13 November 2000

Membongkar Imaji Postkolonial

Meresensi buku ini di Kompas adalah awal ketika saya mulai merancang sebuah diskusi intensif tentang wacana pascakolonial. Mirip pesantren sosialisme religius yang saya selenggarakan sebelumnya. Acara sarasehan pascakolonial itu melibatkan banyak sekali pemikir muda jogjakarta dan dilangsungkan di dua tempat selama tiga hari. Hasilnya bisa dibaca di buku POSTKOLONIAL (Penerbit Jendela).


KOMPAS - Minggu, 12 Nov 2000 Halaman: 5 Penulis: Muhidin Ukuran: 7535

MEMBONGKAR IMAJI POSTKOLONIAL

Judul: Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial,
Penulis: Budi Susanto SJ,
Penerbit: Kanisius, 2000,
Tebal: 191 halaman.

BUKU ini sepenuhnya berbicara tentang ketoprak. Bukan buku
sejarah, tetapi buku yang mengulas tentang siasat kebudayaan
membongkar imaji postkolonial. Budi Susanto, penulisnya, dengan
jenial memanfaatkan kajian postkolonial untuk menjawab pertanyaan
bagaimana siasat dijalankan ketoprak ketika harus berhadapan dengan
elite kekuasaan, di panggung dan dalam kehidupan sehari-hari.
Tema inilah yang kemudian dihubungkannya dengan penyelidikan
tentang politik imajinasi, bahasa, dan identitas.
Dalam kajian postkolonial ini, seni pertunjukan ketoprak
termaknai sebagai sebuah mediasi percakapan (konsolidasi identitas)
yang signifikan dalam perimbangan komunikasi antara rakyat dengan
elite kuasa.
Fungsi keberimbangan itulah yang menjadikan ketoprak sebagai
sebuah kekuatan (semiotik) kebudayaan yang bergerak melalui komunitas
(pemain dan penonton) (hlm 20). Jadi bukan sekadar wahana yang
dimanfaatkan dan dikeramatkan untuk sebuah tujuan dari pihak
tertentu.
Budi Susanto menemukan bahwa ada pola yang sama yang bekerja
secara sinergis di semua panggung ketoprak, yakni menjadi saksi mata
dari siasat kebudayaan massa rakyat kecil yang tinggal di pedesaan
untuk berhadapan dengan pesona dan paradoks hidup urban dan modern
yang disihir dari menara modernisasi liberal Barat. Dan itu sudah
berlangsung lama.
Tercatat sejak masa pendudukan rezim militer Jepang, ketoprak
dengan begitu efektif menciptakan apa yang oleh Bennedict Anderson
disebut sebagai imagined communities. Saat itu perkumpulan ketoprak
dimanfaatkan oleh berbagai organisasi pemuda untuk alat propaganda
dan pengumpulan dana swadaya dari massa rakyat.
***

DALAM buku ini Budi Susanto coba memperhadapkan seni adiluhung
dengan ketoprak sebagai seni rakyat secara demarkatif. Menurut dia,
ketoprak adalah seni pertunjukan massa rakyat kecil yang tidak
mengandalkan alam pikiran romantisme (adiluhung) yang memperhitungkan
otoritas penafsiran dari sebuah bakat kreatif dan intuisi imajinatif.
Ketoprak lebih tepat disebut sebagai seni pertunjukan counter culture
ketika massa rakyat mulai ragu terhadap (budi) bahasa dan perilaku
penguasa mereka, kata penulis itu.
Dalam ketoprak Kanjeng Ratu Kidul (KRK), misalnya, semua mitos
agung dijungkirbalikkan. Konon, kata Roland Barthes dalam Mithologies
(1972), mitos sengaja direproduksi untuk membuat sesuatu yang
sesungguhnya berlatar suatu ideologi tertentu, lalu lewat perjalanan
sejarah hal itu dibuat tampak dan tampil seakan-akan sebagai sesuatu
yang alamiah, kodrati, dan tak terelakkan harus terjadi dalam sebuah
masyarakat.
Nah, lewat ketoprak, massa rakyat disadarkan bahwa mitos Ratu
Kidul yang men-"nasional" itu hanya menghasilkan siasat politik
(postkolonial) ketika berada dalam pikiran rakyat kecil. Rakyat hanya
disodori rekaan dan imajinasi yang dalam beberapa hal ternyata
menyembunyikan "motif untuk menaklukan ingatan". Mengaburkan realitas
yang perih dari sebuah dusta kuasa hegemonis.
Seperti terekam dalam ungkapan Pramoedya Ananta Toer, pelestarian
mitos KRK hanya sebuah upaya sistematis untuk menutup-nutupi aib
kalangan istana ketika Sultan Agung kalah dan kehilangan kekuasaan
"internasional" di luar Jawa. (hlm 41)
Tidak tanggung-tanggung, selain lewat jalan pelumpuhan ingatan,
kekerasan pun tak jarang menjadi pilihan penguasa untuk membungkam
kesadaran rakyat. Fenomena ini dicontohkan Budi Susanto dengan
konflik ketoprak Siswo Budoyo dengan pemerintah Kota Solo pada tahun
1994. Di sana tergambar bagaimana rapuhnya bahasa (komunikasi) segar,
egaliter yang disuguhkan ketoprak dalam roda mesin kuasa hegemoni.
Konflik budaya ini menjadi pelajaran berarti bahwa di era
pluralistik saat ini tak cukup menghadapi "masalah" dengan hanya
mengandalkan keterampilan bertafsir tunggal (elite penguasa/
postkolonial). Karena hal itu hanya melegislasi bekerjanya ritus
sosial adiluhung.
Menurut Budi Susanto, ketoprak dalam beberapa hal berbeda dengan
pentas upacara kurban sesajian (sacriface), semisal pergelaran wayang
kulit. Juga bukan sebuah sandiwara mimetik atas penampilan
(representation) kisah-kisah tragedi dan dramatis, apalagi sekadar
berbisnis hiburan yang lebih banyak melakukan pengulangan
(repetition) berdasarkan teknologi rekaman dan kiat dagang model
studio Hollywood dengan film dan gedung bioskopnya.
Panggung ketoprak merupakan siasat jeli massa rakyat kecil untuk
memanfaatkan media komunikasi massa (i) modern dengan segala
kenyataan imajinatifnya yang diandaikan, untuk menghasilkan cemooh
politik (hlm 19). Mengikuti ujaran Ben Anderson (1970), massa rakyat
kecil tanpa otot politik ini berupaya menggerai siasat perlawanan
tanpa kekerasan dengan melakukan "politik picisan" untuk mengkaji
ulang "politik modern" identitas adiluhung kalangan elite yang
(sedang) berkuasa.
Siasat ini bisa kita temui pada ketoprak plesetan yang menjadi
ciri khas Dagelan Mataram Baru (DMB) dan Paguyuban Seni Bagian
Yogyakarta Utara (PS Bayu). Plesetan telah menyadarkan rakyat yang
tidak takut mencemooh kebekuan dan kebakuan (budi) bahasa yang selama
ini justru tetap dinikmati sebagai sumber keaslian identitas elite
penguasa.
Di panggung ketoprak, semua identitas penguasa yang dikaitkan
dengan imajinasi adiluhung justru menjadi rapuh. Ini bukti, bahasa
sebaliknya dimengerti sebagai sarana yang memudahkan, mencontohkan,
atau menyinggung sesuatu yang sesungguhnya tak mudah dijelaskan. (hlm
166)
***

IHWAL buku ini berasal dari penelitian (serius) Budi Susanto
selama enam tahun (1992-1998) dengan pendekatan analisis
pascastrukturalisme di ranah antropologi, sosiologi, dan budaya. Buku
ini berusaha membuka jalan optimisme bahwa ketoprak, atau seni
pertunjukan massa rakyat sejenis lainnya, adalah siasat budaya untuk
tetap tegak mengatasi pesona dan ancaman modernisasi yang mengobral
(budi) bahasa, imajinasi, dan identitas.
Walau hanya memfokuskan kajian pada ketoprak ansich, buku jenial,
menyegarkan, dan mengagetkan ini bisa menambah deretan pustaka studi
postkolonial karya "intelektual dalam" sendiri, yang memang masih
sedikit sekali jumlahnya.
Dan bisa jadi buku ini menjadi suatu tamparan bagi kalangan
akademisi dan intelektual kita yang saat ini tengah terpukau oleh
pesona hujan bunga rampai; yang tak rela untuk tidak "terkenal".
Memang, dalam jangka agak lama, nasib peneliti par excellence tak
pernah terkenal. Dan hal ini mempengaruhi gairah penelitian.
Dari kenyataan masa lalu itu, wajar saja bila Indonesia hingga
kini selalu jadi obyek kajian "orang luar" ketimbang partisipasi
"orang dalam" sendiri. Mudah-mudahan karya Budi Santoso ini bisa
membangkitkan gairah itu lagi.

* Muhidin, mahasiswa Sejarah Peradaban IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

No comments: