20 May 2011

Kaum "Bangsawan" Bersulih Jalan

:: gus muh

“Siapa butuh titel Raden Mas, boleh ambil ini, saya tidak butuh.” – Soerjopranoto

Pengertian "bangsawan" di Indonesia menjadi pradoks jika tak dilihat konteksnya dalam arus pergerakan nasional. Setidaknya ketika kita merujuk pada lema Kamus Besar Bahasa Indonesia

Secara generik, demikian kamus itu mengartikan, bangsawan adalah sekelompok orang dari kalangan-dalam kerajaan atau ningrat. Sementara "bangsa" yang menjadi frase utamanya diartikan sebagai sekelompok manusia yang dipersamakan asal usulnya (adat, bahasa, sejarah).

Disebut paradoks karena satu mengandaikan hierarki, sementara satunya egaliter. Yang satu tertutup, sementara yang lain terbuka. Namun paradoks ini melumer jika frasa "bangsawan" (pelaku) dimasukkan dalam arus pergerakan nasional.


Nyaris semua kronik dan cerita besar sejarah menempatkan kalangan bangsawan sebagai pelopor pergerakan kebangsaan. Mudah dipahami. Sebab oleh aturan pemerintah Hindia Belanda, justru hanya kalangan ini yang punya akses asupan pendidikan modern.

Tapi, bangsawan yang mana yang dimaksudkan? Di sinilah kita bertemu dengan pembelahan analitik yang dilakukan Abdul Rivai dalam salah satu tulisannya di Bintang Hindia pada 1903 dan menemukan sentuhan politiknya di Medan Prijaji lima tahun kemudian.

Rivai membedakan bangsawan jadi dua: "bangsawan oesoel" dan "bangsawan fikiran". Atau "priyayi birokrat" dan "priyayi profesional", sebagaimana dipakai Savitri P. Scherer ketika menjelajahi kiprah priyayi dalam arus pergerakan nasional.

Mudah membedakan praksis dua bangsawan ini dalam ihwal pendidikan dan pekerjaan. Bangsawan jenis pertama umumnya sekolah di Sekolah Praja yang purnakerjanya adalah mesin birokrat kolonial. Sementara bangsawan yang satunya memilih sekolah dokter, teknik, dan bekerja di lapangan journalisten.

Bangsawan fikiran inilah bangsawan yang bersulih jalan. Menanggalkan "bangsawan oesoel"nya untuk berjibaku di medan pergerakan di luar tembok istana. Pilihan sebagai dokter dan jurnalis adalah pilihan yang membuka jalan pergerakan nasional. 

Dengan menjadi dokter, tenaga ahli, dan jurnalis bangsawan fikiran itu bersentuhan langsung pada kaum jelata.

Konteks "sulih jalan" itu dengan gamblang kita dapatkan dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer di bagian tengah saat Minke a.k.a Tirto Adhi Soerjo menolak saran bapaknya yang seorang bupati kota B (Bojonegoro) untuk sekolah Praja. Ia lebih memilih melanjutkan ke Stovia dan bukan bersiap-siap menjadi Bupati.

Stovia (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Weltervreden (sekarang menjadi Gedung kebangkitan Nasional, Jakarta) adalah pusat gravitasi pergerakan yang dikelola "bangsawan fikiran" saat Indonesia masih dalam pembayangan. 

Boedi Oetomo tiga bulan pertama nyaris dikuasai oleh "bangsawan fikiran" dengan tekad Java Vooruit (Jawa Maju) dan Santosa Anggajoeh Oetama (Upaya mencapai kesempurnaan dengan teguh dan waspada). (Lihat Pembrita Betawi, 27 Juli 1908)

Tapi, dalam Kongres Boedi Oetomo di Jogjakarta, 11 Oktober 1909, Boedi Oetomo yang progresif dibajak angkatan tua dan "bangsawan oesoel" semacam Radjiman Wedyodiningrat dan Bupati Karanganyar. 

Koran-koran semasa seperti Darmo Kondo dan Medan Prijaji merekam dengan detil perdebatan seru antara Tjipto Mangoenkoesoemo dengan Radjiman. Tjipto mengusulkan supaya Boedi Oetomo memperluas keanggotaannya, yakni membuka pintunya bagi “Indiers”, semua anak Hindia yang lahir, hidup, mati, dan dikubur di tanah Hindia.

Tirto Adhi Soerjo yang turut hadir dalam konferensi itu setahun sebelumnya merumuskan secara radikal bangsa jenis macam apa yang "bangsawan fikiran" ini cita-citakan, seperti tersari dalam slogan Medan Prijaji: "Soeara bagi sekalian Radja-radja, Bangsawan asali dan fikiran, Prijaji dan saudagar Boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegri di seloereoeh Hindia Olanda."

Bukan saja sikap politik, umumnya “bangsawan fikiran” itu bersikap “emoh” sejak dari nama. Menanggalkan nama “bangsawan oesoel” seperti “Raden Mas” biasa dilakukan priyayi profesional itu. Sebut saja Raden Mas Djokomono yang bersulih nama menjadi Tirto Adhi Soerjo yang kemudian nama itu menjadi sang pemula di lapangan pergerakan.

Salah satu drama yang paling menarik dilakukan Ki Hadjar Dewantara. Pada 23 Februari 1928, ia resmi menanggalkan nama kecilnya, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, menjadi Ki Hadjar. Muasalnya dari sebuah kelompok studi “Selasa Kliwonan” yang dipimpin Ki Ageng Suryomentaraman, adik Sri Sultan Hamengkubuwono VII.

Suatu kali, demikian diceritakan Bambang Dewantara, R.M. Soetatmo Soeryokoesoema (Volksraad) di diskusi “selasa Kliwonan” secara spontan memanggil Soewardi dengan Ki Ajar lantaran penguasaannya atas wacana perguruan, pengajaran dan pendidikan. 

Nama itu kemudian menunjukkan di mana Soewardi kemudian dikenang; terlepas dari radikalisme yang dinisbatkan kepada Soewardi semasa masih memakai nama “Raden Mas” di tahun belasan.

Jauh sebelumnya, kakak Ki Hadjar, Soerjopranoto, sudah memperlihatkan rasa “emoh” kepada nama “Raden Mas” yang dinisbatkan kepada mereka. Dua orang ini adalah putera Paku Alam III. 

Di lapangan pergerakan, jika Ki Hadjar konsens dengan perguruan dan pengajaran, Soerjopranoto berkecimpung di dunia perburuhan. Bahkan ia disebut-sebut sebagai “Raja Boycott” lantaran memimpin serikat buruh bernama Personeel Fabrieks Bond (PFB) dengan 190 cabang dan 31 ribu orang anggota.

Nah, dalam sebuah kerapatan besar PFB, Soerjopranoto mengacung-acungkan papan nama bertuliskan “R.M.” dan berseru-seru, “Siapa butuh titel Raden Mas, boleh ambil ini, saya tidak butuh.”

Kartini juga membuang gelar “bangsawan oesoel”nya, “R.A” yang memanjakannya dalam kadipaten yang dipimpin ayahnya R.M. Adipati Ario Sosroningrat. Tanpa “R.A.”, Kartini berkata: “Panggil aku Kartini saja”. Sikap itu adalah proklamasi diri dengan mengajukan keinginan bahwa “orang Jawa bocah gede” itu tak boleh terus-terusan menjadi feodal tanpa kewajiban bekerja. 

“Adeldom verplicht,” seru Kartini. Bangsawan yang dikenai kewajiban. Tanpa “R.A.” itu, Kartini kemudian berkenalan dengan karya Multatuli yang memperkenalkan kata-kata menggoncangkan seperti: “Orang Jawa dianiaya. Aku akan menyetopnya. Dan: tugas manusia adalah menjadi manusia.”

Membuang gelar “bangsawan oesoel” dan bersulih ke “bangsawan fikiran” bisa kita baca sebagai ikhtiar mereka untuk memeriksa sejarah mereka, sejarah asali dari mana mereka berada. 

Seperti ironi yang dipertunjukkan oleh Ki Ageng Suryomentaram, adik HB VII, yang menolak kebangsawanannya dengan sehari-hari memakai celana petani, tak berbaju, tapi berselimpang kain yang biasa dipakai seorang raja.

Oleh Antonio Gramsci, apa yang dilakukan Kartini, Tirto, Tjipto, Soerjopranoto, Ki Hadjar, maupun Suerjomentaraman, disebut berada di level ketiga gerakan, yakni momen
historical block (blok sejarah). Di momen itu, segenap-genap kepentingan ditujukan untuk memperjuangkan kepentingan kolektif di atas kepentingan partikular sempit.

No comments: