18 March 2007

Gus Z.A.T, Guruku Berpulang


::gus muh

Saya sudah tertidur pulas di kantor Indexpress Jakarta Pusat (yang posisinya hanya selontaran ludah dengan Markas Besar Angkatan Darat) ketika sebuah sms dari kawan Tasyriq mengabarkan mangkatnya Gus Zainal Arifin Thoha. Karena saya tak percaya sms itu, saya minta tolong istri saya ke rumahnya (maklum rumah kami di Krapyak berdekatan). Dan benar, di sana, di rumah kecil itu, rabu malam 14 Maret 2007 sekira pkl 11, upacara duka sudah dilangsungkan.

Kata istri saya yang hingga pagi turut berkabung di kamar duka, Mbak Maya (istri terkasih Gus Zainal) hanya diam dan sesenggukan menunggui jasad suaminya yang terlentang kaku. Apalagi Mbak Maya sedang hamil 9 bulan (anak ke-5)itu tak menyangka Gus Zainal pergi secepat itu tanpa ada tanda sakit apa pun. Ia pergi dengan sangat damai tanpa keluhan kecuali ia merasai dingin tiada tara saat napas berlomba keluar dari lorong paru.

Gus Zainal telah pergi untuk selama-lamanya di usianya yang masih muda: jelang 35 tahun (5 Agustus 1972-14 Maret 2007)

Nama Gus Zainal tak pernah lekang dalam ingatan saya. Dari dia saya mengenal dunia tulis-menulis di Jogjakarta. Ia adalah penulis muda yang sangat produktif. Esai, puisi, artikel, resensi buku digarapnya semua. Nyaris semua koran di Indonesia pernah memuat tulisannya. Tapi kelebihannya tak sebatas itu. Ia juga adalah guru olah spiritual.

Sebelum ia mendirikan pondok pesantren mahasiswa (khusus program menulis, membaca, dan zikir), Hasyim Asy'ari Krapyak, saya sudah mengikuti pengajian tasawufnya di IKIP Jogjakarta (sekarang UNY) pada 1997-2001. Bahkan untuk menulis di Kompas, ia menyuruh saya memakai nama komunitas itu, yakni Jamaah Pengajian Selasanan (Jampes) yang semalam-malamnya diasuh oleh murid terkasihnya yang lain, Ali Formen Yudha (sekarang menempuh studi master di Australia).

Gus Zainal (dan juga Ali Formen Yudha) pula yang mengantarai saya dan Nidah Kirani. Kami berdua adalah murid pengajiannya sebelum Nidah terlempar entah ke mana dari pengajian itu dan tumbuh frontal ganas di luar garis. Gus Zainal memang mencurigai dan merasa-rasai bahwa Nidah Kirani yang pernah sy tuliskan itu adalah muridnya. Namun saya diam saja. Hingga pada pertemuan terakhir dia menanyakan lagi bahwa apakah benar nama itu pernah menjadi santrinya. Dan saat itulah saya tak berkutik selain mengiyakan. Ia pun tersenyum. Mungkin senyum itu pertanda puas bahwa perabaan hatinya tepat.

Saya kemukakan ini, bukan untuk menarik Gus Zainal ke pusaran itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa Gus Zainal membebaskan murid-murid terkasihnya untuk melakukan apa saja. Saya tahu bahwa gaya dan tema penulisan yang saya geluti berbeda dengannya, tapi toh ia masih menyayangi saya. Setiap tandang ke rumahnya ia sendiri yang menyuguhkan segelas kopi yang diseduhi dengan sebait doa atau mungkin serubaiyat puisi.

Dengan doanya pula berkali-kali saya selamat menempuh hidup dari semua pranala kekalutan. Dan tahukah Anda bahwa puisinya yang berjudul "Soneta Cinta" berhasil menyadarkan saya tentang apa sejatinya cinta antarmanusia. Waktu itu, sekira 1999, saya nyaris gila sebelum bertemu dengan Gus Zainal. Dan dia menasehati saya panjang lebar. Juga sebait puisi itu:

SONETA CINTA

Seseorang yang mencinta
tak sepenuhnya
mungkin ia punya wajah
tapi tak punya mata

Seseorang yang mencinta
tak sepenuhnya
mungkin ia punya tubuh
tapi tak punya jiwa

Seseorang yang mencinta
tak sepenuhnya
mungkin ia punya hati
tapi tak punya cahya

Seseorang yang mencinta
tak sepenuhnya
mungkin ia benar-benar cinta
tapi berkhianat juga


Untuk mengetahui perkembangan bacaan muridnya, Gus Zainal tak segan-segan mengunjungi kos si murid. Ya, beberapa kali kos saya disambanginya sepulang dari pengajian Jampes. Ia melakukan hal itu tiada lain hanya ingin melihat sejauh mana bacaan muridnya. Digerayanginya rak buku saya. Dan setelah itu dia pergi lagi.

Berkait dengan perhatian itu, Gus Zainal pula yang mengubah nama saya menjadi Muhidin M Dahlan. Sebab sebelumnya saya kerap memakai nama Muhidin MD atau Muhidin saja. Mungkin dengan cara itu Gus Zainal merahmati jalan kepenulisan saya. Ia seperti bapak kandung kepenulisan saya yang menandai pertama-tama jalan saya berlaga di jalan kepenulisan profesional. Ia sudah mengazani telinga kiri saya dengan zikir dan doa di Jampes, dan ia pula yang memberi saya nama yang hingga kini saya pakai terus.

Lalu saya pun lepas dari sapihannya. Di luar kerangka sapihan itu saya mengembara ke dunia bacaan yang tak pernah lagi ia periksa. Hingga pada 2003 saya berada pada sebuah tikungan yang sempit dan mengambil jalan berbeda dengan tema yang selama ini digelutinya. Tentu ia sangat sadar dengan itu. Namun itu bukan alasan buatnya untuk menghakimi seorang murid atau menelantarkan saya. Saya sangat sadar bahwa ketertarikan saya dengan dunia tasawuf dibimbing Gus Zainal. Kalau pun saya menjadi kurang ajar ketika menuliskan kembali dunia tasawuf yang saya pahami, itu lantaran pengembaraan saya pribadi dengan buku-buku. Itu pun tiada lain karena saya memaklumkan ucapannya pada suatu malam, bahwa: "Baca semua buku. Jangan takut. Tuhan bersama para pembaca buku."

Saya memang tak pernah takut membaca buku setelah menerima siraman aforismanya. Bahkan itu buku paling kafir dan kurang ajar sekalipun. Dan saya setelah jadi penulis yang "simpang siur" ideologi dan orientasi keagamaannya begini, ia tetap menyayangi saya, sebagaimana ia menyayangi Gugun, Gofur, Muhammadun, Mukhlis, dan sederet murid-muridnya yang juga memilih jalan hidup sebagai penulis.

Cuma satu yang barangkali tak pernah saya nikmati darinya, yakni kegemarannya dengan dunia makam dunia kubur. Selain karena saya sudah jarang bersua dengannya, saya itu paling takut dengan kuburan. Ihhh, betapa menakutnkannya. Nonton realitiy show 'Tamu Tak Diundang' Lativi atau film2 Susana saja saya takutnya tiada terkira. Tapi untuk satu program pendidikan yang sedang ia rancang akhir2 ini, yakni Program Pendidikan Malaikat (saya lupa persisnya), saya tertarik dan mengiyakan ikut. Kebetulan malam itu saya duduk bersila dengan Kawan Saiful Ghofur (Gus Ipul). Sewaktu pulang ke rumah, saya berpikir ulang, jangan2 program "Sekolah Malaekat" ini juga punya mata kuliah praktikum tidur di dalam kubur. Kalau itu yang terjadi, saya sudah pasti akan membatalkan keikutsertaan.

Demikianlah, sekilas hubungan saya dengan Gus Zainal dalam satu periode waktu. Hingga ia tiada, Gus Zainal tetap guru menulis saya mula-mula. Saya tabalkan dan takzimkan itu rapat-rapat.

2 comments:

Chakim said...

Ikut berbelasungkawa atas meninggalnya guru njenengan. Semoga almarhum bahagia di alam penantian sana.

Bernando J Sujibto said...

Alfatihah untuk beliau guru kita, Gus...

bje