28 February 2007

Bonfire of Liberties

::saiful amin ghofur, pascasarjana uii jogja

PADA Rabu siang (16/11/2005) saya di-SMS Muhidin M. Dahlan. Ia mengabarkan bahwa novel terbarunya, Adam Hawa, disomasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dengan tuntutan ditarik dari peredaran. MMI melarang novel itu karena dianggap melecehkan akidah umat Islam. Somasi juga dilayangkan ke harian Media Indonesia karena telah sengaja memuat resensi novel tersebut pada 6 November 2005. Bahkan direncanakan MMI bakal memasukkan laporannya ke Polda Metro Jaya Jakarta.

Sebagai karib dan sesama penulis, saya tertegun. Saya membayangkan kegelisahan Muhidin sewaktu mengirim SMS. Seolah-olah ia membutuhkan suaka. Saya ingat-ingat lagi isi novel itu—yang kebetulan sudah saya baca berulang kali. Memang saya akui, dalam novel itu Muhidin sangat berani bermain-main dengan imajinasi.

Novel itu bertutur tentang tragedi kemanusiaan di seputar penciptaan Adam. Walaupun Muhidin menampilkan “tokoh-tokoh baru” seperti Maia, Maemunah, Idris, dan Marfu’ah yang tidak pernah terungkap dalam kitab suci, namun substansi pesan-pesan moral kitab suci (sungguh!) masihlah terjaga, yaitu rentetan konflik yang mesti diwaspadai sebab kapanpun bisa mengancam romantika eksistensi manusia. Sementara kejutan-kejutan retorik yang menggelinjang di sekujur novel tak lain disebabkan dinamika imajinasi Muhidin yang menggelombang. Tentu saja ini terjadi karena tuntutan sebuah karya sastra. Jadi, bila dibaca secara cerdas amat disayangkan jika novel Muhidin dikhawatirkan mampu membikin kita cemas.

Sesungguhnya musibah semacam ini bukan pertama kali dialami Muhidin. Novel sebelumnya, Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah, juga mengalami hal yang nyaris serupa. Meski tidak sampai disomasi, dalam acara bedah buku tersebut di kampus UIN Sunan Ampel Malang pada Mei 2004, Muhidin didamprat dan dihujat habis-habisan. Ia dituduh kapitalislah, menulis ala orang beraklah, bahkan seorang ustad konon menghakimi Muhidin telah murtad (lihat Ahmad Fatoni, 'Melirik Buku-Buku Berbasis Lendir', JP, 24/10/2004).

Saya yakin, Muhidin dalam menelorkan novelnya tidaklah asal menulis. Ia berangkat dari permenungan mendalam dan dialektika dengan dirinya sendiri dan dunia luarnya (lihat tulisan saya 'Dialektika Tan Malaka', JP, 30/10/2005). Bila dibaca dengan pemahaman yang dangkal, novel Muhidin tak lebih sekadar karya ecek-ecek yang dengan membelinya hanya akan merobek-robek kocek. Padahal Muhidin sebenarnya tidak saja mengungkap realitas sosial di masyarakat lewat buku itu tetapi juga membongkar kemunafikan yang sedang dilanggengkan di tengah masyarakat (lihat Nurudin, 'Buku-Buku Lendir dan Kritik atas Kemunafikan Kita', JP, 7/11/2004).

Persoalan diterima-tidaknya suatu karya, apapun bentuknya, semestinya diserahkan kepada khalayak pembaca lewat seleksi alamiah (natural selection). Tak ada yang berhak mengantongi kriteria benar atau salah suatu karya. Pada titik ini melarang suatu karya untuk mengunjungi alam pikiran pembaca (baca: somasi) sama halnya mempertontonkan drama kepongahan yang berlebihan. Sekaligus di waktu bersamaan juga melakukan upaya penghangusan kebebasan (bonfire of liberties). Kita patut curiga, jangan-jangan ada kepentingan tertentu di balik pelarangan itu.

Seandainya disikapi secara arif dan dewasa, masih banyak cara manusiawi yang bisa ditempuh untuk menimbang suatu karya. Misalnya, memfasilitasi penulis buku yang dianggap ‘bermasalah’ untuk mengemukakan argumentasinya. Silahkan menggelar forum dialog. Hadirkan pula orang-orang yang benar-benar ahli dan berkompeten terhadap karya itu. Di situ, pendapat dan gagasan kita jual-belikan. Kita larungkan segenap daya pikir untuk mencari titik temu yang saling menguntungkan. Sehingga terbukalah kran dialektika yang harmoni dan menjumbuhkan wacana-wacana baru yang simpatik. Jadi, jangan bukunya yang disalahkan.

Musibah yang menimpa Muhidin sekonyong-konyong mengingatkan kita kepada sosok Pramoedya Ananta Toer. Dulu, sekitar tahun 1980-an tetralogi Pulau Buru yang monumental pernah dilarang beredar. Walaupun musibah yang menimpa Muhidin tidak sedasyat yang dialami Pram, tapi bila diamini oleh penguasa (untuk sementara dalam hal ini direpresentasikan Polda Metro Jaya) pengalaman pahit Pram bakal kembali mendekati nyata. Dan lagi-lagi, kreatifitas menulis akan terpasung untuk ke sekian kali.

Ngeri saya membayangkan bila hal itu terjadi lagi. Berapa banyak penulis-penulis produktif semacam Muhidin yang tiarap karena inspirasi dan imajinasinya tak lagi bebas berkeredap. Sudah tentu, dengan begitu buku yang digadang-gadang sanggup membungakan hal-hal baru akan layu. Dan, dunia perbukuan menjadi miskin inovasi dan improvisasi. Sayang sekali, bukan?
Kendati begitu, percayalah bahwa pelarangan buku pada akhirnya akan menemui jalan buntu. Kasus Pram dapat dijadikan cermin. Meski ketika itu tetralogi Pulau Buru “dibekukan” toh nyatanya kian banyak diburu orang. Buku-buku Pram malah santer dibicarakan, baik melalui ulasan media massa ataupun dianalisis dalam bentuk karya yang lain.

Bila mau membelalakkan mata lebar-lebar, kita akan menemui kasus serupa yang dialami Salman Rushdi dengan novel Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses). Novel Salman memang dilarang di sebagian kecil negara, namun justru dikupas tuntas dan beredar luas di banyak negara lain.

Ini artinya, pelarangan suatu buku pada hakikatnya fisiknya saja yang dibekap. Sedangkan pemikiran penulisnya tak bakalan menguap. Jasad buku boleh jadi dilarang, ruh buku yang menyusup ke dalam ceruk keingintahuan khalayak ramai mustahil dihadang. Maka sangat benar bila Pram berkata, "Buat saya, semakin dilarang justru semakin menguntungkan. Karena, hal itu akan menjadi promosi gratis."

pos-el: sag_carpediem@hotmail.com

No comments: