10 January 2015

Politik Karikatur

KARIKATUR adalah pernyataan politik dan juga untuk meredamnya kerap menggunakan kekuatan politik pula. Bahkan dengan jalan kekerasan. Dalam konteks global, kita bisa menyaksikan bagaimana karikatur melahirkan ekses politik yang mengerikan.
 

Sebelum teror mengerikan yang menimpa redaksi Charlie Hebdo tampil di frontpage ratusan koran di lima benua di mayapada ini, tabloid ini sudah berkali-kali menggambarkan Nabi Muhammad dengan cara yang tak senonoh. Bukan cuma Islam, tapi tokoh agama samawi lainnya menjadi olok-olok karikatur majalah yang terbit di Paris, Prancis ini.
 

Charlie adalah satu rangkaian panjang bagaimana menggunakan karikatur sebagai cara untuk menyerang pandangan orang lain. Sejak September 2005, Denmark mengalami krisis diplomasi terparah sepanjang sejarah akibat pemuatan karikatur Nabi Muhammad yang dibuat Kurt Westergaard di koran nasional Jyllands-Posten.


Kasus Charlie Hebdo dan Jyllands-Posten menjadi contoh ekstrem bagaimana karikatur membawa daya rusak yang sulit dinalar. Ia melampaui arti harfiahnya: gambar (pictorial) dan patung (sculptural) sindiran. Ia tumbuh subur di halaman majalah dan koran abad 19. Namun, sesungguhnya usianya setua seni itu sendiri. Karikatur sudah hidup di masa Fransisco Goya dengan nama Jame Ensor dari Belgia kerap dijadikan sumur untuk sejarah karikatur.
 

A Sibarani, seorang karikaturis politik di masa “Revolusi Belum Selesai”, mewariskan buku istimewa Karikatur dan Politik. Buku ini berisi sejarah panjang dan pengamatan jeli hubungan ulang-alik antara karikatur(is) dan politik, yang disebutnya spotprent takenaar, si pengejek dengan gambar.
 

Di masa Hindia Belanda, karikatur politik sudah muncul di majalah Fikiran Ra'jat. Yang tampil sebagai karikaturisnya adalah si hoofdredacteur yang tak lain adalah Sukarno dengan nama samaran Soemini. Ia memakai nama perempuan untuk mengamankan diri.
 

Di masa Jepang berkuasa, Djawa Baroe menjadikan karikatur sebagai propaganda politik. Selain sebagai pembuat pamflet politik, seniman-seniman di Persagi turut membuat karikatur. Namun pada tahun 60-an, karikatur mendapatkan tempatnya yang sempurna sebagai gelanggang perang.
 

Era karikatur politik tahun 60-an itu, si spotprent takenaar, A Sibarani, tampil gahar. Sibarani adalah karikaturis politik utama. Posisinya, pinjam kata-kata Sukarno: “Kita punya pelukis segudang. Tapi karikaturisnya yang baik dan hebat cuma satu!Sibarani! Jadilah engkau seorang David Low Indonesia!”
 

David Low yang dimaksud Sukarno berjaya di era Perang Dunia II. Karikaturnya yang menyerang Naziisme dan Hitler mengantarnya sebagai manusia terhormat di Inggris.
Sebagaimana Low, Sibarani menjadi suara dari barisan Sukarno di Bintang Timur untuk menyerang Amerika Serikat. Presiden Eisenhouwer, Menlu Foster Dulles, Dubes Howard Jones adalah tokoh-tokoh USA yang menjadi santapan kritik tajam Sibarani. Lantaran itu USIS pernah menyogoknya dengan sejumlah uang agar menghentikan karikaturnya yang menyerang Amerika.
 

Berbeda dengan Low, nasib Sibarani betul-betul sial, walau tak sedramatis karikaturis Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier, yang mati ditembak di Paris. Sibarani menjadi paria bersama jatuhnya Sukarno setelah pagebluk 1965. Karikatur yang sifatnya menyerang langsung secara telengas terhadap musuh-musuh politik juga perlahan meredup.
 

Era karikatur baru pun muncul dengan wataknya yang khas: gambar tetap lucu, sesekali mengkritik; namun bagaimana kritik itu dibungkus sedemikian rupa agar koran/majalah dan karikaturis yang mengkritik tetap aman dan yang dikritik masih bisa tersenyum.

* Edisi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo, 16 Januari 2015

No comments: