14 July 2013

Menonton (Ironi) Maritim

:: gus muh

ART|JOG|13 yang dihelat secara besar-besar di Yogyakarta 6-20 Juli 2013 melengkapi buramnya kronik maritim 2013. Hingga Juni 2013, dari 65 file peristiwa dan artikel maritim yang Warung Arsip kumpulkan, 90 persen kabar negatif: kapal karam, infrastruktur buruk, nelayan miskin, kebakaran kapal, dan selebihnya sekian harapan yang dibuat pejabat kementerian.

Mengusung tema kuratorial "Kultur Maritim" kita melihat dunia tanpa laut dalam pameran yang dikuti sekira 115 seniman dari Yogyakarta, Bandung, Bali, Solo, juga dari Malaysia, Jepang, dan USA. Namun umumnya “kultur maritim” yang ditampilkan rata-rata berada dalam persepsi dan sifatnya text book

Dari segi eksplorasi bahan, mungkin hanya karya drum yang disusun sedemikian rupa di halaman Taman Budaya Yogyakarta yang membuat kita bisa benar-benar membaui pelabuhan minyak pertamina seperti bandar tua Cilacap.


Instalasi dari kayu, logam, yang melekat pada simbol-simbol laut seperti dinding kapal, ikan, rempah adalah bahan-bahan yang dipungut perupa dari serpihan barang (bekas) di kota neo-agraris semacam Yogyakarta. Di Yogyakarta, laut alih-alih melahirkan kultur maritim, melainkan diburamkan serangkaian mitos menakutkan, dan tentu saja berhenti pada ekowisata.

Jika kultur maritim adalah tradisi, misalnya dalam pembuatan kapal, maka representasi 9 karya instalasi yang merujuk bahwa kultur membuat perahu di Nuswa Antara adalah nyata, nyaris tak ada dalam rekaan 9 perupa yang tampil di ART|JOG|13.

Tak ada karya yang membuat kita tergetar dan merefleksikan pengetahuan purba leluhur, misalnya, metode khas pelaut-pelaut mandar selama berabad-abad mencipta perahu dengan upacara, mencucuk pohon dengan khidmat, menciumkannya dengan laut lewat mantra dan doa, serta melakukan pelayaran hingga ke negeri-negeri yang jauh.

Jika representasi semacam itu muncul kita bisa berkata keras: Nah, ini kultur maritim Nusantara dalam soal pembikinan perahu! Tapi itu tak ada. Pembayangan tentang suku-suku yang hidup dari laut dan perahu seperti Bajo (Gorontalo), Karimun (Kepri), Selayar (Makassar), Mamuju (Sulbar), Pagerungan (antara Madura dan Bali) lamat-lamat moksa dari ingatan.

Dalam “kultur maritim” menangkap ikan, perupa S Teddy D dalam “We Are Full of Seafood” menggeletakkan rumpon kecil di lantai dengan bahan-bahan barang bekas yang ditudungi paying hitam kecil seperti menyodorkan nubuat lirih; bukan hanya kian membuat kita berjarak bagaimana dunia rumpon, dunia rumah ikan, dalam tradisi leluhur nelayan Nusantara makin jauh, tapi juga semacam panggilan ziarah dari selat gelap dari tradisi perak buram yang pernah ada.

Kultur maritim kemudian hanya bisa dibaca lewat berita-berita di internet, kutipan pidato pejabat yang membosankan, dan cuplikan lagu yang secara lamat mulai tergerus dan tak pernah dipertanyakan: "nenek moyangku seorang pelaut". Tak ada keringat nelayan. Tak hadir pisuhan punggawa-punggawa perahu pada lopi-lopinya, selain rekaman suara getir nelayan tripang dalam instalasi video berjudul “Tripang of Pasir Island”.

ART|JOG|13 dengan demikian adalah perhelatan menonton gumpalan ironi maritim. Ya, kita menonton deretan ironi itu, sebagaimana masygulnya kita mendengar petani melon dari Makassar yang putus asa dengan transportasi laut ke Jakarta yang ongkosnya jauh lebih mahal ketimbang biaya armada melon dari Shanghai ke Jakarta.

Terbatasnya kedalaman, sempitnya alur navigasi, serta dangkalnya kolam, menjadikan infrastruktur maritim menjadi sangat mahal. Terima sajalah kenyataan daya angkut armada nasional untuk ekspor hanya 4 persen dan selebihnya dikuasai kapal asing. Total peti kemas yang diangkut kapal asing senilai 15 miliar dollar AS per tahun.

Di soal logistik begini saja Indonesia yang punya "kultur maritim" ini peringkatnya kalah jauh ketimbang negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapura menempati ranking pertama, Malaysia ke-29, Thailand (38), Filipina (52), dan Vietnam (53).

Di lapangan, "kultur maritim" yang tertinggal adalah beberapa suku laut, seperti di Karimun, Kepulauan Riau dan Bajo. Itu pun suku-suku ini, oleh santiaji pemerintah daerah, didaratkan karena mengganggu keindahan (pariwisata) pesisir. Alhasil, generasi terkini suku laut Karimun, misalnya, nyaris tidak lagi mampu membedakan sampan beledok dan kolek yang dipakai leluhurnya berabad-abad arungi perairan Karimun hingga Batam. 

Karena tak mendapatkan apa pun yang bisa dijadikan fakta bahwa Nusantara punya "kultur maritim" yang kuat, selain bahwa negeri ini memiliki tanah lebih kecil ketimbang airnya, maka jalan satu-satunya adalah mengais kebesaran masa lalu. Bahwa Majapahit dan Sriwijaya adalah kerajaan berkultur maritim kuat dan kemudian tersuruk oleh sekian sebab. Riset soal ini pun belum benar-benar tuntas dan mengundang polemik.

Pada titimangsa ini tema “Kultur Maritim” adalah igauan yang melengkapi karamnya segala zirah kebesaran laut masa silam leluhur. Menonton ART|JOG|13, semacam suara parau di masjid tua di tengah kota yang membimbing langkah menziarahi kuburan maritim Nusantara. Para perupa sukses membangunkan nisan-nisan artifisial “Nusantara tanpa tradisi maritim”. Atau menyitir judul satir karya instalasi Yudi Sulistyo: Nusantara adalah world without sea.



Dimuat di Harian Jawa Pos, 14 Juli 2013, "Ruang Putih" hlm 17

No comments: