"Ketika malam ketujuh tiba,
Tambangraras duduk bersimpuh di haluan ranjang, cukup jauh dari Amongraga
hingga tidak cemas terhadap ketelanjangannya, namun cukup dekat agar dapat
menjinakan lingganya" ~ Tembang 78, Serat Centhini saduran Elizabeth
D. Inandiak
Secara mengejutkan dan tepat Halilintar Lathief memperoleh Sang Hyang Kamahayanikan
Award 2016. Ia menerima penghargaan kehormatan dan dedikasi hidup pada jalan kebudayaan
dan teks-teks Nusantara dari Borobudur Writer and Culturan Festival 2016 bersama
Karkono Partokusumo Kamajaya (w. 2003).
Jika Karkono adalah pengalih aksara Serat Centhini dari aksara Jawa
ke Latin yang memungkinkan publik secara luas mengenal Centhini dalam 12
jilid lewat Yayasan Centhini yang didirikannya; maka, Halil adalah sosok yang dengan
konsisten dan panjang merawat eksistensi Bissu dalam kosmologi budaya Bugis. Jika
Anda mengingat pementasan akbar I La Galigo
ke panggung-panggung kota di dunia, prosesnya dimulai dari sosok Halil yang membawa
keluar para Bissu dari Makassar ke Bali untuk berjumpa sutradara Robert Wilson.
Makassar, kata Halil, terlalu sensistif untuk eksistensi “kelamin-ketiga”. Dan, La Galigo pun mendunia lewat
panggung pertunjukan akbar.
Karsono dan Halil adalah representasi menarik dari erotika warisan leluhur.
Warisan asmara, erotika, dan seks yang berkelindan dengan proses pencarian puncak
spiritualitas itu yang kemudian dalam gelombang sejarah berhadapan dengan kekuatan-kekuatan
pemusnah atas nama otoritas moral tertentu. Borobudur Writer menampilkan kembali
tabu dari warisan leluhur itu dengan ratusan
penafsir dalam pelbagai medium: referat dalam sawala, puisi, musik, tari,
art performance, lokakarya, hingga seni
rupa. Warisan dari serat/kitab leluhur yang selalu menjadi sasaran dinamit prekusi
itu dibincangkan secara terbuka, dipertunjukan secara artistik, dan diapresiasi
secara dengan terbuka; bukan hanya dalam ruang sawala, tapi juga oleh jelata di
lereng Gunung Andong, Magelang, Jawa Tengah.
Kitab Nusantara dalam Kelambu
Ketika Elizabeth D. Inandiak memberi profisiat kepada H.M. Rasjidi yang
menjadi musabab ia bersentuhan intens dengan Serat Centhini selama puluhan tahun, saya mesti memastikan nama itu. Benar,
sosok ini yang menjadi palang penentang paling keras arus rasionalisma dan sekularisma
yang dibawa Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Namun, Menteri Agama RI pertama
inilah menjadi peneliti pertama Centhini dalam bahasa Perancis saat mengambil
studi doktoral di Universitas Sorbonne, Paris. Ini judul disertasi sosok yang pernah
menjadi pengurus PII, Muhammadiyah, dan Dewan Dakwah ini: Considerations
critiques du Livre de Centhini (1956).
Rasjidi memberi tafsir kritis atas Centhini dan tak disangka menjadi jalan
berani yang diambil Elizabeth. Keberanian itu makin liat saat dukungan Dari Gus
Dur datang. Menurut Presiden RI (1999-2001) itu, Centhini bukan hanya milik
Jawa, tapi juga Madura. Di Sumenep, Centhini masuk pesantren lewat pembacaan
Pamongroro dan Pamongroso yang disiarkan oleh radio setahun sekali.
Sebagai sastra bergenre—pinjam istilah peneliti
Sejarah Islam Jawa Pigeaud—vagrant
students atau “santri lelana”, Centhini
menjadi sangat populer karena keterbukaannya menjelaskan soal dunia selangkangan
secara paripurna. Perupa Ugo Untoro menganalogikan Centhini abad 17 (1616 M) dengan Enny Arrow dalam karya rupanya berjudul:
Kitab Anni Arrow. Serupa dengan Ugo Untoro,
novelis Dinar Rahayu juga memasukkan kata kunci “Enny Arrow” untuk merespons erotika pasca-Centhini.
Pengajar Program Studi Sastra Jawa UGM Kartika Setyawati—juga novelis Agus Wahyudi—dalam referatnya bahkan merinci adegan persebadanan
dalam Centhini, lengkap dengan halaman-halaman alamat paragraf. Homoseksual,
sex toys, seks segitiga, seks stw, seks
bertukar pasangan, salome (1 perempuan banyak laki-laki), hingga seks dengan binatang.
Dan semua jenis seks itu dalam Centhini
bisa dilakukan di mana saja.
Tapi, bagian senggama dan asmara liar itu hanya bagian terkecil dari sastra
ensiklopedia warisan Jawa ini. Sesungguhnya, kitab yang juga disebut Suluk Tambangraras ini adalah sebuah pengembaraan
mencari kesejatian hidup lewat ritus religi/Islam (Sunyoto, 2016), dan bukan kitab
porno yang selama ini dinisbatkan secara serampangan (Padmadipura-Wangsawikrama,
2016). Bahkan, tulis arkeolog UGM Timbul Haryono, Centhini bisa menjadi rujukan
kuliner abad 17 yang kaya di mana sebagian besar sudah tak diproduksi lagi di dapur-dapur
masyarakat Jawa. Tumpeng, lauk, sambel, juadah, jenang, srabi, nyamikan, rujak,
dan jangan/sayur dengan puluhan jenis turunannya termuat dalam Centhini.
“Ini cerita pencarian
seorang remaja abad 17 bernama Cebolang mengembara/mencari makna hidup dalam agama
dengan melewati seluruh lumpur kehidupan. Mengagetkan iya, tapi ini cerita luar
biasa jujurnya. Karena itu orang menganggapnya vulgar,” kata Elizabeth D. Inandiak.
Tapi Centhini hanya salah satu
dari sekian kitab Nusantara yang membicarakan secara terbuka “peristiwa-intim-dalam-kelambu”. Dengan caranya yang intimatif—atau jujur sebagaimana kata Elizabeth—kitab-kitab di Nusantara mengajak kita memasuki
kelambu atau menyeret peristiwa dalam kelambu itu untuk disaksikan di luar dan bebas
ditonton/dibaca.
Salfia Rahmawati menemukan banyak serat leluhur di Jawa yang menggambarkan
tata cara senggama selain Serat Centhini, antara lain Serat
Nitimani, Serat Wirid Ngelmi Asmara, dan Serat Narasawan.
Dengan deretan serat itu, tampak bahwa seks sebagai sesuatu yang adiluhung,
menjadi simbol religi. Dalam pandangan orang Jawa, praktik senggama berguna
mendapatkan keturunan yang berbudi, sementara hewan praktik seksual hanya
menyalurkan hasrat semata. Untuk membedakan seks manusia dan hewan itulah, Serat
Narasawan yang terdiri dari 15 bab dengan tebal 728 halaman, memperlihatkan
lewat gambar dan narasi bagaimana penyimpangan-penyimpangan seksual, sekaligus
gaya bercinta dengan meniru cara kerbau, kijang, sapi, kambing, kuda, dan
monyet misalnya, sebagaimana dilakukan triumvirat plus satu: Jaka Koplo, Jaka
Sutarja, Jaka Badri, dan Jaka Sudama. Atau Serat Bhima yang
memperlihatkan bagaimana sosok Bhima bercumbu dengan makhluk halus dengan
konsep Mahasuka.
Dan, Jawa tak sendiri. Di Riau ada cerita Cempaka Putih yang
oleh Raja Suzana Fitri disebut sebagai Kamasutra ala Melayu. Di bumi Batak
dikenal cerita Siboru Deak Parujar yang oleh riset Robert Sibarani
tersimpul bahwa cerita ini mendampingkan erotisisme dan religiusitas.
Khusus di Pulau Sulawesi ada serat epik yang disebut-sebut sebagai
yang terpanjang di dunia. Surek La Galigo,
sebagaimana Centhini di Jawa, ditulis bergaya ensiklopedis dan pengelanaan. Jika Centhini
"menghabisi" Belanda dengan tak mau menyebutnya sama sekali, La
Galigo masih memberikan ruang penjelasan atas asal-usul Belanda,
sebagaimana riset temuan Sirtjo Koolhof dari Universitas Leiden. Jika Centhini punya tokoh Cebolang dan
Tambangraras, maka La Galigo punya tokoh Sawerigading dan We Tenriabeng.
Lewat perjalanan Sawerigading inilah , tulis Halilintar Latief, kita menemukan sejumlah
“teks-kelambu”, seperti insest, kawin endogami, dan eksogami.
Bahkan, serat epik La Galigo ini memberikan
penghormatan, bukan hanya pada dua gender, tapi lima gender sekaligus.
Pada kitab hidup orang-orang Bugis ini, sebagaimana disarikan Christian
Pelras dalam The Bugis, gender ketiga,
keempat, dan kelima, alih-alih disingkir-nistakan, namun justru diberikan tempat
dalam ritus suci. Gender ketiga adalah calabai (perempuan palsu, bencong,
gender keempat, calalai, pria palsu, dan gender kelima di antara calalai dan
calabai, yakni bissu. Bissu dalam keyakinan purba orang Bugis merupakan pemimpin ritus, dan itu tidak diambil dari gender pertama (perempuan, makkunrai) dan gender kedua (laki-laki, burane), tapi justru dari gender ambivalen
ini. Bissu dari jenis calabai tingkat pertama, yakni calabai tungkea
lino, dipercayai bisa menghubungkan Dunia
Atas dan Dunia Bawah; sebagaimana pembagian makrokosmos ala abad pertengahan.
Bugis tentu saja tak hanya memiliki La Galigo, tapi juga Serat/Kitab
Assikalaibineng. Sebut saja Kamasutra ala Bugis. Oleh Muhlis Hadrawi, kitab
yang terdiri dari 50-an naskah ini semacam narasi didaktif seksualitas hubungan
suami-istri abad 18, mulai dari tatacara cumbu (maccule-cule), posisi dan hubungan seks (barattemmu), dan sentuhan akhir (tarette), serta dilengkapi dengan gambar "pintu-wanita". Dan
seperti Centhini, Assikalaibineng memilih
narasi yang terbuka, terbuka sekali, bahkan blak-blakan menyebut nama seluruh organ
tubuh; sebagaimana dengan sangat terbuka tergambar, misalnya dalam relief di
Candi Sukuh dan Cetho di Karanganyar, candi di Jatimulyo Tulungagung, dan Pura
Pusering Jagad di Gianyar. (Dwi Cahyono, 2016)
Tapi bukan hanya soal penggambaran adu perkakas seks, baik dalam penulisan
maupun figuratif relief candi. Dalam pelajaran didaktis seks ala kitab Nusantara
ada konsep pernyatuan lingga-yoni; tak hanya hubungan tubuh-tubuh, tapi hati
dan hati, nyawa dan nyawa, serta rahasia dan rahasia.
Sampai di sini, tahulah kita dunia seksual adalah jalan panjang dalam
khazanah Nusantara, baik lewat serat maupun candi. Ia adalah warisan. Bahkan, Centhini
dan Assikalaibikaneng layak dijadikan kurikulum khusus pendidikan seks.
Dari Plataran Borobudur, Magelang, Borobudur Writers berhasil mengumpulkan 15
referat, mulai dari studi filologi, telaah ikonogragi candi, sastra, hingga
pertunjukan dan seni rupa untuk membaca dan menghayati dunia asmara, erotika,
dan spiritualitas di Nusantara. [Muhidin M. Dahlan]
Penyadur Serat Centhini berkebangsaan Perancis, Elizabeth D. Inandiak, di depan lukisan Eddy Su-santo, The Book of Hours of Centhini. |
* Pertama kali dipublikasikan di Harian Jawa Pos Minggu, 9 Oktober 2016
1 comment:
Caesars Palace Casino & Hotel review: A $1,250 VIP
This casino in Las Vegas 남원 출장마사지 has some fantastic table games. There 원주 출장마사지 are slots, table games, and an interactive gaming 부산광역 출장안마 center. The gaming center 대전광역 출장샵 is Rating: 강원도 출장안마 3.7 · Review by Bill Grinstead
Post a Comment