Showing posts with label Adam/Hawa. Show all posts
Showing posts with label Adam/Hawa. Show all posts

23 June 2012

Marginalisasi Perempuan dalam Novel Adam Hawa

::hasti dewi

Skripsi Hasti Dewi (Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni - Universitas Negeri Yogyakarta) 
Skripsi ini pertama kali didiskusikan dalam forum Obrolan Senja untuk kemudian diujikan di depan Dewan Penguji Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Yogyakarta. Diskusi dilaksanakan pada hari Rabu, 13 Juni 2012, pukul 15.30 – 18.00 di Angkringan Buku, Yayasan Indonesia Buku, Jl. Patehan Wetan No.3 Alun-alun Selatan, Keraton, Yogyakarta.
Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting dari laki-laki, sehinga perempuan menjadi termarginalkan bila dilihat dari berbagai macam aspek. Tidak dapat dipungkiri perempuan memang telah diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, dapat bekerja di luar rumah, bahkan dalam sistem sosial sudah berperan aktif, tetapi keyataannya perempuan masih dianggap lebih rendah dari laki-laki (Ratna, 2007:224).

02 July 2011

Adam yang lahir dari Ketiak TUHAN

::edi sembiring

Orang beragama adalah orang yang mengakui KETERBATASANNYA sebagai manusia dan mempercayai Tuhan sebagai semesta ketakterbatasan. Pengakuan ketidakberdayaan manusia di depan Tuhan adalah MORALITAS keberagamaan.

Sementara Filsafat adalah pergulatan daya pikir dalam melacak jejak kebenaran. Maka filsafat menjunjung tinggi HARKAT manusia sebagai mahluk BERMORAL. Harkat itu terletak pada daya pikirnya.

Dan Sastra adalah jagat cermin. Cermin hidup yang memantulkan bayangan realitas kemanusiaan atau buruk rupa wajah zaman. Sehingga sastrawan bukanlah nabi yang diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral dan bukan pula harus berkontemplasi bak filsuf untuk menemukan mata air kebajikan.

Maka pena-pena sastarawan bebas meliuk-liuk, menggambarkan Adam lahir dari ketiak kanan Tuhan (novel Adam Hawa karya Muhidin M Dahlan, Yogyakarta, 2005), atau tafsir bahwa Tuhan lebih sayang pada Adham (nabi Adam) dibanding Gabal (nabi Musa), Rifa'a (Isa Almasih) dan Qasim (Muhammad) seperti kisah tersirat dalam novel Aulad Haratyna (1962) karangan Naguib Mahfouz (berkebangsaan Mesir) pemenang nobel 1988.

Seperti Muhidin M Dahlan yang dianggap sesat (padahal ia seorang santri), Naguib Mahfouz juga dicibir ulama garis keras Mesir dengan mengatakan apabila Naguib Mahfouz tak menulis novel Aulad Haratyna barangkali Salman Rushdie tak akan menulis The Satanic Verses.

Agama bila digunakan dalam mengukur derajat ketersesatan teks sastra hanyalah sebagai jalan merendahkan agama itu sendiri, seperti dikatakan oleh Ribut Wijoto (2002):

"Karena agama bersuara dalam tataran etika sementara sastra bersuara dalam tataran estetika. Agama menciptakan pagar, sastra membongkarnya. Sastra merayakan kerapuhan, Agama memperkokohnya kembali."

Dalam kitab suci dikatakan bahwa Adam begitu dekat dengan Tuhan dan bisa berbicara langsung di sebuah Taman. Sehingga Adam dalam karya Muhidin M Dahlan adalah membongkarnya sebagai bentuk kesombongan keturunannya yang selalu berteriak MEMBELA TUHANNYA dan berhak melakukan KEKERASAN ATAS NAMA TUHAN. Saling bunuh demi Tuhan seperti anak-anak Adam. Bahkan mampu me-nuhankan diri sendiri.

Karena kelahiran Adam itu sendiri adalah sebuah kecerobohan terbesar Tuhan, dalam imaji Muhidin dituliskan sebagai betapa tersiksanya Tuhan sehingga akibat gatal maha gatal yang menjangkiti ketiak penuh bulu itu. Tuhan menggaruknya dengan kasar maha kasar, hingga ketiak-Nya robek, berdarah dan membikin sebuah lubang kecil. Dari lubang itu, bayi yang kelak bernama Adam dilahirkan.

Apakah dua penulis ini (dan lainnya) sesat?

Mereka hanya menunjukkan cermin carut marut kita, pagar-pagar yang telah kita rusak, rubuhkan dan patahkan (sadar atau tidak sadar). Kita selalu berpegang dalam kerapuhan tafsir kita terhadap teks suci. Dalam kemalasan atau mungkin kedunguan dalam menafsirkan teks suci. Dan bersyukurlah ada yang memberi tafsir walau dengan cermin yang penuh retak-retak wajah kita.

Pengakuan ketidak berdayaan kita di depan Tuhan adalah MORALITAS keberagamaan. Sehingga mengapa pula kita harus menyatakan sebagai kaum yang lebih benar, sebagai kaum yang paling suci dihadapan umat agama lainnya?

Karena kesombongan itu akan MEMUAKKAN di hadapan TUHAN.

Sumber: edisantana.blogspot.com

22 November 2010

Sastra yang Terbelenggu

::donny anggoro

Pelbagai perkembangan sastra terakhir ini mencatat perkembangan yang menggembirakan. Lomba-lomba menulis sering diadakan, terutama cerpen dan novel, buku-buku antologi cerpen, puisi dan novel banyak diterbitkan, juga penghargaan sastra yang sudah ada semakin diperbaiki dengan ditambahkannya berbagai kategori selain ada pula penghargaan sastra baru yang menurut cerpenis Damhuri Muhammad sebagai “Sastra Idol” (Darah Daging Sastra Indonesia, Jalasutra, 2010).

Kategori penulisan juga makin berkembang tidak hanya sastra saja. Buku-buku humor dan cerita parodi juga muncul meramaikan pasar buku. Sastra sendiri semakin marak dengan mulai banyak menghasilkan nama-nama baru yang bertaburan di media cetak terutama koran. Berbagai komunitas sastra juga bertambah sehingga untuk sementara saya beralih pada seni komik yang menurut saya masih menyimpan kekurangan dibandingkan sastra. Agak lama saya tak menghasilkan esei sastra karena menurut saya perjalanan dan dinamika sastra mulai menunjukkan tanda-tanda semakin sehat dengan pelbagai aktivitas komunitas yang muncul meski notabene masih menyimpan kekurangan.

Tapi menutup tahun 2010 setelah saya lebih serius menekuni komik, perhatian saya kembali lagi pada sastra yang menurut saya masih terbelenggu sehingga kurang lincah menghasilkan karya yang baik. Kenapa terbelenggu karena menurut saya sastra kita terlampau serius ditekuni oleh penulis-penulis kita. Menjadi serius memang bagus, tapi “terlalu” serius juga tidak baik. Sekedar contoh, kenapa tidak ada yang menyelipkan atau membuat humor ke dalam sastra?

Permainan humor sebenarnya ada tapi itu lagi-lagi dilakukan oleh pengarang tua, sebut saja Danarto dalam buku antologi cerpennya yang terakhir “Kacapiring”. Sedangkan untuk penulis baru hampir tidak ada karena semuanya terlampau serius untuki menghasilkan karya ”mpu”.

Ben Sohib, dua penghasil karya “Da Peci Code” dan “Rosid dan Delia” sebenarnya sudah menunjukkan kecenderungan itu meskipun kedua novelnya tidak digolongkan sebagai sastra. Tapi, lihatlah kedua bukunya laris bahkan difilmkan tahun 2010. Ben Sohib menurut saya membuka peluang bahwa sastra bisa dibikin menarik dan lucu. Bolehlah novel Ben tidak dianggap sastra oleh kritikus dan pengamat tapi saya menganggapnya juga sebagai sastra karena kedua novel tersebut bukan sekedar lucu-lucuan saja. Karya Ben menurut saya masih menyimpan ambisi sastrawi pula dengan menghadirkan tokoh Rosid dan permasalahan yang tidak biasa. Tokoh Rosid terbilang cukup berani mendobrak apa yang telanjur sudah digariskan dalam agama. Dialog-dialog dalam diskusi dengan guru agamanya yang bertentangan karena sang guru terbilang kolot di samping keberaniannya memacari gadis Katolik, juga kesukaannya pada puisi membuat novel Ben tampak beda dari novel hiburan kebanyakan. Tokoh boleh di kota yang kosmopolit tapi masalah yang diusung cukup berani. Ada nilai pluralisme di situ.

Sebenarnya sebelum Ben Sohib ada novel Muhidin M. Dahlan (Adam dan Hawa) yang membuat panas Majelis Mujahidin Indonesia ketika resensinya dimuat di sebuah koran. Majelis Mujahidin menuduh Muhidin menghina agama Islam ketika menampilkan Adam dan Hawa yang diciptakan Tuhan keluar melalui ketiaknya (sehingga membuat Tuhan geli) juga kisah lain yang juga menggambarkan persetubuhan Adam. Sayangnya tiada yang menyadari karya Muhidin itu sebenarnya parodi atas cerita kitab suci. Semuanya menganggap terlalu serius, apalagi kalau menyinggung agama Islam sehingga Muhidin dihujat.

Kebebasan berekspresi dalam sastra belum diterima dengan baik di sini. Permainan kreativitas dengan mencampurkan humor dan parodi belum dianggap sebagai upaya yang baik untuk menghasilkan karya. Sastra dianggap kelewat serius sehingga tak banyak eksperimen disuguhkan. Cerita sastra yang dianggap selalu masih berkutat pada metafora atau kekayaan menampilkan budaya lokal. Ini bisa terlihat dari pemenang Sayembara Novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta berkali-kali. “Permainan” dan ekspresi lain salah satunya humor bisa dibilang belum dirambah oleh pemain sastra kita.

Sastra masih terbelenggu pola-pola lama yaitu menyampaikan ketidakadilan dan luka batin. Mungkin ketimpangan ini masih belum mewakili karena sastra harus menyimpan nilai-nilai, tapi saya khawatir sastra kita nyatanya belum maju dengan pengucapan lain yang sesungguhnya bisa menaikkan mutu sastra itu sendiri dengan paling tidak mampu meraih pembaca yang lebih luas.

Gejolak pertumbuhan yang ada masih mengikuti pola lama yaitu mengekor keberhasilan penjualan novel yang sedang laris. “Ayat-Ayat Cinta” laris yang lain ikut-ikutan bikin novel yang diembel-embeli “pembangun jiwa”. Sama seperti sastra seks karya penulis perempuan melejit tahun 2003 lalu, para pengarang dan penerbit ikut-ikutan sampai akhirnya bosan. Begitu juga “metro pop” yang jelas-jelas mengadopsi “chick lit” dari luar negeri. Pembaca yang kritis akhirnya tak punya pilihan kecuali mengkonsumsi karya-karya asing, baik yang sudah diterjemahkan maupun belum, yang lebih banyak menawarkan berbagai ragam masalah dan ekspresi pengucapan yang lebih menarik.

Ketidakmampuan mengolah “humor dalam sastra” inilah menujukkan indikasi bahwa kreativitas sastra kita masih mandeg, tak berani memunculkan gaya baru selain hanya ikut-ikutan saja sampai bosan. Sayang!*

Sumber: donnyanggoro.wordpress.com

04 July 2008

Saya Paham Kenapa Orang Marah Baca Buku Ini

::endah sulwesi (perca)

Adam dalam kitab-kitab suci agama langit, Islam, Nasrani, dan Yahudi, dipercaya sebagai manusia pertama ciptaan Tuhan. Makhluk berjenis kelamin lelaki ini, masih menurut kitab-kitab suci itu, dibuat dari tanah. Sebelum kemudian ia diusir dari Surga, Tuhan telah berbaik hari memberinya seorang kawan yang–sebagaimana tertulis dalam ayat-ayat Tuhan–diciptakan dari seruas tulang iga Adam sebelah kiri (barangkali dari sini berawal penempatan perempuan dalam saf salat berjamaah).

Tersebab Adam melanggar larangan Tuhan untuk tidak menyentuh atau apa lagi sampai berani memakan buah khuldi–buah yang hanya tumbuh di Surga (ada juga versi yang menyebutnya apel)–ia pun dihukum Tuhan dengan dilemparkan ke bumi bersama “rusuk kirinya”. Itulah sejarah yang selama ini diimani sebagai asal mula adanya manusia di bumi.

Oleh penulis “gemblung” Muhidin M. Dahlan, “sejarah” suci itu ditulis kembali dengan gaya kelakar yang bisa jadi bikin pembaca yang relijius akan merah kuping dan “berasap” kepalanya. Pasalnya Adam Hawa dalam versi Gus Muh atawa Gus Pengasap ini tampil dalam sosok yang “berbeda”. Oh, bahkan Gus Sinting ini berani menuliskan bahwa Hawa bukanlah perempuan pertama, sebab yang pertama itu adalah Maia (ah..kenapa saya lalu jadi ingat Maia Ahmad, ya?)

Lantaran sebelumnya saya sudah sempat mencari kenal penulis muda yang banyak mendapat hujatan, terutama dari kelompok Islam karena keempat novelnya yang dianggap kelewat nyeleneh itu, maka saya sudah menyiapkan mental untuk bertemu dengan sebuah lakon yang “aneh”.

Muhidin menyajikan dua versi “unik” mengenai penciptaan Adam. Versi pertama, ia mengartikan secara harfiah Adam yang dibuat dari tanah. Tuhan telah memerintahkan malaikat-malaikatnya yang setia untuk menemui kaum kurcaci yang terkenal mahir membuat patung. Pada orang-orang mungil ini, malaikat memesan sebuah patung lempung makhluk terbaru yang kelak dikenal sebagai manusia. Gambar dan rancangan patung tersebut dibuat sendiri oleh Tuhan dengan detail yang sangat sempurna. Ketika saatnya tiba, Tuhan menghembuskan kehidupan ke dalam tubuh patung lempung tersebut dan memanggilnya dengan nama Adam.

Versi kedua, Tuhanlah yang “melahirkan Adam”. Cuma karena Muhidin menafsirkan Tuhan berkelamin cowok (Ugh, mengapa harus ditafsirkan sebagai lelaki?) yang tidak memiliki rahim dan vagina, maka Adam lalu dikisahkan lahir lewat ketiak Tuhan yang dipenuhi bulu. Sungguh imajinasi yang, hmm, nakal. Saya bisa paham jika ada pembaca yang tidak berkenan dan misuh-misuh. Saya tidak tahu deh bagaimana reaksi FPI kalau membaca novel tipis ini.

Adam ternyata lebih suka dan sepakat dengan versi kedua. Sebab menurut hematnya versi pertama sangat tidak keren. Tercipta dari lempung? Oh, sungguh hina dan memalukan. Sebutan “putra Tuhan” tentu jauh lebih terhormat.

Setelah sekian lama sendiri di Taman Eden, pada suatu pagi Adam terkejut lantaran mendapati seorang makhluk lain yang sangat mirip dengan dirinya nangkring di batang pohon khuldi. Ah, tetapi setelah ia dekati, makhluk itu ternyata sedikit berbeda dengan dirinya. Bagian dadanya menggelembung, tidak rata seperti miliknya. Dan sebaliknya, di antara selangkangannya tidak terdapat gumpalan daging yang mirip akar tunjang seperti di tubuhnya. Makhluk itu menyebut dirinya Maia.

Lalu, tinggallah Maia bersama Adam di Taman Eden, di sebuah rumah batu (entah belajar dari mana Adam cara membuat rumah itu). Setiap detik mereka lewati dengan bercinta sampai kelelahan. Rupanya, Tuhan yang pandai itu telah melengkapi Adam dan Maia dengan hasrat berahi yang membuat keduanya saling tertarik dan bergairah satu sama lain. Tiada hari tanpa bercinta. Hingga pada suatu masa Maia tiba pada titik jenuh karena pasangannya kelewat dominan dan suka memerintah. Maia tak diperkenankan memiliki inisatif, bahkan dalam soal bercinta sekalipun. Ia harus selalu mematuhi kehendak Adam, tanpa boleh membantah sedikitpun. Maka, kemudian ia memutuskan minggat dari lelaki itu.

Nah, barulah setelah kepergian Maia entah ke mana, Tuhan memberikan Hawa sebagai penggantinya. Hawa yang penurut serta tak pernah menuntut. Disuruh apapun akan ia laksanakan dengan kepatuhan seorang budak kepada majikannya. Sebab, ia telah diperintahkan Tuhan untuk hanya mematuhi Adam. Ow..ow…inikah hulu sejarah masyarakat patriarkhi (male domination)?:D

Yah, saya cuma bisa mengatakan, sebagai sebuah novel, cara penggarapannya masih harus diamplas lagi supaya lebih halus. Untuk tema cerita, saya sama sekali tidak mempersoalkan. Saya pikir, demi kebebasan berkreasi, tema apapun boleh ditulis. Perkara mutu penulisannya, itulah yang perlu diperhatikan.

Untuk penerbitnya, sangat saya sarankan agar lebih memerhatikan ejaan. Saya menemukan banyak kekeliruan yang terkesan kebablasan. Misalnya, “memperoleh” ditulis “memeroleh”, “memperlihatkan” ditulis “memerlihatkan”, dll. Ini kan kebablasan, jangan mentang-mentang “memperhatikan” harus ditulis “memerhatikan”. Sebab, kata dasar “memerhatikan” adalah “perhati”, sedangkan “memperlihatkan”, kata dasarnya adalah “lihat”.

Komentar untuk Gus Muh : “Kau memang edan tenan, Gus!”

03 July 2008

Kasus Pemerkosaan Maia

::rasti nurfaidah

Kasus perkosaan dalam novel Adam dan Hawa karya Muhidin M. Dahlan menimpa tokoh Maia yang merupakan wanita pertama sebelum terciptanya Hawa, pasangan Adam di Surga. Novel yang mengambil latar masa penciptaan Adam di surga itu mengisahkan penderitaan seorang Maia, wanita yang cantik dan penuh gelora, yang merasa telah dilecehkan oleh “suaminya”, Adam. Ia dipaksa tinggal di dalam sebuah rumah milik Adam dan menjadi pemuas nafsu lelaki perdana itu. Maia merasa tersiksa karena tidak pernah mendapat sentuhan kasih sayang dari lelaki yang senantiasa menggunakan tubuhnya hampir tiada henti itu. Ia tidak pernah merasakan udara kebebasan. Laksana korban sebuah aksi penculikan, Maia disekap dan tidak pernah diperkenalkan dengan lingkungan sekitar. Maia merasa dirinya hanya diperlakukan sebagai budak seks lelaki “pejantan tangguh” itu. Hal itu terungkap dalam kutipan kata-kata Maia berikut.

“Kau tahu Adam, siang malam tak berjumlah, aku tiada lain tak pernah merasa mendapatkan cinta. Aku jadi sandera yang tak boleh melihat dan disentuh oleh matahari. Bukankah itu kehidupan yang terkutuk?
“Aku tak mengerti, Maia. Apa yang kau maksud dengan tak dapat cinta?”
“Kau memang tak akan pernah mengerti. Oh, ternyata di siang malam tak berbilang itu aku telah diperkosa lelaki bodoh.” (Dahlan, 2005:48)

Tekanan batin yang menderanya itu menimbulkan dendam di dalam kalbu sang bidadari. Dendam itu lama kelamaan semakin tertancap kuat di dalam jiwanya. Batin Maia bergejolak. Ia memberontak kepada Adam. Adam murka luar biasa. Maia yang sudah tidak tahan akhirnya melarikan diri. Pelariannya berakhir di rumah “adik iparnya” Idris. Idris tidak lain adalah adik Adam sendiri. Bersama Idris Maia seakan sedang menjadi ratu di istana batu. Idris senantiasa memenuhi setiap “keinginan” Maia.
Hubungan mereka membuahkan seorang anak perempuan yang bernama Marfu’ah. Sejak kecil Maia mendidik anaknya untuk menjadi pembalas dendamnya. Untuk itu, ia tidak segan-segan menyingkirkan Idris dari rumah itu. Setelah itu, status Idris tidak ubahnya seperti upik abu demi memenuhi kebutuhan sang majikan. Bahkan, Idris harus rela kehilangan kejantanannya ketika dikebiri oleh Maia.
Perjuangan Maia pun berhasil. Marfu’ah tumbuh menjadi bidadari jelita yang siap menghunuskan pisau tajam di balik keindahannya itu. Namun, kekejamannya itu hanya berlaku untuk seorang lelaki bernama Adam. Sebelum hari eksekusi sang Adam, Marfu’ah sempat dinikahkan dengan Khabil, putra Adam dan Hawa yang sempat berhubungan intim dengan Maia. Marfu’ah dilarang berhubungan badan dengan suaminya selama 15 hari pertama perkawinannya. Tepat pada hari ke-15, Marfu’ah melaksanakan hari eksekusi bagi sang Adam. Dirayunya sang Adam yang tidak mengenali keponakannya sendiri. Adam pun terhanyut dan tergoda oleh bidadari muda itu. Di tengah percintaan mereka, tanpa diketahui sang Adam, Marfu’ah menghunuskan sebilah batu tajam ke dada sang pejantan hingga isi tubuhnya terburai melalui sebuah luka yang menganga berlumur darah. Adam mati di tangan keponakannya sendiri.

....

Dari ulasan tersebut, penulis dapat menggambarkan bahwa peristiwa pemerkosaan itu akan menorehkan luka dan trauma yang tidak ringan di dalam kehidupan seorang wanita. Peristiwa itu merupakan pengubur sadis impian sang bidadari untuk bersanding dengan pangeran idamannya. Peristiwa itu juga dapat memicu seorang wanita yang semula lembut hati dan penuh cinta berbalik menjadi penjahat elit berotak cerdas, seperti Maia. Penyekapan dan pemerkosaan yang sekian lama dialaminya telah mengubah pandangannya terhadap kaum lelaki dan seks. Ia memandang lelaki sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang egois dan pengumbar nafsu syahwat murahan belaka. Ia tidak ingin mengagungkan kaum Adam itu. Maia hanya ingin menguasai mereka. Ia berhasil menguasai Idris yang telah bersedia memberinya jalan untuk membalaskan dendamnya kepada sang Adam. Ia juga berhasil menguasai Khabil, menantunya, untuk tetap tinggal bersamanya ketika hari eksekusi bagi Adam tiba. Ia juga berhasil menguasai Marfu’ah sebagai gadis jelita yang sangat patuh kepada ibunya.

....

Berdasarkan uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa pemerkosaan merupakan peristiwa paling mengerikan dalam hidup seorang wanita. Peristiwa itu dapat mengubah persepsi seorang wanita terhadap kaum lelaki dan seks. Pada umumnya wanita korban perkosaan menganggap bahwa kaum lelaki sama saja dengan lelaki yang pernah menodainya, buruk, brutal, dan sadis. Sementara itu, pandangan mereka terhadap seks pun mengalami pergeseran. Seks bukan merupakan sesuatu yang indah, melainkan merupakan sesuatu yang mengerikan. Hanya segelintir wanita yang sanggup bangkit dari keterpurukan pascapemerkosaan tersebut. Hal itu tercermin dalam diri tokoh Karmila dan Maia.

20 December 2007

Pergeseran Makna Novel Adam Hawa: Analisis Intertekstualitas

::sofiatul wardiyana

Penelitian terhadap novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan bertujuan untuk mengungkapkan struktur, pergeseran, dan makna kisah Adam dan Hawa yang terdapat di dalam novel Adam Hawa. Novel karya Muhidin tersebut merupakan sebuah novel yang di dalamnya termuat teks mengenai kisah Adam dan Hawa yang besumber pada teks hipogram khususnya Al-Quran.

Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik terhadap dua teks yang menjadi objek penelitian. Objek yang dimaksud adalah novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan serta kisah Adam dan Hawa dari beberapa sumber yang merujuk pada Al-Quran.

Pembacaan heuristik dilakukan dengan menguraikan struktur novel Adam Hawa yang terbatas pada tokoh-penokohan, setting atau latar dan alur. Sedangkan pembacaan hermeneutik dilakukan dalam penerapan analisis intertekstualitas novel Adam Hawa melalui penjajaran dan penemuan relasi antara novel Adam Hawa sebagai teks transformasi dengan beberapa sumber kisah Adam dan Hawa yang merujuk pada Al-Quran sebagai teks hipogram.

Melalui relasi negasi dapat ditemukan adanya pergeseran-pergeseran dalam teks transformasi terhadap hipogram.

Penelitian ini memanfaatkan kajian intertekstualitas yang meminjam pemikiran dari Michael Riffaterre. Melalui metode hermeneutik yang sudah disebutkan di atas, akhir penelitian ini berupaya menemukan makna yang terdapat dalam novel Adam Hawa.

Penguraian struktur novel dari segi tokoh-penokohan, setting atau latar dan alur dilakukan sebagai media interteks dengan hipogram. Dari segi tokoh ditemukan sepuluh tokoh yang berperan dalam membangun cerita. Kesepuluh tokoh tersebut ada yang memiliki karakter sama ataupun menyimpangi karakter tokoh yang merujuk pada teks hipogram. Dari segi setting ditemukan penggambaran latar tempat yang beberapa di antaranya menyimpangi teks hipogram. Secara implisit latar waktunya sama dan latar sosial yang mengalami pergeseran. Alur cerita mengalami pergeseran baik dari segi penampilan cerita maupun garis besar peristiwa yang terdapat dalam novel Adam Hawa terhadap hipogram.

Makna yang terkandung dalam novel Adam Hawa meliputi kuasa laki-laki dan kuasa perempuan. Kuasa yang dimiliki laki-laki dan perempuan teriihat melalui interaksi satu tokoh dengan tokoh lain. Kuasa laki-laki dimiliki oleh tokoh Adam dan kuasa perempuan dimiliki oleh tokoh Maia. Kuasa yang dimiliki oleh kedua tokoh tersebut memiliki sisi positif dan negatif bagi kelangsungan interaksi dengan tokoh lain.

Tidak menutup kemungkinan kedua makna terjadi di masyarakat dan masih terbuka peluang adanya penemuan makna yang lain.

Dosen Pembimbing :
Lutfi, Mochtar

Keywords: intertekstualitas, relasi, makna
Subject: FEMINISM; FICTION; STRUCTURALISM (LITERARY ANALYSIS)
Call Number: KKB KK-2 FS BI 15/07 War p


Email: library@lib.unair.ac.id; library@unair.ac.id
Undergraduate Theses Airlangga University
Dibuat: 2007-12-17

Copyrights:
Copyright © 2007 by Airlangga University Library. Surabaya

10 March 2007

Sebuah Novel Penuh Dosa

::zen rachmat soegito, sejarawan partikelir

Fatwa itu akhirnya datang. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) baru saja mensomasi Muhidin M. Dahlan untuk meminta maaf kepada publik. Lewat surat somasi bertarikh 01/Syawal/1426/2005 yang ditembuskan ke Mabes Polri, Kejaksaan Agung, MUI dan sejumlah ormas Islam, MMI menilai novel terbaru Muhidin, “Adam Hawa” (ScriPtaManent, 2005) sebagai karya yang telah meneror (hirabah) Allah swt dan secara serius telah menyimpang terhadap al-Qur’an.

MMI juga menuntut Muhidin bertobat dan memusnahkan novelnya itu sebagai aksi penebusan dosa. Jika hingga 7 x 24 jam somasi ini tak dipenuhi, MMI akan melakukan upaya hukum.

Somasi MMI ini adalah kerikil paling serius yang pernah diterima Muhidin. Novel “Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur” (2003) paling banter hanya disesatkan di forum diskusi atau di milis-milis, dan tak pernah ada somasi secara resmi dan terbuka yang menyatakan kesesatannya.

Dalam eksplorasi tema (ini yang selalu jadi poros dari novel-novel Muhidin), “Adam Hawa” saya kira melampaui dua novel Muhidin sebelumnya. Kendati cukup galak dan berani, tema dua novel itu sebetulnya tidak terlalu baru. Tema pencarian dan pemberontakan pada Tuhan (“Tuhan, Ijinkan…”) dan laku mistik ibadat para sufi (“Kabar Buruk”) merupakan tema lama yang banyak ditemukan, tidak hanya dalam karya sastra, melainkan dalam buku-buku non-fiksi.

Ini berbeda dengan “Adam Hawa”. Dengan keberanian yang tanpa cadang, Muhidin menyentuh tema yang tidak hanya gelap, terra incognita, melainkan juga jauh lebih sensitif bagi rasa keagamaan; tidak hanya untuk orang Islam, melainkan bagi dua agama samawi terdahulu, Kristen dan Yahudi: memersoalkan proses penciptaan Adam dan Hawa.

Proses penciptaan Adam-Hawa dan keturunan pertamanya memang tak begitu jelas mendetail. Bahkan, seperti yang bisa kita baca dalam Al-Quran, tak ada satu pun ayat yang menyebut secara harfiah nama Hawa. Hanya ada, misalnya, “kata tunjuk” yang merujuk pada istri Adam itu, zawjatuhu/istrimu (2:35) yang oleh Quran terjemahan versi Depag diberi catatan kaki bahwa “istri” di sana adalah Hawa. Pengetahuan yang menjadi umum tentang Hawa tampaknya memang diturunkan dari kitab Perjanjian Lama dan Baru.

Muhidin tentu saja memasuki sebuah ruang tafsir yang masih sangat lowong. Dan Muhidin mengisinya dengan tafsir yang gila-gilaan (ini jika kita mengukurnya dari standar yang kadung diyakini publik) yang juga meruntuhkan tata tafsir Kitab Suci mana pun. Salah satunya adalah ihwal keberadaan perempuan bernama Maia yang diyakini tercipta lebih dahulu daripada Hawa. Maia digambarkan sebagai sosok pembangkang yang berani menolak model senggama Adam yang selalu ingin di atas. Setelah Maia kabur, lahirlah Hawa dengan karakter yang 180 derajat berbeda dengan Maia: penurut, sabar dan nrimo.

Maia yang kemudian menikah dengan Idris (adik Adam) punya anak bernama Marfu’ah dan Hawa sendiri beranak kembar Khabil dan Munah. Maia sendiri masih mengingat bagaimana kelakuan Adam yang kasar. Ia menaruh dendam. Maia menurunkan dendamnya pada Marfu’ah dan akhirnya juga berhasil memengaruhi si kembar Khabil dan (terutama) Munah yang selalu disiksa Adam, ayahnya sendiri. Mereka semua berkomplot untuk membalas dendam. Adam pun akhirnya terbunuh dengan cara yang atraktif.

Kematian Adam merupakan strategi literer yang cerdik. Bersama dengan strategi tak pernah menyebutkan kata “surga” (hanya Taman Eden), Muhidin seakan ingin menunjukkan bahwa (kendati bukannya tak berhubungan sama sekali) novel “Adam Hawa” ini bukanlah Adam-Hawa seperti yang dikisahkan kitab-kitab suci (bukankah Adam yang nabi itu tidak terbunuh?). Ini adalah kisah-kisah manusia yang punya darah dan daging, punya nafsu dan ambisi, dendam dan harapan, dan bukan kisah orang-orang suci yang tinggal di surga Firdaus.

Selain pilihan tema dan daya tafsir yang sungguh-sungguh atraktif, lewat “Adam Hawa” ini, Muhidin menunjukkan langkah maju dalam proses kreatifnya. Langkah maju itu berupa keberhasilan Muhidin menganyam imajinasi dan mencangkoknya dalam rangkaian perkisahan yang membuat “Adam Hawa” genap segenap-genapnya sebagai novel. Hal terakhir inilah yang sama sekali kurang (jika tidak nihil) dalam dua novel sebelumnya (“Tuhan, Ijinkan…” yang lebih mirip transkrip wawancara dan “Kabar Buruk…” yang seperti copy dari buku-buku sejarah sufisme”).

Hal itu terlihat, salah satunya, dalam bagian ketika Muhidin mengisahkan bagaimana malaikat Penjaga Mimpi selalu masuk ke dalam dunia Adam begitu ia terlelap. Malaikat Penjaga Mimpi inilah yang selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam batin Adam yang tak sanggup dipecahkan ketika dirinya dalam keadaan terjaga. Itu hanya salah satu contoh dari kemajuan Muhidin dalam hal mengembangkan imajinasi. Belum lagi fragmen ketika pasangan Maia dan Idris menunaikan perjanjian di antara mereka yaitu Idris akan dilumpuhkan kejantanannya jika bayi yang lahir dari rahim Maia ternyata perempuan. Dengan imajinasi yang mendetail, Muhidin memaparkan bagaimana kemaluan Idris ditumbuk sehalus-halusnya oleh batu yang keras.

Karena kekayaan imanjinasinya, yang dicangkok dari sejumlah folklore, saya teringat salah satu novel terbaik Salman Rushdie (sila pembaca bandingkan sendiri kadar kenakalan antara Muhidin dan Salman Rushdie), “Haroun and the Sea of Stories”. Saya merasa, Taman Eden dan latar novel ini seperti dan sama menariknya dengan negeri dongeng dalam novel Rushdie yang sangat kaya dengan imajinasi yang hebat.

Tulisan ringkas ini tidak berpretensi untuk menanggapi somasi MMI karena tidak mungkin di ruang kecil ini membahas persoalan bagaimana pertemuan dan ketegangan antara doktrin agama dan imajinasi seni-sastra. Di sini hanya ingin dikatakan: secara literer, novel “Adam Hawa” adalah karya yang menggoda. Kendati dihamparkan dengan plot yang linier (ini juga khas Muhidin), “Adam Hawa” layak untuk Anda baca!

04 March 2007

Jihad MN, Seniman Corel


::gus muh

Kawan, ini adalah Jihad MN. Saya pastikan ia bukan dari kelompok ekstremis-ekstremis. Namanya memang ekstrim, tapi orgnya sangat lembut. Lagi ikut program magister ekonomi syariah di UII Jogja. Sarjananya di fak syariah IAIN Kalijaga. Sewaktu mhs aktif di Kopma, namun melek desain. Pernah jd karyawan Penerbit Jendela sampai penerbit itu berkalang tanah. Sy munculkan foto lajang Gorontalo di 'blog neraka' ini karna Jihad adalah pembuat sampul buku saya... juga pembuat sampul buku2 penerbit jakarta, terutama alvabet dan freedom institute. Jika kawan-kawan mendapati di kredit title ada nama Jihad MN, nah ini wajahnya. Mirip Irwansyah kan?

28 February 2007

Bonfire of Liberties

::saiful amin ghofur, pascasarjana uii jogja

PADA Rabu siang (16/11/2005) saya di-SMS Muhidin M. Dahlan. Ia mengabarkan bahwa novel terbarunya, Adam Hawa, disomasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dengan tuntutan ditarik dari peredaran. MMI melarang novel itu karena dianggap melecehkan akidah umat Islam. Somasi juga dilayangkan ke harian Media Indonesia karena telah sengaja memuat resensi novel tersebut pada 6 November 2005. Bahkan direncanakan MMI bakal memasukkan laporannya ke Polda Metro Jaya Jakarta.

Sebagai karib dan sesama penulis, saya tertegun. Saya membayangkan kegelisahan Muhidin sewaktu mengirim SMS. Seolah-olah ia membutuhkan suaka. Saya ingat-ingat lagi isi novel itu—yang kebetulan sudah saya baca berulang kali. Memang saya akui, dalam novel itu Muhidin sangat berani bermain-main dengan imajinasi.

Novel itu bertutur tentang tragedi kemanusiaan di seputar penciptaan Adam. Walaupun Muhidin menampilkan “tokoh-tokoh baru” seperti Maia, Maemunah, Idris, dan Marfu’ah yang tidak pernah terungkap dalam kitab suci, namun substansi pesan-pesan moral kitab suci (sungguh!) masihlah terjaga, yaitu rentetan konflik yang mesti diwaspadai sebab kapanpun bisa mengancam romantika eksistensi manusia. Sementara kejutan-kejutan retorik yang menggelinjang di sekujur novel tak lain disebabkan dinamika imajinasi Muhidin yang menggelombang. Tentu saja ini terjadi karena tuntutan sebuah karya sastra. Jadi, bila dibaca secara cerdas amat disayangkan jika novel Muhidin dikhawatirkan mampu membikin kita cemas.

Sesungguhnya musibah semacam ini bukan pertama kali dialami Muhidin. Novel sebelumnya, Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah, juga mengalami hal yang nyaris serupa. Meski tidak sampai disomasi, dalam acara bedah buku tersebut di kampus UIN Sunan Ampel Malang pada Mei 2004, Muhidin didamprat dan dihujat habis-habisan. Ia dituduh kapitalislah, menulis ala orang beraklah, bahkan seorang ustad konon menghakimi Muhidin telah murtad (lihat Ahmad Fatoni, 'Melirik Buku-Buku Berbasis Lendir', JP, 24/10/2004).

Saya yakin, Muhidin dalam menelorkan novelnya tidaklah asal menulis. Ia berangkat dari permenungan mendalam dan dialektika dengan dirinya sendiri dan dunia luarnya (lihat tulisan saya 'Dialektika Tan Malaka', JP, 30/10/2005). Bila dibaca dengan pemahaman yang dangkal, novel Muhidin tak lebih sekadar karya ecek-ecek yang dengan membelinya hanya akan merobek-robek kocek. Padahal Muhidin sebenarnya tidak saja mengungkap realitas sosial di masyarakat lewat buku itu tetapi juga membongkar kemunafikan yang sedang dilanggengkan di tengah masyarakat (lihat Nurudin, 'Buku-Buku Lendir dan Kritik atas Kemunafikan Kita', JP, 7/11/2004).

Persoalan diterima-tidaknya suatu karya, apapun bentuknya, semestinya diserahkan kepada khalayak pembaca lewat seleksi alamiah (natural selection). Tak ada yang berhak mengantongi kriteria benar atau salah suatu karya. Pada titik ini melarang suatu karya untuk mengunjungi alam pikiran pembaca (baca: somasi) sama halnya mempertontonkan drama kepongahan yang berlebihan. Sekaligus di waktu bersamaan juga melakukan upaya penghangusan kebebasan (bonfire of liberties). Kita patut curiga, jangan-jangan ada kepentingan tertentu di balik pelarangan itu.

Seandainya disikapi secara arif dan dewasa, masih banyak cara manusiawi yang bisa ditempuh untuk menimbang suatu karya. Misalnya, memfasilitasi penulis buku yang dianggap ‘bermasalah’ untuk mengemukakan argumentasinya. Silahkan menggelar forum dialog. Hadirkan pula orang-orang yang benar-benar ahli dan berkompeten terhadap karya itu. Di situ, pendapat dan gagasan kita jual-belikan. Kita larungkan segenap daya pikir untuk mencari titik temu yang saling menguntungkan. Sehingga terbukalah kran dialektika yang harmoni dan menjumbuhkan wacana-wacana baru yang simpatik. Jadi, jangan bukunya yang disalahkan.

Musibah yang menimpa Muhidin sekonyong-konyong mengingatkan kita kepada sosok Pramoedya Ananta Toer. Dulu, sekitar tahun 1980-an tetralogi Pulau Buru yang monumental pernah dilarang beredar. Walaupun musibah yang menimpa Muhidin tidak sedasyat yang dialami Pram, tapi bila diamini oleh penguasa (untuk sementara dalam hal ini direpresentasikan Polda Metro Jaya) pengalaman pahit Pram bakal kembali mendekati nyata. Dan lagi-lagi, kreatifitas menulis akan terpasung untuk ke sekian kali.

Ngeri saya membayangkan bila hal itu terjadi lagi. Berapa banyak penulis-penulis produktif semacam Muhidin yang tiarap karena inspirasi dan imajinasinya tak lagi bebas berkeredap. Sudah tentu, dengan begitu buku yang digadang-gadang sanggup membungakan hal-hal baru akan layu. Dan, dunia perbukuan menjadi miskin inovasi dan improvisasi. Sayang sekali, bukan?
Kendati begitu, percayalah bahwa pelarangan buku pada akhirnya akan menemui jalan buntu. Kasus Pram dapat dijadikan cermin. Meski ketika itu tetralogi Pulau Buru “dibekukan” toh nyatanya kian banyak diburu orang. Buku-buku Pram malah santer dibicarakan, baik melalui ulasan media massa ataupun dianalisis dalam bentuk karya yang lain.

Bila mau membelalakkan mata lebar-lebar, kita akan menemui kasus serupa yang dialami Salman Rushdi dengan novel Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses). Novel Salman memang dilarang di sebagian kecil negara, namun justru dikupas tuntas dan beredar luas di banyak negara lain.

Ini artinya, pelarangan suatu buku pada hakikatnya fisiknya saja yang dibekap. Sedangkan pemikiran penulisnya tak bakalan menguap. Jasad buku boleh jadi dilarang, ruh buku yang menyusup ke dalam ceruk keingintahuan khalayak ramai mustahil dihadang. Maka sangat benar bila Pram berkata, "Buat saya, semakin dilarang justru semakin menguntungkan. Karena, hal itu akan menjadi promosi gratis."

pos-el: sag_carpediem@hotmail.com

29 September 2006

Sastrawan Sok Tahu

::rieza f muliawan

Novel "Kabar Buruk Dari Langit" masih karya Muhidin, menurut saya--imo--jauh lebih baik daripada novel "Adam Hawa" ini, dan lebih baik lagi dibandingkan dengan novel yang masih karya Muhidin juga "TuhanIjinkan Aku Menjadi Pelacur". Kualitas antara "Kabar Buruk" dengan "Adam Hawa" dan
"Tuhan, Ijinkan.." saya rasakan ketika membaca jauh sekali berbeda, seperti--seakan-akan--bukan dikarang oleh orang yang sama.
salam,

Komunitas Pasar Buku: Mon Mar 6, 2006 10:33 am Rieza FMuliawan" specialman_2000


KOMENTAR LAINNYA

aCeHForum-Komunitas Aceh & Indonesia Forum

dobir, 04-25-2006, 01:39 PM
Makanya klo mo jadi seorang sastrawan jadilah sastrawan yg beriman dan berpengetahuan,bukannya sok tau kayak si muhidin. Sekarang kita harus pintar-pintar memilih novel ato buku cerita laennya.


nosuprises_bna, 04-25-2006, 01:53 PM
Apa darahnya uda dihalalkan tuh? kayak darahnya salman rusydi, atau makhluk sejenisnya.....dodol emang ni orang tembak mati aja orang2 kayak gini


AnaK_SaBaNG, 04-27-2006, 11:57 PM
dodol kok ditembak mati???dimakan donk...!!! apalai klo dodol jahe sabang..pasti enak


fierman, 04-28-2006, 02:05 AM
ka promosi lom.....!:p


luQman, 04-28-2006, 09:55 AM
Emank lah.... udah banyak sekali org2 beraliran sesat di indonesia, bahkan udah dr segala segi.... kemana kita harus mengadu..... Kiamat akan datang.... Ampunilah dosaku.... Ya Rabb..!!!


ce_wek, 04-28-2006, 01:19 PM
Makanya klo mo jadi seorang sastrawan jadilah sastrawan yg beriman dan berpengetahuan,bukannya sok tau kayak si muhidin. Sekarang kita harus pintar-pintar memilih novel ato buku cerita laennya. kalau kata Dee sih, muhidin itu imaginasinya terlalu tinggi, jadi kaya orang sakit yach.....berpikir hanya dengan otaknya, tidak dengan imannya


Quite, 04-28-2006, 04:34 PM
sakit jiwa dee yaa????? emang sih pengkristienisasi di dunia sudah di mulai
....... saudara ku semua berhati2 lah...........:) :)

Menimbang 'Ketersesatan' Novel Adam Hawa

:damhuri muhammad, cerpenis

Sekali lagi, geliat proses kreatif dalam sastra berbenturan dengan construct teologi Islam. Kali ini cikal soalnya berasal dari novel Adam Hawa karya Muhidin M. Dahlan (Yogyakarta: Scripta Manent, 2005) yang tertuduh; melecehkan Qur'an. Sebuah Ormas Islam mengklaim tabiat kepengarangan Muhidin tergolong kategori hirabah (terorisme).

Tak dirinci, tindak terorisme macam apa yang telah diperbuat Muhidin. Yang pasti, teks novel itu sesat lagi menyesatkan (entah siapa yang telah disesatkannya). Disebut-sebut, perangai Muhidin dalam novel itu nyaris serupa perilaku menyimpang Salman Rushdie dalam The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Karena itu, perlu diluruskan, dikembalikan ke 'jalan yang benar', dan bila perlu dimurtadkan, dikafirkan.

Novel itu mengusung imaji ganjil, tak lazim dan tentu saja; 'menyimpang'. Mengobrak-abrik, merubuhkan, mengacau-balaukan pemahaman dogmatis, normatif dan taken for granted menyangkut sejarah penciptaan manusia pertama (Adam). Ketaklaziman paling
mencolok adalah asal muasal Adam yang bukan dari tanah (diberi keutamaan hingga para malaikat diperintah bersujud), tapi terpacak dari ketiak kanan Tuhan.

Lewat narasi kocak, penuh senda gurau dan olok-olok yang menggelikan, Muhidin gambarkan betapa tersiksanya Tuhan akibat gatal maha gatal yang jangkiti ketiak penuh bulu itu. Tuhan menggaruknya dengan kasar maha kasar, hingga ketiak-Nya robek, berdarah dan membikin sebuah lubang kecil. Dari lubang itu, bayi yang kelak bernama Adam dilahirkan.
Dalam 'imaji sinting' Muhidin, martabat kemuliaan nenek moyang manusia tak hanya telah terpuruk ke dalam kosmologi penciptaan yang hida-dina, tapi juga memaklumatkan keterciptaan kaum laki-laki sebagai salah satu kecerobohan terbesar Tuhan. Dari titik ini,
semesta amarah, sentimen dan apatisme pengarang mulai dirancang, lalu terkonstruksi sedemikian rupa, hingga nyaris menggapai derajat sesat maha sesat (bila dihadapkan pada teks-teks sakral yang amat memuliakan Adam).

Apatisme itu, agaknya berangkat dari tafsir konstekstual terhadap sebuah dialog antara Tuhan dan para malaikat (QS : 2 : 30) menyoal kehendak-Nya menciptakan seorang khalifah di muka bumi. Para malaikat berkata ; "Khalifah yang hendak Engkau ciptakan di muka bumi itu adalah orang yang bakal buat kerusakan dan tumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji-Mu, menyucikan-Mu?".

Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tak kalian ketahui". Kata kunci yang dipilih Muhidin untuk kembangkan layar estetik dalam Adam Hawa tak lain adalah kekerasan, permusuhan, muslihat, tipu daya yang semuanya bersumber dari manusia, makhluk paling sempurna itu.

Maka, 'etos' kekerasan paling purba tak bermula sejak berkobarnya api permusuhan antara Khabil dan Habil, tapi sudah bersitumbuh sejak dari Adam. Bukan pula sejak Adam beroleh pendamping Hawa, tapi lebih jauh sejak Adam temukan Maia di Taman Eden, di bawah rindang pohon Khuldi.

Satu lagi ketersesatan Muhidin; Perempuan pertama adalah Maia, bukan Hawa. Maia, korban pertama perilaku kasar Adam. Disekapnya perempuan itu dalam lorong gelap Rumah Batu tanpa ampun, diperkosanya sepuas hati, hingga suatu ketika Maia berontak, tak berkenan lagi selalu berposisi di bawah himpitan tubuh kekar Adam pada setiap sesi persenggamaan mereka. Adam menolak keras permintaan lancang itu. Sebab, sudah kodratnya perempuan bakal berada di bawah.

Ditindih dan dihimpit laki-laki. Selaku makhluk yang langsung menyembul dari tubuh Tuhan (Muhidin menyebutnya; putera Tuhan), Adam merasa terhina. Menghina Adam sama saja dengan menghina Tuhan. Alhasil, Maia terusir dari Rumah Batu setelah terjadi perkelahian hebat yang tinggalkan bekas cakaran kuku Maia di wajah Adam.

Keterusiran Maia yang buahkan sakit hati, dendam kusumat dan gejolak permusuhan tak bersudah inilah yang menjadi mainstream dalam Adam Hawa. Pelarian Maia berakhir di Taman Kiram. Di sana ia bertemu Idris, lelaki yang kemudian mempersuntingnya. Perkawinannya dengan Idris tak lagi dilandasi cinta, tapi sekedar muslihat untuk beroleh
keturunan yang bakal balaskan dendamnya pada Adam. Sementara itu, Adam sudah punya Hawa yang tercipta berkat doanya pada Tuhan.

Berbeda dengan Maia, Hawa adalah perempuan penurut yang terima kodrat sebagai pelayan Adam. Amat cerdas dan nyaris sempurna, pengarang gambarkan siasat dan tipu daya Adam yakinkan Hawa, bahwa tak pernah ada perempuan lain dalam hidupnya. Hanya Hawa seorang. Dihapusnya semua jejak kenangan bersama Maia yang masih tersisa di Rumah Batu, hingga Hawa benar-benar terpedaya dibuatnya.

Tak lama berselang, lahirlah kembar Maemunah dan Khabil yang kelak sangat dibenci Adam. Darah dagingnya itu dianggap telah merampas kehangantan hubungannya dengan Hawa. Lagi-lagi, Adam jalankan muslihat untuk singkirkan Munah dan Khabil.

Diusirnya Khabil dari Rumah Batu setelah duel hebat antara anak dan bapak yang tentulah dimenangkan Adam. Siapa yang kalah, mesti angkat kaki, begitu perjanjian yang mereka sepakati. Digantungnya Munah di atas salah satu dahan pohon Khuldi setelah dicekiknya, hingga mati. Bagi Adam, Khabil dan Munah adalah anak-anak terkutuk, penyebab kian gelapnya aura Taman Eden, hingga tak pernah lagi dikunjungi malaikat pesuruh Tuhan. Karena itu, keduanya harus dimusnahkan.

Sampai di titik ini, makin terang terbaca eksplorasi tematik yang hendak disuguhkan, yakni Kekerasan atas Nama Tuhan, yang sudah jamak terjadi dalam jagat peradaban manusia paling mutakhir. Sibuk bertikai, rusuh dan saling bunuh demi Tuhan. Adam berperilaku kejam, sadistik, paranoid dengan mengatasnamakan Tuhan, sesekali lebih berkuasa dari Tuhan, atau diam-diam telah menuhankan diri sendiri. Inilah makna keganjilan dan ketaklaziman imaji Muhidin yang terlanjur dianggap 'menyimpang' dan sesat lagi menyesatkan itu.

Keganjilan macam ini memang berisiko tinggi bila berhadapan dengan normatifitas dalil naqli, tapi mungkin akan jadi lazim dan lumrah bila disigi dengan perangkat tafsir kontekstual. Saya tak bermaksud membela, apalagi melegitimasi pencapaian 'estetika tak biasa' ini, tapi hanya sedang membaca Adam Hawa sebagai bentuk sasmita Tuhan yang tersampaikan melalui lidah pena Muhidin.

Lihatlah luapan amarah Khabil setelah ketahui Maia ternyata bekas perempuan Adam, sakit hati Mafu'ah (puteri Maia dari perkawinannya dengan Idris) setelah ketahui kekejaman Adam pada ibunya dan akumulasi dendam Maia pada Adam! Bukankah semuanya bermula dari kekerasan atas nama Tuhan yang diperbuat Adam? Akibatnya, Taman Eden yang semula aman-damai dengan tujuh kurcaci penjaga kebun dan sesekali dikunjungi malaikat Pesolek, tiba-tiba mengobarkan api permusuhan, perseteruan tiada akhir.

Adam terbunuh dengan cara amat mengenaskan di tangan Marfu'ah. Puteri Maia itu bersiasat membangkitkan birahi Adam yang masih bergelora, namun fisik dan staminanya sudah uzur. Ia mati terjungkal akibat energi syahwat yang tak lagi mampu diwadahi jasad ringkihnya, nafasnya kembang kempis, selangkangannya kucurkan darah, sebelum temui ajal di hadapan Marfu'ah.

Ikhtiar menggunakan perspektif agama dalam mengukur derajat ketersesatan teks sastra tampaknya bukan perkara gampang. Bila kurang hati-hati, alih-alih temukan titik terang, justru yang diperoleh hanya cibiran bahwa menghubung-kaitkan antara sastra dan agama adalah mustahil dan sia-sia.

Seperti pernah diungkap oleh Ribut Wijoto (2002) ; "Agama bersuara pada tataran etika, sementara sastra bersuara di dataran estetika. Agama menciptakan pagar, sastra membongkarnya. Sastra merayakan kerapuhan, agama memperkokohnya kembali."

Adam Hawa memang telah membongkar, merusak, merubuhkan pagar, merapuhkan kekokohan tafsir tekstual terhadap teks suci. Bagaimana membangun pagar itu kembali? Bagaimana memperkokoh kerapuhan itu?

Jawabannya tentu saja dengan membaca novel itu, menyelami ceruk-ceruk terdalamnya, menemukan asbab al-wurud-nya, menafsirkannya secara kontekstual dan tak tergesa-gesa menyimpulkannya sebagai buku sesat lagi menyesatkan, apalagi memurtadkan novelis yang (konon) masih berdarah santri itu.

Tabik untuk Muhidin...

* Ditik dari Harian Suara Karya Edisi Minggu 05 Maret 2006

Adam Hawa Bukti Keisengan Barbar

::muna_penggabean

bung muhidin:

dengan segenap gairah bertualang dalam lautan huruf di alam benak telah saya baca adam-hawa, salah seorang anak rohani anda. sungguh, saya terkesan bukan dengan keberanian anda melangsungkan teror terhadap religiositas orang banyak, tapi justru dengan ketenangan anda dalam menyelenggarakan teror tersebut.

saya sama sekali tidak membaca kemarahan atau teriakan heroik di dalamnya. anda bercerita serileks musa saat menulis kitab genesis (bagian terbesar dari taurat sebetulnya ditulis orang lain, nama musa dipakai untuk menebalkan otoritas kitab). cara anda mengungkapkan adam lahir dari ketek tuhan sungguh paralel dengan cara musa mengatakan bahwa adam tercipta dari tanah, dan hawa dari tulang rusuk adam.

anda bicara dalam konteks kemahamungkinan dan kebolehjadian. artinya, jika adam lahir dari ketek tuhan, maka cara tersebut sama :suci:nya dengan proses penciptaan dari tanah. tapi, cerita penciptaan versi musa memang belakangan mendapat pembenaran sains dengan serangkaian temuan evolutip yang menegaskan bahwa semua urutan evolusi berasal dari mahluk organik yang terdapat di dalam tanah. itu menjadikan kemungkinan adam tercipta dari ketek tuhan cuma sebuah keisengan barbar.

padahal dalam trialitas +, =, -, dekonstruksi membuat semua keberurutan dan kausalitas tidak bermakna apa-apa. karenanya adam yang lahir dari ketek tuhan adalah sebuah lamunan serius.
bersama nurcholis madjid saya telah lama menerima khidir sebagai warna hijau: lambang dari segala yang ramah, teduh, asri, cair, lentur, dan relativitas absolut. dia adalah tanda = yang menerima segala.

karena itu khidir sama sekali berbeda dengan tulisan apologetik anda yang berbunyi: tanyakan kepada mereka apakah memilih berjihad dengan jalan meledakkan diri itu hanyalah usaha mencari sensasi murahan?

tapi, memang ada semangat untuk menjadi musa dalam diri anda saat saya tahu anda turun naik gunung merapi selama setahun dan menuliskan novel ini di sebuah tenda kecil yang panas. di bukit (gunung) sinai pula musa menulis sebagian isi taurat.

Komunitas Pasar Buku Indonesia, Wed Nov 30, 2005 5:20 am "muna_panggabean" muna_panggabean

Itu Imajinasi Burket

::titus gopher

Hi there
Pertanyaan 'apa tujuan dari penulisan novel tersebut?'mungkin terdengar esensial, tapi itu hanya memperlihatkan mereka adalah pembaca yang malas, nggak punya intensitas... Orang terlalu mudah berbohong dan mengelak, bikin alasan, bikin alibi. Satu-satunya cara adalah denganmenganalisis teks itu, bikin tuduhan yang mengiris.Kuliti saja teksnya, bongkar.

Toh pembaca punya banyak apparatus untuk membongkar teks. Gunakan itu untuk mengiris-iris teks yang dibikin penulis. Ada banyak cara otoritatif untuk membongkar teks. Kalian sudahpada tahun kan menggunakannya.

Menganggap Muhiddin sama dengan Salman Rushdie? Hah. Gile aje. Jangan pernah lagi tebersit pikiran kotorkayak gitu. Karya Muhiddin ini terdengar sempat masuk nominasi KLA saja nggak ada kok. Itu tanda karya dia itu nggak ada harganya, nggak ada yang menggubris. Gue menduga Muhiddin ini adalah sejenis penulis putus asa yang berusaha terus mencuri perhatian dengan langkah dangkal, barangkali mirip Binhad Nurrohmat. Pernah nggak dengar berita gimana marahnya banyak penulis Jakarta yang merasa dikadalin sama Binhad karena ngaku-ngaku dia yang mengenalkan sastra Aceh?

Kalau penjualan buku Muhiddin ini cukup berhasil, ya mungkin itu setimpal dengan taruhan yang dia ambil.BTW, mari kita bertaruh, apa kira-kira oplagnya sudah bisa lepas dari kutukan Richard Oh? Paling-paling buku dicetak 1000 eksemplar, untuk kemudian dikulak didisrtibutor di Senen dan Sopping Jogja.

Banyak kok penulis yang bertaruh dengan keyakinannya,berani menantang agama atau otoritas negara, beranimengambil risiko. Tapi mari kita lihat apa hasilnya dia akan jadi martir atau paria.

Setiap orang berhak menulis/bilang apa pun tentang keyakinannya; sebaliknya, orang juga boleh membela keyakinannya bila merasa dihina. Perang itu soal biasa kok di dunia ini. Jangankan soal agama dan Tuhan, orang bisa kok bunuh-bunuhan gara-gara duit duit cepek atau rebutan minyak tanah. Klaim kebenaran memang mahal harganya.

Kalau Muhiddin berani berimajinasi Adam keluar lewat ketek; Darwin juga yakin manusia itu keturunan monyet kok. Nietzsche malah berani bilang: 'Tuhan sudah mati.' Apa yang aneh dengan imajinasi? PLS deh jangan terlalu sempit dengan keberanian manusia meyakini sesuatu yang abstrak. Coba perhatikan bagaimana klan Kurawa itu lahir... Ada kok mitos manusia itu lahir dari mani kerbau.

Kalau orang beragama yakin dengan konsep penciptaan manusia yang mulia, silahkan itu dihadapi Muhiddin sendiri beserta kawan-kawannya. Cobalah gentle seperti Jassin membela Ki Pandjikusmin. Jassin dipenjara nggak membuat reputasinya hancur kan? Coba berargumen lebih jernih dengan imajinasi itu. Memang repot kalau imajinasi itu ditulis dan kemudian ditawarkan pada banyak orang lain, dijual-jual di toko buku dengan harapan dikritik orang dengan baik. Penerimaan orang kan beda-beda. Jangan cengeng kalau diadukan orang lain atau dituduh menghina. Orang baik-baik saja banyak yang dituduh sesat kok; apalagi ini seorang penulis profan.

Kalau mau sedikit serius, anggap saja buku itu keluar dari ketek atau kayak upil dari lubang hidung Muhiddin. Itu kan 'borok' pikiran dan keberanian Muhiddin dan keputusan penerbit mau mengeluarkannya. Kalau dia dan penerbit menganggap itu sakral, ya buat saja penjelasannya. Kalau itu dianggap pelecehan, siapkan saja argumen dan apparatusnya. Kayk sperma aja... Mau disimpan silakan, mau disemprotkan silakan, mau dikembangbiakkan silakan.

Regards...

sumber: Komunitas Pasar Buku Nov 17, 2005 12:47 am


****


::budi handrianto

Bagi saya, Muhiddin cuma cari sensasi. Kata peribahasa Arab, khalif tu'raf.Kalau mau semua orang juga bisa, tidak perlu berlindung atas nama sastra.Menyesal saya kirim sms ke majelis mujahidin, hanya membuat sensasinyaorgasme.

sumber: Komunitas Pasar Buku Thu Nov 17, 2005 1:55 am

****

::bagja

bung budi,
sudah banyak bukti, melarang buku adalah sebuah upaya yang sia-sia. tapi, banyak orang yang terus dan terus melakukannya--dengan baragam alasan: moral, iman, dlsb. manusia tak pernah mau belajar dari keledai? :))
salam hangat,

sumber: Komunitas Pasar Buku Thu Nov 17, 2005 3:07 am

'Penyimpangan' Khidir Menuntun 'Adam Hawa'

Catatan Balik buat Fauzan al-Anshari

::muhidin m dahlan

SYAHDAN, Musa berkhotbah di tengah kerumunan Bani Israel. Salah seorang dari kerumunan bertanya, "Siapakah orang yang paling berilmu?" Dengan tegas Musa menjawab, "Aku!" Lalu Allah SWT menegur Musa dengan firman-Nya, "Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua bentang lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu."

Karena penasaran Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah dapat aku menemuinya?" Allah pun berfirman, "Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu."

Musa lalu berjalan mencari hamba yang ditunjukkan Allah itu yang ternyata adalah Khidir. Konon pertemuan keduanya berlangsung di antara Laut Rom dan Parsi atau Laut Merah dengan Lautan Hindi atau Laut Rom dengan Samudra Atlantik atau Teluk Suwais dengan Teluk `Aqabah di Laut Merah.

Setelah berkenalan secukupnya berkatalah Khidir, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku." Tapi Musa berkeyakinan bahwa: "Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun."

Demikianlah Musa mengikuti Khidir dengan syarat ia tak boleh bertanya atas semua perilaku Khidir dalam perjalanan. Kita kemudian mengetahui ada tiga peristiwa abadi yang diperlihatkan Khidir yang sama sekali mengejutkan dan berada di luar batas nalar Musa. Yakni, (1) membocorkan perahu yang mereka tumpangi; (2) membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan rekan-rekannya; dan (3) menegakkan dinding rumah penduduk yang hampir roboh, padahal penduduk kampung itu jelas-jelas menolak mereka.

Cerita selanjutnya kita tahu, Musa lupa pada janjinya untuk tak ajukan keberatan apa pun, lantaran dorongan dan prasangka keimanan yang "lurus" melihat perilaku Khidir yang "menyimpang" dan di luar nalar-syariat yang diyakininya.

'Metodologi mistik' Khidir

Saya bukanlah Khidir, hamba Allah yang saleh dan nyentrik itu. Saya hanyalah (mu)Hidin. Tapi ajaran dan perilaku mistik Khidir adalah sebuah keistimewaan bagi saya. Penuh inspirasi yang kemudian menjadi 'metodologi mistik' penulisan tiga novel saya belakangan: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (2003-260 hlm), Kabar Buruk dari Langit (2005-560 hlm), dan terakhir Adam Hawa (2005-166 hlm).

'Metode Khidir' ini saya tak pakai ketika menulis tiga buku sebelumnya, Trilogi Mencari Cinta. Di Trilogi Cinta ini saya lebih banyak berkutat pada persoalan psikologis dan kejiwaan dengan sudut pandang Islam sufistik.

Maka bukan kebetulan belaka, asal-asalan, dan dorongan nafsu mencari sensasi atau popularitas murahan, bila saya menulis tiga novel "menyimpang" itu berurutan, sebagaimana Khidir melakukan tiga tindakan berkesinambungan yang--dalam benak Musa--"menyimpang dan tak biasa"-yang saya kira tak sekadar mencari popularitas murahan.
Khidir, bagi saya, hadir didorong oleh tindakan dan sikap keberimanan Musa yang angkuh: "lebih berilmu (dan beriman) ketimbang orang lain". Dan Khidir diutus untuk membongkar interioritas keimanan yang majal seperti itu. Khidir adalah sebuah teror. Teror atas persepsi kesucian "yang dikehendaki" Allah. Juga teror atas prasangka-prasangka iman yang dilontarkan figur-figur seperti Musa. Di titi mangsa ini saya bisa memahami catatan kritis Fauzan Al-Anshari dalam esainya “Kreativitas dalam Islam” (MIM, 20/11/2005), sebagaimana saya bisa memahami kenapa Musa terheran-heran dan mempertanyakan tiga sikap Khidir yang "menyimpang" itu.

Di satu sisi saya harus akui sikap, tuduhan, dan somasi yang dilayangkan Majelis Mujahidin Indonesia, yang ditandatangani Fauzan kepada saya itu membuat saya sedikit bergetar. Selain karena kualitas tuduhannya yang meremangkan bulu kuduk; bahwa saya telah "melecehkan agama" dan "meneror Allah" yang hukumannya "dibunuh, dimutilasi, atau diusir dari kampung halaman", juga karena Fauzan membandingkan (yang itu berarti menyandingkan-menyetarakan) novel (sastra) dengan deretan fakta dalam kitab suci.

Padahal keduanya adalah produk yang sama sekali jauh berbeda. Satunya adalah kitab suci, sementara satunya adalah kitab profan. Satunya kitab yang diturunkan Allah Maha Agung, satunya lagi kitab dikarang sastrawan udik seperti Muhidin M Dahlan yang jauh dari rasa-suci.

Tujuan dan Kecemasan

Dengan novel Adam Hawa itu saya hanya mengajukan cerita ihwal penciptaan yang berpendaran dalam imajinasi saya dengan merujuk ke beberapa cerita dan legenda. Dan "Khidir" menuntun Adam Hawa (juga 2 novel sebelumnya) menjelma menjadi teks novel, menjadi teks fiksi, menjadi versi yang lain dari kitab suci.

Kalau kemudian saya dituduh menulis dengan kekuatan teror penuh, tuduhan itu tak sepenuhnya salah. Dan bukan cuma saya penulis seperti ini. Yang termutakhir tentu saja adalah novel Tuan dan Nona Kosong (2005). Selain menghancurkan konvensi penulisan novel yang lazim, novel ini juga mencabik-cabik persepsi kita tentang Tuhan dan tubuh, serta menyimpangkan dengan sinisme tanpa ampun hubungan timbal balik antara Tuhan dan tubuh (manusia) itu.

Tapi tentu saja lewat novel Adam Hawa, saya tak sedang meneror Allah SWT. Terlalu akbar Allah itu untuk diteror oleh sejenis penulis udik seperti saya ini. Lagi pula, mengapa juga Tuhan sebegitu waswasnya dengan imajinasi manusia yang justru Ia ciptakan sendiri.

Karena itu, tujuan penulisan saya bukan kepada Allah, tapi meneror persepsi dan interioritas keimanan. Saya mencoba dengan kemampuan minimalis yang saya miliki menyajikan pelbagai kejanggalan persepsi tokoh-tokoh dalam novel Adam Hawa (juga Kabar Buruk dari Langit) terhadap figur Causa Prima dan persepsi publik atas "akhlak" anggota komunitas agama (Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!).

Lalu sebagai "orang tua", bukan kemudian saya tak mencemaskan kehadiran tiga "anak-rohani" saya itu yang ketiga-tiganya lahir dengan perilaku dan gagasan menyimpang dari persepsi publik; yang karena ketiganya lahir dengan bantuan dan tuntunan tangan hangat "metodologi mistik" Khidir. Dan seingat saya, ini untuk kedua kali saya diperkarakan, dimurtadkan, dimunafikkan di depan publik karena persepsi "menyimpang" yang dibawa masing-masing anak-rohani itu.

Efek yang ingin diraih sebetulnya justru ada di sebalik kejanggalan dan penyimpangan itu. Dengan novel Adam Hawa saya berharap orang kemudian terbetik kembali untuk memeriksa dan membaca ulang teks penciptaan manusia. Saya hanya melempar secauk kerikil agar isu dan teks purba ihwal penciptaan manusia kembali dilirik dan dihangatkan. Dengan catatan: cerita Adam Hawa ini bukanlah kebenaran-teologis, tapi tak lebih hanya kebenaran-novel.

Tapi siapa yang mau memercayai pengakuan dan kecemasan pengarang seperti ini. Paling-paling dituding pembohong dan pengecap, juga hanya ingin mencari sensasi murahan.

Tuduhan terakhir ini saya tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Yang saya tahu menulis itu adalah kata-kerja-penuh. Dan saya sudah bekerja keras selama setahunan penuh untuk menyelesaikan "novel menyimpang" ini (Adam Hawa) dan satu "novel menyimpang" sebelumnya (Kabar Buruk dari Langit) dengan cara tiap hari selama hampir setahunan menaiki lereng Merapi dan menuliskannya dalam sebuah tenda kecil yang panas. Apakah pekerjaan yang meletihkan seperti ini hanya diniatkan untuk mencari sensasi murahan?

O, kalaulah Anda bertemu Khidir, tanyakan apakah ia juga mencari sensasi murahan ketika "meneror" religiusitas Musa dalam sebuah karavan panjang? Juga kalau Anda bertemu dengan komunitas mujahid freelance, tanyakan kepada mereka apakah memilih berjihad dengan jalan meledakkan diri itu hanyalah usaha mencari sensasi murahan?

* Ditik dari Media Indonesia Edisi Minggu 27 November 2005

Kreativitas dalam Islam

Catatan untuk Muhidin

::fauzan al-anshari, majelis mujahiddin indonesia

Imam Abu Hanifah (80-150H), tokoh mazhab paling rasional pernah berjalan bersama Abi Laila, seorang hakim di Kufah. Keduanya melewati para biduanita yang sedang menyanyikan lagu tak senonoh. Ketika para biduanita itu selesai menyanyi, Abu Hanifah berkata kepada mereka, "Kamu semua sungguh baik!" ...

Mendengar kata-kata itu, hati Abi Laila terkejut setengah mati. Suatu ketika Abu Hanifah menjadi saksi bagi Abi Laila dalam suatu masalah, maka berkatalah Abi Lila, "Kesaksianmu tidak sah!" Abu Hanifah bertanya, "Kenapa?" Abi Laila menjawab, "Karena ucapanmu kepada para biduanita itu! Ucapanmu itu menunjukkan keridaanmu terhadap kemaksiatan!" Abu Hanifah bertanya lagi, "Kapan aku mengucapkan kalimat itu? Ketika mereka menyanyi atau ketika mereka diam?"
Abi Laila menjawab, "Ketika mereka diam." Abu Hanifah berkata, "Allahu Akbar! Sesungguhnya yang aku maksudkan dengan ucapan itu adalah bagus diamnya mereka, bukan karena nyanyian itu!"

Ini adalah sepenggal kisah menarik dalam buku 4 Mutiara Zaman (Biografi Empat Imam Mazhab) halaman 70 yang menunjukkan kecerdasan Imam Abu Hanifah menyentil kesadaran kita; apa yang seharusnya dilakukan para seniman dalam mengekspresikan karya seninya.

Untuk jadi orang terkenal tidak perlu membuat sensasi murahan atau kontroversi rendahan. Untuk menjadi artis terkenal tidak layak menjual aurat. Untuk menjadi sastrawan hebat tidak harus melecehkan keyakinan umat beragama.

Adalah Muhidin M Dahan, penulis novel Adam Hawa yang resensinya dimuat Media Indonesia, 6/11, menggambarkan penciptaan Adam dan reaksi Allah SWT di halaman 27, "Baiklah, ternyata kau, ciptaanku, pilih keluar lewat ketekku yang kanan. Uh, hahahahahaa. Aduh, gatal. Aduh, eh kakimu jangan kau gesek-gesekkan di situ. Geli, tahu! Tuhan berjingkrak-jingkrak seperti sedang mengalami kesurupan, mahakesurupan." Apa reaksi Anda membaca kalimat tersebut?

Kalau Muhidin mau membaca Alquran tentang proses penciptaan Adam, Hawa dan sifat-sifatnya, maka ceritanya tidak akan seperti itu. Bacalah QS Shaad:71-85, Adam diciptakan dari tanah dan diberi keutamaan sehingga para malaikat diperintahkan untuk sujud kepadanya, dan mereka pun sujud kecuali iblis yang terlaknat.

Kasus Muhidin ini mirip penulis novel Salman Rusdhie, Yahudi Inggris terlaknat, yang menulis buku Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) yang difatwa mati oleh Imam Khomeini karena dinilai telah melecehkan Alquran. Pelecehan semacam ini bisa dimasukkan kategori hirabah (terorisme) terhadap Allah SWT, "Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah, memerangi Rasulullah, dan membuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau diusir dari negerinya." (QS Al-Maidah:33).

Apakah argumen kebebasan berekspresi, HAM, demokrasi, dan tetek-bengek lainnya bisa membebaskan para penoda dari tuntutan hukum? Kepribadian penulis semacam itu termasuk kategori munafik, jika dia seorang muslim, sebagaimana firman-Nya, "Dan jika kamu tanyakan kepada orang-orang munafik (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman." (QS At-Taubah:65-66).

Penulisan novel atau sastra apa pun namanya jika bertentangan dengan akidah Islam, tidak bisa ditolerir atas nama apa pun, karena pada hakikatnya hal itu bukanlah sebuah karya seni terhormat. Biasanya itu sekadar sensasi dan mencari popularitas dengan melecehkan, mengolok-olok, dan mempermainkan agama. Tindakan itu bisa menyebabkan pelakunya murtad.

Kebebasan berekspresi, kapan dan di mana pun tidak ada yang bebas tanpa batas. Contoh, atas nama seni, seorang sineas memasang foto telanjang Anjasmara dan pasangannya yang menggambarkan Adam dan Hawa. Pertanyaannya, apakah seperti itu gambaran Adam dan Hawa dalam kitab suci? Jawabannya, berbeda! Oleh karena itu, ilustrasi semacam itu akan memorakporandakan keimanan umat Islam yang sangat memuliakan Nabi Adam dan istrinya. Lagi pula foto semacam itu sudah dibuat oleh Barat, sejak kapan seniman kita jadi plagiator?

Gambaran Adam dan Hawa dalam bentuk imajinasi ngawur yang diatasnamakan karya seni jelas merupakan kejahatan serius. Semua bentuk seni yang menyimpang pasti berdampak buruk bagi hak-hak umat secara keseluruhan. Apakah kita ingin membelanya dengan mengatakan, Biarlah menyimpang demi haknya, walau mengorbankan hak mayoritas!
Wallahu a'lam.

*Ditik dari Harian Media Indonesia Edisi 20 November 2005

Jangan Usir 'Adam Hawa' dari Taman Bacaan

::ez

AH
ah...mendung di jagad sastra tiba
ditiupkan badai topan angkasa
akankah menjadi bencana
tidak akan
sastra akan setegak Sang Pencipta
sastra akan abadi seabadi Sang Pencipta
karena Sang Pencipta pun mengada
dalam sastra


Sumber: Komunitas Pasar Buku Indonesia Mon Nov 14, 2005 11:43 am


****


::bagja

wah, MMI kasih somasi cuma bersandar pada sebuah resensi. apakah mereka baca bukunya sebelum melayangkan somasi ini? dan apakah somasi ini tetap ada jika, seandainya, dan seumpama, media indonesia tak memuat resensi itu. di pengantar, MMI menyoal resensi, tapi poin somasi memuat "buku yang telahmelecehkan". aneh betul...

Sumber: Komunitas Pasar Buku Indonesia Mon Nov 14, 2005 2:09 pm


****


::babi tai

maju terus muhidin, anggaplah yang tak setuju itu adalha dinamika dari sebuah dialektika kehidupan untuk masa depan yang penuh gemilang. tak harus kita terkungkung dogma apapun, karena kehidupan itu berjalan secara mekanis, jangan menyerah pada intimidasi dari pihak manapun yang menggunakan dogmasebagai tameng dab senjata. karena kemanusian tidak lahir dari rahim dogma saja, melainkan dari perjalan pemikiran dan rasa yang terus berkembang mengikuti dialektikanya. jangan gentar pada birokrasi dogma yang menghalangi kemajuan peradaban, kalo perlu tanggalkan saja dogma kalau memang dogma tak bisa menyelesaikan persoalanyang materil. kehidupan bukan jampi dari satu kitab!maju terus buat bung muhidin.....pantang mundur!jangan takut pada ancaman fisik, banyak pihak ada dibelakangmu, kalau perlu pengerahan massa lawan massa, tak ada revolusi yang tak berkorban. revolusi tidak akan pernah terjadi dari ayat atau puisi!kalian yang bergerak di kebudayaan hanyalah peluru dan senjatanya ada di massa. lawan....lawan!!!!!hancurkan fasis bermotif dogma!!setuju!!!?????

Sumber: Komunitas Pasar Buku Indonesia Mon Nov 14, 2005 8:29 pm


****


::muna panggabean

kecuali 3 alinea pertama yang lumayan mengganggu karena berlagu anggota dewan juri sayembara novel sastra, resensi chavchay ini lumayan mengasyikkan untuk dibaca. dan dia berhasil memengaruhi saya pergi ke toko buku besok untuk membelinya.

Sumber: Komunitas Pasar Buku Indonesia Mon Nov 14, 2005 4:38 pm


****


::gede h cahyana

Buat pengarang novel ini, saya hanya ingin bertanya. Satu saja pertanyaan saya,yakni apa tujuan dari penulisan novel tersebut? Demikian dan trims.

Sumber: Komunitas Pasar Buku Indonesia Tue Nov 15, 2005 6:50 am


****


::roy

Manusia yang lupa bahwa IA "menyusui" mereka sebagai seorang ibu, dan "melindungi" sebagai seorang ayah yang baik. tapi lihat mereka yang hanya menganggap IA ada, dan tidak lebih, aku pernah melihat dipojok kelas sebuah bangku, dan ia hanya ada di pojok terus setelah ada apa, ia memang ada di sana?

IA yang besar dan tidak terlihat bisa menghinanya atau "menghinanya"? jika kita mengganggap IA bisa dihina atau "dihina" sama aja ia diumpamakan manusia,sama seperti kita? bisa dihina atau "dihina" HMMMDIA lebih besar dari mereka, mungkin karena ia maha baik kata hina atau "hina" tidak ada padaNYA

O kasihan kalian dari tanah sufi dianggap pemberontak, dan silit dipahami seorang dari tanah sufi menjawab:kami menyembah IA karena cinta bukan sebaliknya sorry bung dalam kasus ini tidak ada tresno jalaran soko kulino

IA yang tidak terlihat dan lebih besar darimu mana bisa dijadikan jalaran soko kulino mu jika tidak kamu munculkan tresno mu padaNYA
dari cinta kami menyembah,
dari cinta kami berkarya,
dari cinta kami prihatin akan kalian
dari cinta semoga kalian mengerti,
dan dalam cinta kami mengharapkan engkau juga masuk kedalam kami ,
orang-orang yang dalam cinta saling mencintai dan CINTA akan abadi walaupun semua bumi dan semua surga tiada

Saya percaya pada agama cinta, ke mana saja ia menuju, dan cinta adalah kepercayaanku dan agamaku [terjemahan bebas : dari ibn arabi]

Sumber: Komunitas Pasar Buku Indonesia Tue Nov 15, 2005 11:33 am


****


::alfathri

Saya juga melontarkan pertanyaan yang sama dengan saudara Gede H.C. kepada sang penulis: apa tujuan dari penulisan novel tersebut? Demikian dan trims.

Sumber: Komunitas Pasar Buku Indonesia Wed Nov 16, 2005 1:38 am


****


::tansa khairina

Wah... wah.... Muhiddin sekali lagi berhasil membuat karyanya dikejar orang-orang yang penasaran. disengaja atau tidak, ini strategi pintar...

menurut saya, miliser pasar buku sudah pada tahu kalau novelis-novelis keblinger kayak Muhiddin ini lebih baik dibiarkan saja makan karmanya sendiri. jadi, sia-sia saja tanya apa maksud si penulis menulis sebuah novel. novel yang damai sejahtera saja mungkin ditulis dengan alasan yang absurd... apalagi kalau alfathri nanya muhiddin soal novelnya yang satu itu.

tapi saya harus mengakui bahwa novel itu jadi dikejar-kejar orang-orang penasaran. thank's to pengirim somasi. dalam 3 hari terakhir ini, sudah 9 orang teman saya mengaku membeli buku itu, dan mereka merekomendasikan beberapa teman lainnya untuk segera beli, dengan alasan "keburu dibredel, atau penulisnya dibakar massa!" gitu.. katanya. teman saya yang penjual buku di jakarta timur mengaku kewalahan menerima pesanan buku adam hawa itu. lalu kemarin sore saya terima sms antah barantah yang isinya bersedia menerima pesanan buku adam hawa-nya muhiddin m. dahlan. ck..ck...ck
saya yakin, penerbit bunglon yang nerbitin buku itu pasti senang dan tertawa-tawa bahagia.

kalau saya pribadi, lebih senang kalau yang namanya muhiddin ini "diamankan" saja (maaf saya pakai tata bahasanya suharto) tanpa harus banyak ba bi bu... saya sarankan rumah sakit jiwa deh... ayo siapa berani mengamankan muhiddin m. dahlan?
saya bilang pada teman saya yang tertawa-tawa setelah membaca buku itu, bahwa saya akan menganggap muhiddin sama dengan salman rushdie. dia penulis yang menjengkelkan, kesetanan dan dihujat. itu saja. selebihnya saya tidak peduli, sama seperti saya tidak memedulikan salman rushdie.

ok, muhiddin miring dan kesetanan. so what? kebetulan saja dia bikin buku. menurut saya, itu hubungan muhiddin dengan Tuhannya Muhiddin! dan diamenceritakannya. end of story. hubungan sama Tuhan kan lebih privat dari hubungan sama pacar atau kekasih...jadi yaa... biarkan saja!

Sumber: Komunitas Pasar Buku Indonesia Wed Nov 16, 2005 7:29 am


****


::homer

di dua paragraf yang saya kutip dibawah ada yang sedikit mengganggu. di sana di tulis seolah-olah wanita pertama bukan hawa adalah ide murni muhidin padahal dalam mite yahudi ada tokoh lilith yaitu wanita pertama sebelum hawa, yang diceritakan memberontak dan memilih bersama lucifer ketimbang adam.

dalam kitab kejadian (perjanjian lama) diceritakan tentang penciptaan perempuan, dalam beberapa tafsir perempuan itu tidak merujuk pada hawa tapi perempuan lain, lilith dalam mite yahudi.

lilith dan maia tokoh dengan karakter yang sama. jadi sejak kapan adam dan hawa milik mujahidin atau agama-agama tertentu? siapa yang paling tau sih maksud si penulis kitab suci? jangan2 si penulis malah bermaksud bercerita tentang evolusi manusia pertama yang mengenal Tuhan.

homerian bookshop and library
jl. melati wetan no. 3, yogyakarta

Sumber: Komunitas Pasar Buku Indonesia Wed Nov 16, 2005 12:02 pm


****


::muna_panggabean

salah satu nilai cerita paling mahal yang bisa kita temukan pada kisah adam-hawa versi taurat, perjanjian lama, dan quran adalah betapa hebatnya keingintahuan yang ada dalam diri manusia. bahkan tuhan pun terpaksa menakberdayakan dirinya saat harus berhadapan dengan yang satu ini. berbeda dengan kita yang menerima kalam illahi melalui para nabi dan kitab agama, adam dan hawa menerima perintah untuk tidak boleh makan buah terlarang itu langsung dari tuhan, maha_pengatur, maha_kuasa, dan maha_adil. ternyata, kemahaan tuhan tidak mampu mematikan keingintahuan dalam diri adam maupun hawa. mereka berdua memilih memakannya untuk mengalami sendiri akibat atau keadaan yang dihasilkannya.

taurat dan perjanjian lama dimulai dengan dualitas sempurna pada kalimat pembuka: pada mulanya. dan itu selalu akan melahirkan miliaran pertanyaan baru. :pada mulanya: senantiasa menyisakan ruang cerita bagi :pada akhirnya:. sialnya, kita tidak akan pernah mengalami cerita pada bagian akhir tersebut karena upaya parailmuwan untuk memertahankan jagad semesta tentu saja tidak bisa kita anggap sebagai perlawanan abadi terhadap hari_akhir, armagedon, ataupun kiamat. lebih sial lagi, berbagai temuan pada asal mula semesta cenderung mengajak kita untuk menggali lebih dalam pada sebuah keadaan yang bisa jadi sudah ada sebelum :pada_mulanya: itu.

lalu, bagaimana kita dimampukan untuk tahu di bagian manakah kita berada sekarang: awal, tengah, sedikit menuju akhir, atau bagian akhir, jika ternyata kita belum berhasil memetakan pada_mulanya dan pada_akhirnya?

tengoklah kecermatan homer untuk melemparkan sebuah tokoh lilith pada kita yang memang menurut mitologi yahudi diyakini sudah ada sebelum hawa. apakah lilith akan merubuhkan keabsahan pemahaman iman kita yang sudah belasan atau puluhan tahun dibermulakan oleh kisah adam dan hawa? tentu saja tidak.

iman adalah barang rongsokan bagi sejumlah orang, tapi tidak pada seorang gadis kecil dalam film :crash: yang yakin bahwa jubah kekebalan itu melekat padanya dan karenanya dia berlari dalam kepenuhan percaya menyongsong peluru yang ditembakkan oleh seseoranglelaki tua ke tubuh ayahnya. dia melompat ke pelukan sang ayah, senjata menguak keras dalam jarak hanya 1 meter dan karenanya mustahil meleset. apa yang terjadi? peluru itu tak menembus tubuh sang gadis. sang lelaki tua tersentak penuh rasa heran. sang ayahmelolong berkepanjangan. sang gadis berkata: aku dan kamu tidak apa-apa ayah. jubah kekebalan itu melindungi kita.

sang lelaki tua pulang ke rumahnya. pada malam sepi dia menangis sendiri. kepada anak perempuannya yang seorang dokter dia menceritakan kisah tadi: anak perempuan itu adalah malaikat yang dikirim tuhan untuk menyelamatkan aku, mengubah aku dari setan kemarahan yang selalu bergejolak dalam dadaku.

si perempuan terdiam mendengar penuturan ayahnya. dia lalu mengambil senjata itu dan menyimpannya di dapur. si perempuan tahu bahwa senjata tersebut tidak pernah akan meletus karena beberapa hari sebelumnya dia sudah melucuti semua peluru yang ada di dalamnya.

perempuan yang dokter itu dan para penonton film tahu bahwa tidak ada satu keajaiban pun yang sudah terjadi. cuma persilangan garis_waktu dari masing-masing tokoh yang kemudian menghasilkan pemahaman yang berbeda-beda atas sebuah peristiwa. lalu, apakah saya dan para penonton lainnya berkewajiban untuk pergi ke rumah si gadis kecil untuk beri penjelasan utuh atas kejadian sesungguhnya? tidak perlu. jubah kekebalan itu akan tetap melekat pada tubuhnya dan siap melindungi dia dari berbagai peluru atau binatang jahat. jubahkekebalan itu akan menempatkannya kembali bersilang garis_waktu dengan puluhan atau ratusan manusia yang masuk dalam hidupnya kelak.

muhidin pasti telah menemukan keasikannya sendiri dalam kisah taman eden yang berpendaran di benaknya. jika saya membeli bukunya maka salah satu alasan kuat yang mendasarinya adalah karena saya ingin masuk ke semesta penceritaannya. saya tidak akan bertanya kenapa dia menulis buku itu. saya sepenuhnya menerima sebuah pengalaman baru dengan mendengar ceritanya.

jika adam dan hawa saja tak mampu menaklukkan diri kepada perintah langsung dari tuhan untuk tidak makan buah terlarang apatah lagi muhidin yang menerima cerita adam dan hawa dari quran. adam melanggarnya, dan dia diusir dari eden. muhidin lebih memilihmendengar suara lain dalam dirinya dan menuliskannya dalam sebuah buku.

mengusir muhidin dari taman bacaan adalah menjadikan diri kita sebagai tuhan baru, sesembahan hidup yang menuntut ketaklukan mutlak. jika kita percaya pada kisah adam dan hawa yang bukan versi muhidin hendaknyalah kita sadar: bahkan tuhan pun tidak mencegah pemikiran bebas adam dan hawa. aneh, berhadapan dengan kebebasan berpikir manusia, kita melihat bahwa tuhan ternyata tidak berdaya. ataubarangkali, tuhan memang enggan berdaya pada yang satu ini. lalu, kenapa kita berahi terhadapnya?

Sumber: Komunitas Pasar Buku Indonesia Wed Nov 16, 2005 5:56 pm

Somasi Majelis Mujahiddin Indonesia

Nomor: 01/Syawwal/1426/2005
Lamp.: -
Perihal: SOMASI

Kepada:
1. Muhidin M Dahlan
2. Pimred Media Indonesia
Di Tempat

Dengan Hormat,

Setelah kami pelajari resensi buku Adam Hawa karya Muhidin M Dahlan yang dimuat dalam rubrik Pustaka halaman 7 Media Indonesia, 6 Nopember 2005, maka kami mengajukan SOMASI I kepada Muhidin M Dahlan dan SOMASI II kepada Pimred Media Indonesia.

Somasi tersebut kami lakukan karena:

1. Buku tersebut telah melecehkan keagungan Allah swt yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dalam penciptaan Adam Hawa, dengan sangat gegebah penulis menuliskan di halaman 27: "Baiklah, ternyata kau, ciptaanku, pilih keluar lewat ketekku yang kanan. Uh, hahahahahaa. Aduh, gatal. Aduh, eh kakimu jangan kau gesek-gesekkan di situ. Geli, tahu! Tuhan berjingkrak-jingkrak seperti sedang mengalami kesurupanmahakesurupan." Pelecehan ini bisa dimasukkan dalam kategori hirabah (terorisme) terhadap Allah swt sesuai dengan firman-Nya: "Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah, memerangi Rasulullah, dan membuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau diusir dari negerinya." (QS. Al-Maidah: 33).

2. Proses penciptaan Adam Hawa dan sifat-sifatnya dalam buku tersebut menyimpang secara sangat serius berdasarkan QS Shaad: 71-85 di mana Adam diciptakan dari tanah dan diberi keutamaan sehingga para Malaikat diperintahkan untuk sujud kepadanya, dan mereka pun sujud kecuali iblis yang terlaknat.

3. Penulisan novel atau sastra apa pun namanya jika bertentangan dengan akidah Islam, maka tidak bisa ditolerir lagi, misalnya atas nama HAM, kebebasan berekspresi, atau apa pun namanya, karena hal itu merupakan bentuk pelecehan, olok-olok, dan permainan yang bisa menyebabkan pelakunya murtad dan membahayakan akidah umat Islam secara umum. Firman-Nya: "Dan jika kamu tanyakan kepada orang-orang munafik (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja.'

Katakanlah: 'Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.." (Qs. Baraah: 65-66).

4. Kami sangat menyesalkan Pimred Media Indonesia yang tidak sensitif dengan memuat resensi buku tersebut atau memang hal itu bagian dari misi Media Indonesia?Maka, kami menuntut agar Muhidin M Dahlan dan Pimred Media Indonesia yang tidak sensitif untuk bertobat dan meminta maaf kepada publik serta menarik buku tersebut dari peredaran serta memusnahkannya untuk menebus dosa yang dilakukannya. Bila tidak dilakukan dalam waktu 7x24 jam, maka kami akan menuntut secara hukum.

Demikian kami sampaikan.

Jakarta, 8 Nopember 2005

Fauzan Al-Anshari
Ketua

Tembusan:
1. MUI
2. Ormas Islam
3. Kejaksaan Agung
4. Mabes Polri
5. Arsip

Mempersonifikasikan Tuhan secara Rendah dan Hina

::budi handriyanto

Assalamu'alaikum wr.wb.

Ahad kemarin, 6 November 2005 sambil menunggu hidangan nasi uduk di Kemang Pratama saya beli koran Media Indonesia. Di halaman tengah seperti biasa ada resensi buku. Namun saya agak kaget setelah membaca resensi itu. Ada tulisan berjudul "Sastra Menyimpang dari Taman Eden" yang meresensi buku berjudul "Adam Hawa". Buku itu ditulis oleh Muhidin M. Dahlan.

Penulis yang pernah heboh dengan bukunya "Tuhan, Ijinkan Aku menjadi Pelacur" ini banyak menghujat, menghina dan mempermainkan agama. Tuhan dipersonifikasikan secara rendah dan hina. Nabi Adam dijuluki pemerkosa yang doyan wanita bahkan anaknya sendiri. Hawa bukan wanita pertama dan sebagainya. Pokoknya ngawur sekali. Dikatakan dalam buku itu Adam dilahirkan dari ketiak kanan Tuhan. Kutipannya sebagai berikut, "Baiklah, ternyata kau ciptaanku pilih keluar lewat ketekku yang kanan. Uh, huahahaha...Aduh, gatal. Aduh, eh kakimu jangan kau gesek-gesekkan di situ. Geli tahu !" Tuhan berjingkrak-jingkrak seperti sedang mengalami kesurupan maha kesurupan. (hal 27)

Dan masih banyak cerita yang membuat bulu kita bergidik dan dada kita (orang yang beriman) memanas.Hari itu langsung saya sms beberapa teman termasuk Pak Herman Ibrahim dari MMI. Ternyata beliau dan kawan-kawan MMI menindaklanjuti dengan melakukan somasi terhadap Muhidin dan Media Indonesia.

Mas Adian Husaini pun Senin lalu khusus terbang ke Jogja menyelenggarakan seminar tentang buku-buku sesat di sana. Di tengah umat yang sedang carut marut ini, kok ya masih ada orang yang cari sensasi. Khalif tu'raf kata orang Arab. Kalau mau terkenal naik ke sumur zam zam dan kencing ke dalamnya. Ditanggung langsung terkenal.
Allahumma ahlik a'daa-addin.Wassalamu'alaikum wr.wb.

Sumber: mailing list [smu2jombang] Wed, 09 Nov 2005 19:23:42 -0800

28 July 2006

Sastra Menyimpang di Taman Eden

::chavchay syaifullah

Muhidin M Dahlan kembali menunjukkan jalur kepengarangannya dengan novel Adam Hawa. Stamina menulisnya masih tetap terjaga, seperti caraberbahasanya yang tetap lugas dan mencekau bahasa prosa-puitis. Saya menduga novel ini kelak impresif bagi pembacanya karena sanggup 'menuntaskan'cerita-cerita yang indah terbayangkan.

Dalam proses baca sastra, kenyamanan pertama justru sejauh mana sangpengarang sanggup menyandingkan spirit ceritanya dengan daya bahasa yangdihamparkan. Baru kemudian jatuh pada teknik penceritaan, isi cerita, dan (iniyang jauh lebih penting) visi. Poin akhir inilah yang kelak memegang peran kuatbagaimana cerita dalam novel bisa mengharu biru perasaan dan pikiran pembaca.

Adam Hawa dan novel Muhidin yang lain, Tuhanku, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, dari segi capaian bahasa bisa jadi berada di bawah Kabar Buruk dari Langit--tampaknya novel gemuk ini ditulis dengan kesadaran leksikologi yang intens.

Namun, saya berani bertaruh dari sisi-sisi selain capaian bahasa, Adam Hawa lebih layak mewarisi prestasi sastra bermutu, tentu dalam kategori "sastra menyimpang".

Seperti umumnya novel yang ditulis Muhidin adalah novel yang mengganggu pemahaman terberi atau juga status quo, novelnya Adam Hawa dengan telak memasuki wilayah sentral yang menjadi tanda tanya besar dalam sejarah peradaban manusia, yaitu tragedi awal penciptaan.

Seperti kita ketahui bahwa sejarah awal penciptaan adalah wilayah yang sulit ditembus dengan data-data yang kiranya mudah memuaskan kebutuhan manusia modern. Awal penciptaan seakan menjadi monopoli sejarah kitab-kitab suci. Tak ada data selain sumber itu, bahkan penelitian arkeologis sekalipun. Hanya dengan kepasrahan iman (dari penjelasan-penjelasan dalam kitab-kitab suci), kenyataan itu bisa kita rujuk.

Namun, Muhidin menolak untuk menerima secara cuma-cuma monopoli sejarah itu, sambil melangsungkan kenyataan status quo di mana manusia yang dirancang Tuhan sebagai makhluk yang lebih baik dari iblis, jin, dan malaikat ternyata lebih buruk kelakuannya dari binatang. Muhidin pun enggan pula langsung menunjuk Tuhan sebagai yang salah.

Karena itu, ia berusaha sekeras mungkin menelusuri proses-proses awal penciptaan dengan imajinasi yang luar biasa nakalnya. Inilah prestasi gigantik Muhidin dalam Adam Hawa. Adam Hawa membangun satu konstruksi sejarah baru dalam banyak dimensi konsekuensi.

Simaklah tafsir unik penciptaan bahwa Tuhan Yang Mahaperancang patung menyuruh Malaikat Pesolek agar dapat merayu kaum gipsi untuk membuat patung sebagaimana dirancang Tuhan dalam gulungan gambar: "Dahulu kala, segala makhluk di Negeri Kabut tahu bahwa Tuhan adalah pematung yang lihai. Juru lempung mandraguna. Darinyalah gambaran pertama sosok yang kelak dinamai Adam dibentuk pertama kali. Gambar itu lantas diserahkan kepada budak-budak gipsi untuk dikerjakan. Kaum budak gipsi adalah ciptaan Tuhan yang kurang memuaskan, yang sudah hidup ribuan tahun lamanya." (hlm 14)

Ketika satu malaikat lengah mendengar titah Tuhan tentang penciptaan ini maka Tuhan pun berang dengan tangannya yang panjang mahapanjang meraih telinga malaikat itu dan memutarnya hingga putus. Terang saja peristiwa jewer Tuhan itu diikuti oleh erangan mengerikan, hingga malaikat-malaikat lain pun cepat tanggap dan kembali meneruskan titah Tuhan itu. Belum lagi cerita versi lain yang menceritakan kalau Adam dilahirkan dari ketiak kanan Tuhan, sampai cerita pun berisiko ekstrem.

"Baiklah, ternyata kau, ciptaanku, pilih keluar lewat ketekku yang kanan. Uh, hahahahaha. Aduh, gatal. Aduh, eh kakimu jangan kau gesek-gesekan di situ. Geli, tahu!" Tuhan lalu berjingkrak-jingkrak seperti sedang mengalami kesurupan mahakesurupan. (hlm 27)

Begitulah Tuhan menjadi kian "baru", sebab ia berkali-kali digambarkan secara antromoforsis yang ekstrem, lewat dimensi ketubuhan yang manusiawi. Muhidin entah ia sekadar membangun kompleksitas cerita yang tak kabur, karena Tuhan di situ sudah disesuaikan dengan struktur cerita, yang karenanya tak sepenuhnya kuasa, ataukah karena Muhidin merasa perlu memprofankan Tuhan agar kebebasan manusia tetap dituntut pertanggungjawabannya sendiri, di luar Tuhan.

Lewat perspektif ini, maka Adam Hawa di mata saya mampu menghamparkan dengan amat baik misteri kehidupan sunyi di Taman Eden. Buah Khuldi, Hawa, Khabil, Munah, Maia, Idris, Marfu'ah menjadi anasir-anasir baru yang menjelaskan bagaimana manusia kelak hanya tumpukan lembar kehidupan licik-picik, dendam kesumat tanpa akhir. Novel yang sangat mengharu biru pikiran dan perasaan ini benar-benar menguji keilmuan dan keimanan kita. Inilah gangguan Muhidin atas posisi keberimanan kita atas kisah-kisah termaktub dalam kitab suci. Apalagi bila kita telusuri konflik per konflik cerita Adam Hawa.

Dengan ketangkasannya, Muhidin meletakkan konflik cerita sejak penciptaan Adam, asal usul pohon Khuldi di Taman Eden yang tak lain merupakan pikiran licik Malaikat Pesolek kepada kaum gipsi, hingga datangnya perempuan pertama di sisi Adam.

Di usianya yang kian dewasa, Adam dikejutkan oleh kedatangan sesosok makhluk yang setelah ditelisiknya secara detail memiliki 3 perbedaan darinya: memiliki payudara berputing, memek, dan leher yang indah. Maia nama perempuan itu. Muhidin menuliskannya sebagai perempuan pertama sebelum Hawa di Taman Eden. Kehausan berahi Adam sebagai pemangku kekuasaan Tuhan di kesunyian Taman Eden membuat ia berlaku habis-habisan memerkosa Maia, yang digambarkan sebagai perempuan cantik, padat, menggairahkan, namun tak pasrah di bawah kekuasaan lelaki, khususnya dalam pencapaian kenikmatan seksual. Maia tak mau disamakan dengan persetubuhan ala menjangan (rusa). Ia minta gaya persetubuhan lain, gaya persetubuhan perempuan di atas.

Tapi Adam menolak dengan alasan tak ada hukumnya perempuan dapat menyetir gaya seks lelaki. Maia berontak. Ia lari setelah meninggalkan luka di pelipis Adam dengan kaki kirinya. Dalam pengembaraannya, dendam Maia atas Adam dimulai. Adam adalah pemerkosa, putra Tuhan yang telah bertindak semena-mena. Kehadiran Maia sebagai perempuan pertama sebelum Hawa bukan saja gugatan menohok atas kitab suci, tapi sekaligus meruntuhkan semua bangunan konsep penciptaan kitab suci.

Kenakalan pengarang ternyata tak berhenti di sini saja, sebab semua detail yang dihamparkannya tak memiliki sandaran tekstual di teks mana pun, termasuk Alquran dan Perjanjian Lama.

Novel ini coba membangun konflik yang keras dan kompleks di antara dua keluarga yang dibangun oleh dua motif perempuan tanpa pretensi Tuhan. Maia yang bersuamikan Idris (adik Adam yang diusir paksa Adam) membangun keluarganya di Taman Kiram dengan dendam untuk menghabisi Adam, sedangkan Hawa membangun keluarga di Taman Eden dengan motif melangsungkan kehidupan. Maia melahirkan Marfu'ah, sedangkan Hawa melahirkan kembar Khabil dan Munah.

Hadirnya tokoh-tokoh ini bukan kebetulan belaka, tapi mempertegas rumusan cerita bagaimana pangkal masalah coba diletakkan di pundak Adam. Bagi Hawa, Adam adalah lelaki putra Tuhan yang telah berbaik hati menghadirkan dirinya di dunia (dengan tulang rusuknya), sedangkan bagi Maia penciptaan Adam adalah bukti kecerobohan terbesar Tuhan.

Tapi bagi Munah, Khabil, maupun Marfu'ah, Adam adalah putra Tuhan sekaligus musuh bersama yang wajib dimusnahkan dengan motif yang berlainan. Khususnya bagi Khabil dan Munah, Adam adalah ayah yang membosankan dan seumur hidup belum pernah mereka temukan tersenyum. Bahkan, Munah ketakutan setengah mati berdekatan dengan Adam karena takut diperkosa Adam. Beberapa kali Khabil dan Adam benturan fisik hingga Khabil terusir dari Taman Eden, yang membuat Munah menggigil kesepian.

Sementara itu, Marfu'ah yang sejak lahir dibimbing Maia dengan dendam hidup dengan tujuan tunggal; bagaimana menghabisi Adam di Taman Eden. Dendam itu makin menggumpal setelah Marfu'ah dan Maia bertemu Khabil yang kemudian menjalin percintaan aneh dan perselingkuhan purba. Hingga Maia mengetahui bahwa Khabil ternyata adalah anak Adam, dan Maia diketahui Khabil sebagai perempuan sebelum ibunya Hawa. Maia menceritakan ulang kebrutalan Adam di hadapan Marfu'ah dan Khabil, hingga diambil keputusan bersama bahwa Adam harus dibunuh dengan cara tercantik yang telah lama dirumuskan Maia. Di Taman Eden Marfu'ah memergoki Adam sedang menggantung jasad Munah setelah dua hari sebelumnya disekap dan dicekiknya.

Di Taman Eden itulah Marfu'ah merayu dan membanting Adam dengan sangat halus. Adam yang putra Tuhan mata keranjang dan haus seks itu dengan mudah menerima ajakan bersetubuh di bawah Khuldi, yang tak dinyana Adam bahwa sebilah batu runcing dipersiapkan Marfu'ah di balik pakaiannya. Di puncak berahi, Marfu'ah menikam lambung Adam. Adam mati terduduk, mengutuk sejadinya, sambil meremas perutnya yang bocor.

Inilah novel dengan ketangkasan bercerita yang baik. Impresif. Mengganggu. Berlatar sejarah. Tapi terserah Anda, sebab di mata saya, novel ini kemudian hanyalah bagian dari sebuah parodi panjang tentang awal penciptaan manusia, ketika imajinasi harus menembus batas akar sejarah umat manusia yang tak bisa mengakhiri sejarah dendamnya sendiri. Dengan mengembalikan kisah sejarah dendam ini kepada sejarah di Taman Eden, maka novel ini menjadi sebutir tafsir dari misteri tak bertuan.

Judul Buku: Adam Hawa
Penerbit: ScriPtaManent, 2005
Tebal: 166 halaman

* Chavchay Syaifullah, alumnus rabithah ali Alamsyah (arab saudi) dan sekolah tinggi filsafat driyarkara (jakarta)

Dikutip dari Harian Media Indonesia Edisi 6 November 2005