Dari judulnya saja, Student Hidjo, kita langsung tahu Marco mendaku tokoh ciptaannya sebagai kaum terpelajar. Hidjo adalah seorang student. Dan tak tanggung-tanggung, sebagaimana terbaca pada bab awal, pembaca langsung diperkenalkan dengan “rencana” kedua orangtua Hidjo, Raden Potronojo dan Raden Nganten, untuk menyekolahkan anak semata wayang itu ke Delft, Belanda, selama 7 tahun. Hidjo digadang dan diharap bisa menjadi ingeniuer.
“Tidak adinda. Jangan berkecil hati!” kata suaminya yang juga turut sedih demi melihat istrinya. “Saya ini hanya seorang saudagar. Kamu tahu sendiri. Waktu ini, orang seperti saya masih dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement. Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut pegawai Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani. Maksud saya mengirimkan Hidjo ke Negeri Belanda itu, tidak lain supaya orang-orang yang merendahkan kita bisa mengerti bahwa manusia itu sama saja. Buktinya anak kita bisa belajar seperti regent-regent dan pangeran-pangeran.” (SH, 5)
Modal Hidjo menempuh pendidikan elite itu sudah terlihat dari keseharian Hidjo di Solo. Ia bergelut dengan buku dan itu sudah lebih dari cukup menjadi penanda seorang yang dikarunia bakat sebagai terpelajar. Buku bagi peneguh budi di masa pergerakan adalah aksesori penting untuk naik sebagai “bangsawan fikiran”. Lihatlah Hidjo, sebagaimana dikatakan Biroe, tunangannya sebelum berangkat ke Delft untuk menempuh studi sinyor itu: “Kalau di rumah, tidak pernah meninggalkan bukunya. Saya khawatir kalau dia besok gila sebab terlalu banyak belajar.”
Sebagaimana Hidjo, Marco juga adalah kutu buku dan pembaca yang lahap. Lebih dari itu ia penggandrung (impian) teknologi dan kemajuan. Di buku Rudolf Mrazek Engineers of Happy Land, Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2007) yang menguraikan ihwal teknologi di masa Indonesia masih dalam bibit tahun belasan abad 20, nama Marco terindeks belasan kali, sebagaimana nama Kartini.
Dalam roman ini misalnya, Marco dengan “alamiah” menghadirkan sejumlah moda transportasi. Untuk transportasi dalam kota, misalnya, tokoh-tokoh dalam Student Hidjo mengendarai trem, auto, dan kereta kuda. Untuk bepergian jauh seperti rute Solo-Batavia Centrum dengan moda keretapi. Adapun antarbenua menggunakan kapalapi. Ihwal telekomunikasi, selain surat dan telegram, Marco juga menyebut-nyebut telepon saat tokoh Raden Ajeng Woengoe dan Biroe berada di Kawedanan di Kabupaten Jarak yang tak jauh dari Solo.
Bagi Marco, pendidikan membuka jalan untuk mobilitas sosial boemipoetra. Pendidikan, sebagaimana kata ayah Hidjo, Raden Poetronojo, berguna agar tidak “dipandang rendah oleh orang-orang yang menjadi pegawai Gouvernement”.
Karena itu konsentrasi awal perjuangan Marco adalah menyoal secara kritis dan keras kebijakan pendidikan Hindia Belanda itu. Artikel “Pendapatan hal Technische hooge school di Hindia” mengelaborasi bagaimana pendidikan di Hindia Belanda nyaris menutup kesempatan kepada kelas bawah untuk mengenyamnya.
Pendidikan tinggi di Hindia Belanda pada abad 20 hanya memungkinkan dinikmati oleh kaum yang secara ekonomi dan sosial berada pada lapisan menengah ke atas. Demikian pula ras kulit putih yang mendapatkan prioritas lebih dibandingkan dengan ras kulit coklat.
Padahal, sebagaimana terbaca di salah satu artikel Doenia Bergerak No 19, 1914 yang bertitel “Ah Javanen zijnerg dom”, otak bangsa Jawa tidak kalah dengan otak bangsa Eropa. Mereka memiliki kepandaian yang sama dengan manusia Eropa. Hanya saja otak mereka yang cerdas tidak diberi kesempatan untuk berkembang oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dua artikel itu dicatat dalam sejarah menjadi dua dari empat artikel di Doenia Bergerak yang terkena pasal 66a dan 66b delikpers dan mengantarkan Marco ke bui untuk pertama kalinya pada 1915.
Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 1
Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 3
Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 4
Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 5
No comments:
Post a Comment