23 September 2014

Kultur Kelontong

Ribut-ribut soal “kebudayaan” itu meletup lagi. Kali ini bukan “tetangga-sebelah” penarik pelatuknya, melainkan pemangku dalam negeri sendiri. Kira-kira pemangku negeri yang pos di tiga kementerian itu bilang (1) tak ada sumbangan kebudayaan itu pada kehidupan negara dan bangsa; dan karena itu (2) kebudayaan hanya memboroskan anggaran.
Pelaku kebudayaan tentu saja sewot dengan pernyataan yang menyepelekan dan mengabaikan itu. Sewot itu melahirkan petisi di dunia daring. Dua kalimat pemicu melahirkan gema sumbang yang jauh.


Budayawan berhak sewot ketika profesi dan medan kerja mulia mereka dikuantifikasi tidak semestinya. Tapi budayawan lupa, kalimat majemuk yang bikin sewot itu hanya pemadatan dari visi kebudayaan pemangku kebijakan selama ini dalam referat kerja mereka, yakni kebudayaan kelontong. 

Istilah “kebudayaan kelontong” ini saya sitir dari esais Mahbub Djunaedi yang ia lontarkan pada 1977 di bulan yang sama ketika “ribut-ribut” kebudayaan ini meletup. Kelontong merujuk pada warung yang menjual apa saja, walau dalam kuantitas yang sedikit. Prinsip kelontong adalah ngecer.
Berpikir secara kelontong adalah berpikir yang ekonomis dan pragmatik. Makanya secara struktural kebudayaan coba disaturumahkan dengan pariwisata untuk melayani turisme. 

Kerangka berpikir kelontong jelas, yang tak membawa nilai ekonomi kini dan di sini pasti diabaikan. Dalam kebudayaan kelontong, siapa saja ilmuwan yang melakukan riset dasar untuk pondasi ilmu terapan pasti terbuang dan kelayaban di negeri orang. Siapa saja seniman yang membuat karya-karya monumental untuk menunjukkan kebesaran dan kemegahan pastilah tersudut dan gigit jari.

Dan itulah yang dialami, misalnya, pematung I Nyoman Nuarta yang proyek seni monumentalnya Garuda Wisnu Kencana mangkrak. Nuarta sudah benar mengutuk dirinya sendiri mengapa karyanya tak bisa berdiri tegak saat pergantian presiden sudah berlangsung enam kali. Karena ia berkebudayaan di salah zaman. Bagi zaman kelontong lebih baik merawat keagungan yang sudah “luhur” macam borobudur ketimbang membuat yang baru. 

Rezim budaya kelontong tak mau tahu bahwa produk kebudayaan itu diciptakan; bahwa semua kerajinan (tradisional) dan karya-karya monumental yang kita warisi saat ini adalah kreasi seniman abad 10.

Ketimbang mencipta dan merangsang sejarah besar kebudayaan hari ini untuk dikenang 100 tahun ke depan, kultur kelontong lebih tertarik pada kolakium. Seminar pun digeber untuk mengejar jumlah, ketimbang urgensi. Kongres yang menghabiskan milyaran dana diselenggarakan hanya untuk terlihat oleh publik bahwa kebudayaan diurus secara baik dan periodik. Dan hasilnya: beberapa lembar kertas presentasi, poin-poin maklumat bersama, serta absensi untuk pertanggungjawaban kalau-kalau BPK membutuhkannya.

Jangan pernah berharap pada kultur kelontong tentang gagasan besar yang direncanakan dengan strategi yang baik dan mendapat dukungan yang besar pula. Contohnya ada. Lihat saja bagaimana kita menyikapi kultur penerjemahan yang menjadi pipa pembuluh darah bagi lahirnya karya-karya besar dan monumental abad 10 hingga 14.

Ketiadaan visi besar tentang kultur penerjemahan yang menjadi urat nadi penting kebudayaan melahirkan gumunan saat Indonesia “ditunjuk” sebagai tamu di Frankfurt Book Fair pada 2015. Dan tampaklah betapa kita menerima kenyataan bahwa selama ini bangsa ini tak punya visi dan strategi besar apa pun soal penerjemahan. Jika pun kerja penerjemahan ada, hanya dalam skala sektoral, kecil-kecil, serabutan, rumahan, khas kelontongan. Kultur kelontong lebih asyik dengan pola gerak-gerik ketimbang gerakan yang sifatnya massif dengan pola terstruktur.

Ketimbang meratapi dan menginsyafi arah kebudayaan seperti ini, baiklah, baiknya kita terima saja kultur kelontong ini menjadi kultur khas kita. Mari kita terus rawat apa yang diwariskan kebudayaan abad 10 sebagai barang antik dengan nilai jual tinggi dan bangun kebudayaan hari ini dengan kultur kelontong. Semoga satu abad ke depan generasi ini tak berbekas dalam memori.

Ayo, mari bikin proyek seminar budaya lagi, dan lagi! [gusmuh]

No comments: