Ketika para petani berjibaku mempertahankan sawah dan ladangnya dari eksploitasi tambang dan pembangunan infrastruktur pesawat udara, di mana suara mahasiswa pertanian?
Ketika lahan-lahan pertanian makin menyempit dan keluarga petani Indonesia makin susut dari tahun ke tahun, di manakah sikap mahasiswa pertanian?
Ketika atas nama pembangunan ketahanan pangan pemerintah membangun industri pertanian dengan mengundang fabrikasi bibit multinasional beroperasi di dalamnya, di mana pamflet kritis mahasiswa pertanian ditempelkan?
Ketika petani dibunuh dan disiksa demi tanahnya, di mana advokasi dan aksi "bela-pati" mahasiswa pertanian?
Showing posts with label Esai. Show all posts
Showing posts with label Esai. Show all posts
25 November 2016
13 November 2016
In Memoriam Hasmi “Gundala” Suraminata (1946-2016): Ketika Sains Memanggil, Asmara Menepi
Awan tebal menaungi pemakaman seniman Giri Sapto, Imogiri,
Bantul, Jogjakarta, 7 November, saat jasad Hasmi Suraminata diturunkan ke liang
lahat. Ia dimakamkan di sisi kiri Teras III bersebelahan dengan nisan maestro
seni grafis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sun Ardi. Gumpalan awan
di pemakaman yang lebih kurang 123 meter jaraknya dari makam para raja Jawa itu
serupa awan gelap yang menjadi musabab lahirnya Gundala yang menjadikan nama
Hasmi masuk dalam deretan maestro komik Indonesia.
Suatu
sore di sebuah cafe ... demikian balon di panel pertama serial
kesatu Gundala Putera Petir yang
diterbitkan Pentastana Production tahun 1969. Dua belas halaman pertama, Hasmi
memperlihatkan ketegangan antara panggilan asmara Minarti dan ketakjuban Sancaka
pada sains; antara keriuhan kafe dan kesunyian dalam laboratorium; antara godaan
pesta ulang tahun dan keterpesonaan pada ilmu pengetahuan. Hasmi menabrakkan
dua situasi yang saling membelit itu dan berakhir runyam dalam gulungan awan
tebal Kota Jogjakarta. Minarti dan Sancaka putus asmara; percobaan Sancaka
mencari serum anoda anti petir untuk menyelamatkan masyarakat dari sambaran
petir juga turut berantakan.
Pada saat remuk asmara dan gagalnya percobaan sains
itulah Sancaka disantap petir di sebuah lapangan di luar kota. Sekaligus
peristiwa ini oleh Hasmi dituliskan di lembar ke-12 sebagai: “pangkal dari ceritera ... Gundala Putera
Petir”.
25 October 2016
Zen RS: Keple von Karangmalang
Di antara puluhan ribu kader HMI MPO di seluruh Indonesia yang berusia di antara 20 hingga 40 tahun, barangkali Zen RS adalah penulis esai terbaik. Tanpa tanding!
Anda tak salah, Zen RS memang kader organ hi-hi (hijau-hitam) dalam pengertiannya yang sesungguh-sungguhnya. Ia adalah kader milenial. Memasuki gerbang perjuangan umat di awal tahun 2000 di Kampus Karangmalang a.k.a IKIP atawa Universitas Negeri Yogyakarta.
Anda tak salah, Zen RS memang kader organ hi-hi (hijau-hitam) dalam pengertiannya yang sesungguh-sungguhnya. Ia adalah kader milenial. Memasuki gerbang perjuangan umat di awal tahun 2000 di Kampus Karangmalang a.k.a IKIP atawa Universitas Negeri Yogyakarta.
23 October 2016
Memoar dan Sketsa Gregorius Soeharsojo Goenito: Para “Pahlawan Repelita” Orde Harto
"Penggembala dan domba / Di bawah kokangan meriam dan kaliber / Ayo jalan, area sawah dekat / Di sini kuserahkan untuk masa depan" ~ Gregorius Soeharsojo, “Pelita 1969”, Tiada Jalan, hlm. 72
Kesaksian tentang Buru sudah kerap diekspresikan oleh mereka yang kena gebuk dan merasakan satu sekade berada dalam kerja di bawah popor bedil, bentakan, dan sepakan lars yang bikin ciut nyali. Ekspresi itu beberapa sudah dibukukan, dan beberapa lagi masih dalam kepala para tahanan politik (tapol) yang usianya makin menuju titik akhir cerita.
17 October 2016
Petani, Partai, Puisi
desa ditumpas
traktor meremuk palawidja
pembesar mana akan berkabung?
