Jika British Library mendefinisikan perpustakaan sebagai ruang mengumpul-organisasikan informasi; tempat menciptakan akses agar pengetahuan jadi lebih demokratis; maka Pondok Baca NH Dini ditujukan untuk berbagi kepada sekumpulan anak-anak di sekitarnya agar mendapatkan kesempatan mengekplorasi imajinya atas buku cerita.
Pondok Baca yang didirikan Nh Dini pada 1983 mula-mulanya ruang tapa yang sangat personal bagi Dini untuk menciptakan cerita. Buku-buku di dalamnya menjadi semacam tiang-tiang tanpa batas yang memandu dan menemani waktu-waktu penciptaan. Dan ruang tapa personal itu kemudian dibuka untuk akses publik. Goenawan Mohamad yang pada tahun 1973 memberi stempel Nh Dini sebagai pengarang egois membayarnya dengan Pondok Baca.
Upacara cendekia membuka diri kepada publik via perpustakaan sebagaimana dilakukan sastrawan Dini itu banyak kita temui dalam kronik perbukuan Indonesia. Koleksi gigantik tentu saja kepunyaan Sukarno dan Hatta yang tersebar di beberapa kota (koleksi Hatta terjengkang; sementara Sukarno pelan-pelan dibangun secara terpusat di Blitar).
Selain itu, yang fenomenal adalah koleksi kritisi sastra terpendang HB Jassin di mana ribuan data yang selama hayat menemaninya dalam berkarya diserahkan kepada publik yang mengejawantah dalam Pusat Dokumentasi Sastra di Jakarta. Ada juga penyair Dorothea Rosa Herliani di Magelang yang membuka koleksi pribadinya dalam sebuah dunia kecil bernama Dunia Tera.
Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra mengambil jalan yang sama. Koleksi buku yang dikumpulkannya sejak mahasiswa menyulap rumahnya di Ciputat, Jakarta, menjadi perpustakaan dan bisa dimanfaatkan orang banyak.
Rizal Mallarangeng di bawah bendera Freedom Institute membuka koleksi-koleksi yang tersegmentasi dan kurasi tema ketat dalam sebuah ruang yang nyaman. Di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta secara bertahap ratusan ribu koleksi Rahzen dibuka dan diperuntukkan kepada masyarakat lewat jaringan perpustakaan Gelaranibuku.
Di Surabaya, aktivis budaya Baperki dan wartawan Trompet Masjarakat di masa lampau, Oei Hiem Hwie, menyerahkan ribuan judul buku dan majalah lama yang menjadi koleksi kebanggaannya kepada publik. Di bawah naungan Perpustakaan Medayu Agung, siapa pun boleh membaca sekira 1.700 buku langka dan ribuan kliping dari koran-koran tua.
Patut juga disebut Ali Hasjmy. Gubernur Aceh saat pergantian Orde Lama ke Orde Baru ini dikenal sebagai cendekia yang rajin menyimpan semua dokumen sejarah. Koleksi itulah yang menghuni perpustakaan di rumahnya yang dibuka sejak 1970-an.
Demikian pula Monsinyur Andreas Petrus Cornelis Sol yang menjadi pustakawan bagi perpustakaannya sendiri di usianya yang nyaris 100 tahun. Ia menamai perpustakaannya dengan Rumphius yang diambil sebagai penghormatan atas usaha biolog Jerman, Georg Everhard Rumphius (1627-1702). Sosok ini banyak menulis artikel ilmiah tentang tetumbuhan dan binatang di kawasan Maluku paruh kedua abad ke-17. Seperti dilaporkan Ruang Baca (2005), Perpustakaan Rumphius berisi koleksi yang menjadi minat Sol, seperti literatur mengenai Maluku, terutama tentang kesenian di Maluku Tenggara, Tanimbar, dan Kei. Bahkan karya-karya lama turut diperlihatkan kepada publik setempat.
Yang dilakukan cendekia-cendekia itu bukan fenomena yang marak. Ini mungkin semacam pemberitahuan terbatas tentang arti berbagi. Berbagi tentang bagaimana buku-buku itu menjadi pemandu kesadaran untuk menjadi manusia dengan wawasan luas. Walau berskup sangat kecil, kehadiran perpustakaan-perpustakaan yang bertiwikrama dari rak-rak pribadi menjadi perpustakaan komunitas itu memiliki keunikan.
Pertama, buku-buku yang terkoleksi adalah pilihan dan sekaligus sebagai rekam jejak pengetahuan yang bersifat personal. Memasuki perpustakaan ini sama halnya memasuki sebuah gagasan besar sang tokoh bagaimana sebuah buku hadir. Di sini, masyarakat pengunjung bukan hanya berhadapan dengan buku, tapi juga mempelajari bagaimana saraf pengetahuan mengekalkan jalan sang pengumpul buku sepanjang hayat kecendekiaannya.
Kedua, membagi koleksi yang awalnya tertutup kepada masyarakat di selingkungannya, selain sebagai usaha yang filantropis, bisa juga dipandang sebagai pertanggungjawaban sosial dalam bentuknya yang terbatas.
Karena koleksi yang tersaji bersifat sangat personal, perpustakaan ini menjadi unik. Unik dalam koleksi, kategorisasi buku, penataan, maupun bentuk pelayanan.
Taman Poestaka, Taman Bacaan
Membuat perpustakaan-perpustakaan kecil tentu bukan sesuatu yang baru. Di masa Hindia Belanda gerakan perpustakaan masuk ke desa-desa dan sekoah sudah dilakukan di bawah bendera Volkslectuur atau Balai Poestaka. Perpustakaan itu bernama “Taman Poestaka” , perpustakaan-perpustakaan Volkslectuur untuk penduduk Pribumi (Jedamski, dalam Chambert-Loir, 2009: 674). Perpustakaan keliling juga dihadirkan dengan nama Mobil-Buku (Furnivall, 2009: 445).
Tradisi panjang itu masih diadopsi terus-menerus. Taman Poestaka di masa Hindia Belanda menjadi Taman Bacaan Masyarakat saat ini. Mobil Buku menjadi Perpustakaan Keliling. Asumsi pendiriannya tak jauh beda. Di masa Hindia Belanda, selain menjadi kooptasi bacaan atas merebaknya bacaan-bacaan liar dari aktivis pergerakan, juga menyebarkan bacaan-bacaan yang tidak bertentangan dengan ideologi negara.
Di perpustakaan kecil buatan pemerintah ini, buku tidak dipandang sebagai organisme hidup yang membawa wangi-wangi pengetahuan yang rupa-rupa corak dan ideologinya. Buku menjadi semacam proyek politik. Ada konsensus yang tak tertulis, bacaan-bacaan yang membahayakan “keselamatan dan kestabilan” negara pastilah disingkirkan. Wajar kemudian, di masa Hindia Belanda dan Orde Baru, buku-buku terbitan pemerintah atau buku beroleh restu yang paling banyak tersedia.
Sensor yang keras memang tak lagi terasa menyengat di era reformasi yang dilakukan oleh pemerintah. Namun sensor atas bacaan-bacaan liar dan vulgar itu bertiwikrama dalam tangan-tangan vandal sekelompok masyarakat.
Berlainan dengan perpustakaan yang lahir dari koleksi pribadi para cendekia. Di ruang ini, perpustakaan menemukan pengertiannya yang esoteris, sebagaimana dilukiskan Umberto Eco dalam The Name of the Rose: “di sana terdapat banyak ruang, dan di setiap ruang terdapat lemari-lemari, rak-rak, buku-buku, halaman-halaman… dan sementara itu di luar perpustakaan ada kuil, ada…. Dan, yang manakah sastra dunia? Perpustakaan tersebut? Kuil tersebut? Ataukah dapur tempat siapa pun yang lapar datang ke sana?”
Kepada “mereka yang lapar” itulah perpustakaan cendekia itu hadir, walau tak segigantik beban yang dipundaki perpustakaan-perpustakaan negara semacam British Library atau Library of Congress, yakni memposisikan diri sebagai penyelamat “national memory”. Di sini, ruang kecil itu sudah cukup nyaman dan adil bagi teraksesnya semua jenis buku: saleh atau salah, jinak atau liar, alim atau vulgar.
Setiap tahun, pemerintah via Departemen Pendidikan Nasional terus-menerus membangun perpustakaan kecil. Kita memang memerlukan puluhan ribu perpustakaan kecil untuk menjangkau ratusan juta jumlah warga, yang dalam kata-kata mantan Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasional Republik Indonesia T. Syamsul Bahri (2009): “sudah minat bacanya rendah, koleksinya juga yang tidak bertambah.”
Tapi jangan juga dilupakan kehadiran perpustakaan khusus yang dikelola secara unik dengan pendanaan yang sangat minimun oleh kelompok kecil cendekia yang menjadi teladan bagaimana buku bertiwikrama dalam laku hidupnya.
Kehadiran perpustakaan khusus itu mestilah dipandang sebagai aset budaya bangsa yang berharga. Sebagai aset, tentu perpustakaan akan diperlakukan selayaknya aset dalam sebuah usaha ekonomi. Sebab jika tidak, nasibnya akan sama dengan perputakaan Hatta di Yogyakarta atau perpustakaan-perpustakaan cendekia lainnya di pelbagai kawasan. Serupa koleksi-koleksi buku mantan perdana menteri di masa pemerintahan Sukarno, Ali Sastroamodjojo, yang terserak di lapak-lapak gelap perbukuan Jakarta.
Catatan: Edisi lebih ringkas dimuat Harian Kompas, 10 Mei 2011
No comments:
Post a Comment