::gusmuh
Mungkin
ini hubungan yang aneh. Teramat jarang kalangan terpelajar dari Polandia
melakukan cross-culture dengan Jawa.
Tapi ia memohonkan permakluman ketika ia jatuh cinta pada Jawa hingga ke
sumsumnya.
Tiap
pekan tatkala ada meditasi "kejawen" ia duduk paling depan di hall
perpustakaan. Ketika diselenggarakan readinggroup
8 Kitab Primbon Betaljemur Adammakna karya kompilasi Kangjeng Pangeran
Harya Tjakraningrat di era Sinuwun Hamengku Bowono V, ia menyimak dan mencatat
laiknya antropolog.
Kami
memanggilnya Yunita untuk memudahkan lidah Indonesia melafalkan. Di Polandia ia mengenal Indonesia pertama kali dari Pramoedya Ananta Toer
lewat epistolari Buru-Jakarta: Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu.
Baginya,
buku itu membikin Pram patut disejajarkan dengan penulis catatan harian politik semacam Aleksandr Solzhenitsyn yang menulis The Gulag
Archipelago, Gustaw Heling Grudzinski, Gulag:
Many Days, Many Lives, dan Dostoyevsky The House
of the Dead. Keempat orang itu menulis kehidupan kerjapaksa di pembuangan
dengan sangat hidup.
Saat saya
katakan bahwa saya menyenangi bola (alakadarnya), Euro 2012, dan National Stadium Warsawa, wajahnya sontak serius. Ini katanya dengan bahasa
Indonesia yang rapi: "Saya kira Mas-nya
itu pintar, tapi goblok juga."
"Goblok"
itu tentu bukan hinaan. Kata itu juga ditemukannya pertama-tama di readinggroup Betaljemur Adammakna.
"Goblok" di situ merujuk pada hubungan kehidupan
sosial Polandia dan Euro 2012.
Tidak
seperti dituliskan wartawan Jawa Pos, bahwa sudut Warsawa, Old Town, tak ubahnya DisneyLand. Cerita Yunita terlampau murung. Semurung Polandia saat
pesawat Tupolev Tu-154 buatan Rusia tahun 1960-an jatuh pada 10 April 2010 di
Smolensk, Rusia.
Kecelakaan itu membuat Polandia kehilangan
Presidennya, Lech Kaczynski, istri, dan sejumlah pejabat tinggi militer dan
kementerian. Rombongan itu untuk upacara ziarah politik memperingati 70 tahun
pembantaian Katyn; pembunuhan massal oleh polisi rahasia Soviet 1940 di bawah
pimpinan tangan besi Stalin. Korban jatuh 22 ribu orang warga Polandia, di
antaranya perwira, tuantanah, dan cendekia kritis.
Pengagum
tokoh kontroversial dunia keagamaan Jawa Sitti Djenar ini alih-alih mengumbar wicara bahwa Polandia memiliki sederet tokoh penulis dan pemikir sosial-keagamaan berkelas
seperti pemikir sosial Rosa Luxemburg, novelis Joseph Conrad, nobelis sastra
Isaac B Singer dan Gunter Graas, komponis klasik Frederic Chopin, dan Paus
Yohannes Paulus II (Karol Wojtyla). Ia malah berkisah bagaimana sensor bekerja
di semua lini kehidupan saat invasi Soviet dimulai 1940: tak ada paspor, bacaan
dikontrol, dan ibunya harus hati-hati mengeluarkan mesin ketik.
Pecandu
tradisi kungkum airsuci Jawa dan
panahan ini seperti menahan diri tak menceritakan bahwa negerinya
melahirkan tokoh-tokoh besar macam Copernicus yang jadi halaman pembuka buku
legendaris Stephen Hawking A Brief History of Time yang menekuk pandangan
failasuf-failasuf Yunani seperti Aristoteles tentang polakerja semesta.
Alih-alih bercerita bahwa Polandia
melahirkan nobelis-nobelis sastra seperti Henryk Sienkieewicz (1905), Wladyslaw
Reymont (1924), Czeslaw Milosz (1980), dan Wislawa Szymborska (1996), ia justru
berkisah buku penulis Stanislav Lem, seorang ateis, berjudul Solaris (1961). Buku itu lolos dari
sensor yang berkisah tentang petualangan luar angkasa.
Dan 20 tahun sejak Lech Walesa
menumbangkan Rezim Jaruzelski yang komunis, Polandia kini seperti dalam situasi
akhir komunis: kehidupan ekonomi memburuk dan layanan kesejahteraan merosot.
Ia tak menyebutkan angka anjloknya layanan sosial Polandia yang
membikin warganya frustasi hebat. Ia cuma memberikan ilustrasi: di ibukota
Warsawa setengah lusin pekan dibutuhkan ibunya menunggu rekaman lab. Padahal di
Rumah Sakit di kota kecil macam Yogyakarta hanya dua hari menunggu.
Kontras dengan itu pemerintah Polandia
yang goyah itu dipaksa Euro 2012 merenovasi beberapa stadionnya dengan dana-dana gigantis. Pembangunan itu mirip kehadiran Istana Kebudayaan yang didirikan
Lenin selama 3 tahun (1952-1955): Palac
Kultury I Nauki (PKiN). Gedung yang berisi 3288 kamar ini dilengkapi
bioskop, teater, museum, dan ruang kongres. Kata Stalin: Aku hadiahkan untuk kalian gedung istana kebudayaan. Bangga? Tidak!
Bagi warga Polandia, istana kebudayaan yang diproyeki Lew Rudniew itu justru menjadi
monumen cengkeraman Soviet. (Susanto: 2012, 126)
Di balik pesta EURO 2012, Yunita dan
teman-temannya marah, sebagaimana amarah kelompok feminis radikal “Femen” di
Ukraina. Dan mereka ingat kembali komunis dengan harapan yang murung. Sebagaimana Krisis Besar menghantui
Eropa, warga Eropa memang dipaksa mengingat kitab suci kaum buruh: Das Capital. Mengingat lagi hantu
komunis yang mesti dilupakan.
Komunis memang selalu datang saat Krisis Besar menerjang. Tapi ia akan
selalu ditampik oleh trauma ketakbebasan yang sukses ditapis Walesa pada paruh akhir abad 20.
Kajian Yunita memang belum sampai pada Jawa yang
merah. Jawa yang dalam kalimat ciptaan legendaris Arifin C Noer dan diucapkan
oleh bibir hitam penuh asap rokok Syub'ah Asa yang memerankan Ketua CC PKI
Aidit: "Kita harus menguasai Jawa . Siapa yang tak menguasai Jawa akan
kalah. Lihat PRRI/Permesta. Jadi, Jawa adalah kunci."
Saya
yakin ia akan sampai pada Jawa yang trauma dengan komunis.
Jawa yang membantai ratusan ribu keluarga besar komunis. Jawa yang jadi ladang
pembantaian massal sebagaimana di Auschwitz,
Polandia, yang menjadi kandang besar pemusnahan 1.5 juta jiwa orang Yahudi oleh
Nazi.
Yunita
tahu Jawa adalah ibu kandung toleransi. Karena itu ia mau mengkaji Jawa (baca
Mataram) sebagai subjek penghormatan atas keragaman sebagaimana tercetak di
Kitab Primbon Jilid II Atassadhur Adammakna (Sambetanipun Betaljemur).
Tapi di tanah Jawa juga kaum komunis
bersimbah darah. Dan “gulag” di Boven Digoel dan Buru diciptakan untuk meredam
radikalisme komunis yang membara di Jawa. Digoel dan Buru dibikin untuk
melanggengkan trauma.
Tapi trauma memiuh saat Krisis Besar datang.
Saat krisis itulah komunis terngiang. Seperti grafiti di Yogyakarta yang
bertanya di mana (kuburan) Aidit, di
kota percontohan sosialis, Nowa Huta, Krakow, sebagaimana dicatat Sigit Susanto
(2012: 139) tercetak sekuplet grafiti: Gdzie
Lenin? (Dimana Lenin?)
*Dimuat Jawa Pos, "Bola Kultural", EURO 2012, 12 Juni 2012
No comments:
Post a Comment