Mas Marco Kartodikromo yang lahir di Cepu, Blora, sepertinya hadir di kancah pergerakan dan pers sebagai pembangkang sejati. Benar, bahwa Marco secara jenjang pendidikan hanya lulus dari sekolah Ongko Loro, namun kapasitas intelegensinya seperti spon. Ia adalah pribadi yang menyerap dengan cepat pelajaran dan perkembangan sosial.
Manajemen jurnalistik Marco pelajari dua tahun langsung dari Tirto Adhi Soerjo di Bandung. Di Medan Prijaji Marco adalah anak bawang Tirto bersama Martodharsono dan Goenawan. Marco juga menjadikan guru dua dari tiga pentolan De Expres dan sekaligus lulusan STOVIA: Soewardi Soerjadiningrat dan dr Tjipto Mangoenkoesoemo.
Pergaulan-pergaulan dengan priyayi-priyayi yang sekaligus “bangsawan fikiran” yang radikal itu membentuk kepribadian keras Marco. Ketika ia mendirikan IJB/Doenia Bergerak yang tahun 2014 sudah memasuki usia satu abad, saat itulah Marco sepenuh-penuhnya manusia bertubuh mungil dengan nyali petarung. Marco menahbiskan dirinya sebagai jurnalis dan penulis pamflet paling urakan, liar, dan berbahaya. Marco bisa bermusuhan dengan pemerintah kolonial beserta mesin ambtenaar-nya, sekaligus sesama kalangan pergerakan yang lembek sikapnya dengan kebijakan penguasa.
Karena sikapnya vis a vis itulah Marco dan IJB/Doenia Bergerak menjadi mangsa empuk pemerintah untuk menyeretnya ke bui. Untuk menghalau “bahasa bergerak” Marco, pada 1914 pemerintah memunculkan dua pasal belati yang membenamkan IJB/Doenia Bergerak dan menjauhkan Marco dari arus pasang pergerakan. Yakni, pasal 66a dan 66b seperti tercantum dalam Staatblad (Lembar Negera) No 205-206. Isinya: aparat hukum akan menghukum siapa pun yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Student Hidjo adalah salah satu roman yang ditulisnya dalam tahanan di Civielen Militair Gevangis Weltevreden Batavia Centrum pada 1918. Perkara yang membelitnya saat itu adalah delik pers atas serial tulisannya “Sama Rata, Sama Rasa” yang berupa esai dan syair di koran Pantjaran Warta dengan hoofdredacteur Goenawan. Salah satu syair yang dianggap berbahaya adalah syair yang dikirimnya dari Belanda dan dimuat Pantjaran Warta pada 16 Februari 1917:
Regeering!!
Kita minta persamaan!!
Pemerintah!!
Awas!! kita anak Hindia soedah berapi!!
Gouvernement!!
Berilah permintaan kita anak Hindia!
Soepaja bahaja berontakan tida mendjangkit di tanah Hindia, toempah darah kita!!!
WONG DJOWO
Syair itu, dan esai “Sama Rata, Sama Rasa” lainnya menggugat hal-ihwal persamaan. “Persamaan” atau kesetaraan memang menjadi isu sentral tulisan-tulisan Maco Kartodikromo, baik ketika di masa IJB/Doenia Bergerak maupun setelah ia keluar dari bui jilid I pada tahun 1916. Sebab tak mudah mendapatkan perlakuan sama dalam sistem kolonial yang sedemikian rupa congkaknya. Boemipoetra—atau dalam bahasa Marco “Wong Djawa” dan “Anak Hindia”—selamanya berada dalam kasta paling rendah dalam politik kewarganegaraan maupun politik akses. Hanya priyayi yang boleh memiliki mobilitas sosial. Namun dengan begitu banyak catatan. Boleh cerdas, tapi tak boleh terlalu cerdas. Boleh pintar sebagaimana diamanatkan “politik van deventer”, tapi hanya untuk mengabdi pada kepentingan kolonial belaka.
Student Hidjo juga ditulis Marco untuk perjuangan pada nilai kesetaraan dan akses yang sama atas pergaulan dan pengetahuan. Marco adalah pemimpi ekstrem atas lahirnya masyarakat yang dipersamakan sebagai manusia di sebuah masa yang semuanya serba terbatas ; di sebuah masa di mana ras yang satu lebih super dari ras lainnya.
Paling tidak ada tiga bentuk kesetaraan yang secara terus-terang dibabar Marco Kartodikromo dalam roman Student Hidjo ini, yakni kesetaraan pendidikan, kesetaraan ras , dan kesetaraan sosial/jender.
Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 2
Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 3
Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 4
Mas Marco Kartodikromo - Student Hidjo 5
No comments:
Post a Comment