17 February 2014

Politik Keluarga

:: gus muh

Jika ditanya satu dari 100 teks yang paling berpengaruh pada abad 20 di Indonesia, maka saya tak ragu menyebut “10 Program PKK”. Bukan hanya sepuluh program itu ditabalkan sebagai teks pada 1982, melainkan juga dicetak sebagai prasasti di setiap perempatan dan mulut gang di hampir 80 ribu kampung di Indonesia.
 

Lantaran massifnya teks itu di bawah sadar hingga PKK (seakan) menjadi kata otonom “PKK”, dan bukan akronim dari “Pembinaan Kesejahteraan Keluarga”.
 

Teks/prasasti “10 Program PKK” yang siang-malam selalu dijaga patung burung garuda di mulut gang itu adalah penanda politik keluarga yang massif dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai panglima. Keluarga menjadi basis kontrol negara yang ketat.
 

Untuk kebutuhan pencitraan, PKK disebut sebagai gerakan. “(PKK) anak panah bagi pembangunan masyarakat dari bawah yang dimotori wanita,” kata Presiden Soeharto pada 2 Maret 1981. Namun melihat hirarkinya, “dibina” Kementerian Dalam Negeri (pusat) dan Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, dan Kepala Desa di struktur terbawahnya, PKK sejatinya sulur sosial terbawah negara.


Salah satu karya klasik yang menyoroti “politik keluarga” via PKK adalah tesis master Julia Suryakusuma yang pada 2013 terbit sebagai buku dengan judul Ibuisme Negara. Mungkin bukan pertama, tapi inilah buku paling kuat menyoroti PKK sebagai apa yang diistilahkan Julia sebagai “Ibuisme Negara”.
 

Ibuisme tak sekadar mendomestifikasi peran perempuan, melainkan bagaimana konstruksi sosial perempuan dikendalikan negara. Definisi “keluarga panutan” dan “keluarga Pancasila” didefinisikan secara resmi tanpa reserve. Peran sosial politik perempuan di desa di era Sukarno demikian menonjol dibabat dan digantikan dengan ibu-ibu yang wilayah teritori aktivitasnya terkerangka dalam “10 Program PKK”.
 

PKK bisa pula disebut sebagai suprastruktur antara perempuan di desa dan negara. Nilai yang tersalur dalam pipa birokrasi militeristik itu adalah kekuasaan negara yang paternalistik yang bekerja di semua ranah: dari ideologi, politik, ekonomi, hingga ranah budaya.
 

Saking massifnya maka umumnya para perempuan yang menjadi ibu muda saat ini adalah produk dari “keluarga Pancasila” yang digariskan “10 Program PKK” tahun 80-an.
Memang, zaman telah berubah. Pendidikan yang tinggi kepada perempuan sudah membaik. Namun karakter yang ditanamkan “10 Program PKK” masih terpacak kuat. Bahwa, kaum perempuan harus melayani suami, anak-anak, keluarga, masyarakat, dan negara.
 

Bapak dan Anak 
Tesis yang menarik ihwal politik keluarga dikemukakan Saya Sasaki Shiraishi dalam Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (1997). Shiraishi memang tak memulai amatannya dari PKK, tapi ke sistem manajemen negara yang diatur berdasarkan lingkungan rumah/keluarga.
 

Soeharto, misalnya, dalam biografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang disusun G Dwipayana dan Ramadhan KH (1989), selalu menyebut menteri-menterinya sebagai “anak”, dan ia sendiri memosisikan dirinya sebagai “bapak”.
 

Memang, semua biasa-biasa saja kalau kita berjumpa dengan kata “keluarga”. Tapi ketika berjumpa dengan ideologi Orde Baru, frase “keluarga” menjadi ganjil. Soeharto memerintah negara dan membimbing bangsa sebagai Bapak Presiden di mana pejabat pembantunya—seperti halnya warga Negara—mengikutinya sebagai anak.
 

Seluruh bangsa dibayangkan sebagai sebuah keluarga. Padahal sistem keluarga di Indonesia beragam, mulai dari pola patrilineal, matrilineal, hingga bilateral yang terbangun dari ratusan suku bangsa.
 

Makanya, ketika ditanya pola keluarga yang mana yang menjadi panutan, maka jawabnya adalah pola keluarga yang terbayangkan dalam “10 Program PKK”, yakni “keluarga Pancasila”.
 

Hubungan “bapak-ibu-anak” yang terwaris-awetkan berdekade-dekade dalam politik “keluarga Pancasila” ini bisa menjadi cerminan bagaimana paras politik Indonesia kemudian.
 

Ilmuwan politik menyebutnya “politik dinasti” (priyayisme). Tapi saya menyebutnya “politik keluarga”. Politik keluarga mengabaikan prinsip-prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Rekam jejak dikesampingkan. Etika good governance terganti oleh etika “politik keluarga” yang bersandar pada benih dan darah. Dan yang menarik adalah semua itu bekerja dalam selimut “demokrasi”.
 

Makanya bukan sebuah anomali dan ujug-ujug bila seorang gubernur memberi privilege kepada adiknya untuk menjadi makelar anggaran dan “menempatkan” hampir semua keluarga batihnya di poros eksekutif dan legislatif.
 

Ada pula bupati yang tanpa malu-malu “mewariskan” jabatan bupati kepada istrinya. Sementara publik tak pernah bisa lupa pemandangan politik ketika dua istri bupati bertarung terbuka untuk mewarisi kekuasaan suami mereka. Si bapak (bupati) sadar betul bahwa dirinya adalah pusat kuasa, sementara ibu (istri-istrinya) adalah “penyalur” yang melanggengkan kuasa itu.
 

Bahkan ada yang lebih absurd dan sesungguhnya sudah menyimpang jauh dari “nilai-nilai dasar ke-PKK-an”. Yakni, ketika satu dari empat istri seorang politisi muda di sebuah kabupaten di Jawa Tengah memilih lebih baik bercerai lantaran perbedaan saluran (hasrat) politik ketimbang bersatu dalam “keluarga Pancasila” yang ditata menurut hukum baku “10 Program PKK”.
 

Nah, masih ingat kan semua butir “10 Program PKK” yang masyhur itu?

No comments: