25 February 2002

Tak Sekadar “Meklov-meklovan”

Pengantar Buku Mencari Cinta (karya Muhidin M Dahlan)

::ali formen yudha, mahasiswa australian national university

Sejak awal pertama menerima draf naskah buku tentang cinta ini, alhamdulillah saya mengalami banyak hal yang saya rasa ada sangkut pautnya dengan cinta. Pada hari saat saya menerima draf buku ini (20 Februari 2002), misalnya, datang seorang teman, kebetulan akhwat, untuk sedikit curhat. Katanya ia baru saja patah hati, lalu jatuh cinta lagi dengan pria yang berbeda. Padahal sejak 1997 saya kenal akhwat ini, kesan yang saya tangkap, dia termasuk orang yang kurang “berbakat” untuk soal jatuh cinta.

Makanya saya sedikit terperanjat saat dia bilang tengah jatuh cinta. Merasa tak yakin pada penuturannya saya bertanya, “Dengan siapa atau apa.” Lalu dia menjawab, “Itulah masalahnya.” Dalam hati saya berpikir, “Pasti laki-laki”, sembari sedikit bersyukur karena teman satu ini masih normal—mohon maaf untuk teman-teman yang belok, saya sama sekali tidak bermaksud menyinggung Anda sekalian. Lalu katanya lagi, “Tapi ada satu masalah lagi,” sambungnya, “kami beda agama. Formen tahu kan, cinta menembus ke mana-mana—tidak peduli apa pun juga.” Ia bertutur sembari menggelosorkan badan ke bibir meja, hingga tampak di mata saya, wajah akhwat kita satu ini sangat memelas.

Sejak saya menerima draf buku ini, sampai akhirnya saya menuliskan tanggal di akhir pengantar ini, entah berapa belas pucuk surat cinta saya terima. Beberapa dari orang yang sama dan banyak dari orang —saya tegaskan perempuan—yang berbeda. (Saya anjurkan Anda tidak percaya. Karena saya khawatir Anda yang berjenis kelamin laki-laki tumbuh iri dan dengki di hati. Atau Anda yang perempuan hanya akan patah hati karena surat cinta yang akan Anda kirim pada saya sebentar lagi akan menempati, entah nomor berapa ratus. Saya perlu sarankan lagi agar Anda jangan percaya pada omongan ini, terlebih saya terkenal suka memuji diri).

Kali lain datang pula pada saya, seorang suami yang nggresula karena sudah beberapa lama didiamkan—tentunya dhahiran wa bathinan—istrinya. (Dunia memang sudah kebalik-balik: ada suami mengadu dan minta saran pada bujang, untuk urusan yang “dekat-dekat” dengan ranjang, pikir saya dalam hati waktu itu). Saya mencoba menemui istrinya dan—alhamdulillah `ala kulli haal wa `la kulli ni`matin—karena si istri tidak berani marah langsung pada suaminya, saya yang terkena getah disemprot-semprot. Karena saya tidak ingin menambah runyam suasana rumah tangga mereka, kepada si suami saya beri saran yang lumayan baik. Nasihat yang pernah disampaikan oleh K.H. Abdul Hamid (Pasuruan, Jawa Timur) yang diyakini termasuk waliyu’Llah. Kata beliau, “Wong tuwa kapan ndak digoda karo anak utawa keluarga ndak endang mundak derajate (Orangtua tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, tidak lekas naik derajatnya).” Lalu saya sisipkan penutup, “Punika artosipun panjenengan bade minggah maqam-ipun, Pak (Ini artinya, Anda akan naik maqam-nya, Pak).”

Masih ada lagi, seorang akhwat datang karena ketakutan, dikejar-kejar laki-laki yang kepincut berat padanya, sampai-sampai si laki-laki bilang, “Kalau kamu kawin sama orang lain, malam pertama, suamimu mati.” Kepada yang terakhir ini, karena pembicaraan kami mengenai kasusnya tidak selesai-selesai, saya—astaghfiru’Llah—terpaksa memberi saran ngawur. Saya katakan padanya, “Nek ngono kon rabi karo debog wae, bene aman (Kalau begitu kamu kawin sama debog—batang pohon pisang—saja, biar aman).” Di belakang orang-orang “sakit cinta” ini masih terdapat sederetan yang lain dengan masalah cintanya masing-masing datang pada saya. Beberapa di antaranya adalah murid-murid saya yang entah siapa menjadi imam tiba-tiba berjemaah jatuh cinta.

Masih ada peristiwa yang “paling parah” menurut ukuran saya, yakni kedatangan seorang kawan, kebetulan ikhwan, yang belum genap seminggu menikah. Ini terjadi sebelum saya menerima naskah buku ini. Pada suatu ketika, selepas salat Jumat, pengantin baru ini datang, lalu saya buru-buru menyodorkan tangan untuk menyalami, sambil berkata “Mabruk. Mabruk (Semoga beroleh berkah, semoga beroleh berkah).” Setelah itu saya terkejut bukan kepalang, karena ia justru bertanya perihal bagaimana tata cara—atau fikih mengatur—perceraian.

Menarik pernyataan “cinta menembus ke mana-mana” yang disampaikan akhwat pertama tadi. Artinya, ia datang nggak pamit-pamit apalagi uluk salam atau ketuk pintu, atau memang cinta itu nggak sopan barangkali (?). Yang lebih mengezutkan lagi, ternyata cinta tidak hanya dimiliki dan tumbuh dalam pribadi yang normal. (Sekarang saya sarankan pada Anda untuk benar-benar percaya pada omongan saya ini). Saya ingin menceritakan “tragedi” dalam keluarga saya. Tiga orang laki-laki—termasuk saya dan ayah—dalam keluarga saya alhamdulillah pernah ditaksir perempuan gila. Mereka, tiga-tiganya sekarang masih hidup, hanya mungkin sudah sadar—atau malu (?)—kalau gila, sekarang ketiganya sudah tidak lagi menggoda “dreaming guys” masing-masing. Karena saya terlanjur percaya pada salah kaprah; cinta adalah watak perempuan—kata orang perempuan lebih emosional ketimbang laki-laki—dalam pikiran saya pun hanya kami, kaum laki-laki yang menjadi “korban” cinta perempuan-perempuan gila. Busyet, ternyata salah persangkaan saya. Karena suatu kali seorang bujang gila pun nekat menyatakan cinta pada kakak perempuan saya, di depan mata kepala saya sendiri.


BAHWA cinta menembus ke mana-mana, tanpa harus membaca buku ini, saya kira Anda, pembaca yang budiman, pun paham. Cukuplah Anda berguru pada salah satu di antara tiga perempuan atau bujang gila di atas. Tapi, bahwa cinta membawa konsekuensi—yang tidak jarang menyakitkan—sedikit orang yang paham, atau seringkali tidak mau paham. Kalaupun paham, kebanyakan hanya suka cintanya, tapi tak mau terima sakit yang dibawanya serta. Jarang orang yang terlibat cinta dengan semangat pengorbanan sebesar yang telah ditunjukkan Abu Dzar pada Rasulullah seperti diceritakan penulis buku ini. Padahal “sakit” yang disebabkan cinta bukan kepalang rasanya, seperti kata Gibran, “Bak angin utara memporak-porandakan petamanan.” Sakit rindu (malarindu) bahkan lebih dahsyat dari malaria seperti dikatakan penyayi campursari Manthous, “Malaria apa malarindu, sedina kaya sewindu, ning awak marahi kuru. (Malaria, atau malarindu, sehari layaknya sewindu, membuat badan jadi kurus layu).” Atau juga pernyataan seorang kawan yang kebetulan aktivis mahasiswa, “Cinta itu anugerah, bila kau ingin kurus simpan saja rasa cintamu.”

Meski demikian, dapatkah cinta atau kasih disepadankan dengan lara? Jawabnya, tergantung bagaimana orang menatapnya. Jika ia adalah hasrat untuk dicintai, maka sampai kapan pun orang akan dirundung lara. Pasalnya, orientasi dicintai adalah orientasi menyerahkan diri pada kekuatan-kekuatan eksternal. Dalam orientasi ini orang akan menderita saat ia merasa tidak dimiliki orang lain, tidak ada yang memuji atau sejenisnya. Hasrat untuk terhubung pada orang lain—sebagai gejala cinta—seperti, bukanlah menundukkan diri pada kekuatan-kekuatan eksternal, tetapi mewarnai kekuatan-kekuatan itu. Sebaliknya, jika cinta berarti hasrat untuk mencintai, maka ia akan mengembangkan sayap cinta selebar-lebarnya, sejauh sayap itu mampu merangkum apa pun di sekelilingnya, bukan untuk dikuasai, tetapi memberikan yang terbaik yang dimiliki, pada mereka. Dalam orientasi ini orang akan bersikap prek gembel apakah akan mendapat balas budi atau sebaliknya caci-maki. Baginya, yang penting berbuat baik pada sekeliling, bukannya thama‘ terhadap pemberian orang lain.

”Kasih itu panjang sabar dan penyayang, kasih itu tiada dengki, kasih itu tiada memegahkan dirinya, tiada sombong, tiada melakukan yang tiada senonoh, tiada mencari keuntungan dirinya saja, tiada pemarah, tiada menyimpan kesalahan orang lain” demikian rasul Paulus memberi wejangan.

Benar, bahwa cinta memang meminta dan memaksa. Tetapi meminta dan memaksa, keduanya, bukanlah watak ksatria cinta. Mereka memberi dan bukannya meminta atau memaksa. Karenanya pula, “Para pencinta sejati akan menganggap kecil, atas hal-hal besar yang ada pada dirinya, sementara ia menganggap besar atas hal-hal kecil yang ada pada kekasihnya,” demikian Yazid al-Busthami menerangkan hakikat cinta. Dengan demikian cinta bukan sekadar kata benda. Sebaliknya, ia adalah kata kerja, atau setidaknya merujuk pada aktivitas.

Dengan memandang diri berada pada posisi di bawah “fakta” yang sebenarnya, pandangan cinta al-Busthami ini, mengajarkan kreativitas yang tidak mengenal titik perhentian. Sebuah pribadi akan senantiasa melakukan muhasabah dalam rangka transformasi diri ke arah yang lebih tinggi. Rasa takjub—dengan tanpa mengurangi autoritas diri ini—pada sesuatu di luar diri, bahkan dianjurkan oleh kalangan psikolog humanistik, seperti misalnya Abraham Maslow.

Seorang pencinta sejati harus melepaskan diri dari defense mechanism, upaya mempertahankan diri habis-habisan, menganggap diri sempurna, sakralisasi-diri berlebihan. Karena ia hanya akan membuat pribadi mandek dan berhenti mekar. Entoh demikian, masih saja orang lebih suka berpegang teguh pada kata-kata: “Cinta adalah egoisme dua manusia” seperti kata Antoni de Loyola. Bagaimana mungkin cinta dapat tumbuh di antara dua kekuatan yang berupaya menundukkan satu sama lain. Cinta tumbuh dan berkembang dalam hasrat untuk saling menghormati dan bukannya egoisme (ananiyah).

Sebelum naskah ini terbit saya sudah merekam banyak komentar. Ada yang langsung ingin photo copy. Beberapa murid saya yang tengah jatuh cinta mengutip sebagian untuk surat cinta yang akan mereka kirimkan pada cem-ceman mereka. Lalu teman saya dari Kebumen yang baru pulang Kairo berkomentar sinis dalam dialek Banyumasan yang medhok. Katanya, “Yakin, saru banget.” Kebetulan yang ia baca jenis cinta erotis. Khawatir akan menimbulkan reaksi negatif seperti terjadi pada alumni al-Azhar ini, saat beberapa kawan dari Pesantren Pandanaran hendak membaca, saya terpaksa melarang—daripada mereka membaca ilustrasi cinta erotis lalu hapalan Alquran mereka hilang (?), na`udzubillah min dzalik, saya bisa kena ghadlab-nya shahibul fadhilah, K.H. Mufid Mas’ud.

Risalah kecil ini akan membantu Anda memahami dan mengarahkan kekuatan cinta yang Anda miliki ke arah yang lebih baik dan lebih produktif. Setelah membaca risalah ini, mungkin beberapa di antara Anda kecewa. Kecewa lantaran sudah khatam membaca tapi tidak juga dapat cem-ceman atau sejenisnya. (Kalau demikian halnya Anda tidak beda dengan tukang becak tetangga saya yang salah paham karena mengira Hemaviton adalah obat ganteng dan meminumnya wajah jadi kelihatan ganteng dan jadi idaman gadis-gadis. Atau seperti orang yang mengira kacamata adalah obat buta huruf). Anda juga kecewa, karena mungkin dalam pikiran, Anda sudah terlanjur membayangkan akan mendapatkan “1001 position” (baca: seribu satu posisi make love). Maaf—jika itu yang diharapkan—buku ini sama sekali tidak mengajarkan itu. Tidak mengajari Anda untuk meklove-meklovan, atau apa pun istilahnya, pokoknya yang begituan.

Tetapi saya harap Anda tidak kecewa, karena risalah kecil ini, memberikan pelbagai perspektif di seputar cinta. Buku ini cocok bagi siapa pun Anda yang sudah bisa dan mau berpikir; tua atau muda, gadis bau kencur atau bujang thing-thing, duda atau janda, yang baru jatuh cinta atau baru patah hati. Itu, setidaknya membantu kita mengukur, sampai di mana titik perhentian tahap cinta yang barangkali kita miliki.

Kaliurang, 17 Rabi‘uts Tsani 1423 H




3 comments:

adi said...

Cinta itu buta. Apabila tidak buta, itu bukanlah cinta.

Yang kemudian jadi pertanyaan adalah, buta terhadap apa?
Berbagai cara dilakukan untuk mempertahankan diri (defensa) dari ketidaksempurnaan terhadap cinta, orang bisa menganggap sebagai butanya cinta. Akan tetapi, kepasrahan jiwa sebagai dasar filosofi cinta yang 'benar', bisa juga dilakukan dengan/dalam kebutaan.

Tampaknya selama ini orang-orang telah membuat pengertian yang berbeda tentang cinta. Perlu ditelusuri akar kesalahan persepsi manusia tentang cinta dalam persepsi sejarah. Gus, mungkin perlu juga ditulis buku; Sejarah Cinta.

Lida Handayani said...

Eh, jadi inget The Art of Loving-nya Erich Fromm. No tips.

Blogmu aku link ya.

Anonymous said...

awal yang baik