Tersebutlah pada suatu hari di Samudera Pasir, Muhammad yang sudah bermahkota nabi itu didatangi Jibril. Rupanya Jibril baru saja melakukan sidak moral ke sekolah-sekolah ke komunitas-komunitas. Oh, lihatlah itu! Wajah JIbril begitu muram dan memerah menahan geram. Dan kepada Muhammad, dia berseru, "Wahai Muhammad, keterlaluan kaum-kaum di sebalik bukit itu. Hidupnya nggak keruan dan moralitasnya udah keblinger semua!"
"Oh ya... kaumkukah yang kau maksud, Jibril?" tanya Muhammad.
"Siapa lagi dong ah. Gimana sih. Hayo, kalau kau ijinkan saya menghancurkannya, sekarang saja kutimpukin komunitas keblinger itu dengan bukit yang di sana itu tuh," seru Jibril sambil memperlihatkan otot-otot lengannya yang kekar seperti kawat palung besi jenis krakatau steel.
Namun Jibril salah kaprah. Alih-alih Muhammad ngangguk dan lantas angkat jempol tanda setuju, malah Muhammad "membela" kaumnya yang di balik bukit. "Jangan Jibril! Biar bagaimana pun mereka itu ummatku. Tugasku merangkul dan menyadarkan mereka."
Kecewakah JIbril? Tentu saja. Sudah capek-capek sidak, malah uluran tangannya ditampik. Tapi seandainya yang didatangi Jibril adalah eks aktivis cum sastrawan Komunis yang baru saja pulang dari latihan perkaderan doktriner Rusia, tentu bantuan Jibril itu langsung disambut kepalan tangan kiri karena apa pun yang foya-foya, dansa-dansi, ngak-ngik-ngok, dan bikini adalah pekerjaan setan-setan kapitalisme. Dan itu menghambat jalannya revolusi sosialisme.
Seandainya yang didatangi Jibril adalah sastrawan yang mental religiusitasnya seperti Taufik Ismail dan seluruh pengikutnya, niscaya Jibril disambut dengan teriakan Allahu Akbar dan dengan doa syahdu yang menghamburkan airmata syukur nauzubillah serta jidat langsung nempel di sajadah-koran.
Tapi Muhammad adalah pewatak yang lembut, humanis, dan bisa menahan diri. Ia tak lantas naik mimbar dan berkhotbah mengencam dan memakzulkan komunitas-komunitas yang tak sealiran dengannya. Ia memang pantang dengan kebudayaan yang diproduksi jahiliah, tapi tidak lantas dia gebrak dengan metodologi Jibril yang asal gampar saja. Sebab mungkin dalam pikiran Muhammad, sejahiliah-jahiliahnya orang-orang itu toh kaumku juga, toh mereka adalah manusia-manusia yang berproses dan bisa menemukan sublimasi dan ketawakalan di akhir-akhir pencariannya yang meletihkan.
Metodologi keberagamaan seperti Muhammad itu disebut penyair Soetardji Colzoem Bachri sebagai "Islam Sedap". Sementara praktik-praktik religius yang dipertontonkan oleh Taufik Ismail di lapangan kesusasteraan saat ini--lagi-lagi meminjam istilah Tardji--adalah "Islam Murung".
Dalam "Islam Murung" realitas yang di depan selalu dilihat dengan tatapan murung. Bahwa semua yang ada adalah buruk. Yang terpacak di depan semuanya kerusakan dan kemaksiatan. Karena sekeliling adalah maksiat, maka ketika berjalan selalu dengan muka murung, mata sembab, dan nunduk. Dan religiusitas "murung" seperti ini bukannya tak punya landasan teologis.
Cendekiawan Muhammadiyah, Dr Abdul Munir Mulkhan, pernah suatu kali penulis dengar mengatakan bahwa untuk memajukan umat Islam perbaiki cara pandangnya tentang masa depan. Selama ini yang terpacak di bawah sadar adalah bahwa akhir semua drama ini adalah kiamat. Dan kiamat adalah kerusakan. Jadi, buat apa berikhtiar sekuat-kuatnya jika di depan hanyalah kerusakan.
Dan biasanya, cara pandang "Islam Muram" seperti ini melahirkan sikap-sikap agresif--atau meminjam istilah Taufik Ismail terhadap Lekra--adalah sikap ofensif. Sebab realitas sudah demikian buruk, maka cara-cara yang dilakukan pun ofensif.
Ceramah-ceramah di mimbar dan halaman-halaman koran menyerang dan mengutuk di sana-sini. Data-data yang memancing agresi dipapar: Korban racun nikotin 57.000 orang/tahun, maknanya setiap hari 156 orang mati, atau setiap 9 menit seorang pecandu rokok meninggal dunia; Dengan biaya 3 batang rokok kretek yang diisap 15 menit, orang bisa menonton sekeping VCD/DVD biru dengan pelaku kulit putih dalam 6 posisi selama 60 menit; Setiap hari dapat kita baca kasus siswa SMP/SMA memperkosa anak SD, satu-satu atau rame-rame, ketika papi-mami tak ada di rumah dan pembantu pergi ke pasar berbelanja; 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di internet. Dengan empat kali klik di komputer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus fisiologinya, dapat diakses tanpa biaya...; Dalam hiruk pikuk di sekitar RUU ini, terlupakan betapa dalam usia sekecil itu 80% anak-anak 9-12 tahun terpapar pornografi, situs porno di internet naik lebih sepuluh kali lipat, lalu 40% anak-anak kita yang lebih dewasa sudah melakukan hubungan seks pra-nikah.
Salahkah menyajikan data dan fakta itu? Tidak tentu saja. Tapi di bawah sadar seorang yang "muram" atau cara pandangnya seperti Jibril, maka penunjukkan data itu diselubungi sikap-sikap agresi, menyerang, dan siap nimpukin batu.
Memang kondisi sosial kita buruk. Mesti kita akui itu. Tapi tidak seperti mereka yang dilamun amarah yang menjadi-jadi, mereka yang ber-"Islam Sedap" coba melihat peluang-peluang kebaikan yang dilakukan. Dari segala yang buruk itu masih bisa melihat hal-hal yang baik yang mesti dipelihara.
Kedua sastrawan dan budayawan yang saya sebutkan ini, Taufik Ismail dan Emha Ainun Nadjib, sama-sama melihat kondisi sosial. Tapi cara mereka berbeda. Jika Taufik sudah memblokade kesimpulan bahwa bangsa ini sudah diambang kehancuran, Emha melihat betapa banyak gunungan potensi yang dipunyai bangsa ini. Negara ini belum berakhir. Siswa-siswa Indonesia yang otaknya cemerlang dan bisa bersaing di kelas dunia; tenaga-tenaga kerja kita sangat diminati oleh negara-negara tetangga; potensi sepakbola kita juga luar biasa walau belum menang dan berkali-kali penontonnya tawur; kita ini sudah divonis menderita krisis ekonomi akut, tapi para pengamat-pengamat luar negeri terheran-heran betapa masyarakat kita ini berjubel-jubel di mall. Tulis Emha di Harian Seputar Indonesia pada suatu hari, ketahanan warga bangsa ini luar biasa dan tinggal bagaimana memberdayakan ketahanan yang sudah teruji ini.
Warga yang berkeyakinan “Islam Sedap” adalah mereka yang bisa menikmati hidup dengan cara berpikir positif. Hidup mereka seperti para perawat karnaval yang selalu menyumbang keceriaan hidup kepada masyarakat yang ditindik musibah bertubi-tubi.
Sebut saja mereka ini kaum biokultura. Dalam berkarya, kaum ini terus-menerus menggeledah kebenaran dalam karya-karyanya. Mungkin karyanya itu kalian anggap buruk dan memampatkan perkembangan (moralitas) masyarakat, tapi sepanjang niatnya untuk mencari kebenaran, maka niatnya patut dicatat sebagai kebaikan; sebagaimana mereka juga yakin bahwa Allah senang dengan niat-niat baik dan tak akan mencatat niat buruk.
Adapun yang ber-“Islam Murung” selalu melihat kenyataan dengan murung. Sangat sensitif dengan soal akhlak yang kemudian diikuti sikap-sikap galak dan memaksakan kebenaran Gaya hidup seperti ini mengingatkan saya pada ucapan Milan Kundera, yakni gaya hidup kaum agelaste. Kaum Yahudian ini adalah kaum yang mati-tawa. Kehidupan dihadapi dengan cara meringkas dan meringkus keragaman suara dalam satu proses majal menuju sintesis atau konsensus.
2 comments:
lagi-lagi taufik Ismail..
"kemurungan" yang dilihat oleh Tuufik Ismail bukan untuk menyerah,meratap, atau menyesali keadaan tanpa usaha-usaha yang nyata. itu adalah refleksi dari suatu keadaan yang ditangkap dan kemudian diejawantahkan dalam tulisan atau puisi. Keadaan yang dipotret Taufik itu seharusnya digunakan untuk mecari solusi yang lebih baik. Sebagaimana yang anda komentari, itu semua adalah kenyataan yang ada, sehingga keadaan yang "murung" itu perlu dipecahkan bersama-sama agar yang "murung" menjadi sedap, TANPA harus mengkritik "kemurungan" itu sendiri, atau lebih parah lagi mengkritik PELUKIS "kemurungan" itu. Anda, Emha, Taufik, dan lainnya adalah "pelukis-pelukis" yang mampu menangkap gejala alam untuk disebarkan kepada manusia lain melalui "lukisan" anda. Apakah anda hanya mau melukis yang "sedap-sedap" saja? Dengan "murung" kita introspeksi, dengan "sedap" kita juga introspeksi. Yang penting adalah, outcomes yang dihasilkan setelah proses "murung" dan "sedap" itu harus bisa berjalan ke arah yang jauh lebih baik.
jadi... berhentilah ber-negative thinking" dengan kemurungan-kemurungan yang dihasilkan oleh "pelukis" yang tidak sejalan dengan Anda. Karena TANPA ANDA SADARI, ketika melakukan itu anda juga sedang MURUNG.
Post a Comment