::peranita sagala
Apa yang kuuraikan tentang buku ini, takkan cukup mewakili curahan isi kepalaku setelah membacanya.
Lekra tidak membakar buku.
Entah karena daya ingatku yang memang pas-pasan, entah karena minatku pada sejarah kala SMA dulu lebih terpesona pada kisah-kisah kerajaan yang terekam bagai dongeng cinderela ala Indonesia di memoriku. Aku nyaris tak punya ingatan sedikitpun dengan adanya LEKRA di negara ini, apa lagi geliatnya dalam : Rakyat, Revolusi dan Indonesia.
Buku ini seolah membawa potongan sejarah yang pernah di paksa hapus dari pelajaran sejarah bangsa Indonesia. Merekam sejarah pada masa demokrasi terpimpin, yang identik oleh "gempa politik" pemberontakan G 30 s PKI.
Ada semangat yang sangat kental di masa ini, yang mungkin sudah amat langka di negeri ini. Semangat memperjuangkan rakyat, semangat untuk membangun karakter rakyat Indonesia.
Kalau pro kontra RUU Pornografi yang kemudian di telah di sahkan di semangati oleh upaya penyelamatan generasi penerus, Lekra ternyata telah jauh mendahului kerja-kerja DPR meski tak berfikir bahwa persoalan pornografi perlu di jawab dengan Undang-undang.
Lekra menggali budaya Indonesia. Langkah pertama pendiriannya pada kongres I Lekra jusru mengumpulkan karya cipta budaya di seluruh Indonesia. Seni Tari, dongeng, seni lukis. Di perkenalkan sebagai warisan negeri yang mesti di jaga.
Seni mestilah berpihak pada rakyat, karena seni lahir dari kehidupan.
Seni jenis ini lah yang kian hilang dari peredaran masa kini, di ganti kisah cinta-cintaan bertema kekerasan, perebutan harta dan iri hati.
Lekra memposisikan Sastra dan sebagai alat yang penting dalam revolusi yang membentuk karakter bangsa. oleh karenanya setiap karya yang tidak memberikan kontribusi pada tujuan tersebut layak di hujat.
1 comment:
emang tuh bos2 negara kita selalu ketinggalan ma budaya asli. mereka hanya berkiblat ama budaya luar seh.
Post a Comment