12 May 2007

Tugas Penulis adalah Menulis

::gus muh

“Din, kalau kamu memaksakan diri menulis dengan cara tabrak sana/tabrak sini dan style lugu terkdng wagu, itu sama saja kamu mengabarkan kebodohanmu sendiri.”

Kutipan itu saya ambil dari seorang kawan akrab yang mengomentari--tanpa saya memintanya (terima kasih ya!)--dua buku saya yang terbit hampir bersamaan: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! dan Aku, Buku, dan sepotong Sajak Cinta (terbit kembali dengan judul: Jalan Sunyi Seorang Penulis).

Awalnya, muka saya merah padam juga membaca isi SMS-nya itu. Bukanlah apa, yang mengirimkan komentar itu adalah juga yang mendudukkan diri sebagai penulis, namun dalam kenyataannya saya belum melihat sebiji pun bukunya. (Padahal, konon, ia dibiayai [ala kadarnya] oleh sebuah lembaga donor untuk menulis buku. Paling-paling satu dua buah puisi dan satu dua esai atau cerpen yang diterbitkan secara sporadik di beberapa tempat. Itu pun dalam rentang masa yang lama).

Saya punya dua asumsi waktu itu. Kesatu, itu adalah nasihat dari seorang kawan yang menginginkan saya menulis lebih baik. Betapa tidak, dua buku itu adalah buku debutan saya belajar menulis buku fiksi. Kedua, boleh jadi kawan itu merasa tersinggung sekali karena dalam salah satu buku itu saya sedikit-sedikit menyerempet namanya dalam salah satu adegan.

Tapi saya menampik dan melupakan asumsi yang kedua. Saya lebih meyakini yang pertama, bahwa kawan itu menasihati saya untuk menulis yang lebih baik. Mengikuti ujaran sastrawan Latin Gabriel Garcia Marquez, tugas seorang penulis adalah menulis yang baik. Dan saya coba menggapai itu: “menulis yang baik”. Tentu sudah bisa ditebak bahwa saya memulainya dengan buruk rupa. Dan saya sadar dengan itu.

Seperti terwakili dalam kritik Anwar Holid, seorang kawan-baik hati asal Bandung ketika mengomentari buku saya Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta: “Gaya bahasa dan diksi yang digunakannya pun biasa saja, sukar dikategorikan dalam sastra yang baik, tanpa metafora menarik, tak ada percakapan yang betul-betul menggugah, bahkan soliloquinya pun kerap terarah pada kekhawatiran dan kekecewaan. Padahal buku yang baik adalah buku yang mencoba menambah wawasan, mencoba menjawab pertanyaan, membutuhkan kedalaman dan kedewasaan berpikir….”

Lalu bagaimana menanggapi komentar-komentar seperti itu?

Komentar dan kritik itu pada dasarnya positif dan dibutuhkan seorang penulis untuk membangun jaringan pengetahuan yang lebih baik dan sempurna. Saya percaya itu. Namun juga tak sedikit yang disebabkan oleh komentar (kritis dan keras)--utamanya penulis (pemula)--limbung dan kehilangan gairah untuk menulis.

Saya sendiri?

Saya sudah dengan sadar telah memilih jalan menulis. Maka tugas saya adalah menulis. Buruk atau tidak, itu urusan belakangan. Saya sangat terbantu dengan segores kalimat Carmel Bird tatkala menulis bahwa, “Dalam hal apa pun, penulis adalah orang yang menulis. Jika Anda tidak menulis, Anda bukan penulis. Anda bukan penulis kalau belum menuangkan kata-kata ke atas kertas. Hitam di atas putih. Menulis adalah kerja. Meskipun Anda menulis fiksi.”

Ya, tugas seorang penulis adalah menulis (dengan baik). Bukan penulis dia kalau tidak ada tulisannya. Sebagaimana tugas penyair adalah menulis puisi. Bagaimana disebut penyair kalau nulis puisi saja jarang. Syukur-syukur publik bisa menemukan sebiji karyanya dalam dua tahun perjalanan waktu.

Dan urusan kualitas tulisan apakah baik atau tidak, sekali lagi, adalah urusan lain. Urusan nanti. Itu urusan kritikus, pengamat, atau secara umum itu adalah urusan pembaca. Sebab tugas penulis adalah menulis. “[…] Itu terserah pembaca yang menafsirkannya. Tugas saya hanya menulis,” tegas Pramoedya Ananta Toer puluhan tahun silam.

Ya, untuk bisa menulis, ya mesti menulis, menulis, dan menulis. Tidak bisa tidak. Tapi tidak sedikit yang tak pernah bisa menyelesaikan tulisan secara utuh. Dalam hal ini menulis buku. Banyak yang berhenti di tengah jalan. Tak sedikit yang berhenti dalam angan-angan. Atau kalau tidak, setelah gagal mencoba menjadi penulis, mereka mengubah profesi menjadi pengajar bagaimana cara menulis yang baik.

Saya jadi teringat wejangan novelis William Forester kepada murid sekaligus sahabatnya yang masih duduk di kursi SMU, Jamal Wallace dalam film Finding Forester. “Faktor pertama dalam menulis adalah menulis. Banyak sekali orang tahu aturan menulis, tapi tak tahu caranya menulis. Profesormu itu (Robert Cramford, profesor penulisan di kelas Jamal), karena gagal bersaing denganku menjadi penulis dan bukunya ditolak oleh penerbit, akhirnya banting stir mengajar bagaimana cara menulis. Jadi, problem menulis adalah menulis itu sendiri.”

Menjadi penulis berarti dituntut untuk berkarya. Menulis.

Saya, misalnya, sangat tahu diri bahwa karya saya sangat rendah mutunya, tapi toh saya tak mau berhenti dalam kutukan atas diri sendiri itu. Sebab saya sungguh sadar bahwa menulis, sampai pada titik “menulis yang baik”, membutuhkan proses. Dan itu tak mudah. Berliku dan berdarah-darah. Terkadang banyak yang tak mau tahu dengan proses panjang yang mendaki dan berliku ini. Mereka mencaci dan memaki. Tapi bagi penulis, sikap terbaik membalas cacian adalah berkarya. Ketika banyak orang mencemooeh saya karena buku pelacur terkutuk itu, saya sodorkan buku yang lebih tebal, berat, dan gelap.

Para pemaki itu juga belum puas. Masih mengatai macam-macam, saya sodorkan lagi buku yang tak tebal, tak gelap, tak serius. Main-main malah. Eh, mereka tak henti juga mencaci dan mengatai macem-macem. Sudah, sya istirahat saja dulu sambil memnyaipkan seluruh energi untuk pertarungan lebih besar.

Seorang penulis adalah pendendam? Ya! Harus! Harus! Saya adalah petarung dan menyiapkan diri memasuki pertarungan. Saya atau pembacakah yang ambruk. Pasti mereka memaki lagi. Tapi biarlah, saya akan siapkan diri untuk masuk gelanggang perkelahian jika menulis buku itu adalah usaha berkelahi. Dan saya memahami menulis buku sebagai sarana berkelahi dan berdarah-darah. Berkelahi dengan apa saja: berkelahi dengan pembaca yang asesif, sinis, maupun pasar liberal dengan tangan besinya.

Jika saya tak merumuskan demikian, maka tersungkurlah saya ditekuk-tekuk pembaca yang memang tak kurang kejamnya. Tersungkurlah saya dengan pasar buku yang misterius, tak gampang ditebak, dan sangat kejam. Tak apalah. Ayo, ayo, ayo!!!!

Banyak betul, penulis-penulis pemula digertak pembaca dan pasar mengkeret tiada ampun. Tak sedikit yang terjatuh di tengah kubangan jalan yang menikung. Lalu berlari malu-malu keluar dan menyingkir jauh-jauh dari jalan kepenulisan.

Mengapa itu bisa terjadi? Entahlah! Selain karena mentalnya bukan mental petarung, mungkin saja sang (calon) penulis belum apa-apa sudah memosisikan mutu karyanya seperti mutu karya penulis-penulis berkelas ketika buku debutan pertamanya akan terbit. Kalau asumsi yang diternakkan di pikiran begini ini, wajarlah bila karyanya tak kunjung-kunjung lahir. Bahkan karya sederhana sekalipun. Apa sebab? Mereka menggayuti dirinya sendiri yang masih dalam proses memulai dengan patokan standar yang begitu melambung tinggi. Ini yang disebut tidak mengukur kemampuan diri. Karena itu jangan terlalu berharap banyak ada karya yang lahir dari pikiran seperti ini. Sudah mampus sejak dalam pikiran.

