:: gus muh
Keberanian (dan juga rasa nekad!) saya mengumpul dalam menuliskan sebagian manuskrip Kabar Buruk dari Langit dan Adam Hawa kala itu, tatkala bersamaan dengan usainya saya ‘ngaji’ kitab Tn Rushdie yang konon ‘berbahaya’ itu, The Satanic Verses. Ada juga sih berkelebat wajah Pak Nirwan Dewanto dan para pengkritik lainnya. Tapi semua itu bisa saya singkirkan dan saya bisa melanjutkan karangan. Namun Tuan Rushdie bukan saja tak mau pergi, tapi juga menggoda-goda imajinasi saya. "Gelitik-gelitiklah sedikitlah agamamu itu'" bisik Rushdie. "Baik mbah," jawab saya. "Tapi sya nggak brani nggelitik 'nama yang satu itu' lho..., sebgmana nama Bunda Maria dalam Kritiani" "Ya, nggelitiknya jgn banyak2 atas 'nama yg satu itu'. Ntar kayak sy jadinya. Utk kapasitasmu yang msh bujung lokal itu dikit-dikit aja." Saya pun ngangguk takzim. Ya, Tn Rush memang menyumbang banyak megabyte rasa nekad dan keberanian yang sebetulnya konyol. Banyak orang bilang The Satanic digarap buruk. Tapi saya sangat suka kok. Kalau saya sudah kepincut dan suka, trus mau apa. Ya, begini ini jadinya saya…
Bagi kita yang beragama baik-baik dan pemeluk sebuntal iman yang kukuh, mungkin orang Anglo-India ini bukan tipikal sastrawan yang patut ditiru. Tak juga saya, walau akhirnya terpesona dengannya. Di buku Satanic Verses itu ia seenaknya membabat dan menabrak pakem apa pun dalam agama: sejarah kenabian, pelintiran nama-nama suci, memfanakan eksistensi malaikat dan Tuhan, dan seterusnya.
Bukankah mestinya sastrawan dengan nafiri dan gendang kesusastraannya terus mendendangkan dan menabuhkan ruh-ruh agama agar spiritualitas pembaca bisa terpapah menuju Tuhan. Tampaknya Rushdie memang bukanlah tipikal “sastrawan lurus”, “sastrawan islami”, “sastrawan sufi” atau apa pun sebutan keren untuk sastrawan berkarya dengan napas demikian. Rushdie justru berada pada titik yang sebaliknya. Mempertanyakan semua yang lurus, mempermainkan semua yang dianggap benar, atau bahkan merubuhkannya kalau perlu jika “kebenaran” dan semua yang “lurus” itu dirasa malah membekukan imajinasi.
Bacalah, The Satanic Verses (1988), dan kalian akan menyaksikan sirkuit kenakalan yang luar biasa dahsyatnya. Sebuah novel yang membuat hidupnya berenang dalam paranoida yang genting dan terjerat dalam insomnia tanpa jeda.
MULA-MULA harus saya katakan, ketika melewati 10 halaman pertama, novel setebal 547 halaman ini sudah memperlihatkan wataknya yang sejati: tak mudah dibaca, apa lagi dipahami. Plot penceritaannya melompat-lompat dengan susunan diksi yang menghambur tak terkendali, disertai dengan hadirnya tokoh yang tidak datang sendiri-sendiri, melainkan dalam jumlah rombongan dan serentak.
Belum lagi konteks peristiwa dan tokoh-tokoh tidak sentral di suatu tempat dengan budaya yang tunggal, melainkan datang dari latar yang kompleks, seperti India, Bangladesh, Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Arab. Maka nama-nama yang muncul juga campur baur. Sebut saja: Saladin Chamcha, Abu Simbel, Khadijah, Aisyah, Ny Quraesi, Hindun, Khomeini, Rosa Diamond, Don Eirique Diamond, Martin de la Cruz, Jumpy Joshi, Mishal Akhtar, Mirza Said, Zamindar, Begum Sahita, Anahita, Billy Battuta, Hanif Johnson, Rekha Merchant, Alleluia Cone, dan sebagainya.
Lalu apanya yang heboh kalau novel ini saja sukar untuk dicerna? Apanya yang luar biasa sampai-sampai Nadine Gordimer (Lauret Nobel Sastra 1991) berdecak kagum: “A staggering achievement, brilliantly enjoyable.”
Yang menghebohkan tentu saja imajinasi liar Rushdie yang cenderung main-main disertai dengan upaya keras memporak-porandakan simbol-simbol yang kita kenal selama ini seperti lampu ajaib, malaikat, surga, neraka, dan terutama sekali sejarah kenabian.
Novel ini dibuka oleh insiden kecelakaan sebuah pesawat jombo jet Bostan bernomor penerbangan AI-420. Pesawat itu hancur di ketinggian 30.000 kaki. Dua orang penumpangnya, tanpa parasut dan sayap, jatuh sambil menyanyi dengan senandung tanpa lirik dan nada. Menembus pekatnya awan-awan malam di atas kota London sebelum terdampar selamat di bibir pantai yang indah. Kedua orang itu bernama Jibril Farishta dan Saladin Chamcha.
Ya, seusai jatuh dari awan-awan dan terdampar di pantai London, Jibril tak ubahnya laki-laki yang kehabisan sukma hidup. Hidupnya hambar, sepi. Kerap menenggak sampanye Lalique. Seperti seorang bohemian, ia ngelayap tanpa kepastian. Bercinta dengan banyak perempuan, terutama sekali dengan perempuan bermata lebar bernama Rosa Diamond dan Rekha Merchant maupun Alleluia Cone dalam gayut takut oleh sangkaan federasi keamanan sebagai teroris pembajak pesawat.
Mestinya Jibril—juga Saladin Chamcha—bangga karena akibat peristiwa kejatuhan itu ia sudah dikontrak produser untuk tampil di acara fantastik dan diperkirakan ber-rating tinggi: The Aliens Show. Tapi ternyata reality show tak mampu mengobati jiwa Jibril yang melempem. Sebab dalam pengembaraan yang sunyi Jibril berada di simpang impian reinkarnasi, mimpi, dan dongeng.
Sebetulnya, sisi pergantian plot antara kenyataan Jibril Farishta sebagai sosok yang hidup dalam kegamangan dan Jibril Farishta yang berjuang mati-matian untuk masuk dalam dunia reinkarnasi, menyelamatkan kita dari keputusasaan dan kebosanan akan cerita perselingkuhan, intrik, dan hiruk-pikuk pembuatan film dalam novel ini.
Jangan terkecoh, Jibril Farishta bukanlah sosok malaikat Jibril yang rangkuman beritanya tersimpan dalam lipatan kitab suci itu. Ia hanya sosok manusia lemah dan aktor setengah hati yang ingin sekali jadi Malaikat Jibril. Menggantikannya bila perlu kalau memang Jibril sudah bosan melulu menjadi tukang pos Tuhan. Nama Jibril Farishta pun diperolehnya dari ibunya, Naima Najmuddin, yang sekian lama terhalusinasi akan sosok Jibril Sang Utusan itu. Bahkan ketika ia nakal, ibunya memanggil namanya yang lain: Setan.
Dan sejak kejatuhan itu, dongeng itu kembali menyapa Jibril. Mendatanginya dalam alam mimpi yang marun. Mimpi sebetulnya merupakan daerah tak bertuan, in cognita. Dan karena itu mimpi adalah wilayah bebas dan tak terjamah oleh hukum positif apa pun. Karena itu subversif. Dan tampaknya itu yang dipahami Rushdie, sebab subversif dan kehebohan cerita The Satanic Verses diletakkannya dalam konteks mimpi.
DALAM mimpinya, Jibril Farishta melihat tiga peristiwa penting berkait dengan Kenabian Muhammad dan Sejarah Arabiah, Keratuan Aisyah, dan Revolusi Khomeini.
Mula-mula Jibril Farishta meragu dengan kenabian Muhammad. Apa sebab? Penyebabnya tak lain adalah seusai menerima wahyu dari Tuhan di Goa Coney (Hira?), Jibril dan Muhammad bergumul dalam ketelanjangan, berguling-guling di atas pasir putih dengan nafsu yang menggelembung-gelembung. Karena keluguannya, Muhammad tidak tahu bahwa yang barusan bersamanya adalah setan yang menyamar. Dan telah membisikinya wahyu yang kemudian disebut ayat-ayat setan. Dan ayat-ayat ini yang didakwahkan Muhammad kepada umatnya.
Dan dari sini sejarah kenabian berjalan dengan liar, bolak-balik, dan tak mungkin bisa ditemukan dalam sejarah resmi Islam. Sebab jalinan kisah di sini hanyalah mimpi Jibril Farishta. Mimpi menuju Kota Jahiliah.
Sepenggal kota di mana perempuan berpayudara menarik, Hindun, istri Abu Simbel, menjadi penjaja seks nomor wahid (“Siapa sastrawan dan penulis Arab Jahiliah yang belum menjamah tubuhnya?”); kota di mana Muhammad ditinggalkan oleh Salman dari Persia setelah tahu dari Baal bahwa ayat-ayat yang dikhotbahkan Muhammad adalah ayat-ayat setan dan Muhammad adalah pecandu wanita, khususnya daun muda dan janda-janda peyot; kota di mana Muhammad melokalisasi pelacuran di masa transisi dalam sebuah tirai yang disebut Hijab.
Di Rumah Hijab ini terkumpul 12 perempuan, dari yang paling muda sampai janda tua. Si Baal, pujangga yang berhasrat menyaingi ayat-ayat Quran dengan syairnya, punya ide gila yang membentuk 12 perempuan itu berpura-pura sebagai istri Nabi. Dan ia sendiri adalah “Muhammad”.
Maka ada yang menamai dirinya “Hafsah”, “Khadijah”, “Saidah”, “Ramlah”, dan seterusnya. Yang paling muda memakai nama “Aisyah”. Yang paling seksi, erotis, dan goyangannya paling mengerikan memakai nama “Safira” dan “Maemunah”. Bahkan ada pula yang memakai nama istri Muhammad yang baru saja mati, “Zaenab binti Khuzaimah”.
Beberapa kali di Rumah Hijab itu terjadi pertengkaran antara “Aisyah” dan “Hafsah” lantaran cemburu kenapa “Muhammad” yang lebih berhasrat kepada “Aisyah”. Istri yang lain hanya pasrah karena tahu diri dan tahu umur dan kecantikan paras. Ketika penghasilan Rumah Hijab ini lagi naik-naiknya lantaran banyaknya orang yang tersedot ingin sekali mencicipi tubuh “istri Muhammad”, keburu ditutup atas perintah Muhammad dengan alasan penegakan moral.
“Penertiban” itu dipimpin langsung oleh Jenderal Umar dan Khalid. Selain kontol Baal ditarik Umar, ia juga mengarantinakan pelacur-pelacur itu dengan memberi mereka nama Hijab 1, Hijab 2, Hijab 3….
Jibril Farishta juga memimpikan Imam Khomeini yang masygul sendirian di apartemennya dengan ditemani satu-satunya poster besar seorang wanita: Ratu Aisyah. Khomeini sebetulnya membeci segala macam potret, tapi untuk potret satu ini ia rela mengabadikannya dalam pigura raksasa.
Semasa kecil, Ratu Aisyah hanyalah gadis yatim piatu dan tiba-tiba melejit menjadi pelacur berkelas. Lantaran mendapat petunjuk dari Jibril, ia berubah menjadi perempuan berkulit cantik yang bila tubuhnya telanjang saat itu juga sejumlah kupu-kupu indah dan cemerlang menutupi tubuhnya. Dan yang pasti ia kuat. Mirip Ratu Balqis. Juga memiliki mukjizat seperti Musa yang mampu membelah Laut Arab.
