27 November 2007

“Tak soal bila ada yang tak sepakat dengan patok ini”

Membaca keseluruhan kritik Andreas Harsono (untuk selanjutnya disebut si pengkritik) atas projek Seabad Pers Kebangsaan, terkesan begitu takutnya ia dengan kata “Pribumi”. Ia begitu alergi dengan kata itu dan, gilanya lagi, justru konsisten dalam salah kaprah pemakaiannya untuk semua waktu. Seakan-akan memakai kata “pribumi” sudah berarti rasial. Ah, jika seorang yang memakai kata “pribumi” adalah seorang yang rasialis, maka seluruh aktor pergerakan akan menjadi seorang rasialis. Karena pada masanya, kata itu adalah kosakata sehari-hari di medan komunikasi. Untuk soal ini, silakan lihat kuburan sebelah.

Saya tak perlu membahas tulisan si pengkritik itu. Sudah dibahas rekan sekantor saya di sini dan di sini. Yang ingin disampaikan di sini adalah apa sih persisnya “metodologi” yang dipakai memilih Tirto. Karena menyangkut soal metodologi, maka saya menghubungi saja penanggung jawab projek pematokan Seabad Pers Kebangsaan di mana namanya turut disebut-sebut si pengkritik (3 kali) dan sekaligus menyebutnya rasis. Wow, tuduhan yang menyakitkan. Iya kalau disertai dengan struktur berpikir yang benar, kalau tidak, kan bisa menjadi senjata makan tuan.

Ini dia hasil pancingan saya di kolam pemancingan di Dusun Kembaran, Kasihan, Bantul Projo Tamansari.

Muhidin M Dahlan (MMD): Apa pentingnya Pak Taufik berpayah-payah menggali agar pers ini punya tokoh yang jadi rujukan nilai?

Taufik Rahzen (TR): Sama halnya kamu nanya apa pentingnya Nabi Muhammad bagi umat Islam. Dan Yesus buat Kristen. Dan apa pentingnya seorang presiden bagi sebuah negara.

MMD: (Duh, pertanyaan saya patah deh sejak dari kalimat pertama. Pertanyaan atau tepatnya pernyataan yang nyaris sama seingat saya pernah juga diajukan oleh Andreas Harsono alias si pengkritik sewaktu dia mengkritik ulah sejarawan partikelir Zen Rachmat Soegito yang mencari-cari bapak pers Indonesia. Tepatnya mesti ditanya sama si zen partikelir itu. Mungkin juga Pak TR berlebihan membandingkan antara Nabi, Agama, dan Tokoh Pers. Tapi segera saya teringat bahwa agama Andreas Harsono adalah jurnalisme (klik di sini). Jadi kebetulan yang klop).... Oke Pak. Penasaran nih, kriteria apa sebetulnya yang Pak Taufik pakai dalam projek Seabad Pers itu hingga sampai pada pilihan Tirto/Medan Prijaji?

TR: Tolak ukur yang kita pakai untuk menilai Medan Prijaji pantas menjadi patok atau penanda dimulainya pers kebangsaan adalah Sumpah Pemuda yang merupakan puncak perjuangan politik kebudayaan semasa merebut identitas kebangsaan. Pertama, bahwa Medan Prijaji berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar sekaligus mengadvokasi publiknya sendiri dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom. Terkait dengan tugasnya yang pertama ini, Tirto mesti berhadapan muka dengan kekuasaan kolonial yang bengis. Tirto memang berusaha tampil taktis dan mencoba menyuluh pembacanya tentang hukum-hukum kolonial. Maka kemudian nyaris di setiap nomor Medan Prijaji Tirto menerjemahkan kembali aturan-aturan hukum yang diproduksi pemerintah. Tirto sadar bahwa nasib “bangsa yang terprentah” ini separuhnya terletak di ujung pasal-pasal yang menyimpan belati ini.

Karena sepak terjang Medan Prijaji ini Tirto menjadi incaran utama sebagai orang pertama di abad 20 yang paling berbahaya. Saya kira bukan karena ia memiliki ajimat, tapi justru karena kepemilikan penuhnya atas Medan Prijaji yang mendapat perhatian pers di Nederland jauh sebelum Indonesia Merdeka yang ditukangi Hatta dkk.

MMD: Kalau merujuk soal Sumpah Pemuda, di sana ada tiga poin: Tanah Air, Bahasa, dan Bangsa. Apa hubungan Tirto dengan ketiga hal itu?

TR: Saya kira peran Tirto cukup signifikan. Puncak dari ketegasan sikap yang coba dibalik Tirto/Medan Prijaji bermuara pada Sumpah Pemuda. Sebab pada saat itulah Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan. Jika tak ada pembalikan situasi yang dramatis, mungkin saja bahasa yang kita pergunakan adalah bahasa Belanda, Jawa, Cina, atau Arab yang dipakai sebagai bahasa persatuan. Jelas persemaian ini ada pada tradisi cetak yang sebelumnya tradisi ini tak ada. Tentu hal itu tak bisa kita rujukkan pada pers berbahasa Jawa seperti Bromartani atau pers-pers Tionghoa. Karena pembayangan bangsa mayoritas aktivis pers Tionghoa sebelum era Partai Tionghoa Indonesia terbentuk pada 25 September 1932, bukanlah gerakan yang coba membangun bangsa yang dibayangkan dan secara inheren seperti kita lihat pada bangsa Indonesia sekarang. Yang mereka bayangkan adalah bangsa Asia Raya yang berpusat di Tiongkok.

Dan perlu diketahui bahwa bahasa Indonesia itu adalah bahasa yang sangat baru dan bahasa itu diciptakan. Kita juga tak boleh samakan bahasa yang dilisankan atau pasaran dengan bahasa tulis jurnalistik. Sebelumnya bahasa itu hanya lewat bahasa puisi, gurindam, hikayat, babad. Bahasa-bahasa itu menggambarkan tentang perasaan perumpamaan, sementara bahasa pers adalah bahasa yang menggambarkan realitas.

MMD: Tapi sebelum Medan Prijaji kan sudah ada yang memakai bahasa Melayu....

TR: Sekilas kita lihat sudah banyak suratkabar memakai bahasa sebagaimana yang dipakai Medan Prijaji kemudian. Namun itu hanya dipakai sebagai bahasa pers biasa, misalnya untuk berdagang. Namun di tangan Tirto, sebagaimana terlihat di Medan Prijaji, bahasa Melayu yang biasanya dipandang hanya sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) dipergunakan secara penuh sebagai bahasa pers dan menjadi adonan utama membangun basis ideologi. Itulah makna dari prinsip Tirto tentang “pers yang berpolitik”. Ada memang pers dalam bidang-bidang khusus seperti berdagang atau militer. Bahasa digunakan untuk berdagang, tapi bukan ideologi kebangsaan. Ada juga pers lokal bermunculan tapi saya kira tak memberi dampak yang luas karena pers itu hanya sebagai pers yang fungsinya sebagai alat komunikasi. Dan yang menggunakan secara tegas dan dengan kesadaran politik yang penuh risiko adalah Tirto Adhi Surjo. Tirto sangat sadar bahwa bahasa adalah bangsa. Maka dia pun berlelah-lelah melakukan diagnosis kebahasaan dan sekaligus mempersoalkan penggunaan bahasa Belanda di Hindia. Walau kita tahu bahwa Muhammad Jaminlah yang memperjuangkan itu menjadi kesepakatan bersama, tapi Tirto yang menyemaikannya.

MMD: Bisa Pak Taufik jelaskan kembali soal pembayangan bangsa tadi....

TR: Begini, bangsa yang dibayangkan Tirto adalah tanah air yang melingkupi Hindia Belanda. Tirto dengan lugas menyebut tanah air itu sebagai “bangsa yang terprentah” yang bisa kita tafsir sebagai daerah jajahan Belanda. Sejarah memang tak mengenal kata andaian. Tapi jika kita diizinkan untuk berandai maka seandainya yang menang adalah bangsa Tionghoa, maka konsep berbangsa kita adalah bangsa yang ditarik dari Tiongkok. Seandainya yang menang komunis, maka konsep berbangsa kita ditarik dari Rusia berdasarkan konsepsi komunis internasional (komintern). Dan dari Tirto kebangsaan itu diikat oleh tanah dan air yang terprentah oleh penguasa kolonial Belanda serta oleh mobilisasi bahasa Melayu yang kemudian sejak Sumpah Pemuda kita kenal dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pers. Semua elemen-elemen dasar yang diperjuangkannya itu tersari dalam 3 ayat Sumpah Pemuda.

Saya kira visi Medan Prijaji yang tereksplisitkan dalam jargonnya yang beridentitaskan kebangsaan itu memberi implikasi pada keindonesiaan hari ini setelah Medan Prijaji tak ada, semisal penentuan wilayah Indonesia pada Sidang I BPUPKI bertahun-tahun setelah Medan Prijaji tiada. Kebangsaan yang dimaksudkan di sini adalah kebangsaan yang diikat oleh dialektika antara kolektivitas tanah air dan bahasa. Dari hubungan dialektika inilah muncul bangsa. Jadi struktur Sumpah Pemuda itu kita baca bukan dalam kerangka linier, tapi dialektik.

MMD: Apakah yang coba dilakukan Tirto itu adalah sesuatu yang unik.

TR: Mungkin tak unik. Tapi beberapa bangsa tumbuh bukan berdasarkan pada dilektik ini. Inggris misalnya berdasarkan kerajaan dan bukan berdasarkan tanah. Bangladesh berdasarkan bahasa, yakni bahasa Bangla. Golongan ini memisahkan diri dari Pakistan karena perbedaan bahasa. Mereka menganggap bahwa bahasa mereka lebih tinggi dari bahasa Urdu yang dipakai Pakistan. Jadi bukan karena perbedaan tanah. Karena itu gerakan pembebasan dimulai dari gerakan bahasa. Namun ketika India merdeka bukan berdasarkan tanah dan bukan pula bahasa karena bahasa mereka sangat kompleks secara kuantitas dan politik. Di India ada sekira 8 bahasa. Walaupun bahasa negara adalah bahasa Hindi, tapi itu tak berfungsi sebagai bahasa nasional dan sekaligus menjadi identitas. Sebab jika bahasa Hindia yang merupakan bahasa Sanskrit dipaksakan, maka yang lain resisten. Terpisahnya Pakistan salah satunya gara-gara ini, selain tentu saja soal agama. Ternyata Pakistan Barat dan Timur memecah lagi, juga karena soal bahasa. Indonesia justru disatukan oleh tanah air dan bahasa yang biasanya menjadi titik sengketa bagi negara lain.

MMD: Syarat apa lagi yang dipunyai sehingga Medan Prijaji layak dijadikan tolak ukur?

TR: Oke saya lanjutkan. Konsepsi kebangsaan itu kemudian dibangun dengan cara sistematis. Selain jalan pers, Tirto juga turut memulai pergerakan lewat jalan berorganisasi. Titik tuju dua tradisi yang disatukan itu adalah penyemaian kesadaran berbangsa. Dari tangan Tirto lah muncul embrio organisasi yang bercorak seperti Boedi Oetomo, yakni ketika pada 1906 atau dua tahun sebelum Boedi Oetomo, ia mendirikan Sarekat Prijaji. Dan Tirto pulalah rancangan pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik kiri, tengah, maupun kanan, saat dia mengonsep Sarekat Dagang Islamijah di Bogor dan kemudian dikembangkan Samanhudi di Surakarta. Tirtolah yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa.

MMD: Pada titik itu, posisi Tirto lalu bisa dibaca seperti apa dalam sejarah pers kebangsaan?

TR: Seperti saya katakan tadi. Karena dilakukan secara sistematis itulah maka posisi dan tindakan Tirto bukan sekadar sebagai historical piece atau irisan sejarah yang biasa, tapi membuat momentum sejarah di mana sejarah menjadi patok untuk aksi sejarah ketika semua peristiwa berkumpul pada saat itu dan orang menilai peristiwa itu sebelum dan sesudah peristiwa itu berlangsung.

MMD: Pak Taufik menyebut “momentum sejarah”. Apa yang dimaksud dengan “momentum sejarah”?

TR: Momentum sejarah itu bisa dicontohkan seperti peristiwa Asia Afrika: Mengapa pertemuan Asia Afrika dianggap terjadi pada tahun 1955 di Bandung. Padahal berdasarkan kronik, sebelumnya pada tahun 20-an peristiwa serupa sudah ada dan pada tahun 1947 India sudah menyelenggarakan, dan tentu saja Mesir. Tapi kenapa Bandung dijadikan momentum sehingga menjadi tolak ukur. Itu tiada lain karena di sana ada momentum sejarah.

Begitu pula dengan Medan Prijaji yang termasuk dalam momentum sejarah dan tak sekadar historical piece. Yang dimaksud historical piece di sini adalah bahwa banyak pers bermunculan, tapi dampak kemunculannya tak memberi stimulus bagi kehidupan berbangsa berikutnya jauh setelah organ itu tiada. Namun Medan Prijaji memberi dampak besar dan menginspirasikan gerak selanjutnya. Bahwa sudah ada yang terbit duluan, itu tidak jadi soal. Namun kita berbicara dampak bagi pembentukan mandat kebangsaan. Pada saat Medan Prijaji itulah momentum sejarah dipetakan dan perang terbuka di media massa diserukan. Bertitik tolak dari situ pulalah gerakan-gerakan kebangsaan itu mulai mengkristal, membangun gerakan kebudayaan dengan kantong-kantong organisasi modern, memaksimalkan pers sebagai alat perjuangan atau dalam bahasa Tirto Adhi Soerjo: pers yang berpolitik.

MMD: Menurut saya itu tiada lain buah usaha Pram. Alamat tentang Tirto ada di Pramoedya. Karena tokoh inilah yang jungkir balik mencari tahu dan meriset tentang Tirto.

TR: Menurut saya ada juga keuntungannya Tirto menjadi “pahlawan” dalam buku-buku Pram. Pramoedya Ananta Toer saya kira orang yang dengan jernih melihat kehidupan semasa Tirto dan Medan Prijaji. Dari usaha Pram itulah pribadi ini diketahui dunia internasional dan ribuan lapisan masyarakat kita hari ini. Karena itu mengajukan namanya adalah sesuatu yang menarik karena pribadi ini yang paling mudah diterima masyarakat.

Nah, alasan-alasan itulah saya dan beberapa penulis muda yang tergabung dalam projek ini bersikukuh bahwa patok pers kebangsaan adalah Medan Prijaji dan Tirto Adhi Surjo menjadi pemancang patok itu. Sebagai suplemen, dari pribadi ini pula kita bisa tilik syarat-syarat apa yang ada di Pancasila yang kita punyai hari ini: tentang religiusitas (perumus pertama Sarekat Dagang Islamijah), tentang kemanusiaan (maju berperkara kepada pengadilan Belanda untuk membela rakyat Hindia yang ditindas), keindonesiaan (merumuskan frase negara-negara terprentah sebagai formula terbaru memperhadapkan Belanda di kancah pergumulan linguistik dan hukum), demokrasi (keinginan membangun kesamaan dengan stratifikasi yang dibangun pemerintah, walau ini masih samar-samar), dan tentang keadilan (menaikkan level bangsa-bangsa yang terprentah agar setara dengan penjajahnya lewat jalan ekonomi dan pengajaran).

MMD: Lalu apa bedanya projek ini dengan projek penulisan sejarah pers yang sudah banyak dilakukan oleh penulis lain sebelumnya?

TR: Proyek sejarah pers kebangsaan ini tetaplah berbeda dengan penulisan sejarah pers jika diartikan pers sebagai fisik sebuah suratkabar belaka. Kalau hanya siapa yang paling menghargai bahwa sejarah pers di negeri ini sungguh panjang, saya dan kawan-kawan lain di Veteran I pun sudah melakukan dengan memunculkan kembali koran pertama di Hindia Belanda, yakni Bataviase Nouvelles.

Saya ingin garis bawahi bahwa proyek ini hendak mematok suatu tanda. Atau dalam kata-kata Pramoedya Ananta Toer membuat patok.

MMD: Tapi kan ada juga yang rewel, sewot, iri hati, atau apalah namanya atas pemancangan patok yang dilakukan Pak Taufik ini.

TR: Nggak apa-apa. Bahwa kemudian orang berbeda menilai patok ini, kita sudah melakukannya. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Karena jika tak ada yang mematok, sejarah pers kebangsaan kita akan yatim.

MMD: Benar nih nggak apa-apa yang tak puas ...

TR: Lho memangnya kenapa. Tak apa bila ada pihak yang tak setuju dengan pemancangan patok ini. Karena memang sejarah bukan seperti apa adanya. Sejarah itu terdiri dari fakta dan interpretasi. Masalah fakta biarlah sejarawan yang melacak itu. Tapi setelah ada fakta, interpretasi yang memegang peran bagaimana kontekstualisasi fakta itu atau seberapa bisa fakta itu bisa menginspirasi bagi pembentukan kehidupan masa depan.

Sebut saja usaha ini reinventing history di mana kita coba memaknai dan sekaligus menciptakan makna baru di medan fakta-fakta sejarah yang tersedia. Dengan pola reinventing history ini paling tidak kita menarik dua hal: (1) memiliki protagonis atau tokoh idola yang diteladani baik di dunia pers maupun dalam pergerakan; (2) kita bisa menafsirkan sejarah Indonesia dalam perspektif yang baru. Dengan mengambil Tirto Adhi Soerjo sebagai model, maka polemik bahwa Indonesia dibangun oleh kalangan Jawa atau kalangan Islam itu bisa diselesaikan. Dan itu menjadi sumbangan berarti bagi pembelahan bangsa yang panjang ini, sebagaimana kita saksikan di sidang-sidang konstituante bagaimana pembelahan negera Islam dan negara nasionalis terjadi. Kalis melihat soal itu, kita pun terdorong ke sistem Demokrasi Terpimpin yang berakhir tragis pada peristiwa G 30 S.

MMD: Menarik kalimat terakhir Pak Taufik ini...

TR: Jadi begitu. Orang selalu mengatakan bahwa gerakan yang pertama kali berlingkup nasional itu adalah Sarekat Islam. Yang lain mengatakan bahwa yang pertama adalah Boedi Oetomo yang berarti Jawa. Orang tak sadar bahwa kedua gerakan yang dipertentangkan itu lahir dan bermuara pada sumur yang sama, yakni Tirto Adhi Soerjo. Jadi tujuan Tirto/Medan Prijaji adalah memerdekakan. Dia dengan jelas memberitahu konsepsi kebangsaan itu tidak dibangun berdasarkan atas suku dan agama, tapi gerakan intelektual, kesadaran bahasa, dan keyakinan bertanah air. Jadi jika dicari semua gerakan itu, terutama gerakan nasionalis dan gerakan Islam, bersumbu pada sumur yang sama.

Mungkin bukan sekarang manfaat yang bisa dipetik, tapi generasi akan datang. Barangkali ini bisa berguna dalam proses bangsa ini selalu terbentuk dalam pengamandemenan Undang-Undnag dasar, debat tentang Piagam Jakarta, dan seterusnya.

MMD: Tapi apa yang dilakukan Pak Taufik ini justru dituding bisa menyesatkan masyarakat.

TR: Berdasarkan pola berpikir apa itu tuduhan. Kalau tanpa dasar, biarkan saja. Toh patok sudah ditetapkan. Argumen sudah dibangun.

MMD: Metodologi juga sudah, Pak. Metodologi Sejarah Sumpah Pemuda. Hahahahaha. Terlihat kurang keren, kurang ilmiah. Nggak ada dalam silabus kurikulum mahasiswa sejarah. Hahahaha. Oke, Pak Taufik sudah menjelaskan semua kenapa Pak Taufik memilih Tirto dan Medan Prijaji. Sekarang pertanyaan saya yang agak pribadi: Jika ada yang mengatakan bahwa projek yang sedang digarap Pak Taufik ini adalah projek rasis, apa komentar Pak Taufik?

TR: Oh... (Suara Pak Taufik berhenti sebentar... dan). Saya akui bahwa saya baru tahu tuduhan Andreas itu. Baru saya tahu sekarang (Selasa, 20 Mei 2007). Kaget sekali dituduh rasis dan dia mengait-ngaitkannya ke mana-mana. Saya bahkan tak memikirkan apa yang disampaikannya tentang Pribumi yang dipahaminya selama ini dan kemudian langsung ditudingkannya kepada saya. Dia nggak tahu saja bahwa saya pernah membuat tafsir sendiri atas apa yang disebut Pribumi, Ibumi, Bumiputra, Prabumi. Apalagi dia kait-kaitkan dengan Toriq Hadad, Fikri Jufri, di mana mereka adalah teman-teman baik saya. Aneh betul, dia yang memikirkan itu, tapi saya sama sekali tak memikirkannya. Saya itu orang Sumbawa dan Tirto itu orang Jawa. Saya sama sekali tak berpretensi asal-usul seperti itu. Saya ke Perang Teluk Irak mempertaruhkan nyawa yang selembar ini, ke Burma, ke Indo China, India, Sri Lanka, dan menggagas perdamaian multikultur di Bali, Kalimantan, dan nyaris di seluruh wilayah Indonesia saya gagas festival kebudayaan untuk perdamaian, dan sebagainya sebelum dia pergi ke mana-mana dan belum melakukan apa-apa. Saya melakukan itu untuk menghadang SARA dalam politik. Sungguh, tudingan Andreas sama sekali tak berdasar. Yang justru rasialis itu dia sendiri. Dia yang terus mengutak-atik keluarganya sendiri dan membesar-besarkan isu tentang dirinya dari Tionghoa dan sebagainya di majalah, tanpa disadarinya bahwa pretensi itu saja sudah rasial. Dia justru membangkit-bangkitkan semangat itu di mana justru orang yang ditudingnya tak memikirkannya.

Kalau saya menyebut Pribumi, itu bukan dalam konteks pribumi asal-usul. Itu politik kewarganegaraan. Tiong Hoa yang kewarganegaraannya dan poros politiknya untuk kemajuan Indonesia, mereka itu disebut Pribumi atau dalam bahasa Tirto “bangsa-bangsa yang terprentah”. Soalnya kapan momentum itu terjadi. Perdebatan di internal aktivis pers Tionghoa itu kan terjadi pada 1932 saat PAI ada. Penulis-penulis spesial Tiong Hoa saya kira tahu betul soal itu.

MMD: Jadi, bagaimana untuk menghadang semangat rasis itu?

TR: Mulai sejak dalam pikiran seperti kata Pram itu. Justru semangat membesar-besarkan Pribumi secara asal-usul itu yang coba dihadang Tirto dan sayangnya itu masih berada dalam kerangka berpikir Andreas. Kredo “bangsa yang terprentah” justru menyatukan bangsa timur asing dan inlander yang dikategorikan oleh Belanda secara rasialis itu. Tirto melihat peta politik bukan dari sudut asal-usul SARA itu, tapi ekonomi-politik. Karena itu, kalau ada Tiong Hoa yang korup, maka itu harus diserang. Dan itu soal ekonomi-politik dan bukan SARA.

Saya kira, tudingan rasialis itu hanya ada dalam angan-angan Andreas. Sayang sekali kerangka berpikirnya bisa sepicik itu.

MMD: Termakasih atas waktunya Pak.

TR: Sama-sama.

1 comment:

JOGJA-JAKARTA said...

"Sejarah itu kan tergantung siapa yang menulisnya".