Showing posts with label Gugur Merah (Puisi Lekra). Show all posts
Showing posts with label Gugur Merah (Puisi Lekra). Show all posts

13 December 2008

Warna Kesumba Seni Lekra

::bagja hidayat

Buku yang merekam gempita kesenian Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dokumentasi penting, tak ada wawancara.

Laporan dari Bawah (Sehimpun Cerita Pendek Harian Rakjat 1950-1965)
Tebal: 558 halaman

Lekra Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Tebal: 582 halaman

Gugur Merah (Sehimpun Puisi Harian Rakjat 1950-1965)
Tebal: 966 halaman
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Merakesumba Yogyakarta

JIKA Fuad Hassan menyebut cerita pendek Indonesia pada akhir 1960-an penuh warna ungu karena mengeksplorasi renungan, kesedihan, dan rasa frustrasi, bolehlah disebut jika sastra satu dekade sebelumnya menggelorakan warna kesumba. Tiga buku ini merekam bagaimana seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat merayakan ”realitas sepersis kenyataan”.

Pada Lekra Tak Membakar Buku, kita bisa merasakan bagaimana para seniman ”kiri” itu mencoba merumuskan definisi ”sastra Indonesia” berdasarkan filsafat realisme-sosialis. Buku ini ditulis berdasarkan 15 ribu artikel yang terbit di Harian Rakjat pada 1950-1965. Dari sana kita tahu bagaimana Lekra didirikan, Harian Rakjat diterbitkan, sampai hal-hal sederhana tapi asyik: petinggi Partai Komunis Indonesia macam Aidit-Njoto-Lukman menjajakan sendiri koran mereka di stasiun dan pelabuhan.

Sayangnya, dokumentasi penting ini tak dilengkapi wawancara seniman-seniman yang masih hidup, yang namanya menggelanggang, untuk memberikan konteks. Sebab, di Lekra juga ada penulis nonkomunis, yang menganggap integrasi politik dan seni sangat susah diterapkan. Alhasil, penyusun buku ini merayakan asumsi mereka sendiri ketika memberikan komentar dan kesimpulan atas pidato, reportase, dan laporan-laporan wartawan Harian Rakjat tentang kesenian pada kurun itu.

Barangkali itu karena buku-buku ini diterbitkan dengan tujuan ”memberi panggung kepada mereka yang dibungkam”. Kita tahu, sejak peristiwa G30S, berita dan karya sastra seniman ”kiri” tak lagi punya tempat. Maka konteks tak perlu lagi karena sumber tunggal itu sudah menjadi ”kebenaran” sendiri. Tumpukan 15 ribu artikel itu ditemukan di sebuah perpustakaan di Yogyakarta yang terkunci di sebuah ruangan terlarang, menguning, dan aus dimakan rayap.

Sebagai dokumentasi, tiga buku ini menjadi penting karena memberikan gambaran utuh bagaimana seniman Lekra melahirkan karya-karyanya. Kedua penulis terasa ingin meyakinkan bahwa seniman Lekra dan kesenian kiri tak senajis dan sedangkal yang dikira orang. Tak semua puisi menyajikan kebanalan realitas. Ini tampak antara lain pada beberapa puisi Agam Wispi dan H.R. Bandaharo.

Kita pun paham mengapa, misalnya, terjadi perdebatan sengit kubu Lekra dengan seniman yang berhimpun dalam Manifes Kebudayaan. Dari buku Gugur Merah (menyajikan 425 puisi dari 111 penyair) dan buku Laporan dari Bawah (menghimpun 97 cerita pendek dari 61 penulis), kita mengerti mengapa seniman Manifes menolak seni kesumba macam itu: puisi hanya alat memuji Rakyat, cerita hanya reportase yang tak mengejutkan ketimbang sebuah liputan di koran. Realitas pun kehilangan ketajaman dan misterinya. Setiap puisi atau cerita nyaris tak bisa dibedakan tema, gaya, dan penulisnya.

Amarzan Ismail Hamid, yang 15 puisi dan tiga ceritanya dimuat di buku ini, mengatakan pada zaman itu para penulis tak memiliki bahan bacaan yang melimpah sebagai referensi. Bahkan karya-karya realisme-sosialis dari Uni Soviet yang menjadi kiblat penulis Lekra tak tersedia di toko buku. ”Apalagi sastra Eropa Timur itu susah dipahami,” katanya. ”Para penulis ingin menjadi Marxis tapi tak membaca dan tak memahami ideologinya.”

Buku Nikolai Chernishevsky, Hubungan Seni dan Realitet, memang sampai ke sini pada 1962 lewat terjemahan Oey Hay Djoen. Sayangnya, kata Amarzan, pandangan Chernishevsky yang menempatkan realitas lebih sempurna ketimbang karya seni justru sedang dikritik di Soviet ketika paham ini mulai diserap di Indonesia.

Hal lainnya: penyusun buku ini agaknya lupa mendefinisikan Rakyat yang selalu ditulis dengan ”R” itu. Rakyat macam apa yang memenuhi benak para penulis itu ketika menulis puisi atau cerita, atau bagi pelukis ketika melukis? Rakyat di buku ini sesosok makhluk gaib yang tak jelas rupa dan bentuknya. Rakyat hanya disebut dalam jargon rumusan ideologi kesenian.

Apa pun itu, seperti terbaca di halaman pengantar, penyusun buku ini hanya menghimpun dan memberikan tempat kepada sastra 1960-an yang pernah mengharubirukan sastra Indonesia. Bukan telaah sastra dari dua sisi.

30 October 2008

Menafsir Puisi-puisi DN Aidit

::asep samboja

“Tukang pidato adalah seniman,” kata Njoto alias Iramani, menerjemahkan pernyataan Multatuli, “Ook de redenner is een kunstenaar.” Paling tidak, DN Aidit yang dikenal dunia internasional sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) itu juga menulis puisi.

Ada sembilan puisi DN Aidit yang terdapat dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 yang dihimpun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, yang terbit pada bulan September 2008. Sebenarnya jumlah puisi Aidit lebih banyak dari itu, hanya saja ada puisi-puisi Aidit yang tidak lolos dari redaksi Harian Rakyat Minggu, Amarzan Ismail Hamid, yang kini menjadi redaktur senior Tempo dengan nama Amarzan Loebis.

Dari kesembilan puisi itu, ada satu puisi yang sepertinya tidak utuh karena kertas Koran Harian Rakyat itu sudah dimakan rayap, yakni puisi yang berjudul Jauhilah Imperialis AS, yang ditulis pada 20 Juli 1965. Meskipun demikian, pesan yang ingin disampaikan Aidit melalui puisi itu jelas tertangkap, yakni meminta Amerika Serikat menghentikan agresinya di Vietnam.

Kedelapan puisi Aidit yang lainnya adalah Hanya Inilah Jalannya, Sekarang Ia Sudah Dewasa, Yang Mati Hidup Kembali, Kidung Dobrak Salahurus, Sepeda Butut, Untukmu Pahlawan Tani, Tugas Partai, dan Ziarah ke Makam Usani.

Dari judulnya saja sudah cukup terbaca dengan terang-benderang pesan apa yang hendak disampaikan oleh penyair DN Aidit ini. Memang, kebijakan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan redaksi Harian Rakyat tidak mengharamkan puisi pamflet. Justru yang dihindari itu adalah puisi-puisi yang dinilai dekaden, klangenan, dan kosong melompong. Konsep seni Lekra adalah 1-5-1, dalam arti “Politik adalah panglima”, “5 kombinasi”, dan “Turun ke bawah”.

Yang dimaksud 5 kombinasi di sini adalah: (1) meluas dan meninggi, (2) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (3) tradisi baik dan kekinian revolusioner, (4) kreativitas individual dan kearifan massa, (5) realisme sosialis dan romantik revolusioner.

Dengan kata lain, kelima kombinasi itu menjadi dasar dalam kerja kreatif seniman Lekra dengan payung “politik adalah panglima”. Dan, itu hanya bisa diwujudkan kalau senimannya itu langsung turun ke bawah, langsung merasakan denyut nadi rakyatnya, baik nelayan, petani, buruh, prajurit, pegawai, atau katakanlah kaum wong cilik.

Nah, konsep seperti itulah yang terbaca dalam puisi-puisi DN Aidit ini. Ia, misalnya, langsung bersimpati pada orang-orang kecil yang mati memperjuangkan haknya. Dalam puisi “Untukmu Pahlawan Tani” Aidit menuliskan /kutundukkan kepala/ untukmu pahlawan/ pahlawan tani boyolali. Jelas, bahwa yang dikatakan Aidit dalam puisinya itu memiliki konteks, yakni peristiwa penembakan petani yang terjadi pada 18 November 1964, yang menewaskan tiga petani, yakni Jumari, Sonowiredjo, dan Partodikromo.

Peristiwa penembakan petani itu cukup terekspos secara nasional, sehingga yang merespons peristiwa itu melalui puisi bukan hanya DN Aidit. Penyair lainnya yang juga menulis puisi dengan konteks yang sama adalah Sitor Situmorang, yang menulis Pesan 3 Petani Boyolali, Budi Santosa Djajadisastra yang menulis Ketahon--Suatu Titik Balik, dan Amarzan Ismail Hamid yang menulis Boyolali. Amarzan tidak hanya menulis puisi mengenai hal ini. Dalam buku Laporan Dari Bawah:Sehimpunan Cerita Pendek Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 (yang juga disusun oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan), Amarzan juga menulis cerpen dengan judul yang sama, Boyolali. Bahwa ketiga petani itu mati karena memperjuangkan haknya untuk mendapatkan bagi hasil yang sama antara petani dengan pemilik tanah ('tuan tanah') Wirjowiredjo, yakni 1:1 sesuau UU Pokok Agraria. Sayang, ketiga petani itu ditembak mati.

Demikian pula dalam puisi Ziarah ke Makam Usani, Aidit menulis /semua kawan tunduk berdiri/ duka cita menyayat hati/ airmata mengalir, butir demi butir/ dan semua berjanji/ akan nyalakan api juang usani …usani pergi, api juangnya nyala abadi/ PKI mekar harum mewangi. Sekali lagi, konteksnya jelas, yakni Usani, seorang perempuan yang mungkin dianggap biasa-biasa saja, tapi di mata seorang ketua partai politik terbesar keempat di Indonesia diberi penghargaan yang demikian terhormat. Aidit menyebutnya, “Wanita pejuang komunis, pembela setia buruh dan tani, yang mati dalam pengabdiannya sebagai proletariat sejati.”

Dalam puisi Ziarah ke Makam Usani ini, Aidit juga memasukkan ideologinya atau ideologi partainya, yakni “Mengganyang si lima jahat”. Kelima “lawan” yang dianggap “jahat” itu adalah (1) “Malaysia”, (2) kabir, (3) 7 setan desa, (4), imperialis AS, (5) Revisionis.

Presiden Soekarno pada 3 Mei 1964 mengeluarkan kebijakan mengenai Dwikora, yang terdiri dari: pertama, Ganyang Malaysia, yang dianggap sebagai negara bentukan neokolonialis Inggris, dan kedua, membantu perjuangan rakyat Kalimantan Utara. Kebijakan ini ditafsir Aidit sebagai lawan yang harus dihadapi, terutama untuk pembentukan negara federasi Malaysia.

Kabir atau Kapbir adalah akronim dari Kapitalis Birokrat, yakni para purnawirawan militer yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan negara, sehingga mengakibatkan mismanagement yang akrab dikenal dengan “salah urus”. Bisa dibayangkan jika Aidit jadi presiden seandainya menang dalam pemilihan umum, maka para purnawirawan militer itu akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan. Makanya, dengan menjadikan kabir sebagai musuh, Aidit dan PKI pun berhadapan dengan militer, terutama Angkatan Darat.

Tujuh setan desa juga dimaksudkan Aidit dan PKI untuk memudahkan warga desa mewaspadai musuh-musuhnya. Ketujuh setan desa yang dimaksud adalah (1) tuan tanah, (2) lintah darat, (3) tengkulak jahat, (4) tukang ijon, (5) bandit desa, (6) pemungut zakat, (7) kapitalis birokrat desa. Untuk poin nomor 6, tentu saja menyebabkan massa PKI di desa berhadapan dengan massa Islam, karena membayar zakat itu merupakan kewajiban sebagai seorang muslim, sama halnya dengan melakukan ibadah sholat atau puasa, serta naik haji bagi yang kaya. Dibandingkan seruan menyerang 3 setan kota, seruan mengganyang 7 setan desa ini lebih bergemuruh di bawah. Dampaknya adalah terjadi konflik horisontal di level akar rumput, mirip dengan konflik di Ambon dan Sambas.

Dengan menempatkan imperialis AS sebagai musuh, meskipun hingga kini kita masih melihat “kreativitas” Amerika di Afghanistan dan Irak, sudah pasti PKI berhadapan dengan Amerika, lengkap dengan mata-matanya. Kalau dalam penelitian Asvi Warman Adam mengenai peristiwa G 30 S 1965 disebutkan adanya keterlibatan CIA, hal itu merupakan sesuatu yang niscaya. Demikian pula dengan menempatkan kaum Revisionis, kalangan yang tidak sejalan dengan paham Revolusi belum selesai, sebagai musuh, maka Aidit dan PKI serta merta membuat jurang pemisah yang semakin dalam.

Dari puisi Ziarah ke Makam Usani itu pula Aidit memperlihatkan bahwa api juang Usani, semangat Usani dan kaum proletar lainnya, bahkan semangat partai komunis demikian tumbuh bergelora. Semangat seperti inilah yang membuat hidup lebih hidup, membuat hidup penuh taste, sama sekali tidak menciptakan generasi yang enjoy aja.

Hanya saja, kita tahu, bahwa kita tidak hidup di lingkungan yang homogen. Meminjam kata-kata Utuj Tatang Sontani, “sayang ada orang lain”. Dan lagi, pengaruh globalisasi juga bisa terasa sampai di dapur dan tempat tidur kita. Perang Dingin antara Amerika dengan Uni Soviet terasa juga sampai di Jakarta, sampai ke Lubang Buaya, sampai pula pada pembunuhan massal orang PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Kenapa di Jawa Barat, yang notabene berjarak paling dekat dengan Lubang Buaya, tidak ada pembantaian massal terhadap orang-orang PKI? Dari penelitian Ben Anderson terbaca bahwa Pangdam Siliwangi saat itu, yakni Ibrahim Adjie, tidak mengizinkan RPKAD beroperasi di wilayahnya. Siapa yang menggerakkan RPKAD saat itu? Siapa yang berani bertanggung jawab?

Aidit pun mati. Ia menjadi salah satu target yang diburu. Ia diburu seperti Amerika memburu Osama bin Ladin. Osama, bukan Obama. Meskipun Aidit mati, karyanya akan tetap abadi. Karyanya akan terus dibaca. Karena, di balik karyanya, sesungguhnya Aidit ingin bicara banyak. Tukang pidato yang ingin jadi penyair itu boleh saja dihilangkan, tapi pesan yang ingin disampaikan masih terpelihara hingga kini.

Berikut saya kutipkan sebuah sajak lengkap Aidit, Kidung Dobrak Salahurus, yang tetap memperlihatkan garis ideologi dan keyakinan politiknya yang demikian kental.

Kidung Dobrak Salahurus

Kau datang dari jauh adik
Dari daerah banjir dan lapar
Membawa hati lebih keras dari bencana
Selamat datang dalam barisan kita

Di kala kidung itu kau tembangkan
Bertambah indah tanah priangan
Sesubur seindah priangan manis
Itulah kini partai komunis

Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
Biar tukang-tukang salahurus mengerti
Benci rakyat dibawa mati
Cinta rakyat pada pki

Teruskan, teruskan tembangmu
Bikin rakyat bersatupadu
Bikin priangan maju dan jaya
Alam indah rakyat bahagia

Cipanas, 13 Januari 1963

Apa yang ditulis penyair Aidit di atas tidak jauh beda dengan apa yang diucapkan para calon presiden Indonesia sekarang ini. Baik yang kita baca di media massa atau yang kita tonton di iklan televisi. Jadi, sama saja. Siapa pun ketua partai politiknya, siapa pun yang ingin menjadi penguasa, suaranya akan sama seperti itu. Inilah puisi pamflet. Dan itu sah saja, meskipun bukan satu-satunya.

14 October 2008

Trilogi Lekra Tak Membakar Buku

::gus muh

Telah terbit tiga buku dari riset Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan tentang gerakan kiri kebudayaan yang luar biasa bergemuruhnya selama 15 tahun menahan arus besar imperialisme modal dan intervensi asing (Amerika Serikat) hingga mereka sangsai di depan sejarah. Ketiganya adalah:

(1) LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat

15 x 24 cm; ISBN 978-979-18475-0-6; 581 halaman. Cetak massal dan bisa didapatkan di toko-toko buku terdekat. Mengulas banyak hal dari sepuluh bab, seperti Garis Utama Ideologi Kebudayaan, Riwayat Harian Rakjat, Sastra, Film, Seni Rupa, Seni Pertunjukan (Ketoprak, Wayang, Drama, Ludruk, Reog), Seni Tari, Musik, dan Dunia Buku.

(2) GUGUR MERAH: Sehimpunan Puisi Lekra 1950 – 1965

Himpunan puisi ini adalah ikhtiar mengumpulkan sekira 450 judul puisi dari 111 penyair Lekra yang nama dan puisinya terekam di lembar kebudayaan Harian Rakjat sepanjang 15 tahun (1950-1965). 15 x 24 cm; ISBN: 978-979-18475-1-3; 966 hlm. Hanya tersedia dalam edisi terbatas (hardcover). Bisa dipesan ke 081-328690269.

(3) LAPORAN DARI BAWAH: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra 1950-1965


Buku ini merekam geliat 100 cerita pendek yang ditulis oleh eksponen budaya Lekra (sastra) untuk memberitahu bagaimana gaya realisme sosialis “ditemukan”, “diadaptasi”, dan “dipraktikkan” di lapangan kesusastraan Indonesia. 15x24 cm; ISBN 978-979-18475-2-0; 558 hlm. Hanya tersedia dalam edisi terbatas (hardcover). Silakan pesan ke 081-328690269.


Selamat Jalan Lekra
(Dinukil dari Bab Penutup ‘Lekra Tak Membakar Buku’)


Sebelum mendapat vonis hukuman mati di depan mahkamah sejarah pada 1 Oktober 1965, limabelas tahun kehidupan Lekra adalah limabelas tahun bekerja agar kebudayaan mendapatkan tempat terhormat di tengah kehidupan politik Indonesia. Kebudayaan tak boleh hanya jadi suplemen dari kehidupan ekonomi dan politik. Pengekor tanpa tendens atau diabaikan seperti makhluk tiada guna. Kebudayaan harus menjadi bidang utama yang menentukan bulat-lonjong-persegi raut Indonesia. Dan seniman/sastrawan bukan kelas pinggiran di panggung luas bernama Indonesia. Lekra sudah menunjukan dengan segamblang-gamblangnya bagaimana cara menghormati kebudayaan Indonesia, menghormati tradisi yang dilahirkan Rakyat, membawa pulang sastra ke pangkuan si pemiliknya, yakni Rakyat.

Lekra oleh seteru-seteru politik kebudayaan yang dilabelinya sebagai pemangku “humanisme universil”, “seni untuk seni”, “kontrarevolusioner”, mendaftar sekian panjang dosa-dosa dan mengubur kehadiran dan perannya dalam ruang ingatan masa depan. Buku-buku ditulis dengan gempita dan penuh semangat mengasasinasinya tanpa ada pembelaan. Rasa-rasanya belum cukup dosa itu dibayar dengan penghukuman penjara puluhan tahun, pengejaran dan penggorokan leher para budayawannya oleh aksi massa yang sangat brutal, penembakan-penembakan sistematik Angkatan Bersenjata. Para seteru politik kebudayaan itu menulis buku-buku dengan bersemangat bahwa Lembaga Kebudayaan Rakyat yang jumlah pendukung di dusun dan di kota yang luar biasa banyak itu bukan hanya diisi orang-orang haus kuasa, algojo-algojo haus darah, tukang keroyok, pembikin onar panggung kebudayaan, tapi juga turut aktif menggulingkan Sukarno dengan cara-cara kotor dan licik, yakni lewat jalan kudeta 30 September.

Katakanlah semua dosa itu benar sebagai dosa (walau harus dibuktikan dulu). Katakanlah Lekra pembabat kebebasan berkreasi. Katakanlah Lekra adalah penghasut, tukang fitnah, bahkan ada yang menudingnya sebagai pembakar buku yang brutal. Tapi tak adakah yang positif yang mereka berikan buat warga bangsa yang dicintainya ini sepanjang 15 tahun bekerja di lapangan kebudayaan Indonesia?

Di bidang penegakkan moralitas, Lekra adalah laskar kebudayaan yang memagari moralitas keluarga dan anak-anak Indonesia dengan intensif dari amukan bacaan-bacaan cabul, komik bandit-banditan, film-film Hollywood yang mempertontonkan kevulgaran, musik ngak-ngik-ngok. Laskar budaya Lekra beserta ormas-ormas revolusioner melakukan sweeping atas hiburan-hiburan malam yang memamerkan dansa-dansi dan pakaian-pakaian seronok.

Janganlah dilupakan bagaimana cendekiawan organik Lekra dan sekaligus Wakil Ketua II CC PKI Njoto pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bojonegoro, Jawa Timur. Pada saat malam pidato itu, sebagaimana digambarkan Harian Rakjat edisi 5 Februari 1955, “sekolah SMA-malam jang muridnja berdjumlah lebih dari 300 orang, malam itu ditutup, dan guru2 maupun murid2nja semuanja datang ketjeramah PKI”. Setelah menerangkan secara terang-benderang tentang “Front Anti Komunis” yang menurutnya bukan hanya komunis yang dimusuhi, tapi juga PNI, NU, PSII, PRN, dll yang karena itu sebetulnya adalah “Front Anti Segala Sesuatu”; tapi juga “nyerempet” ke soal sikap PKI—juga Lekra—atas demoralisasi masyarakat khususnya bagi anak-anak pelajar. Dengan tangkas Njoto menegaskan sikap bulat: “Menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita. Pengaruh jang djelek itu sudah demikian meluasnja, sehingga tidak sedikit anak2 kita jang menanggalkan pakaiannja jg nasional, pakaiannya jang normal, dan lebih suka memakai tjelana jang saja sebut sadja ,,tjelana potlot”.

Njoto dalam pidato yang sama berjanji merencanakan suatu mosi menuntut pelarangan segala sesuatu yang cabul kepada Parlemen. Dan untuk mendukung validitas data, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) memfasilitasi sarasehan besar “Demoralisasi Peladjar” yang digelar selama sepekan pada 27 Februari s/d 5 Maret 1955 di Jogjakarta.

Keseriusan dan ketegasan terhadap semua produk kebudayaan yang mencemari “watak dan sifat anak2 kita” itulah yang membikin Lekra Jogja melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Bagi eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat. Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs. Soemarsono, yang menyerukan bahwa “disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatles, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim”.

Sebelum giliran “pakaian jang berbau nekolim” atau “tjelana potlot” kena sapu, Angkatan Kepolisian Jawa Timur memang sudah terlebih dulu melego semua piringan hitam berisi lagu-lagu ngak-ngik-ngok. Dalam kesadaran terdalam aktivis PKI dan Lekra, moralitas bangsa harus tetap dilindungi dari destruksi yang ditimbulkan budaya-budaya nekolim. Karena itu tindakan-tindakan di lapangan pun diambil secara seksama dan sistematis. Gelombang demonstrasi dan propaganda menjebol, misalnya, produksi film-film Amerika Serikat yang disebar oleh Association Picture American of Indonesia (AMPAI) dilangsungkan secara massif dan berhasil. AMPAI pun jebol pada Oktober 1964. Majalah-majalah cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang. Sejalan dengan itu, Badan Kontak Organisasi Wanita Indonesia Djawa Timur (BKOWI) di Surabaya juga mengeluarkan pernyataan menertibkan peredaran buku-buku dan majalah yang tak sesuai dengan kepribadian nasional. Keluarnya pernyataan itu merupakan respons langsung dari beredarnya kisah-kisah bergambar yang tak pantas dilihat, “Keluarga Miring” No 8, 9, 10 terbitan Semarang tahun 1965.

Kerap PKI dan Lekra dituding melecehkan agama. Itu diajarkan di sekolah dan menjadi dongengan yang wajar dalam masyarakat dan karena itu menjadi benar. Sebagian barangkali benar. Tapi bagaimana dengan kejadian di Banyuwangi seperti ini dan diliput Harian Rakjat edisi 25 April 1953 dengan judul berita “BANJUWANGI: 13 buah mesdjid diperbaiki PKI”.

Kerdjabakti jang dilangsungkan pada tg. 8-4 jl. dipimpin oleh Subsecom Pesanggrahan - Banjuwangi, dan diikuti oleh 532 petjinta PKI berhasil membersihkan kantor ODM setempat, halaman tangsi polisi, kantor Djapen, makam Pahlawan, Kuburan2, memperbaiki djalan Pasar, menggali parit sepandjang 2 KM dan membersihkan/mengkapur 13 buah mesdjid (surau).

Kerdjabakti tsb. disaksikan oleh Ass. Wedana setempat.


Di film-film bagaimana orang-orang PKI dan seluruh ormas yang sealiran dengannya diperlihatkan memasuki masjid, menginjak-injak Alquran, seperti kejadian di Kanigoro, Kras, Kediri. Dan rekaman itu terus berulang hingga merasuki bawah sadar dan melahirkan kebencian yang tiada tara. Barangkali tudingan itu benar. Tapi tidakkah PKI—ketika mereka berada pada titik konsolidasinya yang kuat—sudah memberi bantahan yang tak pernah terungkap dalam dua kali pemuatan di Harian Rakjat edisi 13 Februari 1965:

Ada pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang: ,,anggota PKI meng-indjak2 Al Qur'an". Tema ini sadjapun sudah menundjukkan, bahwa maksud sipembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.

Sekarang tak kurang dari team FN [Front Nasional] dibawah pimpinan Major Said sendiri jang menjangkal kampanje itu. Tidak ada sama sekali kedjadian sematjam itu, malahan, jang ada adalah kongkalingkong kaum Masjumi untuk memetjahbelah FN, chususnja antara PKI dan NU.

Tentang peristiwa Kanigoro itu sendiri, silakan dibaca berita sanggahan berikut ini pada Harian Rakjat edisi 11 Februari 1965:

Team PB Front Nasional jang terdiri dari Major Said Pratalikusuma dan Hartojo dengan dibantu anggota pengurus daerah F.N. Djawa Timur ketika mengadakan penindjauan on the spot kedaerah Kanigoro, Kras, memperoleh tjukup bukti, bahwa antara BTI dan Pemuda Rakjat disatu pihak dan NU serta GP Ansor dilain pihak, tidak ada perasaan apa2 bertalian dengan terdjadinja peristiwa Kanigoro.

Dinjatakan oleh anggota team PB FN, bahwa peristiwa Kanigoro sudah dapat diatasi karena kesadaran dan kewaspadaan Rakjat untuk melawan setiap gerakan kontra-revolusi. Di Mental Training Kader PII di Kanogoro, Kras, didaerah Kediri pada waktu itu disinjalir adanja gerakan kontra-revolusi jang dilakukan anggota2 bekas partai terlarang.

Major Said Pratalikusuma dalam pertemuan dengan para wartawan Surabaja mengemukakan setjara kronologis mengenai kedjadian2 sebelum dan sesudah terjadinja peristiwa Kanigoro dimana dinjatakan bahwa pada Maret 1964 jl. Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2. Pernjataan serupa telah dikeluarkan djuga oleh Panitia Mental Training Kader PII di Kras pada tgl. 12 Djan. jl. jaitu sehari sebelum terdjadinja penggropjokan.

Mengenai penggeropjokan jg dilakukan oleh anggota2 BTI dan Pemuda Rakjat itu ialah karena alasan2 tersebut diatas, jaitu di Mental Training PII di Kanigoro, Kras, terdapat unsur jang dapat membahajakan revolusi dan membahajakan persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom....

Dalam memberikan keterangan kepada para wartawan itu Team PB FN djuga menjanggah pemberitaan sementara suratkabar jang menjatakan, bahwa dalam peristiwa Kanigoro telah di-indjak2 Kitab Sutji Al-Quran. Dengan tandas dikatakan ,,itu tidak benar".


Di dalam tradisi mencipta atau menulis, Lekra juga telah meninggalkan tradisi yang baik: yakni riset intensif. Mencipta dan menulis apa saja baik drama, cerita pendek, puisi, esai, atau melukis hendaklah terlebih dahulu dilakukan riset yang tekun di lapangan. Mereka menamakan tradisi riset itu dengan turun ke bawah atau Turba ke desa-desa yang terpencil selama satu atau dua bulan. Di sana, pekerja budaya Lekra itu bukan menampilkan diri sebagai “turis”, melainkan pendamping masyarakat. Pekerja Lekra tak boleh lebih tinggi dari tani-nelayan-buruh yang disebut Presiden Sukarno sebagai sokoguru Revolusi. Tak boleh keminter dan sok-sokan, mentang-mentang dari kota dan terpelajar. Dalam Turba, setiap pekerja Lekra memegang teguh aturan main yang emansipatif yang mereka sebut “tiga sama”: sama kerja, sama makan, sama tidur. Apa yang dikerjakan petani, itu juga yang dikerjakan pekerja Lekra. Kalau petani makan tiwul, pekerja Lekra juga makan tiwul. Kalau petani tidur beralas papan keras, pekerja Lekra juga mesti tidur di atas papan. Di desa itulah, kerap pekerja Lekra terlibat membantu dan mendampingi petani merebut hak-haknya yang dirampas sewenang-wenang oleh para tuan tanah. Kalau sudah begini, mereka akan diuber-uber oleh polisi yang memang memihak pada kekuatan feodal di kampung-kampung. Tradisi baik ini kemudian yang masih kita saksikan dalam tradisi Kuliah Kerja Mahasiswa (KKN) yang saban tahun dilakukan untuk tujuan akademis tapi minus ideologi dan kesadaran penuh membela Rakyat tertindas. Atau ini juga dilakukan LSM-LSM yang mendampingi masyarakat papah di daerah-daerah.

Berkait dengan basis kesenian Lekra adalah dari kelas bawah, maka kerja lembaga ini yang tak boleh disepelekan adalah membawa sastra masuk kampung dan pabrik-pabrik. Mengajari masyarakat menulis puisi, membina anak-anak muda menulis puisi, cerpen, atau apa pun. Lekra juga intensif merevitalisasi dongeng-dongeng Nusantara dengan memanggungkannya di pentas ketoprak, teater, arena deklamasi, bahkan dalam lukisan-lukisan. Dari sisi musik, Lekra bersemangat mengumpulkan lagu-lagu daerah dan memperkenalkannya secara nasional, seperti salah satunya lagu Rakyat berjudul Genjer-genjer asal daerah Banyuwangi yang kemudian disangsai oleh rezim post Sukarno sebagai lagu penyuplai praktik seks cabul dan menstimulasi kebiadaban. Tari-tari daerah pun direvitalisasi, diberi isi baru—bukan hanya sebagai tari penghibur dan objek turisme, tapi juga mampu menstimulasi perlawanan yang revolusioner. Bahkan beberapa tari dinaikkan tarafnya menjadi tari pergaulan nasional seperti tari “Lenso” dari Maluku.

Pekerja budaya Lekra juga dengan bersemangat mengangkat dan melindungi kebudayaan Rakyat dan kepunahan atau pencaplokan hak oleh negara lain yang ingin melihat Indonesia terus tersiksa dan terbelakang terus diingatkan oleh kongres dan konferensi nasionalnya untuk terus bekerja keras meregistrasi nyanyian daerah, dongeng Rakyat, tari daerah. Sebab untuk memperkokoh letak berdirinya kebudayaan Indonesia ini, mestilah memperkuat pondasi kebudayaan Rakyat. Dan itu tak bisa dilakukan dengan mengandalkan dayabayang belaka, tapi juga dayakerja di lapangan kebudayaan di tengah-tengah kehidupan Rakyat.

Di bidang senirupa, tergabung para perupa-perupa maestro seperti Affandi, Hendra, Sudjojono, dan sederet lainnya pelukis-pelukis Rakyat dengan pelbagai ekspresi dan gayanya. Dari tangan perupa-perupa itulah lahir organ dan gerakan seni yang revolusioner seperti Persagi, SIM, Pelukis Rakyat, dan sebagainya. Karya-karya para perupa ini pun diperjuangkan Lekra agar bisa menghiasi dinding kantor-kantor jawatan pemerintah yang bertebaran di Jakarta. Dan jika sekali waktu melewati bunderan Hotel Indonesia, lihatlah tugu “Selamat Datang” yang merupakan karya pematung Lekra Henk Ngantung yang juga menjadi dewan juri perlombaan membikin Monumen Nasional (Monas). Di masa ketika Lekra hadir inilah seni grafis yang kerap dianggap kelas dua dalam seni rupa seperti mural, karikatur, poster, cukikayu, mendapatkan tempat yang terhormat.

Di dalam menghalau kekuatan asing seperti Amerika Serikat, Lekra tak pernah kehabisan stok energi. Mereka sebar seluruh pasokan logistik perlawanan di mana-mana. Di sidang-sidang kongres, pleno, di rapat-rapat umum, di ruang-ruang seminar, di atas kanvas pelukis, di kuplet-kuplet puisi, di dinding-dinding mural, di halaman-halaman koran, buku, di atas panggung pertunjukan, di layar putih, dan di sekujur jalanan kota yang memungkinkan mengalirnya sumpah dan protes. Lekra dengan bekerjasama dengan organisasi masyarakat yang sepaham---dan tentu saja PKI---tak pernah kendur dan lelah menyiapkan bara di bawah kursi empuk agen-agen imperialis yang menduduki Indonesia. Di bidang film, distributor film Amerika (AMPAI) diuber sampai rubuh. Berkarung-karung majalah-majalah Amerika yang kerap menjelek-jelekkan Indonesia disita para buruh pos dan dengan kemarahan yang mendidih-didih dibakar oleh Pemuda Rakjat dibakar. Gedung Penerangan Amerika Serikat (USIS) di Surabaya dan di Jakarta diganyang. Industri-industri minyak Amerika seperti Exxon atau perusahaan Inggris bernama Unilever nyaris setiap hari didatangi dan disumpahserapahi karena keterlibatan negara-negara ini memakzulkan negara-negara berdaulat seperti Pakistan, Vietnam, Kamboja, Laos, Konggo, Venezuela, Aljazair, dan serangkaian negara Asia-Afrika-Amerika Latin lainnya. Untuk melawan kekuatan imperialis yang bersekongkol dengan banyak negara sekutunya, Lekra juga membangun basis perlawanan lewat jejaringan ikatan kebudayaan antara negara-negara blok Asia-Afrika-Amerika Latin. Dengan jaringan ini, konsolidasi perlawanan menjadi efektif dan memiliki gaung dan efek waswas bagi negara-negara imperialis.

Akhirul kalam, selama 15 tahun usianya, Lekra telah memperlihatkan dan membuktikan bahwa kebudayaan punya posisi tawar dan merupakan cara paling damai mengajak dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif mendongkel kekuasaan kolonial dan feodal yang menghambakan Rakyat.

Maka dari itu, penulis buku ini berucap: selamat jalan Lekra. Tugas buku ini mesti pungkas di sini saja setelah memberi panggung terbuka bagi pekerja budaya Lekra, baik komunis maupun nonkomunis, untuk mengatakan bahwa inilah kerja kreatif kami selama limabelas tahun tanpa lelah bekerja dalam setiap ceruk komunitas kesenian seperti ketoprak, reog, jatilan, ludruk, wayang, tari, sandiwara, sanggar-sanggar lukis, di mimbar-mimbar sastra dan seminar, rapat terbuka, bioskop, partai politik, pabrik, desa, gang-gang kumuh, kampung-kampung nelayan yang asin, organ-organ persekutuan, konferensi-konferensi internasional, bahkan hingga dalam gedung parlemen, kantor-kantor jawatan, dan istana presiden.

Lalu kita pun tahu bahwa Lekra tak seperti makhluk setengah setan setengah manusia. Mereka seutuhnya manusia dan pekerja-pekerja kreatif. Mereka adalah cendekiawan-cendekiawan organik yang sadar memilih di mana ia mesti mengambil tempat di lapangan kebudayaan Indonesia. Dan peristiwa G-30-S, tak hanya mengubur Lekra sebagai organ, tapi juga memacetkan pertumbuhan cendekiawan-cendekiawan revolusioner bertalenta yang dipunyai Indonesia.