Menerbitkan karya adalah sebetulnya menguji kemampuan kita dalam mengolah kata membentuk kalimat menyambung paragraf menemukan makna. Sebuah proses pengasahan ketajaman dan kelincahan mengutak-atik bahasa sehingga melahirkan makna bagi pembaca. Sekecil apa pun makna itu. Saya kira setiap kehebatan selalu dimulai dari hal-hal yang kecil dan kesungguhan untuk selalu mencoba. Tanpa henti-hentinya.

Bila kemampuan menulis setiap hari diasah, maka bukan tidak mungkin pada suatu hari kelak namanya bisa “diperhitungkan” atau bahkan menjadi legenda dalam jagad tulis-menulis. Tentu itu bukan hanya impi-impi. Tapi harus dilakukan dalam alam yang senyatanya. Harus dengan kerja keras dan leleran peluh.

Kerja keras. Itu dia kuncinya. Kata seorang kawan penulis dari Malang--Nurudin namanya--dalam menulis hanya 10 persen bersangkut dengan soal bakat, sisanya (90 persen) adalah kerja keras dan ketekunan. Saya menduga dia mengutip dari pernyataan Alva Edison.

“Bakat saja tidak cukup. Harus kerja keras,” Yohanes Surya, ketua FOSI, suatu kali pernah menegaskan dalam konteks ketika ditanya bagaimana mempersiapkan manusia Indonesia meraih Hadiah Nobel Fisika pada 2020 nanti.

Yohanes mencontohkan kasus Masatoshi Koshiba, peraih Nobel Fisika 2002. Sebetulnya Koshiba ini tak terlalu pintar. Ia tidak diterima di universitas karena nilainya jelek. Profesor yang menguji memberi rekomendasi agar Koshiba dibawa ke profesor lain. Bunyinya: “Saya tak kasih rekomendasi, tapi kalau Anda mau terima, silahkan!” Ternyata dia dapat nobel. Karena kerja keras. Mati-matian mengerjakan sesuatu. (Silakan baca buku Yohanes berjudul MESTAKUNG. Buku tipis itu membuat saya berkeringat membacanya selama dua jam nonstop)

Tentu yang takkan terlupa adalah nama Thomas Alva Edison. Dialah yang memecahkan rekor penemuan dunia: 1000 penemuan dan semuanya sudah dipatenkan. Sungguh mencengangkan dan tak masuk akal.

Di antara temuannya yang mudah diingat adalah bola lampu listrik, mesin telegram, mesin kopi dan tempat penyimpanan yang digerakkan baterai, serta piringan hitam. Tapi orang banyak tidak tahu bila otak Edison sungguh pas-pasan. Coba simak pengakuannya: “Saya ingat, saya tidak pernah memahami pelajaran yang diberikan guru saya, dan sampai saat ini pun saya tetap tidak memahaminya, dan akibat dari itu nilai di sekolah saya selalu jeblok alias rendah. Dahulu saya mengira bahwa guru-guru saya tidak menaruh simpati pada saya dan ayah saya menganggap saya sebagai orang yang bodoh. Bahkan seorang guru terang-terang mengatai saya murid yang berotak udang dan tidak ada gunanya bersekolah.”

Lalu apa yang dipunyai Edison sehingga ia oleh Michel H Hart dimasukkan dalam deretan the 100 of the most influential persons in history?

Kerja keras! Tak lain dan tak bukan dengan itu.

Kita juga barangkali mengingat nama Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya sastrawan Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam Kandidat Pemenang Nobel Sastra. Semua orang yang melek sastra pasti tahu bahwa Pramlah sastrawan terkemuka dan terproduktif dalam berkarya. “Pram adalah pengarang prosa nomor wahid, tanpa saingan, dalam abad ini,” puji A Teeuw, kritisi sastra asal Belanda.

Dan sumbangannya kepada dunia sastra Indonesia tak usah disangsikan. Tapi siapa yang mengira bahwa otaknya juga pas-pasan. Dua kali tinggal di kelas empat SD. Dan di kelas tujuh, kelas terakhir Boedi Oetomo di Blora, ia tinggal lagi di kelas. Oleh ayahnya yang juga kepala sekolah ia dikatai begini: “Anak goblok! Kalau kau sedikit saja cerdik… kembali, ulangi di kelas tujuh.” Saat itu Pramoedya menjadi “pendendam”. Untuk melawan kutukan “anak goblok” itu ia bekerja mati-matian. Terutama dalam dunia tulis-menulis. Pram tak punya bakat menonjol dalam kejeniusan. Tapi kalau kerja keras dan ketekunan, tak usah sangsi. Sekali lagi, kerja keras!

Mestinya penulis juga demikian. Tidak hanya pemula, tapi siapa pun yang bergerak di dunia ini. Tak kenal lelah dalam bekerja. Dan pekerjaan penulis adalah menulis (sudah termasuk di dalamnya membaca dan meriset). Ingat, tugas seorang penulis adalah terus menulis. Rutin dan terus-menerus begitu! Bukan penulis kalau tidak menulis. Yang berkoar-koar, memuji karya di sana menyesali karya di sini tapi tak pernah sanggup berkarya, bukanlah penulis. Mereka pengkhotbah. Mereka pewejang. Pelisan.

Yang sibuk mendakwa karya penulis lain dan sibuk menangkis celaan yang sekiranya datang tiba-tiba, juga bukan penulis. Mereka sama-sama penghujat dalam dua posisi yang berlawanan dan dengan mudah bisa bertukar tempat.
Barangkali, kalau boleh dibilang, satu-satunya musuh yang harus dituntaskan dalam tugas kepenulisan penulis adalah keterbelahan diri dan ketakutuhan pemahamannya atas dirinya sendiri. Dan tugas yang lain barangkali adalah mengatasi depresi akibat represi ketakutan apabila tak mampu memahami realitas diri dan kontur sosial di mana sang penulis menjalankan hidup.

16 comments:

Han said...

gus, aku terbakar suluhan apimu, benar !!! terimakasihku...

muhammad kasman said...

aku serasa meledak

banyakna mamo yang mau kutulis
tapi kata2 seperti menguap

maluka' pada tulisanta'

coba bede' kita' menulis dengan setting palu... :)

zube said...

mas...menulis butuh norma gak?
butuh tata krama gak?
butuh sopan santun gak?

intinya untuk menulis ada kode etiknya gak?

menjadi penulis adalah sebuah pilihan bukan, atao...bisa jadi hanya sebuah hobbies...sebuah kesenangan. Dan adanya blog ini, mungkin sebuah media yang cukup wahiid buat orang-orang seperti aku, yang suka nulis tapi gak pernah terkondisikan untuk dikonsumsi umum-- artinya, tulisan di blog gak butuh pengakuan dari pembaca...

tapi ternyata itu gak cukup-- aku pingin nulis, dari dulu itu...cuma susah merangkai paragraf demi paragraf sek penak dimengerti oarang.

Unknown said...

Mungkin bagi kalian, menulis butuh norma. tapi bagi saya tidak. kalau kalian memaksa saya menulis dengan norma, lebih baik saya gantung diri saja.

masalah menulis bukan norma kalau itu diartikan sebagai etika, tata krama, sopan santun. norma yang saya patuhi secara umum adalah bahwa dalam menulis adalah bagaimana tulisan itu terbaca sejak huruf pertama sampai akhir. dan orang tak bosan atau cepat-cepat minggat ketika sedang membaca tulisan.

itu saja. lain tidak. dan norma tertinggi yang saya penuhi adalah bertanggung jawab saja. cukup itu saja.

kian banyak memacak aturan untuk diri sendiri adalah bunuh diri yang secepat-cepatnya. dan saya nggak mau mati cepat, mati muda yang terlalu diromantisir. hidup harus dijalankan terus.

dan menulislah dengan kepala tegak tanpa mesti takut....

udin said...

Gus, saya sepakat, untuk disebut sebagai penulis seseorang itu harus menulis. Orang yang hanya koar-koar di sana-sini tapi belum mencipta karya, adalah bukan penulis, saya tambahi, dia juga bukan kritikus.

dalam sebuah diskusi bedah buku sastra di Semarang belum lama ini, saya mengajukan beberapa kritik. mula-mula pembicara menanggapi bahwa kritik yang saya ajukan juga banyak disampaikan oleh para kritikus sastra. menurutnya, banyak kritikus cuma mengritik, namun tidak mengapresiasi. oke, saya tak terlalu keberatan. mungkin yang dimaksud, para kritikus itu sebenarnya cuma untuk menyerang, waton mbantai. kritik yang disampaikan tidak membangun. saya mencoba untuk memahami, meski bagi saya, kritik itu juga bagian dari apresiasi. dalam dunia sastra kan ada lingkaran penulis, karya, pembaca, dan kritikus.

ee...pembicara itu kemudian membalik, kritikus itu cuma bisa mengritik, mana karya mereka, emang mereka bisa buat novel serupa. terus mempermasalahkan alumnus fakultas sastra yang tak banyak menulis fiksi. ealah, pembiacara ini bego atau sebenarnya nggak terima dikritik. emangnya untuk menulis fiksi itu harus orang sastra, emangnya lulusan sastra itu harus menulis novel, cerpen, puisi. padahal kritik itu juga merupakan mata rantai dalam apresiasi sastra. ini juga membutuhkan seperengkat pengetahuan. kritik itu kalau ditulis juga akan menjadi sebuah buku.

nah, membaca tulisan penjenengan ini, jangan-jangan anda juga begitu, membalik kritik dengan tanggapan semacam itu, emang kamu bisa nulis novel?

bagi saya, seorang novelis, ceprpenis, ya menulis novel, cerpen. nggak usah memosisikan sebagai kritikus. kritikus, ya mengritik, mengritik sebenar-benarnya tidak lepas dari teks. kalau memang bagus, ya katakan bagus, ya kalau jelek, bilang saja jelek, nggak peduli itu penulis pemula atau sudah kawakan. jelek atau buruk kan nggak tergantung dari pemula atau senior. yang senior bisa saja karyanya buruk, bukan?

gus, biar dikata jelek, biar dikata kafir, toh buku sampeyan yang pelacur laknat itu laku keras. jadi santai saja. la menurut panjenengan, karya yang bagus itu bagaimana, yang bukunya banyak terjual, atau ada kriteria lain?

gus, akhir pekan ini kalau tak ada aral melintang, saya akan bertandang ke jogja. saya akan merampungkan menggarap liputan tentang fiksi islami, tak cuma flp, tapi juga pesantren, dan yang laknat seperti punya sampeyan itu.islami yang lurus, sampai islami yang mbalelo. di jogja saya akan melihat dari dekat aktivitas komunitas matapena asuhan elkis. saya juga akan bertemu dengan penulis-penulis fiksi islami, si muhyidin, yang bukunya yang terbit awal 2007, tapi kini sudah naik cetak 7 kali.

mohon dijawab semua-mua pertanyaan saya. awas kalo nggak!!!!

Unknown said...

MASALAH:
(1) bagi seorang penulis ataupun seorang pembaca, buku apa sih yang paling baik?
(2) apa pentingnya pengkritik buat penulis?

BAGIAN I
Inilah jawaban saya: buku yang baik adalah buku yang mampu mengungkap, menggelitik alam bawah sadarnya, dan mendorongnya untuk bertindak atau merenungkan hidup.

mungkin bagi sebagian orang, buku itu tampak ecek2, kampungan, katrok, tapi bagaimana kalau buku itu bisa mengubah hidupnya, merevolusi cara pandangnya.

Bagi kalian, buku2 pemenang nobel itu atau pemenang2 hadiah sastra itu luar biasa. kalian memujinya setinggi langit. tapi kalau buku itu tak memberi rasa sentuhan kepada saya, apalah guna semua pujian itu. semua akan lewat tak teringat tak berjejak.

kalau kalian berkata bahwa buku la tahzan itu luar biasa, bagaimana kalau saya lebih tersentuh dan merinding ketika membaca berulang2 buku HAJI ali syari'ati. lalu mana yang lebih baik: buku la tahzen atau buku haji.

maka bagi saya membaca adalah sebuah pengalaman personal.

tak bisa kalian membanding-bandingkan derajat buku jika sebuah buku punya pembacanya masing-masing. apa kalian kira seorang penulis tidak memikirkan buat siapa buku itu. bahkan penulis paling pemula pun di bawah sadarnya dia sudah terpacak bayangan untuk siapa. dan paling minim adalah pribadi-pribadi seperti dirinya.

dan apa sih salahnya buku yang terjual banyak?

saya adalah salah satu pendorong bagi adik2 saya untuk menulis terus, jangan takut nggak dibaca, tapi kalau bisa pikirkan siapa dan seperti apa pembacamu. kalau pembaca yang kamu pikirkan adalah sangat terbatas, ya itulah pencapaian karyamu. lakukan itu, kejar itu. kalau kalian menulis dengan menembus pembaca dengan cara terlebih dahulu menembus benteng selera para juri lomba, tempuhlah jalan itu. ambil hadiahnya, dan semoga dari sana pembaca yang banyak bisa kalian raih.

dengan kejelian membaca pasar buku atau pasar pembaca, tidak lantas bahwa prilaku sang penulis itu semata mencari keuntungan finansial. itu hanya timbal dari kecerdikan menentukan target pembaca dan tentu saja kecerdikan membaca ruang gagasan yang lowong.

kembali ke selera bacaan.

mungkin kalian akan bilang bahwa selera saya katrok, ndeso, dan menjijikkan. dan akan saya bilang, biarin. toh saya membaca buku yang kemudian saya sukai itu karena memiliki implikasi etis dan intelektual dalam diri saya.

karena itu jika kalian bertanya kepada orang, maka kalian akan terkaget2, betapa nyaris semua orang berbeda buku favoritnya.

jika kalian bilang: hei gus muh, buku apa yang kausukai sejatinya. maka jawaban saya ada tiga. (1) buku haji yang membuat saya tergetar dan mengarahkan pelan2 pandangan saya bagaimana gerak fisik setiap ibadah adalah langkah2 revolusi. dari buku haji, maka saya tergerak ke kiri, saya terdorong untuk menyelenggarakan pesantren sosialisme religius, dan tak gegabah menghinakan kaum komunis. (2) buku pram yang membuat saya terguncang dan mau mencintai dan sekaligus belajar membuat novel di mana sebelumnya karya sastra adalah buku haram dan tak senonoh untuk dipegang. mungkin kalian mengatakan buku budi dharma itu luar biasa. saya menghargai itu. tapi jangan kalian paksa saya turut mencintainya. sebab sudah dua buku pak budi saya tamatkan, saya tak terlalu banyak mendapatkan greget dan karena itu bisa mengubah jalan hidup saya. (3) buku ayat-ayat setan salman rushdie yang mungkin bagi kalian itu buku tak bagus, jelek di semua lini, tapi saya menyukainya. mungkin kalian bilang buku2 kayak begitu gampang dibuat... mungkin, tapi saya percaya satu hal, buku sesederhana apa pun itu membutuhkan cucuran keringat yang tak sedikit untuk membuatnya, membutuhkan berlapis kesabaran untuk tak tergoda meninggalkan embrio yang sedang tumbuh di kepala, membutuhkan ketegaran untuk bergabung barang sebentar dengan telaga sepi, dan tentu saja butuh disiplin yang mengekang diri untuk menyelesaikannya hingga akhir.

karena itu saya menghargai sepenuh2nya buku, suka atau tidak. saya menyukai penulis (buku atau blog) yang menulis dengan kesabaran yang intens, ketahanan berada di tepi sepi, dan kesungguhan menerapkan disiplin. kalau pun karya yang dihasilkannya bermutu rendah, itu tak jadi soal. kalian boleh mengutuknya, kalian boleh memakinya, kalian boleh mendinakannya, tapi jangan paksa saya melakukan hal serupa.

dan terakhir, sebuah buku akan mencari pembacanya yang sehati lewat prosedur pasar yang berkelok-kelok, penuh intrik, saling merintang dan membalok, tapi bergairah.


BAGIAN II
Saya menghargai kritik. saya sepakat sepenuhnya bahwa dalam masyarakat teks ada selapis orang yang berprofesi pengkritik. dan itu baik buat penulis dan baik pula buat pembaca.

pengkritik apa sih yang berguna bagi penulis. semua berguna, namun yang saya maksudkan adalah tingkat gradasinya.

kalau ada yang hanya mencela dan memaki dan bahkan ia melakukan itu dengan bahkan tak pernah membaca langsung buku itu, sorry, lupakan saja. mereka baru bangun tidur. mereka terlahir bukan sebagai pembaca yang utuh, mereka pembaca setengah. dan orang yang setengah2 ini yang paling menakutkan. dan sekaligus membuat perkara kebingungan dua penjaga gerbang akhirat: neraka dan surga. ini org mau dimasukkan ke mana ya... dia jahat tapi baik juga; dia baik tapi jahat juga...

pembaca yang utuh adalah pembaca yang memang membaca buku sampai selesai...(dan tak merepotkan para malaikat) maksudnya, tentu tak mesti membaca buku itu dari lembar pertama sampai yang terakhir, karena ada orang yang maqom membacanya sudah tinggi... hanya melihat beberapa halaman saja sudah memberikan komentar dan komentar itu tepat, cerdas, dan kritik yang menghunjam tajam.

pengkritik apa yang dibutuhkan penulis? tentu saja kritik yang sungguh2. kritik yang mengelupas setiap kulit makna dalam buku itu. dan saya sangat menghargai kritik yang demikian itu.

lantas bagaimana sikap penulis menanggapi kritik2 itu. tanggapan terbaik adalah kembali ke kamar, atur daftar bab, meriset bahan, dan kembali menulis... terlalu lama ikut serta dalam kerumunan debat, saya khawatir dia akan salin profesi mengerikan: turut menjadi pemaki, tukang sinis, dan lupa mencipta.

jika kalian coba2 mengkasifikasi seorang penulis dengan penulis berselera rendah rendah dan penulis berselera tinggi (karena itu berpengaruh dengan klasifikasi: buku rendah dan buku tinggi), kalian belum keluar dari perdebatan zaman dahulu kala. apakah itu salah? tidak tentu saja, walau belum tentu benar. saya punya klasifikasi sendiri atas jenis pembaca, atas jenis penulis, dan pada akhirnya atas sebuah buku. dan simpulan saya sederhana:
(1) PEMBACA YANG MALAS DAN PEMBACA YANG RAJIN. pembaca yang malas akan menghasilkan dua hal: ekstrim memaki atau royal memuji. pembaca yang rajin tampak akan bijak; bukan karena keengganan atas sosok penulis (karena teman karena senior karena dosen sendiri), tapi karena dia tahu mana bumbu yang kurang pas dan mana bumbu yang lebih serta mana bumbu yang lupa ditaruh.
(2) PENULIS YANG MALAS DAN PENULIS YANG RAJIN. penulis yang malas adalah penulis yang tidak mau meluangkan waktu untuk melakukan riset atas tulisannya dan ketekunan membaca. bahkan karangan paling imajinatif dan surealisme paling liar sekalipun butuh riset. penulis yang rajin adalah penulis yang sebaliknya dari penulis yang malas...

dan paling pungkas, hanya dua jenis blogger: blogger yang rajin mengupload dan blogger angin-anginan. hehehe, bercanda hei kuli pelabuhan

tabik!

Unknown said...

Tugas penulis adalah menulis. Koisideinsi yang saya temukan pagi ini. Setelah beberapa jam sok, gara-gara Mimbar Umum dan Angkatan Bersenjata. Gus, apakah seorang penulis itu seorang pemberani?

Bambang Aroengbinang said...

penulis berhak menulis apa yang dia mau, atau menulis apa yg ia tidak mau untuk sekadar memenuhi selera pasar. keduanya sah, dengan nilai yg dianut masing2.

pembaca pun berhak untuk membacanya secara utuh atau hanya sebagian, atau mengabaikannya; mengkritik, menghujat atau memujinya; itulah representasi kumpulan manusia di bumi ini yg suka gak suka mereka semua ada.

menulis seperti menambang; kadang hanya menghasilkan batu yang tidak berharga, kadang menghasilkan emas berkilauan. kalimat "sekali berarti sudah itu mati" dari CA menyiratkan betapa banyak batu yang dihasilkan sebelum emas bisa ditambang. salam.

@beradadisini said...

saya baru saja menemukan blog ini. sangat mencerahkan :) terima kasih banyak karena sudah berbagi.

salam!

*bagaimana pendapat Anda mengenai menulis sebagai sarana eskapisme atau pelarian?*

ira puspitaningsih said...

gus, kenapa shoutbox-mu selalu error kalo ku-download dari internet kampusku... sudah hampir 2 minggu ini aku frustasi, krn tak tahu harus berkabar lewat mana, hehehehe... (masalah internet kantor ya, huahahaha, itu kan gumaman koto yang sekarang lagi ngaku ganteng...)

Afrizal Hafidz said...

Aku ngerti tulisan Gus Muh(khidir) ini sebenarnya ditujukan untuk saya. Tulisannya yang satu lagi, 'Kalian Mau Jadi Penulis atau Pengeluh?', juga sejatinya untuk menghantam saya. Teruskan, Gus. Tapi menyingkir dari Patehan bukan berarti menyudahi ziarah kepenulisan. Setiap hari, percaya atau tidak, saya masih terus menulis. Salam.

Afrizal Hafidz said...

Satu lagi. Saya kira, seseorang yang berandai-andai membuat karya yang bagus itu sah-sah saja. Gak ada salahnya. Meski ia sadar benar dengan kapasitasnya yang tak seberapa. Apa yang dia lakukan, saya pikir, bukanlah ihwal yang sesat. Saya pribadi masih mau berdamai dengan penulis serupa ini. Saya membayangkan ia tak melulu berangan-angan, tapi juga berusaha untuk memperbaiki kualitas tulisannya setiap hari. Tak peduli tulisan-tulisannya itu hanya ia simpan, tak pernah dipublikasikan, atau malah dengan masygul dibuangnya ke laut. Jika engkau bersikukuh pada sikap mengumpati penulis macam ini, maka engkau juga tak jauh berbeda dengan mereka, Gus. Para kritikus itu...

Tabik, Gus Khidir

Unknown said...

Hafidzh

Saya sependapat denganmu bahwa setiap orang sebetulnya punya jalan sendiri untuk menulis dengan gaya apa. Jungkir balik juga terserah. Bahkan Kafka mengubur karyanya bersama jasadnya dan yang tersisa adalah puing yang tak sempat diselamatkannya ke alam kubur. Ada juga yang hanya menulis satu karya lalu berhenti setelah karyanya mendapatkan pengakuan internasional sebagaimana bisa disimak di film Finding Forrester. Atau Harper Lee yang nulis Mockingbird yang mungkin menjadi satu-satunya karyanya yang mengerek namanya tinggi-tinggi. Ini hanya pandangan pribadi yang berangkat dari pengalaman sendiri dengan satu keinginan berbagi pengalaman.

Anonymous said...

Setelah ratusan buku saya baca, kini saya ingin menjadi penulis, meski saya tidak tahu apa yang harus saya tulis, yang pasti saya INGIN menulis.

Anonymous said...

Ya, mungkin karena itu

DOMINO206.COM said...

http://detik206.blogspot.com/2017/05/wow-keren-mengintip-salah-satu-koleksi.html

http://beritadomino2o6.blogspot.com/2017/05/ini-3-hal-yang-anda-perlu-ketahui.html

http://marimenujudomino206.blogspot.com/2017/05/sedang-tren-wanita-panjang-kan-bulu.html

http://jutawandomino206.blogspot.com/2017/05/penampakan-ular-piton-setelah-usai.html


HALLO TEMAN-TEMAN DAFTARKAN SEGERA DIDOMINO206.COM JUDI ONLINE TEPERCAYA & AMAN 100% !

SANGAT MUDAH MERAIH KEMENANGAN TUNGGU APALAGI AYO BURUAN DAFTARKAN:)

UNTUK PIN BBM KAMI : 2BE3D683