::muhammad muhibbuddin
Dalam perjalanannya sebagai bangsa, Indonesia diwarnai oleh peristiwa-peristiwa besar, heorik dan dramatis. Namun sayang, oleh kepentingan politik, sebagian dari peristiwa-peristiwa besar itu banyak yang ditutup-tutupi, ditelikung, dimisterikan dan bahkan dihilangkan jejak-jejaknya.
Inilah barangkali ketidakjujuran para pembuat sejarah. Jiwa tidak jujur terhadap sejarah semacam ini telah lama menjadi langgam dan gaya kekuasaan rezim ORBA. Selama 32 tahun ORBA bercokol, banyak fakta sejarah diputar balikkan, dinihilkan dan dimatikan demi melanggengkan kekuasaan.
Fakta sejarah utama yang menjadi target pembrangusan politik ORBA adalah sejarah yang berkaitan dengan gerakan kiri. Hampir seluruh gerakan kiri, mulai dari gerakan kebudayaan, intelektual, politik dan kemasyarakatan oleh ORBA dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas keamanan negara sehingga harus dimusnahkan.
Seluruh fakta, data dan realitas sejarah yang pernah ditancapkan oleh kaum kiri tidak boleh disingkap apalagi dibaca dan dipelajari oleh generasi anak bangsa selanjutnya. Semuanya itu harus tertutup dari akses publik.
Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang pernah bergandengan tangan dengan PKI adalah salah satu korban dari pelarangan itu. Sebagai institusi kebudayaan yang mengusung tema-tema kerakyatan dan kemanusiaan, dalam perjalanan sejarahnya, sedikit banyak, Lekra telah menorehkan catatan emas dalam lembar sejarah pengabdian kepada bangsa dan negara.
Namun semua itu seolah kosong, nihil dan tak berbekas sama sekali karena jejak-jejak sejarah Lekra telah dikubur sedemikian dalam oleh rezim ORBA. Inilah mengapa buku seperti Lekra Tak Membakar Buku hasil karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M.Dahlan yang sekarang ini baru terbit perlu diapresiasi. Buku-buku semacam ini mencoba membongkar unsur sejarah kiri yang coba di hapus dari ingatan bangsa Indonesia, tertmasuk sejarah Lekra.
“Jasad sejarah” Lekra yang hampir hancur dan tinggal penggalan-penggalan rangkanya itu oleh penulisnya mulai digali dan coba dirangkai dan ditampilkan kembali. Buku itu sejatinya difungsikan sebagai arena panggung untuk mendemonstrasikan rangkaian jasad Lekra itu kepada publik.
Karena memang sudah berada dalam timbunan “bungker sejarah” yang lama, data-data sejarah Lekra yang masih bisa diselamatkan itu hanya sebagian dan dari satu sumber, koran Harian Rakjat. Di dalam koran itu diterangkan bahwa peran para aktivis Lekra sangat bergemuruh terjadi pada tahun 1950-1965. Untungnya masih ada Harian Rakjat yang mampu merekam dan menyelamatkan kiprah dan gemuruhnya para aktivis Lekra tersebut meskipun secara fisik koran itu sudah mulai dijadikan santapan empuk oleh rayap.
Dari buku ini kita disosdori oleh sebuah fakta bahwa meskipun telah dipersepsikan sebagai organisasi terlarang oleh ORBA, ternyata Lekra juga mempunyai cita-cita dan kiprah yang luhur terhadap eksistensi negara Indoensia. Perjuangan Lekra diilhami oleh semangat revolusi untuk melawan segala macam bentuk imperialisme dan kolonialisme.
Lekra sendiri didirikan tepat 5 tahun sesudah revolusi Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud pada persetudjuan KMB. Pada saat ini revolusi Indonesia mulai mengalami dekadensi. Lekra muncul untuk mencegah kemrosotan revolusi itu ke arah yang lebih parah.
Sikap Lekra dalam dunia kebudayaan sudah jelas yakni membela dan memperjuangkan kehidupan rakyat dari penindasan kaum imperialis. Konsepsi Nasional kebudayaan menurut Lekra sama sekali bukan bersandar pada kesatuan pandangan hidup dan keyakinan aliran seni. Sebab, mustahil hal itu mewujud. Konsepsi kebudayaan nasional memberikan kebebasan yang sepenuh-penuhnya kepada setiap pandangan hidup dan keyakinan seni dengan syarat mendahulukan kepentingan nasional, kepentingan rakyat banyak.
Pada Mukaddimah yang direvisi pada tahun 1959, tugas dan kedudukan rakyat dipertegas, “bahwa Rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat…..Lekra berpendapat bahwa setjara tegas berpihak pada Rakjat, adalah satu2nja djalan bagi seniman, sardjana2 maupun pekerdja kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil2 yang tahan udji dan tahan waktu.”
Asas dan Metode lekra dan kombinasi1-5-1
Karena sebagai organisasi kebudayaan, maka Lekra juga mempunyai asas dan startegi perjuangan untuk mencapai tujuan dan impian-impiannya. 1-5-1 adalah simbol dari sikap berkesenian yang dikembangkan oleh Lekra yang menempatkan “Rakjat sebagai satu2nja pentjipta Kebudayaan”. Gerakan 1-5-1 menjadi jangkar tengah dan sekaligus rujukan visi bagi seluruh pekerjaan kreatif yang ditempuh. Di sana ada politik, idiologi, filsafat, seni , arah kepemimpinan, serta metode kerja dalam mencipta karya-karya kreatif di bidang kebudayaan. (h 25)
Angka satu di depan adalah arti bahwa perjuangan Lekra menempatkan politik sebagai panglima. Kemudian 5 di tengah adalah dasar kerja dan perjuangan Lekra: meluas dan meninggi, tinggi mutu idiologi dan tinggi mutu artistik atau 2 mutu, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearfian massa, realisme sosial dan romantik revolusioner. Untuk melakukan lima hal itu dibutuhkan metode: turun ke bawah. Metode Turba ini disimbolkan dengan angka satu di akhir.
Prinsip politik sebagai panglima ini disetujui Lekra dengan alasan bahwa politik adalah obor agar sebelum melakukan penggarapan seni seseorang harus mengkajinya terlebih dahulu dari perspektif politik.
Menurut Lekra kesalahan politik membawa madharat jauh lebih besar daripada kesalahan artistik. Inilah yang diingatkan oleh pentolan lekra, Njoto yang menyatakan bahwa “Djika kita menghindarkannja, kita akan digilas olehnja…”Bagi Njoto, seniman yang berpolitik itu ibarat pelajar yang menuntut ilmu sambil berolahraga. Politik tak ubahnya sebuah olahraga, negoisasi hak dan kewajiban berkesenian, bangkit dan turut bangsa dan rakyatnya jika diserobot bangsa lewat jalan perusakan. Dalam kaitannya dengan politik ini, secara politis, orientasi gerak Lekra lebih mendukung konsep Soekarno tentang Manipol/Usdek.
Buku ini memang hanya terangkat dari satu sumber suratkabar. Namun satu pelajaran yang bisa ditarik dari terbitnya buku ini adalah bahwa sudah saatnya sekarang kita bersikap berani, terbuka dan jujur terhadap sejarah. Sebenarnya masih banyak fakta yang dulunya dinyatakan terlarang oleh rezim tertentu masih tertimbun dalam bungker sejarah Indonesia.
Dan saatnya sekarang itu kita gali dan kita tunjukkan apa adanya ke publik. Buku ini sudah mempelopori untuk berani menggali dan mengungkap timbunan fakta sejarah yang dulunya dilarang itu dan sudah barang tentu ditunggu usaha-usaha sejenisnya agar kita tidak selamanya tersesat dalam kegelapan sejarah kita sendiri.Berani?!
* Penulis adalah pecinta buku tinggal di Yogya, aktif dalam komunitas BACA PPM.Hasyim Asy’ari Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment