsafatnya Karl Max. Karena rak buku filsafat berdekatan dengan rak buku sastra, aku iseng aja ke rak buku sastra, sampai mataku tertuju pada sebuah buku bersampul merah hitam, berada di rak paling bawah, dan tinggal satu-satunya. Buku itu berjudul “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta“ karya Muhidin M.Dahlan.

Setelah membaca sebentar akhirnya aku putuskan untuk membeli buku itu. Sesampai di kos aku langsung membaca lembar demi lembar buku karya Muhidin itu. Membaca buku Muhidin, aku seperti dibawa menyusuri jalan-jalan dan tempat-tempat yang pernah aku kunjungi. Membaca karya sastra memang kadang menenggelamkan angan kita ke dalam cerita si penulis, bagaimana ketika si “aku” tinggal di asrama di depan pasar Sentul, atau ketika ia bercerita tentang lokasi kampusnya di daerah Karang Malang (Jogja). Walaupun pengalamanku jauh berbeda dengan pengalaman si “aku” dalam buku itu namun aku tetap merasa dekat dengan pengalaman si “aku”. Mungkin karena aku dan si “aku” sama-sama pernah tinggal dan merasakan suasana yang sama. Bahkan ada beberapa pengalamanku yang sama dengan pengalaman si “aku” atau mungkin juga dengan siapa saja yang pernah tinggal di Jogja, yaitu ketika bagaimana si ”aku” harus makan siang ketika waktu sudah menjelang sore, atau yang lebih sama lagi ketika ia berkencan dengan cewek di Sarkem. Untuk yang satu itu, aku sedikit berbeda. Bedanya adalah: aku ke Sarkem tidak pernah membawa buku Madilog, dan tidak lagi frustasi karena ditolak cintanya. “Kunjungan”ku ke Sarkem lebih dikarenakan pengaruh ciu yang tak terkontrol yang aku tenggak bersama teman-teman di Posko MAPALA. Pengalaman yang tidak bisa aku tandingi adalah kecintaan si ”aku” terhadap buku, dan bagaimana si ”aku” mengandalkan hidupnya dari menulis, sebuah pengalaman yang sulit aku lakukan.

Dari buku Muhidin itu pula, aku semakin rajin ke toko buku untuk mencari buku-buku yang sepintas diceritakan di dalam bukunya, seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer, penulis besar yang namanya sepintas saja pernah aku dengar, dan belakangan aku tahu ternyata Muhidin adalah seorang Pramis. Hal itu aku ketahui dari tulisan Muhidin yang dimuat di harian Jawa Pos beberapa hari setelah kematian Pram. Dari itu semua yang tentu membuat aku semakin semangat membaca buku Muhidin adalah ketika ia menyebut nama Puthut. Mengenai Puthut, aku pernah bertemu dengannya pada acara pendakian ke puncak Merapi, dalam rangka peresmian pendirian PURPALA, sebuah komunitas pencinta alam, tempatku biasa nongkrong bersama Bang Eko. Bang Eko inilah yang aku tahu berteman dengan Puthut. Satu hal yang masih aku ingat pada diri Puthut adalah ketika ia heran mengapa kami mengambil air mentah untuk bekal pendakian, suatu hal yang menurutku biasa dilakukan oleh semua pendaki.

Yang aku tahu, selama pendakian Puthut tidak minum air mentah itu, dan hanya minum air mineral yang ia bawa. Kala itu aku belum menyadari bahwa aku mendaki bersama orang yang kelak buku-bukuya aku koleksi. Cerpen Puthut yang aku baca pertama kali adalah Sisa Badai di Sepasang Mata, (Kompas,13/7/2003) yang aku baca di atas bus yang membawaku dari kota Surabaya ke kota Jogja. Sampai saat ini aku sudah punya lima buku karya Puthut, yaitu tiga kumpulan cerpen, satu naskah drama, dan satu novel debutannya (Cinta Tak Pernah Tepat Waktu).

Aku masih mencari novel adaptasi dari film, Bunda, dan kumpulan cerpen yang berjudul Sebuah Kitab yang Tak Suci. Bagian novel debutan Puthut yang paling aku suka adalah bagian yang menceritakan keberadaan surga-surga kecil. Kalau memang surga-surga kecil itu ada, aku ingin sekali berkunjung ke surga kecil yang ada si Salatiga, di mana di sana ada Sanggar Merdeka. Rasanya akan sangat menyenangkan bila berada di tengah-tengah orang seperti yang diceritakan dalam novel itu. Dari novel Puthut itu pula aku mengenal Eka Kurniawan, yang di novel Puthut itu selintas disebut novel Eka Kurniawan (Cantik itu Luka).

Pada bagian akhir novel diceritakan Muhidin, Puthut, dan Eka duduk satu meja dalam acara minum kopi bersama. Belakangan aku ketahui kalau Eka dan Puthut dulunya kuliah di fakultas yang sama. Mengenai Eka, sebelum memiliki novelnya Puthut, aku sudah membaca dua karya Eka, Lelaki Harimau, dan Cinta Tak Ada Mati. Cerpen Eka yang sering aku baca adalah Surau. Cerpen itu seakan memberikan aku jawaban akan sikapku yang hampir empat tahun tidak pernah sholat. Tetapi itu bukan berarti aku menjadikan cerpen Eka tersebut sebagai pembenaran akan keabsenanku dalam mendirikan sholat selama ini. Masalahnya adalah pergulatanku dengan pembahasan “Tuhan dan Agama” belumlah final.

Aku merasa dekat dengan ketiga orang tersebut (Muhidin, Puthut, dan Eka), bukan hanya karena mereka mengingatkan aku pada Jogja, namun lebih karena karya-karya mereka merupakan cerminan dari perasaanku selama ini, dan tentunya sedikit banyak memberi jawaban atas kegelisahan atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini aku lamunkan baik menjelang tidur, maupun ketika naik sepeda motor.

Aku tidak pernah merasa menyesal mengapa baru sekarang aku kenal dengan mereka (Eka dan Muhidin waktu itu masih di Jogja nggak ya?) dan tidak saat aku tinggal di Jogja. Bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, aku sudah cukup puas dengan apa yang aku dapatkan di Jogja dulu. Seandainya dulu aku kenal mereka tidak menjadi jaminan bahwa aku akan bisa menghargai karya mereka. Aku sudah cukup akrab dengan mereka walaupun dengan hanya membaca karya mereka dan sesekali mencari informasi tentang mereka lewat mesin pencari di internet. Aku merasa beruntung dapat membaca karya-karya mereka, karena dari karya mereka itulah aku dapat mengenal sastra walaupun masih sebatas “suka” dan menjadi jembatan untuk aku mengenal karya-karya penulis sastra lainya. Entah itu dari dalam maupun luar negeri, dan tentu saja menambah koleksi bukuku, karena setiap membaca judul buku yang di singgung dalam karya mereka aku selalu berusaha mencari buku tersebut.

Berawal dari nostalgia akan Jogja, Muhidin telah menyeret aku lebih jauh ke dalam dunia yang sebelumnya aku abaikan. Dari Muhidin, Puthut, dan Eka lah, aku mengerti bahwa sesungguhnya hal tersulit dalam hidup ini adalah menjadi manusia yang seutuhnya manusia. Seperti yang sering dikatakan Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia. Mungkin yang dimaksud Multatuli adalah manusia yang bisa menciptakan atau menemukan surga kecil bagi sesamanya, tempat manusia merayakan kehidupan.


* Gegen
Tinggal di Bali. Seorang buruh bengkel. Dulu pernah kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi “AAN” Yogyakarta (2000-2004). Pernah bergiat di MAPALA “AGNY” (2000-2004), Komunitas PURPALA, Lembaga Pers Mahasiswa “PIJAR” (2003-2004). Sekarang bergiat di Forum Pemuda Pemudi Bersatu “FP2B” Lombok Timur (2004-Sekarang). Pernah jadi Ketua Tim dalam acara pendakian 5 gunung di Jawa Timur (Gunung Argopura, Raung, Arjuna, Welirang, dan Semeru )

05 August 2007

Manifesto Menulis

:: sinar bulan

Sepanjang perburuan hampir satu tahun lamanya, saya tidak tahu bahwa buku ini bergenre novel. Kenyataan itu baru terkuak setelah Jalan Sunyi Seorang Penulis (JSSP)berada di tangan, dalam arti dibuka plastiknya di rumah. Saya belum tahu juga kala meraihnya dari sebuah etalase di outlet Lawang Buku.

Beberapa waktu sebelumnya, saya sempat googling dan menyambangi blog khusus resensi karya-karya Muhidin. Niatnya mencari wajah baru JSSP karena begitu sukar mendapatkannya di toko buku (baca: Gramedia). Ternyata kali ini GM Merdeka tidak keliru menempatkannya di rak novel. Kendati hurufnya kecil-kecil menyiksa penglihatan, tidak dapat disangkal bahwa buku ini enak dibaca.

Seratus halaman berlalu dalam sekedip, dan saya tergoda untuk meneruskannya setiap kali waktu terluang atau ingin meregangkan benak dari aktivitas kerja. Betapa tidak, setiap paragrafnya mengalir dan jarang sekali ditemukan pengulangan kata - jika bukan atas nama keindahan ramuan kalimat. Hal ini menunjukkan bahwa Muhidin pelahap buku yang rakus dan senantiasa subur akan variasi diksi. Usai membaca profilnya di bagian muka, tak urung timbul sangkaan bahwa novel ini merupakan memoar Muhidin sendiri.

JSPP konon adalah sebentuk revisi dari "Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta". Syukurlah judulnya diganti sehingga lebih melodius dan klop dengan untaian 'Manifesto Menulis' di sampul depan, "Ingat-ingatlah Kalian hai penulis-penulis belia, bila kalian memilih jalan sunyi ini maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya."

JSPP tak pelak suatu hidangan yang teramat unik. Selama ini, pembahasan mengenai profesi penulis nyaris identik dengan gemebyar pundi-pundi penuh royalti, popularitas yang hampir instan, dan warna-warna cerah nan semarak lainnya. Karakter penulis dalam JSPP mengungkap suatu warna lain yang pekat lagi kelam sepanjang jatuh-bangunnya, usahanya untuk bertahan hidup, bahkan saya turut menangis sambil tertawa getir kala si karakter membayangkan Karl Marx menjelma dari rak bukunya. Judul-judul bab yang relevan kian menjadikan buku ini sedap disimak.

Setelah membaca JSPP, kemampuan saya berbahasa gaul kian pudar. Terus terngiang aneka kata di dalamnya, misalnya 'bersicepat'. Inilah hasil mengincar yang tidak sia-sia sama sekali.

Judul: Jalan Sunyi Seorang Penulis
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: ScriPtaManent
Cetakan: I, Maret 2005
Tebal: 325 halaman
Beli di: Rumah Buku Alebene, Bandung


* Dicopy-paste dari situs pribadi Sinar Bulan

20 May 2007

Sebuah Buku tentang Buku

::alex r nainggolan, www.cybersastra.net


"Scripta manent verba volant—yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin."

Petikan di atas saya nukil dari buku Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta karya Muhidin M Dahlan. Bagi saya buku ini cukup unik, berisi sebuah catatan yang bermakna secara menyeluruh atau, tepatnya, mewakili keseluruhan karakter hidup penulisnya. Tentang bagaimana berharganya sebuah tulisan meskipun toh untuk membuat yang benar-benar abadi teramat sulit. Tulisan memang wujud yang unik dari kebudayaan manusia. Sebuah bentuk yang mungkin sudah ada sejak lama, ketika para manusia purba membuat catatan-catatan yang dipenuhi lambang di gua-gua gelap dan pengap.

Sebuah gelombang dan hentakan yang tak begitu dashyat, tetapi cukup untuk menenggelamkan kita dalam untaian sebuah cerita. Cerita yang ternyata dipungut dari keseharian yang biasa. Ihwal pergolakan batin pribadi, proses pencarian diri yang tak kunjung bertemu pada titik harapan pasti, dan sebagainya. Hannah Arendth mengemukakannya dalam sebuah ungkapan, “Derita menjadi tertanggungkan, ketika ia menjelma cerita.” Potret kehidupan yang tak utuh itulah yang ternyata sanggup membuat kita terharu. Sebuah perlambangan yang mungkin teramat kelabu, posisi seorang penulis menjalani hidupnya sendiri.

PADA mulanya saya rada kecewa ketika membaca buku ini secara keseluruhan. Halaman pembuka yang berisi catatan pembuka mengapa transkripsi ini disusun—yang bermakna isi keseluruhan buku ini—, ternyata mengelabui. Bagi saya memilih buku untuk dibeli bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi di sebuah toko buku dengan pembacaan berdiri dan kaki yang pegal sehingga mesti cepat-cepat memutuskan untuk membeli buku. Mulanya memang saya benar-benar tertipu, saya hanya membaca bagian-bagian awal yang bagi saya amat menarik. Bagian-bagian awal yang ternyata sebatas pengantar saja.

Tentang seorang perempuan sebagai wartawan lepas, yang memburu penulis yang dianggap sedang naik daun di Yogyakarta. Bagi perempuan itu, ada beberapa nama pilihan penulis berbakat yang kelak akan menggantikan penulis-penulis tua yang sudah bau kuburan. Di samping penulis yang diburu di Yogyakarta itu, di Bandung ada Anton Kurnia, Dinar Rahayu, dan Anwar Halid. Di Jakarta ada Binhad Nurrohmat, Sukidi, Burhanuddin, Ahmad Najib Burhani. Di Yogyakarta ada Islah Gusmian, Eko Prasetyo, J. Sumardianta, R. Sabroer Soenardi, Nurkahlik Ridwan, Puthut EA, dan Eka Kurniawan. Tinggallah si perempuan bernama Sekarwangi ini melakukan wawancara dengan penulis yang satu ini.

Maka dimulailah pencarian tersebut. Fragmen yang dipilah-pilah hingga pengakuan keduabelas. Usaha untuk menuliskan biografi seorang penulis yang ternyata—setelah ditemui—begitu sederhana. Penulis itu, dugaan saya, adalah Muhidin sendiri, yang mengayuh sepeda butut hitamnya. Pun ketika membuka halaman selanjutnya, temali cerita yang berhamburan tak jarang dihuni kegetiran. Bagaimana si aku yang berasal dari daerah pantai, bermula dari tidak tahu sama sekali (barang sedikit pun membaca) buku sampai akhirnya menemui dunianya di sana. Mulanya, saya menebak bahwa Sekarwangilah yang akan menjadi tokoh utama buku ini. Saya tertipu. Ternyata setelah saya membaca secara keseluruhan, buku ini hanya berisi biografi seorang penulis. Penulis yang kembali menuturkan kehidupannya sendiri.

Namun, ini merupakan sebuah usaha, usaha untuk menuliskan biografi dirinya sendiri. Meski di beberapa rangkaian ada yang disamarkan atau dilebih-lebihkan, sebuah usaha yang memang layak dihargai ketika seorang penulis menghadapi dunia buku sendiri dengan kecilnya honor tulisan, royalti cetak sebuah buku, atau permainan dunia kapitalis yang sudah merupa di segala bidang. Jika Anda membayangkan seorang penulis itu adalah orang kaya, bacalah buku ini. Niscaya pandangan Anda berubah! Memang, untuk kategori seseorang yang bukunya sudah banyak yang diterbitkan, ditambah dengan honor tulisan di media massa, seorang penulis yang sudah mapan—dapat dikatakan bisa hidup dari hasil tulisannya. Namun untuk pemula?

Dan simaklah penuturan si aku di buku ini: Bagiku, menulis artikel di koran adalah menulis untuk dikembalikan dan bukan untuk dimuat. Kadang setelah aku menyelesaikan sebuah ulasan buku, maka kemudian meluncur dalam gumamanku adalah tulisan ini pasti dikembalikan. Aku harus akui bahwa aku tengah mengidap penyakit negative thinking (hlm. 145).

Begitulah kehidupan seorang penulis yang mencoba bertahan di tengah kepungan kehidupan yang serbamodern ini. Bagaimana ketika si tokoh kehabisan uang, sementara honor tak kunjung sampai? Pun harap yang tak selesai. Bagaimana ketika ia berharap tulisan dimuat di salah satu media. Atau ketika si tokoh menanyakan tulisan-tulisannya yang tak kunjung dimuat oleh redaktur koran. Meski pada akhirnya, tulisan itu pun dimuat, untuk yang pertama dan terakhir kalinya di salah satu koran. Bahkan lebih lanjut, si aku melanjutkan dari sepuluh tulisan yang dibuat, barangkali hanya satu yang dimuat. Itu pun tak pasti.

Kegetiran lainnya yang terciprat pada kisah ini adalah bagaimana si aku harus menjalani hidupnya dengan mengayuh sepeda bututnya yang hitam itu. Bahkan ketika dirinya gelisah sekalipun, ia terus mengayuh ke suatu tempat yang jauh walau kenyataannya ia kembali selalu menemui kegamangan dirinya sendiri. Dirinya yang selalu terasa miskin, tak berarti, dan dilanda banyak nasib sial.

Buku ini memadatkan banyak sisi, bagaimana pergelutan seseorang dengan dunia buku, yang dianggapnya sebagai “racun”—tetapi toh dirinya tetap bertahan. Kepasrahan seorang perantau yang singgah di Yogyakarta sampai akhirnya memutuskan dunia perbukuan menjadi bagian penuh dalam hidupnya, dengan paruh waktu yang dihabiskan dengan membaca dan menulis meskipun di beberapa bagian terpapar pula bagaimana tokoh dalam buku ini terpaksa terjerembab menjadi editor sebuah penerbitan kecil, digaji secara freelance. Juga bagimana ketika dirinya menghadapi kegetiran tentang sebuah cinta, yang baginya bertepuk sebelah tangan.

Buku ini semacam sketsa, bagaimana perjalanan hidup seorang pribadi, yang ternyata tak melulu diwarnai kesuksesan yang berarti. Bukan karena ia tak ingin berusaha keras, bukan karena dirinya begitu sok suci, melainkan karena suratan kehidupan yang panjang, berliku, dan memang tak selamanya mulus-mulus saja. Hal yang mengingatkan saya, pada rangkaian proses yang panjang untuk memasuki dunia kepenulisan. Rangkaian yang tak berhenti di satu titik saja, tetapi masih terus berlanjut. Dunia buku, kepenulisan, dan yang berbau aksara memang tak pernah berhenti untuk digeluti. Meski pada akhirnya si tokoh dalam buku ini merasa kalah.

Tiba-tiba saja aku tidak percaya pada semuanya. Bahkan kebenaran yang memeri di pelupuk matabatinku sekalipun.

Pagi itu kutemukan kembali diriku sedang menyapu dedaunan kuning-kering yang berserak di halaman pondokanku di bawah hujan tatapan perempuan Jawa beranak satu dari pintu yang agak berjarak. Aku sedang menghitung jejak jalan hidupku. (Hlm. 355).

Meskipun begitu, bagi saya ada yang janggal di sana. Buku ini dibuka dengan pengakuan wartawan perempuan. Ia mengakhiri catatan bahwa penulis itu sudah mati tertabrak sebuah bus pariwisata. Novel-biografi ini belum menyelesaikan kehidupan si penulis itu secara keseluruhan. Masih ada yang mengambang.

Teks tentang Teks

Sebuah teks bermakna rangkaian kata yang matang, menjalin sebuah pengertian sendiri yang semestinya sarat dengan muatan. Namun, saya tak menemukan hal itu di buku ini. Beberapa bagiannya ada yang terasa rancu ketika saya membacanya, patah-patah, untuk tidak mengatakan buruk. Contohnya dapat disimak pada halaman 17: Betapa mahalnya sebuah hobi hanya karena agar aku bisa belajar bahasa Indonesia yang baik. (cetak tebal dari saya, ARN). Ada kerancuan di sana, yakni bagian “hanya karena agar”. Sebenarnya ini tugas editor, tetapi ternyata sang editor tidak maksimal melaksanakan tugasnya untuk memangkas atau mengubah sehingga menjadi efisien dan hemat, tetapi tetap bermakna sama.

Bagi saya, teks akan berguna apabila ia berhasil menarik minat pembaca. Bukan dengan ungkapan gagah yang berasal dari bahasa asing, melainkan dengan kesederhanaan. Akan tetapi, tampaknya para penulis kita masih terperangkap pada hal-hal semacam ini. Menggunakan kata-kata yang sulit, ngejelimet, dan rumit dianggap penulisnya memiliki kadar intelektual yang lebih. Mereka lupa jika pembaca itu beragam. Pembaca itu banyak dan tentunya tingkat intelektualnya juga berbeda. Meskipun teks tak selalu bermakna tunggal, selalu ada beda penafsiran yang mungkin justru menguatkan karya itu sendiri.

Memang, terkadang teks begitu keras kepala, terkadang pula si penulis tidak mampu mengatur sesuai dengan kehendaknya. Karena itu, apa yang sebenarnya diinginkan oleh penulis belum tentu maknanya sama dengan teks yang dihasilkan. Sesungguhnya, di sinilah peran editor atau pembaca pertama teks itu. Ia dapat memangkas dan membuang bagian-bagian yang dianggap tidak sesuai dengan pengertian sebenarnya.

Saya menganggap buku ini masih dapat dibongkar lagi. Masih bisa dibedah secara lebih lanjut. Mungkin dengan demikian akan terasa bagaimana kata-kata itu bekerja dengan maksimal. Namun, lepas dari itu semua, usaha yang dilakukan Muhidin patut dikenang, bagaimana ia berusaha menjabarkan kehidupan dunia perbukuan dan dirinya yang tenggelam di dalamnya. Sebab, sebagaimana yang tertera di awal halaman buku ini, Sekarwangi sendiri sudah tidak percaya pada Sokrates yang mengatakan: hanya orang-orang besar yang patut menjadi tragedi untuk menjadi teladan keagungan martabat, sementara rakyat kebanyakan hanya pantas menjadi tokoh-tokoh komedi, untuk menjadi olok-olok.***

---------------------
*) Alex R. Nainggolan, pembaca buku. Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Kuliah di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jawa Pos, Sabili, Annida, Lampung Post, Sriwijaya Post, Bangka Pos, NOVA, On/Off, dll. Alamat (kost): Jalan Tupai gang Duku No. 40 Kedaton, Bandar Lampung 35147. Nomor telepon: 0815-4038046

13 March 2007

Menulis untuk Cinta dan Komitmen

::yayat r cipasang, http://yayat-cipasang.blogspot.com

“Scripta manent verba volant--yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.” --(Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta atau Jalan Sunyi Seorang Penulis)

Muhidin M. Dahlan adalah anak muda yang berani berikrar bahwa menulis adalah pilihan hidup. Gagal kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta dan Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga di kota yang sama membuatnya harus mengganti orientasi hidupnya. Akhirnya keterampilan menulis artikel maupun resensi buku di sejumlah media massa membuatnya bisa untuk mempertahankan hidup atau untuk sekadar membeli buku.

Buku mungil ini berisi riwayat hidup Muhidin dan aktivitas kreatifnya dari mulai saat penulis masih menimba ilmu di sekolah menengah teknik di sebuah kota kecil di Sulawesi Tenggara hingga di pengembaraan intelektualnya di Yogyakarta. Buku yang dikemas cukup apik ini ditulis dengan gaya bertutur dan easy going sehingga enak dibaca.

Secara terus terang, ketika pertama kali menulis untuk buletin di organisasinya, Pelajar Islam Indonesia (PII), Muhidin hanya memindahkan tulisan orang lain. Praktis tulisan pertamanya itu adalah hasil rangkuman dari sejumlah buku. Seperti penulis pemula lainnya, saat tulisan dimuat ia sangat bangga. Beberapa istilah yang sebenarnya tidak dimengerti pun menghiasi tulisannya sebagai bentuk gagah-gagahan. Aktivitas dan energi menulis Muhidin terus bergelora hingga saat kuliah di Yogyakarta.

Setelah sibuk mengelola buletin kampus yang jatuh bangun karena keterbatasan dana dan penuh intrik, Muhidin mulai merambah media massa nasional. Tulisan pertamanya yang berupa tanggapan atas tulisan orang lain dimuat di halaman empat koran nasional terbesar di Indonesia. Padahal, halaman empat koran tersebut disebut-sebut kalangan penulis sebagai halaman angker karena kalau mengirimkan artikel untuk halaman itu harus siap-siap untuk menerima jawaban khasnya: Maaf kami kesulitan tempat untuk memuat tulisan Anda yang berjudul…. (hal. 149)

Bukan berarti setelah tulisan sebelumnya dimuat, tulisan berikutnya akan melenggang begitu saja di mata redaktur. Bahkan saking frustrasinya, bagi Muhidin menulis artikel di koran adalah menulis untuk dikembalikan bukan untuk dimuat. Muhidin sangat merasakan itu. Sudah tak terhitung tulisannya yang ditolak baik oleh media lokal maupun media nasional. Resensi bukunya baru dimuat di media nasional setelah 32 resensinya ditolak media yang sama. Bahkan sebuah media lokal “mengharamkan” nama Muhidin untuk tampil di medianya. Ini gara-garanya Muhidin sempat mendamprat seorang redaktur media lokal karena artikelnya tak dimuat-muat.

Menulis adalah setali dengan aktivitas membaca. Gila baca sejak di udik adalah dasar berharga dalam perkembangan kegiatan kreatif Muhidin. Bahkan saat mendapatkan honor tulisan hanya sebagian kecil saja untuk biaya makan sebagian besar dialokasikan untuk membeli buku. Cinta dan komitmennya kepada tulis menulis dan buku menjadikan Muhidin sangat kuat menahan lapar dan derita.

Buku ini menjadi menarik karena selain menggambarkan kegiatan penulis dengan suka dukanya tetapi juga menggambarkan pribadi Muhidin yang terus terang dan unik. Saat kepincut cewek misalnya, ia menggunakan cara-cara yang tak galib. Muhidin nembak cewek lewat buletin yang dibuat khusus yang di dalamnya terdapat artikel yang penuh referensi dan catatan kaki. Tragis, Muhidin ditolak.

Kendati ia sebagai anak yang taat kepada Tuhan tetapi Muhidin juga tidak munafik ketika suatu saat harus menyalurkan hasrat seksualnya ke pelacuran. Hasil dari pelacuran tersebut Muhidin mendapatkan sejumlah parikan yang dikenal di lokalisasi seperti: Kapal keruk taline kenceng, arepo ngantuk barange ngaceng (kapal keruk talinya kencang, walaupun mengantuk kelaminnya tegang). (hal.188)

Muhidin juga membeberkan tentang kebobobrokan dunia penerbitan buku di Yogyakarta. Pengalamannya sebagai editor menjadikan ia sangat tahu tentang kelicikan, korupsi, dan tidak transparannya pemilik penerbitan di Yogyakarta.. Misalnya saja ada pemilik penerbitan yang sangat kaya tetapi karyawannya digaji sangat minim. Belum lagi persaingan antarpenerbitan. Bahkan di Yogyakarta sebuah penerbitan bisa memata-matai penerbitan lain agar tidak kedahuluan untuk menerbitkan buku yang sama. Ini biasanya buku terjemahan asing. Sebab penerbitan di Yogyakarta banyak yang mengabaikan hak cipta. Sehingga tidak aneh bila satu buku diterbitkan oleh dua penerbitan yang berbeda.

Membaca buku karya Gus Muh--demikian Muhidin kerap dipanggil temannya--serasa membaca cerita novel. Selain Muhidin, tokoh-tokoh dalam buku tersebut (sepertinya menggunakan nama samaran) mempunyai karakter yang jelas. Masalah cinta, konflik, persaingan, dan perselingkuhan juga menghiasi buku ini. Misalnya saja, dalam buku ini Muhidin menceritakan tentang perselingkuhan antara seorang pemilik penerbitan dan seorang editor freelance yang juga teman Muhidin.

Buku ini cukup informatif, sarat muatan, dan kaya referensi. Bagi penulis pemula atau siapa saja yang bercita-cita menjadi penulis profesional buku ini bisa menjadi inspirasi dan pendorong semangat untuk tidak menyerah begitu saja bila tulisan ditolak redaktur sebuah penerbitan. Buku ini juga layak dibeli para praktisi penerbitan dan pengamat penerbitan buku sebagai bahan refleksi tentang dunia perbukuan di Tanah Air.

Monday, September 06, 2004


DUA KOMENTAR


Anonymoussaid...
Barang kali menurut saya buku tersebut merupakan refleksi sejarah tentang penulisan buku yang ada, tidak hanya di yogyakarta saja, dikota-kota besar lainya pun saya rasa juga demikian, namun yang menjadi menarik buat saya adalah tentang "menulis adalah sebagai pilihan dari berbagai pilihan profesi yang ada di dunia ini " . Sudah menjadi kenyataan publik bahwa tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk menulis baik di media massa maupun dalam dunia akademis. SEhingga saya yakin dengan adanya buku tersebut akan dapat menggugah kemampuan manusia yang selama ini telah masih terpendam. terimakasih
from
Muh nafi'udin
E mail : Armogedn@yahoo.Com


Anonymous said...
dimana bisa beli bukunya...
salam
Ali Asnawi
ali@asnawi.or.id

03 March 2007

Menulis itu seperti Para Darwis yang Menari sampai Trance

::zen rachmat sugito, sejarawan partikelir

Buku ini adalah memoar yang merekam jejak pergumulan seorang penulis pemula dengan dunia buku, semacam sketsa pergumulannya dengan dunia kata-kata dan pencarian atas semua kemungkinan yang disediakan oleh kata-kata.

Muhidin M Dahlan mungkin belum bisa disebut sebagai seorang penulis “besar”, jika besar di sini acuannya Pramoedya atau Iwan Simatupang atau jika “besar” diukur dari seberapa penghargaan yang diterimanya. Ya… Muhidin bukan Pramoedya, bukan Iwan Simatupang. Ia memang sudah menerbitkan sejumlah buku karangannya, tapi toh ia belum beroleh penghargaan/award atas karya-karyanya. Usianya pun belum genap 30 tahun. Buku ini bahkan hanya merekam aktivitas Muhidin hingga usianya sekira 24 tahun saja.

Pertanyaannya, perlukah seorang penulis yang masih relatif belia dalam dunia buku dan karang-mengarang, belum punya portofolio yang meyakinkan jika diukur dari berapa award yang telah ditangguknya, belum tercatat dalam kanon sastra Indonesia, dan hanya sesekali mencuat ke permukaan dunia buku di Indonesia karena kontroversi karya-karyanya (terutama trilogi novelnya: Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, Kabar Buruk dari Langit, dan Adam Hawa), sudah berani menerbitkan memoar dirinya sendiri?

Sekadar pembanding, Pramoedya menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu atau dalam khasanah dunia, sekadar menyebut, Sartre mengeluarkan Le Mots. Dua penulis kawakan di negerinya masing-masing itu menuliskan memoarnya setelah berusia tak bisa dibilang muda lagi. Mereka mencatatkan kembali pengalaman eksistensialnya dengan dunia kata-kata saat mereka sudah beranjak renta, sudah menuliskan milyaran kata-kata dan telah beroleh sejumlah award.

Tapi Muhidin? Hah! Awalnya saya memandang sinis. Tapi kemudian saya berubah pikiran. Akhirnya saya mengunduh kesimpulan: Buku ini barangkali jauh lebih fungsional bagi para penulis pemula ketimbang memoar memoar orang-orang besar, seperti yang namanya sudah saya catat di paragraf sebelumnya.

Kita sepakat bahwa Pramoedya atau Sartre adalah profil manusia-manusia istimewa yang tidak tiap tahun lahir. Prestasi mereka sudah menjulang setinggi gemintang. Nama mereka sudah dicatat dalam sejumlah epitaf atau pasase yang gilang cemerlang. Tetapi karena itulah mereka seperti di atas awang-awang yang bisa jadi tak terjangkau. Mencontoh mereka tentu tidak sia-sia, tapi bisa meletihkan, dan bisa membikin minder orang-orang seperti saya yang merasa tak berbakat dalam hal menulis dan mengarang.

Buku Jalan Sunyi seorang Penulis (sebelumnya berjudul Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta) barangkali memang diperuntukkan oleh para pemula, persisnya mereka-mereka yang merasa bukan siapa-siapa, orang-orang seperti saya, yang merasa dirinya tak terlampau berbakat menulis dan mengarang.

Kehidupan Muhidin, seorang mahasiswa drop out yang miskin, tinggal di kos yang reyot (tak seperti Sartre yang tinggal di apartemen khas borjuasi Prancis yang serba ada seperti bisa kita baca dari memoarnya, Le Mots), tak terlalu berbakat dalam dunia menulis (setidaknya seperti yang ia akui), rasanya begitu dekat dengan kehidupan kita, dengan saya tentu saja, yang akhirnya bisa membikin kita sadar bahwa menulis tak sepenuhnya bisa diatasi dengan bakat. Buku ini adalah salah satu contoh terbaik bahwa menulis lebih membutuhkan ketekunan dan proses belajar yang tak mengenal letih ketimbang mengiba pada datangnya bakat.

Ini bukan buku yang memberi pembaca sejumlah tips dan cara menulis yang memikat. Buku ini tidak seperti buku-buku yang ditulis Hernowo atau Arswendo (Mengarang itu Gampang) atau Muhammad Diponegoro (Yuk, Mengarang Cerpen Yuk) atau Carmel Bird (Menulis dengan Emosi). Buku ini tidak berpretensi untuk mengajari menulis dan mengarang. Buku ini lebih bergerak di area spirit: mencoba untuk menjalarkan semangat menyala yang (pernah) dipunyai Muhidin dalam dunia kepenulisan. Dan itu dilakukan dengan mengisahkan kisah dirinya yang penuh dinamika, pasang surut antara kegetiran-kebahagiaan, kesetiaan-pengkhianatan juga antara keyakinan dan keraguan.

Di buku inilah kita bisa mengerti betapa menulis membutuhkan kesabaran luarbiasa. Muhidin baru dimuat resensinya setelah mengirim 32 kali naskah resensi. Di buku ini pula dicatat bagaimana pahitnya menjadi penulis yang hidup di negeri yang belum sepenuhnya menghargai kata-kata dan para pengarangnya. Pengarang dibiarkan terlunta di tengah kota memundaki kehidupan yang pas-pasan. Dapat honor dari koran yang memuat tulisannya tak berarti membuatnya kaya. Dia masih harus membagi antara kebutuhan untuk makan dan kos dan tentu saja untuk membeli buku-buku yang harganya kian hari kian membumbung setinggi bintang.

Dalam bagian-bagian tertentu halaman ini, kita bisa menjumpai pergulatan Muhidin dengan rasa lapar. Persis seperti bisa kita baca dari novel Knut Hamsun yang termasyhur itu, Lapar. Dan di buku ini pula, kita bisa tahu bagaimana seluk beluk dunia perbukuan dan penerbitan (di Jogja khususnya) yang dalam banyak hal mirip seperti pasar gelap: penuh intrik, sarat pengkhianatan, dan tikam menikam dari belakang. Dan Muhidin bukan sekali dua “ditikam” dari belakang oleh kawan seiring seperjalanan. Barangkali ia sendiri mungkin pernah membokong.

Apa pun, ia toh tetap menulis, menulis apa saja. Kadang berhasil membuat sebuah tulisan yang bagus, tapi sering pula menghasilkan sesuatu yang biasa-biasa saja, sehingga kerap ditolak redaktur koran atau editor penerbitan. Tapi ia terus menulis.

Dan ketika sedang menulis, Muhidin, juga siapa saja yang menikmati betul dunia kata-kata, akan lupa waktu dan segalanya. Jika itu terjadi, Dewi Lestari, pengarang Supernova itu, mungkin memang benar. Kata Dewi, “Menulis itu seperti para darwis yang menari sampai trance.”

26 February 2007

Dunia Penyembuh Luka Kesunyian

::dian hartati, penyair bandung

Kesadaran akan membaca jarang dijumpai pada masa Sekolah Dasar. Apalagi siswa yang berada di lingkungan nelayan. Membaca adalah satu hal yang sangat tak berguna atau mungkin lingkungan ini telah menetapkan bahwa membaca adalah tradisi orang kota. Perkampungan nelayan dengan berbagai rutinitas yang selalu berkutat dengan ikan, air asin, jala, bahkan perkulakan seakan menginggalkan tradisi membaca.

Tapi ada satu alasan yang dapat menjelaskan mengapa hal itu terjadi yaitu buku-buku wajib yang tak pernah sampai ke pesisir-pesisir pantai. Jika buku wajib jarang ditemukan bagaimana mungkin buku tambahan sebagai pelengkap ditemukan. Buku yang dipakai Sekolah Dasar-pun adalah buku yang telah dipergunakan bertahun-tahun tanpa revisi atau perbaikan. Hal yang tidak aneh mengapa tradisi membaca menjadi hal yang tidak pernah di lakukan.

Seorang anak nelayan__kita sebut selanjutnya anak pantai__ begitu saja memiliki keinginan sangat besar terhadap bacaan. Sampai pada waktunya dia harus meninggalkan kampung halaman demi kemajuan dirinya dan segera mengantarkan anak pantai ini pada gigantisme dunia perbukuan. Dari berbagai kesempatan dia selalu berkutat dengan buku. Baginya dunia buku adalah dunia penyembuh luka kesunyian. Dunia buku adalah dunia pelarian yang sangat baik untuk melepaskan energi hitam yang menyelimuti kehidupan anak pantai ini. Yogyakarta adalah tempat yang dipilih oleh anak pantai ini untuk menimba ilmu, di kota ini pun dia menemukan tempat penjualan buku yang yang tak pernah ditemukan sebelumnya. Baginya buku diciptakan selain untuk dibaca juga untuk disimpan dan berguna untuk menaikkan status sosial.

Kecintaan pada bacaan mengantarkan anak pantai ini pada dunia menulis. Semangat adalah dasar menulis baginya. Untuk kegilaannya itu dia bergabung dengan majalah kampus, pada masa kuliahnya dengan tujuan belajar menulis. Tulisan pertamanya dimuat dalam surat kabar nasional dan langsung saja kritikan pedas menghampirinya. Tapi itu tidak membuatnya ciut, terus menulis adalah satu-satunya jalan agar dia diterima dalam dunia tulis-menulis atau dunia perbukuan.

Dari sepotong senja, buah karya Seno Gumira Ajidarma, kubaca pernyataan ini: sebab cinta adalah kata yang paling abstrak karena ia tidak terlihat secara kasat mata. Maka sepasang kekasih tidak usah selalu bertemu, selalu berciuman dan selalu bergumul untuk mempersatukan diri mereka. Cinta membuat sepasang kekasih saling memikirkan dan saling merindukan, menciptakan getaran cinta yang merayapi partikel udara, meluncur dan melaju ke tujuan yang sama dalam denyutan semesta. (halaman 159)

Anak pantai ini meyakini cinta tumbuh dari pembiasaan saling bertemu dan saling membelajarkan diri, cinta yang tidak sempat dia rasakan lama. Hanya saja pernah dia mengirimkan satu buletin kepada seorang gadis yang isinya adalah ungkapan perasaannya kepada gadis tersebut. Namun sayang dia harus mengakhiri dengan memberikan sepotong sajak cinta. Cinta yang tragis, aneh, dan tanpa tanggapan.

Hidup terus bergulir dan mengantarkan anak pantai itu menjadi seorang pemuda yang benar-benar mencintai buku. Menjadi editor adalah awal dari perjalanan hidupnya sebelum menulis buku.

Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta adalah sebuah buku yang menggambarkan bagaimana seseorang yang berproses dalam dunia tulis dan dunia buku. Semangat menjadi dasar dalam pencapaian keberhasilan. Buku yang sarat pengalaman, digarap dengan apik dan dapat menghadirkan keasyikkan bagi pembacanya yang memang benar-benar senang membaca. Buku yang mengantarkan pembacanya pada pergulatan antara psikologi, wawasan, dan gagasan.

Psikologi sangat menentukan bagaimana penulis pemula harus tetap bertahan ketika tulisan-tulisannya dikembalikan atau sama sekali tidak mendapat kabar dari redaksi. Bagaimana penulis harus tetap menulis karena yang harus dipahami, menulis adalah perjuangan. Perjuangan yang tidak mudah. Bagaimana moral dapat bersosialisasi dengan kesombongan redaktur yang tidak memuat hasil tulisan penulis pemula. Mental yang harus sekuat baja menunggu agar tulisan dimuat atau malah di kembalikan.

Wawasan yang luas, tidak hanya didapatkan dari membaca buku. Hasil diskusi juga dapat memperluas wawasan. Wawasan ini harus berkembang dan melahirkan gagasan yang hebat. Buku dengan banyak gagasan pasti dicari-cari pembacanya. Gagasan tentu saja tidak hadir begitu saja, dan tidak semudah melempar kertas yang salah tik pada tempat sampah. Gagasan muncul seiring perenungan-perenungan. Dapat dikatakan kontemplasi adalah sumber penciptaan sebuah gagasan. Dalam buku ini dapat ditemukan gagasan yang dapat menarik pembacanya untuk selalu membaca dan menulis. Keragaman atau variasi bahan bacaan yang tidak itu-itu saja dapat menguntungkan dan ini sangat berhubungan dengan dunia menulis.

Karena menulis adalah kegiatan merekonstruksi hasil bacaan yang telah kita lahap selama ini. Menulis juga sangat penting agar kita tetap dalam lingkungan intelektual. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca "Menulislah. Selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah."

Muhidin M. Dahlan, penulis buku ini adalah seorang yang sangat mencintai dunia tulis menulis, perbukuan, dan juga dunia membaca. Buku ini adalah hasil rekonstruksi bacaan. Muhidin menyebutkan judul-judul buku seperti Manusia Kamar, Sepotong Senja Untuk Pacarku yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma. Buku-buku Pramoedya seperti Rumah Kaca, Gadis Pantai. Panduan menulis seperti Mengarang Itu Gampang-nya Arswendo Atmowiloto. Menulis Dengan Emosi yang di terbitkan oleh Kaifa juga buku-buku lainnya.

Walaupun banyak buku yang menjadi referensi secara tidak langsung dalam buku ini, tidak menjadikan hilangnya gagasan utama. Hanya saja hilangnya nama tokoh dalam penceritaan pengalaman ini yang menimbulkan pertanyaan. Siapakah yang dimaksud aku (anak pantai) oleh penulis dalam buku ini? Apakah Muhidin M. Dahlan atau siapa? ini dapat dibuktikan dengan membaca buku Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta. Akhirnya selamat menekuni dunia yang dapat menyembuhkan luka kesunyian.

Nb. Resensi buku ini menjadi pemenang kedua dari sayembara menulis tinjauan buku untuk PT/Umum yang diadakan Ikapi Bandung menyambut hari buku nasional pada paruh akhir 2003.