Catatan untuk Muhidin
::fauzan al-anshari, majelis mujahiddin indonesia
Imam Abu Hanifah (80-150H), tokoh mazhab paling rasional pernah berjalan bersama Abi Laila, seorang hakim di Kufah. Keduanya melewati para biduanita yang sedang menyanyikan lagu tak senonoh. Ketika para biduanita itu selesai menyanyi, Abu Hanifah berkata kepada mereka, "Kamu semua sungguh baik!" ...
Mendengar kata-kata itu, hati Abi Laila terkejut setengah mati. Suatu ketika Abu Hanifah menjadi saksi bagi Abi Laila dalam suatu masalah, maka berkatalah Abi Lila, "Kesaksianmu tidak sah!" Abu Hanifah bertanya, "Kenapa?" Abi Laila menjawab, "Karena ucapanmu kepada para biduanita itu! Ucapanmu itu menunjukkan keridaanmu terhadap kemaksiatan!" Abu Hanifah bertanya lagi, "Kapan aku mengucapkan kalimat itu? Ketika mereka menyanyi atau ketika mereka diam?"
Abi Laila menjawab, "Ketika mereka diam." Abu Hanifah berkata, "Allahu Akbar! Sesungguhnya yang aku maksudkan dengan ucapan itu adalah bagus diamnya mereka, bukan karena nyanyian itu!"
Ini adalah sepenggal kisah menarik dalam buku 4 Mutiara Zaman (Biografi Empat Imam Mazhab) halaman 70 yang menunjukkan kecerdasan Imam Abu Hanifah menyentil kesadaran kita; apa yang seharusnya dilakukan para seniman dalam mengekspresikan karya seninya.
Untuk jadi orang terkenal tidak perlu membuat sensasi murahan atau kontroversi rendahan. Untuk menjadi artis terkenal tidak layak menjual aurat. Untuk menjadi sastrawan hebat tidak harus melecehkan keyakinan umat beragama.
Adalah Muhidin M Dahan, penulis novel Adam Hawa yang resensinya dimuat Media Indonesia, 6/11, menggambarkan penciptaan Adam dan reaksi Allah SWT di halaman 27, "Baiklah, ternyata kau, ciptaanku, pilih keluar lewat ketekku yang kanan. Uh, hahahahahaa. Aduh, gatal. Aduh, eh kakimu jangan kau gesek-gesekkan di situ. Geli, tahu! Tuhan berjingkrak-jingkrak seperti sedang mengalami kesurupan, mahakesurupan." Apa reaksi Anda membaca kalimat tersebut?
Kalau Muhidin mau membaca Alquran tentang proses penciptaan Adam, Hawa dan sifat-sifatnya, maka ceritanya tidak akan seperti itu. Bacalah QS Shaad:71-85, Adam diciptakan dari tanah dan diberi keutamaan sehingga para malaikat diperintahkan untuk sujud kepadanya, dan mereka pun sujud kecuali iblis yang terlaknat.
Kasus Muhidin ini mirip penulis novel Salman Rusdhie, Yahudi Inggris terlaknat, yang menulis buku Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) yang difatwa mati oleh Imam Khomeini karena dinilai telah melecehkan Alquran. Pelecehan semacam ini bisa dimasukkan kategori hirabah (terorisme) terhadap Allah SWT, "Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah, memerangi Rasulullah, dan membuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki secara bersilang atau diusir dari negerinya." (QS Al-Maidah:33).
Apakah argumen kebebasan berekspresi, HAM, demokrasi, dan tetek-bengek lainnya bisa membebaskan para penoda dari tuntutan hukum? Kepribadian penulis semacam itu termasuk kategori munafik, jika dia seorang muslim, sebagaimana firman-Nya, "Dan jika kamu tanyakan kepada orang-orang munafik (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman." (QS At-Taubah:65-66).
Penulisan novel atau sastra apa pun namanya jika bertentangan dengan akidah Islam, tidak bisa ditolerir atas nama apa pun, karena pada hakikatnya hal itu bukanlah sebuah karya seni terhormat. Biasanya itu sekadar sensasi dan mencari popularitas dengan melecehkan, mengolok-olok, dan mempermainkan agama. Tindakan itu bisa menyebabkan pelakunya murtad.
Kebebasan berekspresi, kapan dan di mana pun tidak ada yang bebas tanpa batas. Contoh, atas nama seni, seorang sineas memasang foto telanjang Anjasmara dan pasangannya yang menggambarkan Adam dan Hawa. Pertanyaannya, apakah seperti itu gambaran Adam dan Hawa dalam kitab suci? Jawabannya, berbeda! Oleh karena itu, ilustrasi semacam itu akan memorakporandakan keimanan umat Islam yang sangat memuliakan Nabi Adam dan istrinya. Lagi pula foto semacam itu sudah dibuat oleh Barat, sejak kapan seniman kita jadi plagiator?
Gambaran Adam dan Hawa dalam bentuk imajinasi ngawur yang diatasnamakan karya seni jelas merupakan kejahatan serius. Semua bentuk seni yang menyimpang pasti berdampak buruk bagi hak-hak umat secara keseluruhan. Apakah kita ingin membelanya dengan mengatakan, Biarlah menyimpang demi haknya, walau mengorbankan hak mayoritas!
Wallahu a'lam.
*Ditik dari Harian Media Indonesia Edisi 20 November 2005
No comments:
Post a Comment