28 August 2015

Habibie dan Jerman

Ketika Indonesia menjadi Tamu Kehormatan di Pekan Raya Buku Frankfurt, saya teringat Bacharuddin Jusuf Habibie. Bukan saja bahwa Habibie jauh sebelumnya telah menjadi "warga kehormatan" di Jerman, tapi posisi Habibie sebagai "duta teknologi" menunjukkan bahwa Jerman-Indonesia terhubung dengan baik.

Di Indonesia, Habibie adalah ikon manusia jenius Indonesia di mana semua alamat puncak-puncak kepintaran seorang terpelajar dinisbahkan kepada namanya, termasuk abadi dalam bait lagu Iwan Fals "Guru Omar Bakrie". Sementara di Jerman, Habibie dikenal sosok pilih tanding yang bertalenta, cerdas, enerjik, terbuka, pekerja keras, dan loyal. Pribadi Habibie menunjukkan watak orang Indonesia yang tak biasanya.


Para diplomat bisa datang dan pergi dalam menjembatani hubungan Indonesia dan Jerman; namun Habibie tetap pada posisinya: Jerman adalah negara pilihan nomor atas setelah Indonesia. Oleh karena itu ketika dia atau keluarganya sakit, maka bukan Singapura—apalagi Amerika—namun Jerman adalah negara luar pertama yang menjadi pilihan berobatnya.

Pada hubungan Habibie dan Jerman seperti itulah kita letakkan tonggak tekonologi kedirgantaraan dipacakkan di Indonesia. Munculnya kombinasi istilah “Iptek” dan “Imtak” juga lahir dari kombinasi Habibie-Jerman yang merupakan perpaduan nilai dalam diri Habibie. Di satu sisi Habibie adalah sosok religius yang sekaligus pendiri ICMI, sementara di sisi lain ia sosok yang percaya kedahsyatan teknologi memajukan peradaban Indonesia di kancah persaingan dunia.

Dan jejak teknologi Indonesia yang ditorehkan Habibie itu berkitar-kitar di bulan suci kebangsaan Agustus. Pada 23 Agustus 1976, PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) diresmikan Presiden Soeharto. IPTN kita tahu adalah industri pesawat terbang pertama di Asia Tenggara. Sementara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diresmikan pada 21 Agustus 1978. Dan pada 10 Agustus 1955, Indonesia untuk pertama kali bisa meluncurkan “truk terbang”-nya di langit Bandung. Tanggal itu kemudian dijadikan sandaran sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.

Tak berhenti di situ saja. Laki-laki kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 ini pula yang tak disangka-sangka justru menjadi presiden pengganti Soeharto. Cendekia lulusan Jerman ini memimpin Indonesia dalam 588 hari di tengah suasana—meminjam istilah Habibie—mengalami "super-stall". Indonesia diibaratkannya sebagai pesawat yang sedang berhadapan dengan badai yang disertai kerusakan mesin parah, sementara pilot utama dalam kondisi tak sadarkan diri. Pesawat “super stall” itu memiliki daya angkat nol dan jelang jatuh. Sementara 210 juta penduduk Indonesia adalah penumpang yang tak menyadari pesawat tengah menuju kejatuhannya. Sebagai kopilot, Habibie pun mengambil alih kendali dan menyelamatkan pesawat.

Kebebasan pers, penghormatan pada HAM, kebijakan otonomi daerah, dan pelaksanaan pemilu demokratis adalah antara lain kebijakan Habibie yang irreversible dan redundancy di situasi krisis menakutkan. Kebijakan itulah yang membuat kita masih melihat Indonesia masih tegak saat ini dengan warisan berharganya: kebebasan berbicara dan iklim berdemokrasi yang tetap terjaga.

Saya sebetulnya berharap, panggung Pekan Raya Buku di Frankfurt dipersembahkan kepada Habibie; tidak saja pribadinya sebagai penulis buku biografi kontroversial dan roman best-seller, Detik-Detik Yang Menentukan (2006) dan Habibie & Ainun (2010), namun pada Habibie kita menemukan hubungan intimatif Indonesia-Jerman dijalankan si Jenius dari Timur dalam separuh perjalanan karir pengetahuannya. Juga “watak Jerman” yang dipunyainya saat ia memimpin Indonesia keluar dari krisis akbar.

* Edisi Cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo, 28 Agustus 2015