Catatan Balik buat Fauzan al-Anshari
::muhidin m dahlan
SYAHDAN, Musa berkhotbah di tengah kerumunan Bani Israel. Salah seorang dari kerumunan bertanya, "Siapakah orang yang paling berilmu?" Dengan tegas Musa menjawab, "Aku!" Lalu Allah SWT menegur Musa dengan firman-Nya, "Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua bentang lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu."
Karena penasaran Musa bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah dapat aku menemuinya?" Allah pun berfirman, "Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu."
Musa lalu berjalan mencari hamba yang ditunjukkan Allah itu yang ternyata adalah Khidir. Konon pertemuan keduanya berlangsung di antara Laut Rom dan Parsi atau Laut Merah dengan Lautan Hindi atau Laut Rom dengan Samudra Atlantik atau Teluk Suwais dengan Teluk `Aqabah di Laut Merah.
Setelah berkenalan secukupnya berkatalah Khidir, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku." Tapi Musa berkeyakinan bahwa: "Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun."
Demikianlah Musa mengikuti Khidir dengan syarat ia tak boleh bertanya atas semua perilaku Khidir dalam perjalanan. Kita kemudian mengetahui ada tiga peristiwa abadi yang diperlihatkan Khidir yang sama sekali mengejutkan dan berada di luar batas nalar Musa. Yakni, (1) membocorkan perahu yang mereka tumpangi; (2) membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan rekan-rekannya; dan (3) menegakkan dinding rumah penduduk yang hampir roboh, padahal penduduk kampung itu jelas-jelas menolak mereka.
Cerita selanjutnya kita tahu, Musa lupa pada janjinya untuk tak ajukan keberatan apa pun, lantaran dorongan dan prasangka keimanan yang "lurus" melihat perilaku Khidir yang "menyimpang" dan di luar nalar-syariat yang diyakininya.
'Metodologi mistik' Khidir
Saya bukanlah Khidir, hamba Allah yang saleh dan nyentrik itu. Saya hanyalah (mu)Hidin. Tapi ajaran dan perilaku mistik Khidir adalah sebuah keistimewaan bagi saya. Penuh inspirasi yang kemudian menjadi 'metodologi mistik' penulisan tiga novel saya belakangan: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (2003-260 hlm), Kabar Buruk dari Langit (2005-560 hlm), dan terakhir Adam Hawa (2005-166 hlm).
'Metode Khidir' ini saya tak pakai ketika menulis tiga buku sebelumnya, Trilogi Mencari Cinta. Di Trilogi Cinta ini saya lebih banyak berkutat pada persoalan psikologis dan kejiwaan dengan sudut pandang Islam sufistik.
Maka bukan kebetulan belaka, asal-asalan, dan dorongan nafsu mencari sensasi atau popularitas murahan, bila saya menulis tiga novel "menyimpang" itu berurutan, sebagaimana Khidir melakukan tiga tindakan berkesinambungan yang--dalam benak Musa--"menyimpang dan tak biasa"-yang saya kira tak sekadar mencari popularitas murahan.
Khidir, bagi saya, hadir didorong oleh tindakan dan sikap keberimanan Musa yang angkuh: "lebih berilmu (dan beriman) ketimbang orang lain". Dan Khidir diutus untuk membongkar interioritas keimanan yang majal seperti itu. Khidir adalah sebuah teror. Teror atas persepsi kesucian "yang dikehendaki" Allah. Juga teror atas prasangka-prasangka iman yang dilontarkan figur-figur seperti Musa. Di titi mangsa ini saya bisa memahami catatan kritis Fauzan Al-Anshari dalam esainya “Kreativitas dalam Islam” (MIM, 20/11/2005), sebagaimana saya bisa memahami kenapa Musa terheran-heran dan mempertanyakan tiga sikap Khidir yang "menyimpang" itu.
Di satu sisi saya harus akui sikap, tuduhan, dan somasi yang dilayangkan Majelis Mujahidin Indonesia, yang ditandatangani Fauzan kepada saya itu membuat saya sedikit bergetar. Selain karena kualitas tuduhannya yang meremangkan bulu kuduk; bahwa saya telah "melecehkan agama" dan "meneror Allah" yang hukumannya "dibunuh, dimutilasi, atau diusir dari kampung halaman", juga karena Fauzan membandingkan (yang itu berarti menyandingkan-menyetarakan) novel (sastra) dengan deretan fakta dalam kitab suci.
Padahal keduanya adalah produk yang sama sekali jauh berbeda. Satunya adalah kitab suci, sementara satunya adalah kitab profan. Satunya kitab yang diturunkan Allah Maha Agung, satunya lagi kitab dikarang sastrawan udik seperti Muhidin M Dahlan yang jauh dari rasa-suci.
Tujuan dan Kecemasan
Dengan novel Adam Hawa itu saya hanya mengajukan cerita ihwal penciptaan yang berpendaran dalam imajinasi saya dengan merujuk ke beberapa cerita dan legenda. Dan "Khidir" menuntun Adam Hawa (juga 2 novel sebelumnya) menjelma menjadi teks novel, menjadi teks fiksi, menjadi versi yang lain dari kitab suci.
Kalau kemudian saya dituduh menulis dengan kekuatan teror penuh, tuduhan itu tak sepenuhnya salah. Dan bukan cuma saya penulis seperti ini. Yang termutakhir tentu saja adalah novel Tuan dan Nona Kosong (2005). Selain menghancurkan konvensi penulisan novel yang lazim, novel ini juga mencabik-cabik persepsi kita tentang Tuhan dan tubuh, serta menyimpangkan dengan sinisme tanpa ampun hubungan timbal balik antara Tuhan dan tubuh (manusia) itu.
Tapi tentu saja lewat novel Adam Hawa, saya tak sedang meneror Allah SWT. Terlalu akbar Allah itu untuk diteror oleh sejenis penulis udik seperti saya ini. Lagi pula, mengapa juga Tuhan sebegitu waswasnya dengan imajinasi manusia yang justru Ia ciptakan sendiri.
Karena itu, tujuan penulisan saya bukan kepada Allah, tapi meneror persepsi dan interioritas keimanan. Saya mencoba dengan kemampuan minimalis yang saya miliki menyajikan pelbagai kejanggalan persepsi tokoh-tokoh dalam novel Adam Hawa (juga Kabar Buruk dari Langit) terhadap figur Causa Prima dan persepsi publik atas "akhlak" anggota komunitas agama (Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!).
Lalu sebagai "orang tua", bukan kemudian saya tak mencemaskan kehadiran tiga "anak-rohani" saya itu yang ketiga-tiganya lahir dengan perilaku dan gagasan menyimpang dari persepsi publik; yang karena ketiganya lahir dengan bantuan dan tuntunan tangan hangat "metodologi mistik" Khidir. Dan seingat saya, ini untuk kedua kali saya diperkarakan, dimurtadkan, dimunafikkan di depan publik karena persepsi "menyimpang" yang dibawa masing-masing anak-rohani itu.
Efek yang ingin diraih sebetulnya justru ada di sebalik kejanggalan dan penyimpangan itu. Dengan novel Adam Hawa saya berharap orang kemudian terbetik kembali untuk memeriksa dan membaca ulang teks penciptaan manusia. Saya hanya melempar secauk kerikil agar isu dan teks purba ihwal penciptaan manusia kembali dilirik dan dihangatkan. Dengan catatan: cerita Adam Hawa ini bukanlah kebenaran-teologis, tapi tak lebih hanya kebenaran-novel.
Tapi siapa yang mau memercayai pengakuan dan kecemasan pengarang seperti ini. Paling-paling dituding pembohong dan pengecap, juga hanya ingin mencari sensasi murahan.
Tuduhan terakhir ini saya tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Yang saya tahu menulis itu adalah kata-kerja-penuh. Dan saya sudah bekerja keras selama setahunan penuh untuk menyelesaikan "novel menyimpang" ini (Adam Hawa) dan satu "novel menyimpang" sebelumnya (Kabar Buruk dari Langit) dengan cara tiap hari selama hampir setahunan menaiki lereng Merapi dan menuliskannya dalam sebuah tenda kecil yang panas. Apakah pekerjaan yang meletihkan seperti ini hanya diniatkan untuk mencari sensasi murahan?
O, kalaulah Anda bertemu Khidir, tanyakan apakah ia juga mencari sensasi murahan ketika "meneror" religiusitas Musa dalam sebuah karavan panjang? Juga kalau Anda bertemu dengan komunitas mujahid freelance, tanyakan kepada mereka apakah memilih berjihad dengan jalan meledakkan diri itu hanyalah usaha mencari sensasi murahan?
* Ditik dari Media Indonesia Edisi Minggu 27 November 2005
No comments:
Post a Comment