18 October 2014

Riwayat Orang Biasa | Subandi (1960-2014) | #RIP

KABAR dari gang kedua di Dusun Kembaran RT 2, Tamantirto, Kasihan, Bantul, subuh hari 18 Oktober itu buruk dan mengagetkan. Salah satu kepala tukang Dusun Kembaran meninggal dunia. Tak ada kabar bahwa lelaki paruh baya yang kerap dipanggil Pak Bandi itu mengidap penyakit yang mengantarnya ke alam baka.

Betapa tidak, ia masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya membuat atap rumah dan pengecatan terakhir di rumah tetangga persis di belakang rumah saya. Dua hari sebelum mangkatnya saya masih bercakap-cakap dengannya di atas atap sambil ia terus mengayunkan palu.

Selain mengerjakan atap rumah tetangga di belakang rumah saya, Pak Bandi mengerjakan salah satu rumah di Kadipiro. Siang di belakang rumah, malam di Kadipiro. Artinya, ia bekerja hampir 17 jam. Siang dan malam.

Dugaan inilah yang menjadi musabab kabar buruk itu datang subuh hari: Pak Bandi kelelahan. Ia rehat sejenak saat jelang magrib setelah seharian bekerja. Lalu melanjutkan pekerjaan yang sama di Kadipiro malam hari. Pulang mandi. Makan penganan yang disediakan untuknya di Kadipiro yang dibungkusnya pulang. Minum. Lalu tidur. Subuh sudah terbujur kaku dan dingin.

Kembaran pun gempar. Tukang paling berbakat itu seperti hilang tiba-tiba.


Nyaris semua rumah yang ada di Kembaran RT 2 ada rajah tangan Pak Bandi. Termasuk rumah saya tentu saja. Di Awal, tengah, dan akhir ada garis tangan Pak Bandi. Pondasi, dinding, lantai, dan atap terakhir dikerjakan Pak Bandi. Mestinya dak rumah dikerjakan juga olehnya, tapi sayang sekali ia mengerjakan proyek perumahan di Jakarta Timur. 

Lihat, daya jelajahnya bukan saja antarkabupaten di Yogyakarta seperti Sleman dan Gunungkidul, melainkan juga merambah ke Bekasi dan Jakarta. Wajar kemudian ia memiliki dua rumah yang dikontrakannya dari usaha gigihnya dalam bekerja. Kedua rumah itu tak jauh dari rumah Pak Djoko Pekik di Kembaran RT 01. Dalam benak Pak Bandi, dengan dua rumah di kontrakan itu, ia punya penghasilan tetap. Bahkan dalam hitungannya, cukup 10 tahun modalnya sudah kembali.

Di Kembaran, aset itu bukan cuma keluarga budayawan Pak Bagong Kusudiardja (termasuk Pak Butet Kertaradjasa) atau perupa Pak Djoko Pekik, tapi juga Pak Bandi ini. Keahlian yang dipelajarinya secara otodidak dalam dunia bangunan menjadikannya saksi atas bertumbuhnya rumah-rumah di Kembaran, terutama di wilayah selatan yang berjejeran dengan sungai kontheng.

Bahkan ketika jembatan sungai kontheng baru yang diresmikan pada Agustus 2013, Pak Bandi menjadi kepala proyek. Jadi, Kembaran tak perlu mendatangkan pimpro dari kutho, melainkan proyek bantuan pemerintah Kabupaten Bantul itu diselesaikan sendiri oleh warga dengan sebaik-baiknya. Peran Pak Bandi tak bisa dianggap sepele. Pak Bandi adalah koenci terbangunnya jembatan kontheng yang menghabiskan dana lebih dari 100 juta itu.

Pak Bandi itu bukan tukang biasa. Penampilan sehari-harinya parlente. Rambut selalu diminyaki dan di saku celana belakang beberapa kali nongol sisir, khas pemuda-pemuda tahun 70-an dan 80-an. Jam tangan selalu melingkari kulit lengan kirinya yang legam karena diguyur matahari. Pakaian favorit hitam-hitam. Sepatu/sandal kulit juga warna hitam. Topi pet hitam. Tembakau lintingan nyaris tanpa jeda menempel di bibirnya yang hitam.

Dengan penampilan yang dandi seperti itu, sekali lagi saya sebut, Pak Bandi bukan tukang biasa. Ya, ia adalah salah satu prajurit Keraton yang tiap ada ritus grebegan atau ritus-ritus lain mesti berada dalam barisan karnival. Tak terkecuali jika Kembaran memiliki acara karnival budaya seperti merti desa, Pak Bandi ada dalam barisan sebagai prajurit Jawa.

Karena itu saya menyebut Pak Bandi sebagai komandan pasukan zeni, yakni pasukan khusus dengan keahlian civil enginering. Di era Orde Baru, terutama akhir 70-an, pasukan jenis inilah yang menjadi ujung tombak pembangunan fisik di kampung-kampung. Kehadiran pasukan zeni melahirkan adagium "ABRI Masuk Desa", sebagaimana di era yang sama lahir istilah "Koran Masuk Desa" dan "Listrik Masuk Desa". Di kampung saya di Desa Tondo, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah sana, jalan yang dibangun dalam proyek "ABRI Masuk Desa" ini dinamai "Jalan AMD". Anak yang lahir saat proyek ini dikerjakan diberi julukan yang kemudian melekat pada namanya (orang-orang bahkan lupa namanya yang sesungguhnya), "ABRI".

Lelaki parlente dengan ciri pekerjaan membangun rumah, jalan, jembatan yang rapi dan halus itu kini seperti lenyap. Banyak warga di Kembaran RT 2 seperti tidak percaya bahwa yang mereka antar ke kuburan Bibis (Gunung sempu) siang 18 Oktober bukanlah jenazah Pak Bandi, prajurit zeni terbaik di Dusun Tamantirto, melainkan orang lain.

Demikian pula saya. Di Indonesia Buku, misalnya, hampir semua pekerjaan fisik bangunan dikerjakan Pak Bandi. Sewaktu Indonesia Buku masih berada di Patehan Wetan, Pak Bandi-lah yang dipanggil untuk membangun parkiran kendaraan dan warung beratap rumbia yang biasa dipakai pengunjung untuk berteduh, belajar, membaca, atau sekadar berselancar di dunia daring. Pak Bandi juga yang mengerjakan rak koran Warung Arsip, pipa dan sanitasi air bersih.

Kerja Pak Bandi terakhir saat Indonesia Buku dalam proses pindah ke Sewon adalah membongkar studio Radio Buku yang dikerjakannya sejak magrib hingga dini hari. Lihat, ia mengerjakannya dengan sistem lembur karena siang hari ia mengerjakan proyek di tempat lain. Bekerja sampai dini hari untuk usia yang tak lagi muda adalah hal luar biasa. Apalagi itu adalah kerja yang menguras fisik. Nyaris tujuh jam Pak Bandi, sendirian pula, membongkar studio dengan menghasilkan unggunan sampah kayu di halaman.

Pak Bandi dipilih untuk membongkar studio Radio Buku dengan harapan dia pula yang kelak membangunnya di Sewon. Dan ia sudah menyetujuinya. Dan ia dalam posisi menunggu setelah pulang dari mengerjakan proyek bangunan di Jakarta selama tiga bulan. Sialnya, Radio Buku belum juga punya tabungan untuk mendirikan studio baru. Bahkan hingga dua hari sebelum Pak Bandi wafat ia hanya tertawa lepas saat diingatkan lagi studio di Sewon itu yang menunggu dana pembangunan yang tak pernah menghampiri.

Selamat jalan Pak Bandi. 2014 (18 Oktober)-1960 (23 Mei) = 54. 

Lima puluh empat tahun dilewati dengan kerja, kerja, kerja. Meninggal pun dalam kondisi rehat sejenak dari kerja yang seperti tiada henti. Hidup Pak Bandi memang untuk bekerja. [gusmuh]







No comments: