::gusmuh
Yunani memang ibukota olahraga
dunia. Tapi tidak untuk sepakbola. Karena itu di Euro 2004 yang berlangsung di Portugal 8 tahun silam, Yunani bukanlah kesebelasan apa-apa. Bersama Latvia,
mereka kerap diolok-olok sebagai kesebelasan turis belaka. Di Grup A misalnya,
yang diunggulkan tentu Portugal dan Spanyol. Dan Yunani hanya sekadar tim pelengkap
dan kalau bisa jadi landasan pacu untuk mendapatkan angka penuh melaju ke babak
pertandingan berikutnya.
Tapi
semua ramalan melempem. Sebab tak ada yang menyangka tim Yunani datang dengan
kekuatan penuh, semangat yang menggebu, dan restu para dewa. Tak ayal, tuan
rumah Portugal mereka permalukan di pertandingan pembuka. Tandukan banteng Spanyol
mereka tahan dan membuat negara itu pulang lebih awal. Kokok perkasa ayam
jantan Prancis yang menjadi favorit juara di turnamen kali ini mereka sumpal. Dan
kereta cepat Ceko yang tak pernah terkalahkan sepanjang pertandingan mereka luluhlantakkan
dan sekaligus memupus mimpi Ceko menjadi juara EURO 2004.
Di puncak upacara, negeri 1001
dewa itu pun menggenapkan negara mereka sebagai ibukota segala olahraga. Tak
terkecuali sepakbola. Yunani jawara.
Dan setelah itu, arus balik
menghantam Yunani. Dewa-dewa menjauh di Piala Dunia 2006 dan 2010 dan Euro
2008. Tak hanya sepakbola dijauhi dewa, tapi juga negara dan masyarakatnya.
Yunani kini tak ubahnya negara gagal, pinjam istilah cendekiawan Ahmad Syafii
Maarif (2010). Yunani—juga Italia—kini menjadi pusat gravitasi krisis Eropa.
Kabinet jatuh bangun dalam
hitungan bulan dihajar krisis ekonomi. Tiga kali partai menyerahkan mandat
karena tak sanggup membebaskan Yunani dari kutukan ekonomi: Antonis Samaras
dari Partai Konservatif “Demokrasi Baru”, Alexis Tsipras, lalu Partai Radikal
Kiri “Syriza” (Partai Komunis dan Demokrasi Kiri menolak bergabung), dan
Evangelos Venizelos dari Partai Sosialis Yunani.
Kini, babak penentuan
diserahkan ke tangan hakim Panagiotis Pikrammenos dengan anggota kaum cendekia,
filsuf, veteran militer, dan diplomat.
Oleh publik Yunani, Fernando
Santos memang masih diberi tuah para dewa sebagaimana Otto Rehhagel di Euro
2004. Mereka memenangi 7 dari 10 laga kualifikasi. Pasukan dewa yang dihuni
pemain-pemain klub lokal ini hanya sekali kalah dari 19 kali pertandingan.
Mereka juga juara Grup F unggul dari tim kuat Kroasia.
Tapi dewa-dewa muda itu datang
ke Ukraina-Polandia meninggalkan kehidupan sehari-hari rakyat yang melarat
dengan politik yang nyaris kehilangan asa. Bayangkan, 25 hari sebelum berlaga,
mereka menyaksikan politik parlemen: 300 anggota dilantik, satu hari memundaki
amanah, lalu dibubarkan keesokan harinya.
Tiga Persamaan
Di
Indonesia, kita menyebut negeri 1001 dewa itu dengan nama YUNANI. Penyebutan
yang melenceng sebetulnya dari istilah yang secara
resmi mereka gunakan untuk menyebut diri mereka: Helas, Greece, atau Hellenic.
Tak terlalu jelas asal-usul kata itu. Mungkin kata itu tersisip dalam
pembayangan kita atas Kota Yunan dari Cina yang masuk bersamaan dengan datangnya
pedagang-pedagang Arab dan Cina memperluas jalan sutra abad ke 13-16.
Dalam selembar manuskrip
kuratorial Cultural Olympiad 2003, tercatat
Yunani dan Indonesia dipertemukan tiga
persamaan yang unik: (1) revolusi; (2) pulau; dan (3) wayang.
Kita
tahu, kedua negara ini lahir dari proses panjang dan berdarah-darah untuk
keluar dari belenggu kolonialisme. Sekian lama Yunani disekap oleh Kekaisaran
Ottoman di Turki. Dengan bantuan Inggris, Prancis, dan Rusia, mereka bisa
meneriakkan pekik kemerdekaan pada Februari 1830. Kita pun demikian. Silih
berganti negara-negara Atas Angin datang untuk memeras kekayaan dan merayah
martabat manusia Nusantara. Setelah Portugis, datang Spanyol, lalu Belanda, dan
puncaknya Jepang. Barulah setelah itu kita bisa merdeka pada Agustus 1945.
Kelelahan
kedua negara itu berhadapan dengan kolonialisme menjadi titik temu yang
mengesankan. Pengalaman itu memberi tekanan memori yang kuat tentang rasa
percaya diri dan pencarian identitas nasionalisme kedua negara yang tentu saja
jauh dari persoalan kedekatan geografis.
Hal
yang kedua yang mempertemukan Yunani dan Indonesia ialah kedua negara itu
sama-sama negara kepulauan atau archipelago. Berbatasan dengan Bulgaria,
Mecedonia, dan Albania di utara dan Turki di timur, terhampar ribuan pulau
negara Yunani.
Sebagaimana
Yunani, Indonesia pun memiliki corak demografis yang sama yang terdiri dari
13.000 pulau dengan dihuni penduduk sekitar 250 juta jiwa. Di negara kepulauan
itu kedua negara ini dipersatukan oleh laut dan kehidupan mitos tumbuh demikian
subur di setiap ceruk daerahnya.
Hal
yang ketiga yang mempertemukan kesamaan kedua negara ini adalah kesenian; dalam
hal ini wayang yang begitu sangat populer di masyarakatnya. Di Indonesia
dikenal dengan wayang kulit dan di Yunani dikenal dengan karaghiozis. Menggunakan
karakter dan media wayang, masyarakat kedua negara merayakan dunia sehari-hari
dan menampilkan citra dirinya dengan terbuka.
Tak terlalu mengherankan, hubungan Indonesia dan Yunani sudah
berlangsung berabad-abad lamanya melewati jalur pedagangan dan agama negara-negara
Arab dan Turki, melalui persentuhan (budaya) secara tak langsung.
Persamaan sejarah kawasan dan
kultural itulah yang pada 2004 dibawa ratusan seniman dan budayawan di bawah koordinasi
Taufik Rahzen dalam upacara Cultural
Olympiad ke Yunani. Mestinya pintu gerbang
hubungan kultural itu diikuti misi ekonomi dan politik. Ternyata tidak.
Ekspor Indonesia ke Yunani hingga 2012 ini saja nyaris
mendekati 0 persen. Sementara misi politik “studi banding” anggota Badan Kehormatan (BK) DPR pada 23-30
Oktober 2010 justru dikalungi kutukan dan makian karena memboroskan dana
rakyat.
Memang, kita sudah lama menyaksikan bagaimana jalan
kebudayaan dan jalan ekonomi politik di Indonesia berpisah dan saling
memunggungi.
Tulisan ini pernah dimuat Jawa Pos, "Bola Kultural", 6 Juni 2012
No comments:
Post a Comment