::muhidin m dahlan
MASALAH:
(1) bagi seorang penulis ataupun seorang pembaca, buku apa sih yang paling baik?
(2) apa pentingnya pengkritik buat penulis?
BAGIAN I
Inilah jawaban saya: buku yang baik adalah buku yang mampu mengungkap, menggelitik alam bawah sadarnya, dan mendorongnya untuk bertindak atau merenungkan hidup.
Mungkin bagi sebagian orang, buku itu tampak ecek2, kampungan, katrok, tapi bagaimana kalau buku itu bisa mengubah hidupnya, merevolusi cara pandangnya.
Bagi kalian, buku2 pemenang nobel itu atau pemenang2 hadiah sastra itu luar biasa. Kalian memujinya setinggi langit. Tapi kalau buku itu tak memberi rasa sentuhan kepada saya, apalah guna semua pujian itu. Semua akan lewat tak teringat tak berjejak.
Kalau kalian berkata bahwa buku La Tahzan itu luar biasa, bagaimana kalau saya lebih tersentuh dan merinding ketika membaca berulang2 buku Haji ali syari'ati. Lalu mana yang lebih baik: buku La Tahzen atau buku Haji.
Maka dari itu bagi saya membaca adalah sebuah pengalaman personal.
Tak bisa kalian membanding-bandingkan derajat buku jika sebuah buku punya pembacanya masing-masing. Apa kalian kira seorang penulis tidak memikirkan buat siapa buku itu. Bahkan penulis paling pemula pun di bawah sadarnya dia sudah terpacak bayangan untuk siapa. Dan paling minim adalah pembaca yang dibayangkannya adalah pribadi-pribadi yang punya karakter seperti dirinya.
Dan apa sih salahnya buku yang terjual banyak?
Saya adalah salah satu pendorong bagi kawan2 saya yang baru saja memasuki gelanggang kepenulisan untuk menulis terus, jangan takut nggak dibaca, tapi kalau bisa pikirkan siapa dan seperti apa pembacamu. Kalau pembaca yang kamu pikirkan adalah sangat terbatas, ya itulah pencapaian karyamu. Lakukan itu, kejar itu. Kalau kalian menulis dengan menembus pembaca dengan cara terlebih dahulu menembus benteng selera para juri lomba, tempuhlah jalan itu. Ambil hadiahnya, dan semoga dari sana pembaca yang banyak bisa kalian raih.
Dengan kejelian membaca pasar buku atau pasar pembaca, tidak lantas bahwa prilaku sang penulis itu semata mencari keuntungan finansial. Itu hanya timbal dari kecerdikan menentukan target pembaca dan tentu saja kecerdikan membaca ruang gagasan yang lowong. Bukankah menulis adalah kata kerja dan setiap kerja layak diberi imbalan. Yang kurang terpuji adalah menjadi peminta-minta.
Kembali ke selera bacaan.
Mungkin kalian akan bilang bahwa selera saya katrok, ndeso, dan menjijikkan. Dan akan saya bilang, biarin. Toh saya membaca buku yang kemudian saya sukai itu karena memiliki implikasi etis dan intelektual dalam diri saya.
Karena itu jika kalian bertanya kepada orang, maka kalian akan terkaget2, betapa nyaris semua orang berbeda buku favoritnya.
Jika kalian bilang: hei gus muh, buku apa yang kausukai sejatinya. Maka jawaban saya ada tiga. (1) buku Haji yang membuat saya tergetar dan mengarahkan pelan2 pandangan saya bagaimana gerak fisik setiap ibadah adalah langkah2 revolusi. Dri buku ini, maka saya tergerak ke kiri, saya terdorong untuk menyelenggarakan pesantren sosialisme religius, dan tak gegabah menghinakan kaum komunis. (2) buku Pram yang membuat saya terguncang dan mau mencintai dan sekaligus belajar membuat novel di mana sebelumnya karya sastra adalah buku haram dan tak senonoh untuk dipegang. Mungkin kalian mengatakan buku Pak Budi Dharma itu luar biasa. Saya menghargai itu. Tapi jangan kalian paksa saya turut mencintainya. Sebab sudah dua buku Pak Budi saya tamatkan, saya tak terlalu banyak mendapatkan greget dan karena itu buku itu tak bisa mengubah jalan hidup saya. (3) buku Ayat-ayat Setan (The Satanic Verse) Salman Rushdie yang mungkin bagi kalian itu buku tak bagus, jelek di semua lini, tapi kalau saya menyukainya terus mau apa.
Mungkin kalian bilang buku2 katrok dan tak senonoh dan tak mungkinlah mendapat banyak penghargaan diajang perlombaan gampang dibuat... mungkin, tapi saya percaya satu hal, buku sesederhana apa pun itu membutuhkan cucuran keringat yang tak sedikit untuk membuatnya, membutuhkan berlapis kesabaran untuk tak tergoda meninggalkan embrio yang sedang tumbuh di kepala, membutuhkan ketegaran untuk bergabung barang sebentar dengan telaga sepi, dan tentu saja butuh disiplin yang mengekang diri untuk menyelesaikannya hingga huruf terakhir.
Karena itu saya menghargai sepenuh2nya buku, suka atau tidak. Saya menyukai penulis (buku atau blog) yang menulis dengan kesabaran yang intens, ketahanan berada di tepi sepi, dan kesungguhan menerapkan disiplin. Kalau pun karya yang dihasilkannya bermutu rendah, itu tak jadi soal. Kalian boleh mengutuknya, kalian boleh memakinya, kalian boleh mendinakannya, tapi jangan paksa saya melakukan hal serupa seperti yang kalian lakukan.
Dan terakhir, sebuah buku akan mencari pembacanya yang sehati lewat prosedur pasar yang berkelok-kelok, penuh intrik, saling merintang dan membalok, tapi dilakukan dengan kadar kegairahan yang meluap2.
BAGIAN II
Saya menghargai kritik. Saya sepakat sepenuhnya bahwa dalam masyarakat teks ada selapis orang yang berprofesi pengkritik. Dan itu baik buat penulis dan baik pula buat pembaca.
Pengkritik apa sih yang berguna bagi penulis. Semua berguna, namun yang saya maksudkan adalah tingkat gradasinya.
Kalau ada yang hanya mencela dan memaki dan bahkan ia melakukan itu dengan bahkan tak pernah membaca langsung buku itu, sorry, lupakan saja. Mereka baru bangun tidur. Mereka terlahir bukan sebagai pembaca yang utuh, mereka pembaca setengah. Dan orang yang setengah2 ini yang paling menakutkan. Dan sekaligus membuat perkara kebingungan dua penjaga gerbang akhirat: neraka dan surga. Ini org mau dimasukkan ke mana ya... dia jahat tapi baik juga; dia baik tapi jahat juga...
Pembaca yang utuh adalah pembaca yang memang membaca buku sampai selesai...(dan tak merepotkan para malaikat). Tentu tak mesti membaca buku itu dari lembar pertama sampai yang terakhir, karena ada orang yang maqom membacanya sudah tinggi... hanya melihat beberapa halaman saja sudah memberikan komentar dan komentar itu tepat, cerdas, dan kritik yang menghunjam tajam.
Pengkritik apa yang dibutuhkan penulis? Tentu saja kritik yang sungguh2. Kritik yang mengelupas setiap kulit makna dalam buku itu. Dan saya sangat menghargai kritik yang demikian itu.
Lantas bagaimana sikap penulis menanggapi kritik2 itu. Tanggapan terbaik adalah kembali ke kamar, atur daftar bab, meriset bahan, dan kembali menulis... terlalu lama ikut serta dalam kerumunan debat, saya khawatir dia akan salin profesi mengerikan: turut menjadi pemaki, tukang sinis, dan lupa mencipta.
Jika kalian coba2 mengkasifikasi seorang penulis dengan penulis berselera rendah dan penulis berselera tinggi (karena itu berpengaruh dengan klasifikasi: buku rendah dan buku tinggi), kalian belum keluar dari perdebatan zaman dahulu kala. Apakah itu salah? Tidak tentu saja, walau belum tentu benar. Saya punya klasifikasi sendiri atas jenis pembaca, atas jenis penulis, dan pada akhirnya atas jenis sebuah buku.
Dan simpulan saya sederhana saja:
(1) PEMBACA YANG MALAS DAN PEMBACA YANG RAJIN. Pembaca yang malas akan menghasilkan dua hal: ekstrim memaki atau royal memuji. Pembaca yang rajin tampak akan bijak; bukan karena keengganan atas sosok penulis (karena teman karena senior karena dosen sendiri), tapi karena dia tahu mana bumbu yang kurang pas dan mana bumbu yang lebih, serta mana bumbu yang lupa ditaruh.
(2) PENULIS YANG MALAS DAN PENULIS YANG RAJIN. Penulis yang malas adalah penulis yang tidak mau meluangkan waktu untuk melakukan riset atas tulisannya dan ketekunan membaca. Bahkan karangan paling imajinatif dan surealisme paling liar sekalipun butuh riset. Penulis yang rajin adalah penulis yang sebaliknya dari penulis yang malas...
Dan paling pungkas, seperti halnya penulis dan pembaca, cuma ada dua jenis blogger: blogger yang rajin mengupload dan blogger angin-anginan. Tabik!
3 comments:
masih inget saya? saya yakin tidak.
liat blog ini dari link zenrs, dan tak kalah mengagumkannya dengan zenrs (meski sekarang rada pusing bacanya)
kenapa ya susah cari buku sampeyan di toko besar di Bandung? apa saya kurang jeli,
Pinufa, saya udah beberapa kali berkunjung ke blogmu lho... ntar saya akan menitip jejak di sana.
Buku saya masih ada di Gramedia Pusat Bandung kayaknya... sebulan lalu mampir ke sana, buku saya ada di lantai satu di pintu masuk sebelum pengunjung naik ke lantai dua... di bandung baru masuk tahun ini setelah empat tahun terbit. Nggak tahu juga apa soalnya.
yo pantes aja p emang lama tak ke Gramedia Pusat semenjak nemu toko langganan di Palari. i wrote abt u on my blog.
Post a Comment