Dan perempuan yang dulunya sebatangkara inilah yang menjadi musuh abadi Khomeini hingga meletuskan revolusi. Jadi, dalam revolusi itu Khomeini berhadapan dengan seorang perempuan yang dulunya pelacur, dan bukan pemerintahan diktator Syah.
Mimpi Jibril Farishta itu menarik minat produser dan menuangkannya dalam gulungan seluloid film berjudul Muhammad dan Pembelahan Laut Arabia yang penjualannya meledak buruk. Selain karena akting Jibril Farishta yang memerankan Malaikat Jibril yang buruk, efek-efek yang dipakai sudah basi karena buatan dalam negeri, juga karena, misalnya, film Muhammad, menabrak semua segi keagamaan yang bisa dibayangkan pemeluknya. Walaupun SS Sisodia dan Billy Battuta, produser dan aktor, sudah sesumbar: “Ini adalah film teologi dengan pembaruan… Tujuan kami bukanlah membuat film The Message di mana setiap kali Nabi Muhammad muncul, yang kelihatan hanya kepala Unta yang menggerakkan mulutnya. Itu tidak berkelas. Kami membuat kelas tingkat tinggi. Serupa fubel.” (hlm 272)
Seperti sudah memperkirakan sendiri nasibnya, mimpi dan film Jibril Farishta itu kemudian memicu amarah Muslimin dari pelbagai belahan dunia. Walaupun Rushdie sudah sekuat tenaga menggalang barikade semua pihak untuk melindungi freedom of the imagination, toh tidak menyurutkan arus bah pekik marah itu. Tak tanggung-tanggung, Imam Khomeini mengeluarkan fatwa mati kepadanya dan barangsiapa yang membunuhnya akan diganjar hadiah uang dalam jumlah menggiurkan.
Bahkan, Najib Mahfuz, yang awalnya membela Rushdie atas kasus novel The Satanic Verses, menyurutkan dukungannya dan mengatakan bahwa Rushdie tak berhak menghina keyakinan orang lain. Padahal kita tahu, novel Najib Mahfuz, Aula Haratina, pernah dilarang oleh otoritas Al-Azhar karena dianggap menghina kesucian sejarah nabi lantaran memakai nama dan potongan sejarah para nabi awal sebagai kendaraan tunggangan plot. Strategi yang mirip dipakai Rushdie.
Tapi nasib Rushdie ini lebih runyam dari Najib. Olok-olok Rushdie menarik kecaman dan pemberangusan Muslim sedunia. Bahkan kontroversialnya melahirkan tikai dan meneteskan darah di pelbagai negara dalam kerumunan demonstrasi membakar karya Rushdie dan menghalalkan darahnya untuk dibunuh.
Tabik Tuan Rushdie, kok kita bisa ketemu ya…. berjodoh kali sebagai penghuni neraka… allahumaa a-miennnnn
4 comments:
hehe...
maaf saya tak bisa berkomentar apa-apa selain tersenyum. sungguh, saya teringat pertama kali menjamah bukunya Tuan Rushdie itu. Skr, saya memang menemukan kekonyolan menarik yang hampir mirip pada diri anda.
hehe...
Bukan kekonyolan yang sama antara muhidin dengan rushdie, tapi memang dua-duanya orang edan kok. gelo. sinting. hidup sekali kok dipake untuk mencari predikat murtad yang ditempelin oleh HTI, dkk. Huahuahua.... selamat datang di blog neraka. blog perusak agama. itu kata gus muh sendiri loh... huehuehue.....
ohh.. jadi ini tokh neraka yg dibuat gus muh? tapi sungguh, saya tak bermaksud menjadi penghuni nerakanya. sebab saya juga punya neraka sendiri. saya hanya singgah sebentar, semoga saya bisa merasakan api dari nerakanya gus muh ini seperti api yang membakar ibrahim. hahaha...
Wah, makasih gus, aku jadi tahu sedikit-dikit tentang isi The Satanic. Haha, jangan-jangan neraka itu gak ada ya gus. Sebab, Huthamah itu adalah ego dan nafsu kan. Hehe...
Post a Comment