Agam Wispi, “Latini”, Matinja Seorang Petani (Badan Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat, 1962, hlm 8)
Akhirnya, setelah bertarung habis-habisan selama bertahun-tahun di sawah, di jalan, dan di pengadilan, petani yang mengekalkan hidup dalam koloni Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, keluar sebagai pemenang.
Mahkamah Agung pada 5 Oktober 2016 memenangkan gugatan perkara yang mereka ajukan lewat jalan Peninjauan Kembali (PK) setelah kalah di Pengadilan Negeri Semarang. Segala hal yang heroik yang dibayangkan orang dalam “negara-damai” sudah mereka lakukan: melawan tentara sewaan korporasi semen berbulan-bulan dalam tenda, melakukan long march ke pengadilan di Kota Semarang dan sekaligus memperlihatkan caping perlawanan kepada gubernur dari partai (baca PDIP) dengan ideologi marhaen yang makin ke sini makin aneh. Bahkan, di depan Istana Negara yang dihuni presiden dari partai yang menjadikan petani sebagai jualan ideologinya, sembilan perempuan petani ini menggelar “atraksi pertunjukan” dengan, ya Allah, mengikat kaki dengan cor semen.
traktor meremuk palawidja
pembesar mana akan berkabung?
Agam Wispi, “Latini”, Matinja Seorang Petani (Badan Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat, 1962, hlm 8)
Akhirnya, setelah bertarung habis-habisan selama bertahun-tahun di sawah, di jalan, dan di pengadilan, petani yang mengekalkan hidup dalam koloni Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, keluar sebagai pemenang.
Mahkamah Agung pada 5 Oktober 2016 memenangkan gugatan perkara yang mereka ajukan lewat jalan Peninjauan Kembali (PK) setelah kalah di Pengadilan Negeri Semarang. Segala hal yang heroik yang dibayangkan orang dalam “negara-damai” sudah mereka lakukan: melawan tentara sewaan korporasi semen berbulan-bulan dalam tenda, melakukan long march ke pengadilan di Kota Semarang dan sekaligus memperlihatkan caping perlawanan kepada gubernur dari partai (baca PDIP) dengan ideologi marhaen yang makin ke sini makin aneh. Bahkan, di depan Istana Negara yang dihuni presiden dari partai yang menjadikan petani sebagai jualan ideologinya, sembilan perempuan petani ini menggelar “atraksi pertunjukan” dengan, ya Allah, mengikat kaki dengan cor semen.
09 October 2016
Setelah 200 Tahun Centhini: Asmara dan Erotika Para Leluhur
"Ketika malam ketujuh tiba,
Tambangraras duduk bersimpuh di haluan ranjang, cukup jauh dari Amongraga
hingga tidak cemas terhadap ketelanjangannya, namun cukup dekat agar dapat
menjinakan lingganya" ~ Tembang 78, Serat Centhini saduran Elizabeth
D. Inandiak
Secara mengejutkan dan tepat Halilintar Lathief memperoleh Sang Hyang Kamahayanikan
Award 2016. Ia menerima penghargaan kehormatan dan dedikasi hidup pada jalan kebudayaan
dan teks-teks Nusantara dari Borobudur Writer and Culturan Festival 2016 bersama
Karkono Partokusumo Kamajaya (w. 2003).
Jika Karkono adalah pengalih aksara Serat Centhini dari aksara Jawa
ke Latin yang memungkinkan publik secara luas mengenal Centhini dalam 12
jilid lewat Yayasan Centhini yang didirikannya; maka, Halil adalah sosok yang dengan
konsisten dan panjang merawat eksistensi Bissu dalam kosmologi budaya Bugis. Jika
Anda mengingat pementasan akbar I La Galigo
ke panggung-panggung kota di dunia, prosesnya dimulai dari sosok Halil yang membawa
keluar para Bissu dari Makassar ke Bali untuk berjumpa sutradara Robert Wilson.
Makassar, kata Halil, terlalu sensistif untuk eksistensi “kelamin-ketiga”. Dan, La Galigo pun mendunia lewat
panggung pertunjukan akbar.
13 September 2016
Garuda September: Tari, Politik, dan Angkara
Alunan musik instrumen yang cepat khas Republik
Ceko menjadi penanda masuknya sang garuda dan sang dalang di Malam Musik
Antarbangsa di Bangka Culture Wave 2016.
Bukan, sama sekali bukan! Mereka tak
membawa anak-anak wayang yang biasa Anda saksikan di pementasan wayang umumnya.
Sebab, wayang yang dimainkan adalah lima wayang yang dibentuk berdasarkan
struktur lima Kepulauan Nusantara terbesar: Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua. Wayang rupa ciptaan pengelola Rumah Garuda yang masyhur di
Yogyakarta ini, Nanang R. Hidayat, dimainkan dan digerakkan tiga orang yang
berlainan bangsa dan negara, berbeda bahasa, namun disatukan oleh simbol negara
yang sama: elang. Atau dalam konteks Indonesia disebut garuda atau "raja-wali".
14 August 2016
Wajah Indonesia dan Seni (di) Airport
Bingkai judul media daring (dalam jaringan) yang menjadi viral sepanjang Jumat (12/8) atau sepekan sebelum Republik Indonesia merayakan ulang tahun ke-71 memang bikin bulu kuduk meremang: D.N. Aidit hadir di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten.
Bayangkan, di terminal penumpang yang baru dibuka 9 Agustus itu hadir –dalam bahasa intelijen kita, ”poster”– wajah Aidit. Saya pertegas, supaya bikin merinding warga ibu kota, di beranda depan Republik Indonesia hadir ”momok” yang melahirkan sebuah rezim bernama Orde Baru. Momok itu adalah Aidit, hantu itu adalah PKI.
Munculnya pun bukan di hutan-hutan sawit di Sumatera atau Sulawesi Barat, melainkan di paras depan Indonesia. Saya mempersalahkan media daring yang menjadi penyambung histeria dangkal itu? Tidak! Sebab, itu adalah gambaran watak umum bagaimana republik ini mendaras sejarah Indonesia. Dan di Terminal 3 Ultimate itu kita dihadapkan kepada sejarah Indonesia dalam medium visual bernama lukisan.
Lukisan, Bapak Polisi, bukan poster! Bukan pula selebaran gelap!
Bayangkan, di terminal penumpang yang baru dibuka 9 Agustus itu hadir –dalam bahasa intelijen kita, ”poster”– wajah Aidit. Saya pertegas, supaya bikin merinding warga ibu kota, di beranda depan Republik Indonesia hadir ”momok” yang melahirkan sebuah rezim bernama Orde Baru. Momok itu adalah Aidit, hantu itu adalah PKI.
Munculnya pun bukan di hutan-hutan sawit di Sumatera atau Sulawesi Barat, melainkan di paras depan Indonesia. Saya mempersalahkan media daring yang menjadi penyambung histeria dangkal itu? Tidak! Sebab, itu adalah gambaran watak umum bagaimana republik ini mendaras sejarah Indonesia. Dan di Terminal 3 Ultimate itu kita dihadapkan kepada sejarah Indonesia dalam medium visual bernama lukisan.
Lukisan, Bapak Polisi, bukan poster! Bukan pula selebaran gelap!
24 July 2016
Sukarno dan Olimpiade: Sumbangan Kiri Indonesia untuk Dunia
Tak ada gelora apa-apa saat atlet-atlet Indonesia
berangkat atas nama negara ke gelanggang Olimpiade Rio de Jeneiro, Brasil.
Berlaga di pentas olahraga internasional yang menjadi induk dari seluruh arena
adalah sebuah kebanggaan. Bukan hanya atlet dengan target mendapatkan panggung
dan medali, tapi juga memundaki kehormatan bangsa dan negara. Olimpiade adalah
perjumpaan seluruh bangsa yang mendiami planet bumi dalam satu momentum bersama
yang bernama olahraga.
Memang, menjadi aneh ketika ingar-bingar dan harapan
mencucuk langit tak pernah lagi kita temui saat atlet-atlet terbaik nasional di
pelbagai cabang olahraga keluar dari pintu keberangkatan bandar udara
Soekarno-Hatta untuk mengambil peran di panggung olimpiade. Ketiadaan prestasi
dan olahraga yang dimaknai sebagai rutinitas belaka sebagai bangsa menjadikan
keberangkatan ke olimpiade tak ubahnya sekadar menggugurkan hak berpartisipasi.
Di gelanggang olimpiade, bukan saja minim prestasi, tapi
kita tunasemangat sebagai bangsa besar yang pernah mengagendakan sebagai negara
yang disegani di bidang keolahragaan, sejajar dengan Tiongkok, Korea, Rusia,
hingga Amerika Serikat.
Izinkan saya "mendongengkan" sebuah masa di
mana Indonesia, tak hanya menebal-nebalkan mimpi dengan memperpanjang tidur di
gelanggang olahraga dunia, tapi juga menyusun langkah-langkah taktis dan
mendasar yang dimulai dari mental yang disebut Presiden Sukarno
"sport-minded".
21 July 2016
Kumis Turki
Kudeta Turki di Jumat keramat pekan ketiga
di bulan Juli memang sudah gagal. Faktanya: Presiden Recep Tayyip Erdogan
kembali ke tampuk kekuasaannya yang diikuti penangkapan, pemenjaraan, dan pembunuhan
terorganisasi atas semua lawan politiknya.
Dan, warga negara Indonesia--juga dunia--kaget dan gaduh atas malapetaka politik di Turki.
Saya tak terlalu kaget ketika warga (Muslim) Indonesia kaget, ribut, riwil, atau entah apalah sebutannya saat berhadapan dengan frase "Turki". Sebab secara historiografi, Indonesia memiliki memori yang unik atas negara perbatasan Eropa dan Asia ini. Keunikan posisi Turki ini dalam memori (orang) Indonesia bisa disandingkan dengan relasi kulturalnya yang harmonis dengan negara perbatasan benua lainnya (Asia dan Afrika), Mesir.
Dan, warga negara Indonesia--juga dunia--kaget dan gaduh atas malapetaka politik di Turki.
Saya tak terlalu kaget ketika warga (Muslim) Indonesia kaget, ribut, riwil, atau entah apalah sebutannya saat berhadapan dengan frase "Turki". Sebab secara historiografi, Indonesia memiliki memori yang unik atas negara perbatasan Eropa dan Asia ini. Keunikan posisi Turki ini dalam memori (orang) Indonesia bisa disandingkan dengan relasi kulturalnya yang harmonis dengan negara perbatasan benua lainnya (Asia dan Afrika), Mesir.
Apa yang disumbang Turki untuk aksi pro
kemerdekaan Indonesia? Tentu saja gagasan pan-islamisme yang disadur pemikir cum
pelaku pergerakan nasional awal. Tirto Adhi Soerjo, bapak dari para bapak
bangsa, di Pembrita Betawi sejak awal abad sudah berteriak untuk
berkiblat ke Turki. Koran bertarikh 16 April 1902 itu memuat kronik yang disusun
Tirto betapa Turki dengan gagasan besar pan-islamisme bisa menjadi ilham
bagaimana membangun pangkal konsolidasi kekuatan pribumi lewat cara baru yang
berbeda sama sekali dengan jalan Diponegoro yang melahirkan Java Oorlog.
13 July 2016
Guru Sang Peng(h)ajar
Peristiwa yang mendudukkan guru sebagai pesakitan di Jawa Timur menarik gerbong perhatian publik nasional. Para guru menunjukkan solidaritas yang kukuh bahwa metode mendidik mereka kepada anak didik yang ”bermasalah” tidak layak dikriminalisasikan.
Bahkan, ada meme (baca: mim) yang menyerang balik orang tua murid di media sosial yang menjadi viral: jika tak mau anak dididik, bikin sekolah sendiri, (h)ajar sendiri, buatkan ijazah sendiri.
Sekilas pesan meme yang dibagi banyak guru tersebut benar, tapi menunjukkan pandangan atas konstitusi yang kian mengalami rabun jauh. Sekalipun para guru pembela guru yang ”ringan tangan” itu mogok dari seluruh sekolah, kewajiban negara untuk menyediakan sekolah yang layak dan guru yang baik bagi warga negara tidak akan berkurang sedikit pun karena UUD mengamanatkannya demikian.
Jadi, marilah berpikir lebih jernih. Peristiwa yang menghebohkan tersebut bisa jadi adalah gunung es kekerasan yang selama ini terus-menerus diproduksi dan dipraktikkan dalam institusi sekolah kita. Peristiwa guru mencubit murid itu seharusnya tidak menjadi aksi balas dendam para guru di media sosial yang bersekutu meng(h)ajar balik murid-murid nakal.
Bahkan, ada meme (baca: mim) yang menyerang balik orang tua murid di media sosial yang menjadi viral: jika tak mau anak dididik, bikin sekolah sendiri, (h)ajar sendiri, buatkan ijazah sendiri.
Sekilas pesan meme yang dibagi banyak guru tersebut benar, tapi menunjukkan pandangan atas konstitusi yang kian mengalami rabun jauh. Sekalipun para guru pembela guru yang ”ringan tangan” itu mogok dari seluruh sekolah, kewajiban negara untuk menyediakan sekolah yang layak dan guru yang baik bagi warga negara tidak akan berkurang sedikit pun karena UUD mengamanatkannya demikian.
Jadi, marilah berpikir lebih jernih. Peristiwa yang menghebohkan tersebut bisa jadi adalah gunung es kekerasan yang selama ini terus-menerus diproduksi dan dipraktikkan dalam institusi sekolah kita. Peristiwa guru mencubit murid itu seharusnya tidak menjadi aksi balas dendam para guru di media sosial yang bersekutu meng(h)ajar balik murid-murid nakal.
04 July 2016
Jurnalistik dan Sepak Bola
Di setiap pertandingan akbar sepak bola, baik levelnya dunia maupun benua atau bahkan laga ter-domestik (tarkam), jurnalistik adalah pilar penting. Di antara teriakan dan dengung suara parau suporter sepanjang pertandingan, di sana ada jurnalis yang duduk tekun mengamati, mencatat, memotret, merekam.
Serupa pertapa, jurnalis dengan jumlah yang minimalis dan duduk di beberapa sudut lapangan itu dengan segala peralatan yang melekat di tubuhnya menjadikan sepak bola bergemuruh ke seluruh dunia. Bahkan, membuat panik penduduk yang berada di pojok negeri dengan jalanan makadam dan berlumpur di mana asupan listrik yang minimalis dan tangkapan sinyal parabola menjadi cerita menyedihkan.
Sepak bola dengan jurnalistik menjadikan dunia tahu Cristiano Ronaldo menjadi manusia setengah dewa bagi bocah di Aceh yang saat berseragam Portugis di Euro 2016 dan nyaris seuruh Piala Dunia yang dilewatinya selama ini terus menampilkan performa yang melempem ketimbang saat mengenakan jersey klub.
Serupa pertapa, jurnalis dengan jumlah yang minimalis dan duduk di beberapa sudut lapangan itu dengan segala peralatan yang melekat di tubuhnya menjadikan sepak bola bergemuruh ke seluruh dunia. Bahkan, membuat panik penduduk yang berada di pojok negeri dengan jalanan makadam dan berlumpur di mana asupan listrik yang minimalis dan tangkapan sinyal parabola menjadi cerita menyedihkan.
Sepak bola dengan jurnalistik menjadikan dunia tahu Cristiano Ronaldo menjadi manusia setengah dewa bagi bocah di Aceh yang saat berseragam Portugis di Euro 2016 dan nyaris seuruh Piala Dunia yang dilewatinya selama ini terus menampilkan performa yang melempem ketimbang saat mengenakan jersey klub.
04 June 2016
Warisan Kiri yang Siap Dihancurkan!
Ketika di bulan Mei sekelompok ormas dan didukung segelintir purnawirawan TNI seperti Kivlan Zen menuding-nuding patung warisan komunis di jantung ibu kota Jakarta.
Patung yang lebih dikenal publik dengan "Tugu Tani" itu terletak di lingkaran strategis. Pertemuan antara Menteng-Cikini, Senen, Thamrin, dan Gambir. Patung pak tani bercaping dengan membawa senjata laras panjang dan bu tani membawa bakul ini berdiri di area yang luas dan di bawahnya bunga-bunga berbagai warna penyerap karbondioksida tumbuh subur.
Tudingan bahwa ini patung kiri adalah benar adanya. Patung karya seniman Manizer Bersaudara ini adalah sumbangan Uni Soviet kepada Indonesia. Bahkan pada saat diresmikan pada 1963 oleh Sukarno, tampak hadir Wakil Perdana Menteri Anastas Mikoyan.
Patung yang lebih dikenal publik dengan "Tugu Tani" itu terletak di lingkaran strategis. Pertemuan antara Menteng-Cikini, Senen, Thamrin, dan Gambir. Patung pak tani bercaping dengan membawa senjata laras panjang dan bu tani membawa bakul ini berdiri di area yang luas dan di bawahnya bunga-bunga berbagai warna penyerap karbondioksida tumbuh subur.
Tudingan bahwa ini patung kiri adalah benar adanya. Patung karya seniman Manizer Bersaudara ini adalah sumbangan Uni Soviet kepada Indonesia. Bahkan pada saat diresmikan pada 1963 oleh Sukarno, tampak hadir Wakil Perdana Menteri Anastas Mikoyan.
12 May 2016
Marhaban Ya Sweeping Buku Kiri
Dampak dari Pengadilan Rakyat Internasional atau International People's Tribunal untuk korban pembantaian massal 1965 di Den Haag, Belanda (10-13 November 2015) melahirkan sebuah simposium terpenting sejak Orde Harto tumbang. Simposium Tragedi 1965 di Jakarta pada 18-19 April itu tak saja menunjukkan respons positif pemerintahan Jokowi atas pelanggaran berat HAM masa lalu, tapi juga menjadi panggung untuk melihat bagaimana elite politik dan para jenderal berpikir dan berkata-kata.
Salah satu kutipan paling penting dalam 18 tahun Reformasi berjalan saya kira yang diucapkan jenderal berdarah panas yang juga menjabat Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu: “Pancasila adalah ciptaan Tuhan”. Konteks ucapan itu adalah semua takfiri Pancasila mesti menyingkir sejauh-jauhnya jika ingin berhadapan dengan laskar dan jenderal-jenderal titisan Tuhan. Dan setelah itu, meledaklah di media sosial agitasi gerakan sapu bersih. Salah satunya isu sweeping buku.
Saat diskusi buku Ideologi Saya adalah Pramis di pergelaran “Jogja Itoe Boekoe” di pekan pertama Mei di UIN Sunan Kalijaga, Cak Udin (santri lapak buku murah) menceritakan pengalamannya yang tak tersebar luas ke media massa. Saat membuka lapak bertajuk “Buku Murah” di Gresik dan Pare-Kediri, Jawa Timur, semua buku kiri yang dijualnya dengan modal pas-pasan disikat dan diambil begitu saja oleh aparat yang katanya sudah mendapat mandat dari “atasan”.
Salah satu kutipan paling penting dalam 18 tahun Reformasi berjalan saya kira yang diucapkan jenderal berdarah panas yang juga menjabat Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu: “Pancasila adalah ciptaan Tuhan”. Konteks ucapan itu adalah semua takfiri Pancasila mesti menyingkir sejauh-jauhnya jika ingin berhadapan dengan laskar dan jenderal-jenderal titisan Tuhan. Dan setelah itu, meledaklah di media sosial agitasi gerakan sapu bersih. Salah satunya isu sweeping buku.
Saat diskusi buku Ideologi Saya adalah Pramis di pergelaran “Jogja Itoe Boekoe” di pekan pertama Mei di UIN Sunan Kalijaga, Cak Udin (santri lapak buku murah) menceritakan pengalamannya yang tak tersebar luas ke media massa. Saat membuka lapak bertajuk “Buku Murah” di Gresik dan Pare-Kediri, Jawa Timur, semua buku kiri yang dijualnya dengan modal pas-pasan disikat dan diambil begitu saja oleh aparat yang katanya sudah mendapat mandat dari “atasan”.
29 March 2016
Kita Butuh UU Buku, bukan Perpus DPR
Kita selalu memberi apresiasi kepada semua kalangan untuk memajukan dunia literasi di Indonesia. Termasuk anggota parlemen dengan impian spektakuler: membangun perpustakaan DPR termegah se-Asia Tenggara.
Saya selalu memuji website dpr.go.id, terutama saat mereka mengunggah edisi daring seluruh produk staatsblad sejak Indonesia Merdeka (1945) hingga kini. Ini pekerjaan luar biasa maju. Rupanya, membangun dokumen raksasa via daring tak cukup bagi legislator pengesah anggaran apa pun dari eksekutif ini.
Jika angan-angan punya gedung sendiri sejak satu dekade silam selalu mentok karena ditolak rakyat banyak, kini DPR meniti jalan memutar dan terkesan mulia: bangun perpustakaan termegah.
Saya selalu memuji website dpr.go.id, terutama saat mereka mengunggah edisi daring seluruh produk staatsblad sejak Indonesia Merdeka (1945) hingga kini. Ini pekerjaan luar biasa maju. Rupanya, membangun dokumen raksasa via daring tak cukup bagi legislator pengesah anggaran apa pun dari eksekutif ini.
Jika angan-angan punya gedung sendiri sejak satu dekade silam selalu mentok karena ditolak rakyat banyak, kini DPR meniti jalan memutar dan terkesan mulia: bangun perpustakaan termegah.
02 January 2016
Lima Teladan Retro untuk Resolusi 2016
Saya hampir tak dapat bagian untuk melakukan tabulasi soal apa yang keren dan bangsat di tahun 2015. Kronik peristiwa penting 2015 dan segala keperihannya sudah dibikin Kompas, Tempo, Kedaulatan Rakyat, Nova, Misteri, dan Kokok Dirgantara. Ketika semua sudah menampilkan yang terbaik yang mereka kuasai, saya tiba-tiba ingat kemampuan saya yang sampai saat ini masih saya miliki: menggali sumur masa lalu yang bisa sampai di bulan Januari 1900.
Untuk itu, izinkan saya memberi Anda bayangan resolusi di 2016 lewat cerita teladan sejumlah lelaki muda pemberani yang sialnya dilahirkan oleh sebuah kurun bernama “1915”.
Untuk itu, izinkan saya memberi Anda bayangan resolusi di 2016 lewat cerita teladan sejumlah lelaki muda pemberani yang sialnya dilahirkan oleh sebuah kurun bernama “1915”.
24 November 2015
Wahai Khidir, Bimbinglah Yakusa HMI di Jalanmu!
Marilah memahami Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) secara jernih. Mungkin Anda menganggap bahwa HMI yang berdiri sejak 1947 (HMI47) itu sehimpunan mahasiswa rakus uang ketimbang dermawan, lebih suka pesta ketimbang zikir, jadi garong restoran ketimbang laskar shaum, produsen pemasok menteri penghuni lapas daripada pencetak penghuni surga, atau calon-tepat pembikin bangkrut BUMN macam Pelni ketimbang penggerak usaha dagang untuk anak-anak yatim dan mahasiswa tunaasmara.
Marilah memahami HMI sebagai himpunan dua bilangan: bilangan genap (MPO, dengan Ketua Umum Pertama: Kanda Eggy) dan himpunan bilangan prima (DPO, dengan Ketua Umum Pertama: Kanda Azhar).
Saya mengajak Anda semua memahami kembali dua watak HMI agar tidak tergelincir pada pandangan yang penuh syak-wasangka. Toh, seusai keduanya Kongres (MPO/Tangerang dan DPO/Pekanbaru), semuanya kembali baik-baik saja.
Marilah memahami HMI sebagai himpunan dua bilangan: bilangan genap (MPO, dengan Ketua Umum Pertama: Kanda Eggy) dan himpunan bilangan prima (DPO, dengan Ketua Umum Pertama: Kanda Azhar).
Saya mengajak Anda semua memahami kembali dua watak HMI agar tidak tergelincir pada pandangan yang penuh syak-wasangka. Toh, seusai keduanya Kongres (MPO/Tangerang dan DPO/Pekanbaru), semuanya kembali baik-baik saja.
11 November 2015
Tak Ada Bung Tomo di Pertempuran 10 November
Pertempuran 10 November yang kemudian bertiwikrama menjadi “hari pahala-wan” adalah salah satu pertempuran paling mematikan dalam sejarah perang di Indonesia. Arek-arek Suroboyo bertempur habis-habisan untuk melawan sebuah ultimatum pendudukan setelah 84 hari kemerdekaan diproklamasikan secara hikmat di Jakarta Pusat.
Dan, Allahu Akbar, lahirlah sosok tokoh yang luar biasa jasanya dalam pertempuran paling mematikan itu. Namanya Sutomo. Dipanggil Bung Tomo, mungkin agar manusia pilihan jago nyangkem di mikrofon tidak melulu dimonopoli Bung-Yang-Satu-Itu; Bung yang ditegur Si Bung dari Surabaya ini pada akhir tahun 50-an karena mempraktikkan poligami di Istana Negara.
Mengherankan sebetulnya bagaimana nama Bung Tomo ini ujug-ujug jadi ikon utama pertempuran 10 November. Dalam prosesi penentuan 10 November dijadikan Hari Pahlawan, beberapa pemimpin inti laskar pemuda di depan Sukarno di Jakarta justru menihilkan siapa pahlawan utama dalam peristiwa yang menewaskan ratusan ribu orang dan melantakkan seluruh infrastruktur kota. Siapa gerangan si utama yang baik atau su-tomo itu, ya arek-arek Suroboyo secara keseluruhan.
Dan, Allahu Akbar, lahirlah sosok tokoh yang luar biasa jasanya dalam pertempuran paling mematikan itu. Namanya Sutomo. Dipanggil Bung Tomo, mungkin agar manusia pilihan jago nyangkem di mikrofon tidak melulu dimonopoli Bung-Yang-Satu-Itu; Bung yang ditegur Si Bung dari Surabaya ini pada akhir tahun 50-an karena mempraktikkan poligami di Istana Negara.
Mengherankan sebetulnya bagaimana nama Bung Tomo ini ujug-ujug jadi ikon utama pertempuran 10 November. Dalam prosesi penentuan 10 November dijadikan Hari Pahlawan, beberapa pemimpin inti laskar pemuda di depan Sukarno di Jakarta justru menihilkan siapa pahlawan utama dalam peristiwa yang menewaskan ratusan ribu orang dan melantakkan seluruh infrastruktur kota. Siapa gerangan si utama yang baik atau su-tomo itu, ya arek-arek Suroboyo secara keseluruhan.
25 October 2015
Infrastruktur Buku setelah Buchmesse
Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan di Harmonie Hall Congress Center Messe Frankfurt memukau ribuan hadirin yang menyaksikan pembukaan Frankfuter Buchmesse, 13 Oktober silam. Menteri Baswedan memampatkan sedemikian rupa wacana penghormatan pada keragaman dan politik bahasa sebagai instrumen mempersatukan bangsa. Indonesia mampu keluar dari momok kebinasaan dan menjadikan keragaman sebagai kekuatan karena “Bahasa Indonesia” diciptakan 27 tahun mendahului terciptanya negara-bangsa.
Pidato Menteri Baswedan di ajang “Perdagangan Buku antar-Bangsa” (PBB) itu memang samar dan tidak seperti Presiden Yang Terhormat Jokowi umumnya yang langsung pada duduk soal yang dibutuhkan dunia perbukuan nasional. Menteri Baswedan ingin mengatakan jika bahasa begitu penting, maka salah satu infrastruktur rumah bahasa yang terpenting, yakni buku, sangat urgen dibenahi.
Dalam konteks Frakfurter Buchmesse yang sudah selesai digelar selama sepekan, mestinya ada keberlanjutan kerja membenahi “bahasa” dan infrastruktur dari “rumah bahasa” itu. Terutama sekali soal Infrastruktur Penerjemahan Buku.
Pidato Menteri Baswedan di ajang “Perdagangan Buku antar-Bangsa” (PBB) itu memang samar dan tidak seperti Presiden Yang Terhormat Jokowi umumnya yang langsung pada duduk soal yang dibutuhkan dunia perbukuan nasional. Menteri Baswedan ingin mengatakan jika bahasa begitu penting, maka salah satu infrastruktur rumah bahasa yang terpenting, yakni buku, sangat urgen dibenahi.
Dalam konteks Frakfurter Buchmesse yang sudah selesai digelar selama sepekan, mestinya ada keberlanjutan kerja membenahi “bahasa” dan infrastruktur dari “rumah bahasa” itu. Terutama sekali soal Infrastruktur Penerjemahan Buku.
22 September 2015
Wisata Sumur, Sebuah Panduan Rekreasi terhadap Warisan Agung Haji Muhammad Soeharto
“Pada suatu hari saya menebang pohon pisang dengan sebuah sabit.” (SOEHARTO)
Jika Anda bertanya ke mana rekreasi yang paling tepat di bulan September dan Oktober setiap guliran waktu, saya merekomendasikan museum Soeharto. Nama resmi museum yang dibuka untuk publik pada akhir Agustus 2013 ini adalah Memorial Jenderal Besar H.M. Soeharto.
Menggunakan bus, Anda bisa menjangkaunya melalui jalan Wates. Selain seliweran kendaraan, tak ada yang bisa dinikmati dari Pasar Gamping hingga bangjo (Polres) Sedayu (berjarak 6 kilometer). Sampai di perempatan, belok kanan dan melajulah dengan kecepatan sedang sejauh 2 kilometer. Aspal mulus dan dipastikan sampai setelah melewati rel kereta api dan dua dusun: Panggang dan Kemusuk Kidul. Dua kampung itu masuk dalam wilayah administrasi Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tapi jika Anda penyuka hidup lambat dan sehat alias naik sepeda, saya rekomendasikan lewat Gamping. Rutenya: Pertigaan Patukan, Ambarketawang (sebelum rel dan stasiun kecil Patukan), belok kiri, lalu Anda bisa menikmati hamparan sawah dan ladang marhaen-marhaen Godean sepanjang Jalan Bibis (Patukan-Rewulu). Sebagaimana nasib yang selalu menimpa "jalan alternatif", ya jalan kurang mulus, banyak lubang, dan tentu saja berdebu. Sampai pada pertigaan Balai Benih Ikan, belokkan stang sepeda Anda ke kiri: lewati jalan beraspal Dusun Sembuh Kidul (Rewulu), Puluhan (Argomulyo), hingga Kemusuk Lor (Argomulyo).
Jika Anda bertanya ke mana rekreasi yang paling tepat di bulan September dan Oktober setiap guliran waktu, saya merekomendasikan museum Soeharto. Nama resmi museum yang dibuka untuk publik pada akhir Agustus 2013 ini adalah Memorial Jenderal Besar H.M. Soeharto.
Menggunakan bus, Anda bisa menjangkaunya melalui jalan Wates. Selain seliweran kendaraan, tak ada yang bisa dinikmati dari Pasar Gamping hingga bangjo (Polres) Sedayu (berjarak 6 kilometer). Sampai di perempatan, belok kanan dan melajulah dengan kecepatan sedang sejauh 2 kilometer. Aspal mulus dan dipastikan sampai setelah melewati rel kereta api dan dua dusun: Panggang dan Kemusuk Kidul. Dua kampung itu masuk dalam wilayah administrasi Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tapi jika Anda penyuka hidup lambat dan sehat alias naik sepeda, saya rekomendasikan lewat Gamping. Rutenya: Pertigaan Patukan, Ambarketawang (sebelum rel dan stasiun kecil Patukan), belok kiri, lalu Anda bisa menikmati hamparan sawah dan ladang marhaen-marhaen Godean sepanjang Jalan Bibis (Patukan-Rewulu). Sebagaimana nasib yang selalu menimpa "jalan alternatif", ya jalan kurang mulus, banyak lubang, dan tentu saja berdebu. Sampai pada pertigaan Balai Benih Ikan, belokkan stang sepeda Anda ke kiri: lewati jalan beraspal Dusun Sembuh Kidul (Rewulu), Puluhan (Argomulyo), hingga Kemusuk Lor (Argomulyo).
Subscribe to:
Posts (Atom)