26 June 2007

Pertemuan dengan Tuan Rushdie di (blog) Neraka

::m sulhanuddin, suara merdeka

Siapa perempuan pertama yang diciptakan tuhan sebagai pasangan Adam? Hawa? Bukan! Maia nama perempuan itu. Ia adalah perempuan pertama sebelum Hawa di Taman Eden. Ia perempuan yang cantik, molek, padat dan menggairahkan. Adam yang kalap termakan birahi akhirnya memerkosa Maia. Maia berontak, ia tak ingin takluk di bawah kekuasaan Adam. Ia ingin gaya bersetubuh perempuan di atas.

Gila, liar, begitulah sosok Muhidin M Dahlan, penulis novel “Adam dan Hawa” (2005). Dalam novel ini penulis mengisahkan awal penciptaan manusia dalam versi lain, yang tak pernah diceritakan di kitab suci manapun. Awal kejadian manusia itu dibangun dengan imajinasi yang nakal, mengusik dan tentu saja akan membuat berang sebagian orang. Bagaimana tidak, masak Adam diciptakan dari ketiak tuhan sebelah kanan!

Benar saja, tak lama setelah novel itu diterbitkan, penulis dihadiahi somasi oleh Majlis Mujahidin Indonesia (MMI). Muhidin dituduh telah meneror tuhan, menghina nabi muhammad, dan oleh karenanya dia harus minta maaf. Segenap sumpah serapah juga telah jauh hari dialamatkan kepadanya, ketika novelnya “Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur” (TIAMP) diterbitkan pada tahun 2003. Novel ini merupakan seri pertama dari trilogi “Adam dan Hawa” dan “Kabar Buruk dari Langit”.

TIAMP berkisah seorang muslim taat, berjilbab, yang hendak menjadi pelacur oleh karena kekecewaannya kepada tuhan. Terlebih setelah kehormatannya direnggut justru oleh ketua sebuah organisasi islam yang diharapkan akan memberinya pencerahan. Sedang “Kabar Buruk dari Langit” membongkar sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia yang penuh intrik dan melibatkan pertumpahan darah antara golongan pemeluk islam syariat dan hakikat (penganut faham Wahdatul Wujud, manunggaling kawulo gusti).

Dalam sebuah diskusi bedah buku TIAMP di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), salah seorang pembicara dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menuduh Muhidin sebagai seorang marxis dengan kebencian kepada tuhan yang luar biasa. Muhidin disebutnya sebagai “Nabi Kegelapan” bahkan disumpahi masuk neraka dan murtad.

Siapakah Muhidin M Dahlan, benarkah tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya itu?

Muhidin adalah seorang pendatang asal Sulawesi yang kini tinggal di kota pelajar Yogyakarta. Ia sempat kuliah di Jurusan Sejarah Peradaban Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga dan Teknik Pembangunan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Namun keduanya tak diselesaikan. Ia hanya mencicipi kuliah sampai semester tiga di UIN Sunan Kalijaga. Oleh rekan di kampusnya ia biasa disapa Gus Muh. Alumni Sekolah Teknik Mesin (STM) ini sebelumnya sangat awam dengan dunia sastra. Ia juga seorang muslim taat.

“Saya itu aktivis islam baik-baik. Dulu saya ingin sekali mendirikan negara islam. Tapi terbentur oleh wacana pluralisme Cak Nur dan 'komplotannya'. Jadilah saya urung niat. Saya pernah di PII, PMII, dan HMI MPO. Saya dapatkan di sana adalah perbenturan wacana keislaman yang plural: dari fundamentalisme ke sekularisme religius; dari kanan ke kiri. Dari wacana khilafah sampai sosialisme religius...” akunya.

Indrian Koto, penyair muda yang kini menjadi rekan karib Muhidin, menceritakan ihwal perkenalannya di blog dengan penulis yang memberikan kata pengantar dalam beberapa karya Pramoedya Ananta Toer itu. Waktu itu Koto masih duduk di semester awal di UIN. Sama seperti Muhidin, ia juga seorang pendatang di Jogja. Ia awam dengan kota ini. Kali pertama ia mengenal Muhidin dari sebuah foto close-up hitam-putih yang dipajang mendampingi esainya yang dimuat di sebuah majalah kampus.

“Masa orang kayak begini diributkan? Tampangnya biasa aja tuh,” pikirnya.

Selanjutnya, Koto diperkenalkan sosok Muhidin melalui sebuah cerpen Phutut EA yang salah satu tokohnya diduga Muhidin. Dalam cerpen itu diceritakan Muhidin diminta kawannya untuk meminum bir. Dia meminumnya sambil memejamkan mata. Tak urung, aksinya itu menuai ledekan dari teman-temannya.

“Kau bayangkan, dia terpaksa minum bir. Hanya bir, dan dia harus menelan bagai obat. Ah, bukankah orang ini menulis banyak soal selangkang, kenapa dengan minuman saja takut,” tulis Koto.

Begitulah Muhidin. Sosok yang terkesan liar itu, dalam kesehariannya ternyata tak se-"seram" dan se-"liar" seperti yang ditangkap oleh para pembaca dari beberapa karyanya yang kontroversial itu. Malah penolakan-penolakan atas karyanya di lain pihak justru melambungkan namanya. Novelnya TIAMP, per Maret 2007 telah dicetak ulang hingga 12 kali.

Tapi tak mudah Muhidin mencapai kesuksesannya ini. Ia harus melewati masa-masa sulit ketika novelnya itu menuai banyak kritik dari berbagai pihak. Ia harus bolak-balik Jogja-Jakarta. Ia menyiapkan tanggapan sejumlah kritik yang menyudutkannya. Bahkan, anda bisa membayangkan, betapa tegang dirinya, ketika dalam forum diskusi sebagian massa emosional, dan berteriak ingin membunuhnya!

“Menceritakan sisi lain dari dunia islam ini kan nggak mesti yang baik-baik saja, mentang-mentang dunia agama. Nah saya membidik dunia itu. Yang ngamuk-ngamuk itu, karena mereka tutup mata bahwa ada sisi lain dari jalan dakwah ini, ada negative film dari dunia yang seolah-olah 100 % suci dan benar ini,” terangnya.

Ide menulis Gus Muh datang dari mana saja. Novelnya TIAMP, seperti yang diakuinya, merupakan kisah nyata. Ini merupakan hasil wawancaranya dengan seorang teman yang aktif di organisasi pergerakan kampus, yang suatu kali ingin menjadi pelacur. Oleh karenanya novel ini dapat dirampungkannya dalam waktu yang relatif singkat. Satu minggu mentranskip hasil wawancara, seminggunya lagi menulis.

“Adam dan Hawa” lain lagi. Dia duduk setiap malam selama sepekan di depan Benteng Vredeburg Jogja sampai subuh, lalu menulis ulang kisah Adam yang tak terceritakan dalam Kitab Suci. Dengan hati berbunga-bunga dia menuliskannya, bahkan tertawa terbahak-bahak sendiri seperti orang gila di Malioboro. Untuk menangkap bentuk Pohon Quldi, dia melihat secara seksama pohon beringin di depan kraton itu.

Yang melelahkan adalah “Kabar Buruk dari Langit”. Penggarapan novel ini memakan waktu yang cukup lama jika dibanding dua novel sebelumnya. Tak hanya itu, ia harus mendaki Merapi. Untuk apa? Menulis!

“Nyaris tiap hari selama 10 bulanan menulis novel gemuk Kabar Buruk dari Langit. Tiap hari naik. Sendirian pakai tenda. Sesekali nginep. Tapi lebih banyak tidaknya. Kalau sudah nyaris tenggelam matari, baru turun. Ini penting karena butuh konsentrasi penuh. Novel ini tentang kesunyian,” kenangnya.

Kisah kontroversial Muhidin rupanya mengikuti jejak pendahulunya, Salman Rushdie. Penulis novel “Satanic Verses” (1988) ini sempat menghebohkan dunia islam. Dikisahkan, Jibril Farishta, salah seorang tokoh dalam novel itu, dalam sebuah mimpinya melihat tiga peristiwa penting berkait dengan Kenabian Muhammad dan Sejarah Arabiah, Keratuan Aisyah, dan Revolusi Khomeini. Dia menemukan malaikat Jibril dan Muhammad bergumul dalam ketelanjangan, berguling-guling di atas pasir putih dengan penuh nafsu. Karena keluguannya, Muhammad tidak tahu bahwa yang barusan bersamanya adalah setan yang menyamar. Dan telah membisikinya wahyu yang kemudian disebut Ayat-ayat Setan. Dan ayat-ayat ini yang didakwahkan Muhammad kepada umatnya.

“Keberanian (dan juga rasa nekad!) saya mengumpul dalam menuliskan sebagian manuskrip Kabar Buruk dari Langit dan Adam Hawa kala itu, tatkala bersamaan dengan usainya saya ‘ngaji’ kitab Tn Rushdie yang konon ‘berbahaya’ itu, The Satanic Verses,” tulisnya dalam blognya, akubuku.blogspot.com.

akubuku.blogspot.com disebutnya sebagai blog neraka. Berisi sehimpun ulasan atau komentar atas apa yang pernah ditulisnya dalam beberapa buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Blog ini bukan hadir sebagai pembelaan atas karya-karyanya, tapi juga, di lain pihak dimuat ulasan-ulasan yang justru menyudutkannya. Baginya kritik harus dibalas dengan kritik, buku harus dijawab dengan buku. Tidak asal main tuduh apalagi dengan cara kekerasan.

“Ini bukan surga. Di sini, perkelahian selalu berlaku. Maka bertahanlah secara kreatif. Jangan merunduk. Kalaupun merunduk, janganlah terlalu terbenam. Kalaupun terbenam, janganlah terlalu lama...” pesannya kepada pembaca.

* Termuat di Harian Suara Merdeka, Semarang, edisi 10 April 2007 dan sekaligus di blog www.hanyaudin.blogspot.com

1 comment:

Vie said...

Banyak orang menyalah gunakan pemakaian kalimat "sekularisme religius" dengan menyatukan "sekularisme" dengan "religius". Sebenarnya tidak ada sekularisme yang religius! Karena "sekularisme" itu sendiri adalah sesuatu yang terpisah dari "religius". Karena kegiatan sehari-hari seperti masak, mandi dan jalan-jalan sampai belanja (tidak termasuk sembahyang) adalah termasuk kegiatan sekular, tidak ada hubungannya dengan agama. Baru yang namanya sembahyang, sedekah ataupun kegiatan yang berkaitan dalam agama seperti mengaji, itu baru disebut kegiatan keagamaan, bukan kegiatan sekularisme.

Ingin sekali memiliki buku-buku anda. Berharap suatu hari jika ada kesempatan, anda bisa me-reserve ketiga buku tersebut buatku.

Terima kasih!