Ketika para petani berjibaku mempertahankan sawah dan ladangnya dari eksploitasi tambang dan pembangunan infrastruktur pesawat udara, di mana suara mahasiswa pertanian?
Ketika lahan-lahan pertanian makin menyempit dan keluarga petani Indonesia makin susut dari tahun ke tahun, di manakah sikap mahasiswa pertanian?
Ketika atas nama pembangunan ketahanan pangan pemerintah membangun industri pertanian dengan mengundang fabrikasi bibit multinasional beroperasi di dalamnya, di mana pamflet kritis mahasiswa pertanian ditempelkan?
Ketika petani dibunuh dan disiksa demi tanahnya, di mana advokasi dan aksi "bela-pati" mahasiswa pertanian?
Kita bertanya kepada mahasiswa pertanian karena posisi mereka adalah marhaen terpelajar di mana semestinya yang paling paham sisi-melik dunia tani; mulai dari teknologi pembibitan hingga konflik yang menghancurkan kelas petani.
Sebagai kaum terpelajar petani, mahasiswa pertanian bukanlah calon insinyur tani yang menjauh dari keringat si tani, melainkan satu sekutu dalam kelas tani yang luar biasa rentannya dalam pembangunan infrastruktur entah untuk tujuan apa ini.
Ketika petani menangis, mahasiswa pertanian yang mencari tahu akar mengapa petani hidup pilu dan memberitahu akar tunjang masalah dan bagaimana menyikapinya. Ketika petani meneriakkan kekurangan lahan tanam, mahasiswa pertanian yang mestinya tiap hari menggalang aksi untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria.
Nah, ketika petani berhadap-hadapan dengan serdadu di pematang sawah -- sebagaimana kasus di Sukamulya, Majalengka, Jawa Barat dan Langkat, Sumatera Utara -- mahasiswa pertanian mestinya mogok belajar di kelas perkualiahan untuk membela kelas tani di lapangan pergerakan.
Jangan sampai lupa, kalian mahasiswa dan mahasiswi pertanian, petani adalah soko-guru dari Revolusi Indonesia, sebagaimana Sukarno berkata-kata. Dan, ketika Sukarno meletakkan batu-pertama pembangunan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (IPB, saat ini) di Bogor, 27 April 1952, Indonesia habis-habisan mencari terobosan di segala arah bagaimana kita berdaulat dalam pangan.
Kedaulatan pangan mula-mula adalah penghormatan kelas tani, memualiakan marhaen. Maka dari itu, Sukarno langsung menempatkan kelas tani ini sebagai soko-guru revolusi. Untuk mengejawantahkan prinsip ini, perlu tindakan-tindakan objektif, perlu tenaga-tenaga terpelajar yang bertarung di lapangan pertanian dengan segala pengetahuan yang dimilikinya untuk memuliakan dunia tani.
Kampus dan fakultas pertanian dibikin dan status mahasiswa pertanian lahir karena negara ini menginginkan seluruh lapisan masyarakatnya dapat makan kenyang oleh kerja petani-petani dari bangsanya sendiri yang bekerja dengan bekal ilmu pengetahuan. Antara lain, kerja-kerja mahasiswa pertanian adalah mulai dari ikhtiar tiada henti mencari ilmu pelipatgandaan hasil panen, pencarian bibit yang sesuai dengan kontur tanah-tanah di Indonesia, keanekaragaman pangan, keseimbangan lahan, pemupukan, antisipasi hama, hingga menjaga keseimbangan ekonomi-tani.
Pendek kalimat, kampus dan fakultas pertanian berguna bagi semesta petani bila mereka tak mengambil jarak yang keterlaluan atas nasib dunia tani.
Tak peduli kepada nasib petani menyalahi idealisme awal mengapa Sukarno si penemu ajaran ideologi tani (marhaenisme) itu meresmikan pembukaan sekolah tani (baca: IPB).
Berseru Sukarno: "Aku bertanja kepadamu: sedangkan rakjat Indonesia akan mengalami tjelaka, bentjana, malapetaka dalam waktu jang dekat kalau soal makanan rakjat tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakjat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati, -- kenapa dari kalangan-kalanganmu begitu ketjil minat untuk studie ilmu pertanian dan ilmu perchewanan? Kenapa buat tahun 1951/1952 jang mendaftarkan diri sebagai mahasiswa bagi Fakultet Pertanian hanja 120 orang, dan bagi Fakultet Kedokteran Chewan hanja ...... 7 orang? Tidak, pemuda-pemudiku, studie ilmu pertanian dan ilmu perchewanan tidak kurang penting dari pada studie lain-lain. Tjamkan, sekali lagi tjamkan, -- kalau kita tidak 'aanpakken' soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran, setjara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka!" (1952: 24)
Belum cukup. Sukarno bahkan meletakkan harapan besar bahwa mahasiswa pertanian ini adalah kaum pelopor. Jika di masa pergerakan awal lisensi keterlibatan mahasiswa kedokteran (Stovia) cukup menonjol, maka ketika Indonesia membangun desa-desanya, membangun untuk kemakmuran rakyatnya, maka lisensi kepahlawanan dan kepeloporan mestinya dikantongi mahasiswa pertanian.
Ayo, bung mahasiswa dan nona mahasiswi pertanian, baca separagraf lagi pesan Sukarno: "Politik bebas, prijsstop, keamanan, 'masjarakat adil dan makmur', 'mens sana in corpore sano', -- semua itu mendjadi omong kosong belaka, selama kita kekurangan bahan makanan, selama tekort kita ini makin lama makin meningkat, selama kita tidak bekerdja keras, memeras keringat mati-matian menurut plan jang tepat dan radikal. Revolusi pembangunan harus kita adakan, tetapi paling segera diatas lapangan persediaan makanan rakjat. Dan kamu, pemuda dan pemudi diseluruh Indonesia, kita harus menjadi pelopor dan pahlawan! Dengan utjapan itulah, saja meletakkan batu-pertama dari Gedung Fakultet Pertanian ini. Sekian!" (Sukarno, "Soal Hidup dan Mati", 1952: 26)
Jadi, menyitir Sukarno, soal pertanian itu soal hidup dan mati. Jadi, kalau ada petani mati-matian mempertahankan tanah pertaniannya, pahamilah bahwa mereka sedang memilih dua jalan darurat: hidup atau mati.
Karena itu, jika menghidupkan petani, bela petani. Jika membiarkan kematian petani, bakar saja semua sekolah pertanian dan lemparkan diktat kuliah dan togamu di luweng-luweng gelap.
Ayolah, mahasiswa dan sarjana tani! Pahami dan sadari kembali, kalian itu pelopor dan bukan si gadungan cilaka dalam kelas tani yang menjadi "soko-guru" (pembangunan) revolusi! [Muhidin M. Dahlan]
* Pertama kali dipublikasikan di portal daring tirto.id, 23 November 2016
No comments:
Post a Comment