25 September 2011

#8 Kediri (Bag 2): Teater Pembantaian di Alun-Alun Kediri

29 Agustus 2011 | Masjid Agung, Kediri | Km 280 | Pkl 17.55

Alun-Alun Kediri di seberang selatan Masjid Agung menjadi semacam Ikada kala apel akbar Banser/Ansor NU dan ormas-ormas lainnya yang sokong 100 persen tentara digelar. Kronik penyembelihan besar-besaran terhadap siapa pun yang terkait dengan aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI) dimulai dari sini. Banser adalah nama lain dari Ansor, sayap pemuda dari NU.

Matari sepenuhnya telah jatuh dari cakrawala saat saya memarkir tunggangan di halaman Masjid Agung, sekira 16 kilometer dari Kanigoro. Ekor dari azan baru saja berlalu dan puluhan orang berduyun-duyun menyeberangi jalan utama yang membelahi Alun-Alun Kota dan Masjid Agung.

Di tangga masjid, setelah berwudhu, saya menuang air mineral ke kerongkongan untuk mengibasi haus. Di tangga masjid itu juga pandangan saya bebas berhadapan dengan Alun-Alun Kota. Di Alun-Alun Kota itu, lampu-lampu berkelap-kelip di taman yang mirip “pasar malam” terakhir menjelang lebaran. Lampu-lampu itu menandai kemeriahan, kegembiraan dan sekaligus memungkasi konsumsi besar-besaran di pengujung Ramadan.


Mungkin menjadi aneh dan asing di saat malam kegembiraan dan kemenangan dirayakan di Alun-Alun itu saya justru dicumbu kenangan murung yang pernah melekat dan berlangsung ekstensif dari Alun-Alun Kota ini. Saya membaui kemarahan besar, duka besar, pembunuhan besar-besaran berlangsung semeriah malam takbiran Ramadan menyambut syawal ini. Bukan sekarang, bukan tahun kemarin, tapi masa berpuluh tahun yang silam di mana kenangan padanya lamat-lamat saja dalam memori. Peristiwa geger politik, malapetaka kemanusiaan, tepat setelah September lewat, dan Oktober masuk separuh jalan di tahun 1965.

Di Alun-Alun Kota itu Ansor dan semua ormas Islam yang sepaham yang disokong pesantren menggelar apel besar. Sebelumnya, ormas-ormas ini berkonsolidasi dengan Korem 081 untuk menentukan sikap atas PKI dan bromocorah-nya.

Saya membayangkan di tanggal 13 Oktober pagi itu, bergantian Bupati, Kodim, hingga tokoh-tokoh agama dari NU dan Masyumi, kiai dari Lirboyo menyampaikan tausiah yang memberi latar mengapa apel besar ini harus ada. Dan tentu saja jangan dilupa pemimpin operasi penjagalan dari pesantren Lirboyo, Maksum Jauhari, berpidato berapi-api untuk mengubur PKI dan semua organisasi pendukungnya seperti Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia, Serikat Buruh Seluruh Indonesia dari bumi Kediri. 

Selain soal bahwa Maksum Jauhari adalah pendekar dengan ilmu beladiri yang tinggi, penunjukannya sebagai operator penjagalan juga disebabkan bahwa pesantren orangtuanya yang digeropyok PKI di Kras, Kanigoro di awal tahun yang tentu saja membibitkan dendam yang berlarat-larat. Kanigoro adalah luka atas kenangan yang pahit saat pesantrennya digeruduk ratusan orang dari BTI dan Pemuda Rakyat yang dipimpin Suryadi dan Harmono. Hari-hari berikutnya setelah penggeropyokan itu pawai-pawai balasan dilakukan Banser yang dipimpin Maksum Jauhari dan juga kader-kader PII. Sementara Anis Abiyoso sejak peristiwa penggeropyokan Kanigoro mengobar-ngobarkan sentimen bahwa PKI menghina Islam dari kota ke kota di Jawa Timur yang membikin darah siapa pun mendidih.

Benar kata Kiai Makhrus Ali bahwa tanggal 13 adalah hari sial bagi PKI. Ya, ya, 13 Oktober—tanggal yang diusulkan Kiai Makrus untuk apel akbar itu—adalah tonggak pembunuhan besar-besaran. Banser/Ansor diplot menjadi imam pembantaian dengan ribuan santri dikerahkan untuk “menyekolahkan” orang-orang PKI. Militer di barisan kedua yang menyuplai logistik-logistik pembunuh yang diperlukan.

Hal yang membuat bulu kuduk saya meremang saat kata-kata terakhir meredup dari Alun-Alun dan peserta pawai digiring ke jalan-jalan melakukan penjemputan nama-nama orang-orang PKI dari rumah ke rumah, di seluruh jalanan kota. Inilah hasil nyata dari pertemuan rutin antara Ansor, GPII, dan militer sebelum-belum apel akbar ini yang diwakili Toyib Dahlan, Ma’fufin, Safii Sulaiman, Maksum Jauhari, H Idris, Makhrus Aly, serta sejumlah nama lain.

Kenangan atas penggambaran Hermawan Sulistyo dalam disertasinya di Arizona State University tentang pembantaian massal di Kediri dan Jombang melayang-layang kembali. Halaman-halaman disertasi yang dibukukan dengan judul Palu Arit di Ladang Tebu itu membuka dengan suasana yang lain sama sekali ketika saya membacanya di Yogyakarta, di luar kawasan di mana cerita itu digali dan dituturkan. Saat Sulistyo berbicara tentang Alun-Alun Kota sebelum senja saat saya duduk di sini, saya tak merasakan apa-apa. 

Berbeda dengan malam lebaran ini. Alun-Alun Kota yang disebut Sulistyo mendapatkan bobot karena letaknya hanya sekelebatan mata. Ya, di sana, 50 meter dari tempat saya duduk ini, saat ribuan massa yang diimami Banser/Ansor bergerak secara teratur dan sistematis melakukan pawai pembantaian atas nama Tuhan dengan rute yang sudah disusun.

Rumah pertama yang dihancurkan oleh pawai pembantaian ini adalah kantor Ranting PKI yang memang letaknya di dekat alun-alun, lalu massa berarak ke markas PKI yang berada di Pasar Paing, Burengan, yang ditengarai sebagai markas pengonsolidasian PKI untuk membunuh musuh-musuh ideologisnya. Silaturahmi berdarah seperti di hari pertama lebaran ini menggerebek markas CSS PKI di Jl Gudang Garam. Kantor SOBSI, Gerwani, BTI juga disowani dan dibakar. Silaturahmi berdarah di hari pertama “sukses” membunuh 24 orang PKI dan ribuan sepeda menjadi bara.

Merasa tak ada perlawanan sama sekali dari PKI, di hari keempat militer menangkapi 40 ribu kader dan simpatisan PKI. Namun kendala segera menyergap di depan mata, tentara tak ada uang untuk memberi makan tahanan yang begitu banyak. Saat itulah Sjafii Sulaeman dari Ansor mengusulkan jalan keluar yang paling mudah: bunuh semuanya. Ini “operasi teratur”. Artinya, secara teratur sekira 15 ribu orang diserahkan pada algojo-algojo yang sudah disiapkan yang terdiri atas pendekar-pendekar dari Banser/Ansor dan serdadu tentu saja.

Mayat-mayat itu kebanyakan ditinggal begitu saja, dibuang ke jurang-jurang terdekat. Namun tempat paling favorit tentu saja dibuang ke Sungai Berantas. Tubuh-tubuh tanpa kepala yang mengapung tiap hari di bantaran sungai antara Oktober-November menjadi lagu sumbang paling memilukan dari sebuah kota tua Nusantara. 

Sungai Berantas itu hanya beberapa meter dari tempat saya duduk kini, tempat saya menuliskan kenangan bisu yang sukar dinalar bagaimana itu bisa terjadi dengan dilambari semangat dan titah atas nama Tuhan dari institusi-institusi keagamaan.

Perburuan dan penyembelihan itu berlangsung di kota dan merembet di kecamatan-kecamatan, ke desa hingga perbukitan dan lereng-lereng gunung yang menyebabkan Kediri penyumbang jumlah korban pembunuhan terbanyak dan juga penyetor terbesar tahanan di seantero Jawa Timur. Oktober 1965 hingga Agustus 1966 menjadi lini masa bagaimana teater pembantaian dilangsungkan dengan sukacita. Dan itu mula-mula dimulai dari sini, dari Alun-Alun Kota di mana warga Kediri memungkasi konsumsi belanjanya menyambut syawal keesokan harinya.

Teater pembantaian itu, kini, seperti tak ada tersisa gemanya di Alun-Alun Kota ini. Seperti hanya ada dalam dongengan cerita pewayangan. Padahal, algojo dan mesin pembantai itu ada, di sini, dan tenang-tenang saja seperti keluarga dewata yang tak tersentuh hukum buatan siapa pun di mayapada setelah melakukan pembunuhan besar-besaran.

* Seri catatan mudik #syawalitumerah

No comments: