05 July 2015

Seabad Soeara Moehammadijah

Jika Anda bertanya pers apa yang tertua di Indonesia dan masih terbit saat ini, maka tak usah ragu menjawabnya: Soeara Moehammadijah (SM).

SM -- awal terbit tertulis: Soewara Moehammadijah – merupakan majalah paling tua yang pernah terbit dan tak pernah terhenti terbitannya hingga kini. Terbit pertama kali di Yogyakarta pada 1915, SM mengusung slogan awal: “Organ ini memuat keterangan tentang Agama Islam, diterbitkan sebulan sekali berbetulan dengan tanggal 1 bulan Belanda dan memuat keterangan lain-lainnya yang perlu”.


Majalah keagamaan ini bersebangun dengan pasang-tumbuhnya persarikatan Muhammadiyah. Tak pelak lagi, rasionalitas beragama Muhammadiyah tak disandarkan pada genealogi figur—sebagaimana tradisi di NU —tapi dibangun oleh budaya cetak atau pers yang kuat. Untuk melacak rute pasang-surut gagasan rasional di orgaan Muhammadiyah, maka rujukan utama dan autentik tak lain adalah SM.

Selain menerbitkan koran Mertjusuar (1966) dan Masa Kini (1966), Muhammadiyah tercatat pernah menerbitkan 25 buletin dan majalah, antara lain: Annida (1927-1928), Arabic Monthly Paper (1928), Berita Tahunan Moehammadijah Hindia Timoer (1929), Bahtera Masa (1936), Al-Fatch (1939-1942), dan Fadjar (1960-1963).

Membekali dan memperbaja dakwah dan “keterangan” Islam lewat kultur cetak adalah siasat-sadar yang dipilih Muhammadiyah sejak awal. Karena itu, K.H. Achmad Dahlan yang menjadi pendiri perserikatan sejak 1912, tampil sebagai pendiri dan pemimpin redaksi SM hingga 1923.

Kehadiran pucuk pimpinan perserikatan dalam tatakelola SM menjadi garansi penting keajegan terbit majalah ini. Dukungan struktural adalah penting menjamin sirkulasi SM hingga ke daerah terjauh. Apalagi ditambah dengan pimpinan perserikatan macam K.H. Fachruddin yang juga pernah berbisnis di bidang percetakan makin mengukuhkan bagaimana organisasi keagamaan modern dengan jargon “amar ma’ruf nahi munkar” ini berada dalam trek kultur tulis/baca.

Keajegan terbit SM membuktikan tesis bahwa tatakelola tradisional – mengandalkan jaringan struktural dari atas hingga ke ranting paling bawah – ternyata cukup ampuh. Bukan hanya pengurus Muhammadiyah, melainkan seluruh lembaga-lembaga onderbouw-nya yang lain seperti Aisyiyah, IMM, IRM, hingga badan-badan sosial/pendidikan/kesehatan umat dan universitas yang berafiliasi langsung dengan Muhammadiyah. Dan tak usah disebut puluhan ribu TK ABA yang tersebar di seluruh Indonesia yang jadi bibit tumbuh Muhammadiyah.

Maklumat SM berjudul “Seroean Mempersigerakan Sokongan” pada edisi No. 1/1360/Moeharram 1360/Februari 1941 Tahun ke XXIII ini bisa menjadi rujukan bagaimana SM mendapatkan “cashflow” dari warga persarikatan. Maklumat itu berisi permintaan agar setiap cabang dan groep Muhammadiyah terutama bahagian pemuda dan “sitti-sitti bestuur bahagian ‘Aisjijah’” memberikan bantuan uang sebesar f 0,50 setiap tahunnya.

Mengapa Aisyiyah yang ditekankan di maklumat itu? Karena regenerasi dini Muhammadiyah sebetulnya dikerjakan organisasi otonom yang bersinar sejak 1917 ini dan kini punya puluhan ribu lembaga pendidikan dari TK hingga Universitas.
Artinya, regenerasi yang dikerjakan dengan rapi, terkelola, dengan semangat menggabungkan kewirausahaan sosial keumatan dengan bisnis adalah modal sosial dan kultural yang tak ada bandingnya untuk kehidupan SM.

Sabuk pengaman sosial/kultural itulah yang memudahkan kemudian publik membaca geliat Muhammadiyah. Di sini, SM bertiwikrama menjadi bukan majalah biasa, namun menjadi rujukan historis bagaimana Muhammadiyah menjadi saksi keindonesiaan sejak masih dalam gagasan yang kemudian digerakkan secara kolektif di lapangan amal. Dari SM kita mendapatkan informasi yang bersifat kronikal jatuh-bangunnya Muhammadiyah membangun usaha sosial keumatan di jalan pendidikan modern.

SM yang pernah dipimpin KHA Dahlan, H Fachruddin hingga Amien Rais dan Buya Syafii Maarif ini adalah ikon sekaligus warisan yang sudah satu abad menjaga marwah literasi dalam persarikatan dengan motto paling mutakhir: “Meneguhkan dan Mencerahkan”. Bukan hanya ajeg mencatat dinamika perserikatan, tapi juga SM jadi rujukan keagamaan yang sifatnya harian, seperti “Tanya Jawab” soal fikih atau perkembangan dunia tafsir keislaman.

Dari SM pulalah kita menemukan benang-hijau antara dakwah dan kewirausahaan sosial Muhammadiyah dengan sikap-sikap washitiyah (moderasi) yang dijalankan warganya. Sebagaimana SM menjadi imam media cetak di linimasa sejarah kiwari yang berarti juga bermakna mediasi (dari kata media), Muhammadiyah kini memasuki suatu tahapan penting dalam sikap washitiyah, terutama pendekatan kultural, sebagaimana tergambar dalam wawancara mutakhir SM dengan Syafii Maarif (No 12/100, 28 Syakban-16 Juni 2015).
Dalam wawancara itu, Buya Syafii meminjam analogi “Ilmu Gincu-Garam” Mohammad Hatta untuk menggambarkan pendekatan kultural dalam keber-agama-an (Muhammadiyah). Gincu itu tampak, tetapi tak terasa. Adapun garam sebaliknya, tak terlihat tapi terasa dalam gulai dan sayur.

SM menawarkan ekspresi keislaman dalam bingkai keindonesiaan di usia 100 tahunnya ini: pilih Islam-gincu atau Islam-garam?

* Dipublikasikan pertama kali edisi cetak Harian Koran Tempo, 5 Juli 2015