::muhidin m dahlan
Hudan Hidayat menulis esai “Nabi tanpa Wahyu” (JP 1/7/2007) sebagai tanggapan atas esai Taufik Ismail (“HH dan Gerakan Syahwat Merdeka”, JP 17/6/2007) yang menanggapi tulisan Hudan Hidayat sebelumnya (“Sastra yang Hendak Menjauh dari Tuhannya”, JP 6/5/2007) di Harian Jawa Pos. Di Pada saat yang sama di Harian Republika muncul esai Viddy AD Daery “Gerakan Sastra Anti Neoliberalisme” yang menyindir halaman budaya Media Indonesia sebagai koran bersekutu nilai dengan Komunitas Teater Utan Kayu (TUK) sekaligus mengobarkan semangat negasi TUK. Terutama soal yang menjadi keprihatinan sastrawan Taufik Ismail: neoliberalisme dan syahwat.
Saya sedang menonton film pemenang Berlin International Film Festival 2004 untuk Sutradara Terbaik, A Horny of Samaria (Samaritan Girl), saat membaca potongan-potongan kliping perdebatan itu.
#1
Dua anak SMU di Korea Selatan. Kulit pualam dan daging-daging tubuh masih liat pejal. Keduanya mengejar impian ke suatu tempat yang jauh. Dan diam-diam keduanya menyiapkan sejumlah uang.
Dan, “Astaghfirullah,” suara parau Taufik Ismail tertahan di kerongkongan membaca esai Hudan Hidayat “Sastra yang Hendak Menjauhi Tuhannya”. Lalu ia tak ambil peduli. Taufik mengambil pisau dapur dan mengiris bawang merah. Ia mulai melantur tentang praktik bejat sastrawan yang disebutnya Fiksi Alat Kelamin.
#2
Keduanya, cewek ingusan ini, sebagaimana galibnya dua pelacur profesional, membagi tugas. Jae-Young yang tampil feminin bertugas tidur dengan lelaki, sementara rekan dan sahabat karibnya, Yeo-Jin ambil tugas sebagai germo, manejer, dan sekaligus kasir dari semua keringat yang diperas Jae-Young. Satu lagi tugas Yeo-Jin: mencatat dalam diari mereka berdua kapan dan dengan lelaki yang mana Jae-Young melacur hari ini. Mereka pun mengincar motel. Jae-Young di kamar lantai tiga. Yeo-Jin di selasar untuk mengintai aparat keamanan yang selalu datang merazia transaksi seks yang dilakukan makhluk-makhluk di bawah umur.
Seperti polisi moral dunia akhirat, Taufik Ismail meneteskan airmata. Orang ini memang terkenal dengan mewekannya. Seakan-akan, sosoknyalah nabi baru yang menyelamatkan Indonesia ini dari kebrutalan Fiksi Alat Kelamin. Di usianya yang sudah magriban ia tampak gagah, tapi sekaligus cengeng. Ia sangat tahu bahwa tangisnya adalah modalnya untuk menaklukan hati siapa saja untuk bergerak melarang. Kalau sastrawan-satrawan Lekra dulu melarang semua yang tercela dari garis revolusi dengan suara lantang-lantang serak, kini Taufik Ismail melakukannya dengan menghamburkan airmata dan dengan suara serak-trenyuh menghiba-hiba belas kasih. Seorang diri maju tak gentar mengganyang sastra yang tak diridoinya. Ck. Ck. Ck.
#3
Beberapa kali memang Jae-Young dan Yeo-Jin bebas dari razia di motel itu. Namun rupanya dua petugas keamanan sudah mencium praktik itu. Praktik banal itu digerebek. Tapi Jae-Young cepat turun tangga belakang motel dan berlari bersama Yeo-Jin melintasi pasar yang ramai. Jae-Young hanya memakai beha berlari-lari di pasar kelontong itu.
Dulu, sebelum Taufik menjadi--dalam istilah Hudan Hidayat--nabi tanpa wahyu, adalah pengecam keras praktik-praktik kejam yang dilakukan sastrawan-sastrawan Lekra dan tanpa penjelasan yang njlimet melekatkan kepada Lekra stigma seratus prosen Partai Komunis Indonesia. Di mata Taufik, nyaris tak ada yang baik yang dilakukan sastrawan Lekra. Bacalah buku yang disusunnya, Prahara Budaya, niscaya Anda akan berkesimpulan: Lekra tak lain adalah segerombol algojo haus darah. Padahal, apa yang ia kampanyekan hari ini sudah dilakukan Lekra 52 tahun lalu. Bacalah Harian Rakyat di bundel Fabruari 1955 bagaimana Lekra Jogja mengumumkan jihad akbar terhadap pakaian-pakaian seronok dan sebangsanya di hadapan umum.
Baca pula artikel Iecha Akulara di lembar “Lentera” Bintang Timoer edisi Jum'at 2 Nopember 1962 yang diasuh Pramoedya Ananta Toer. Di sana Rendra dikecam habis-habisan karena menulis sajak-sajak kelamin. Setelah mengulas 6 sajak Rendra, artikel “Puisi Erotik: Bingkisan Ulangtahun Rendra” itu dikhatami dengan paragraf: “Tapi kita masih bisa merasa beruntung, karena erotika tak tumbuh subur dalam sastra Indonesia. Erotika jang berlebih2an hanja merugikan moralite bangsa kita, jang sedang sibuk dalam taraf pembangunan semesta berentjana. Dan sebaiknja dalam hal ini kita mengikuti pendirian dr. K. Heeroma, jang mengatakan bahwa puisi erotis adalah puisi hina. Sastra jang sematjam inilah jang mesti segera dibabat!”
Rupanya Taufik Ismail tak mau mengutip guntingan artikel itu supaya suatu saat akan dipraktikannya secara leluasa tanpa ada yang tahu. Generasi saya yang hadir belakangan betul-betul terkelabui. Sialan.
#4
Jae-Yung bernasib baik dan selalu bisa kabur dari razia yang pada akhirnya bunuh diri pada penggerebekan ke sekian kalinya. Bukan lantaran aparat ia meloncat dari lantai tiga, melainkan karena Yeo-Jin tak ingin dia mencintai teman kencannya. Yeo-Jin cemburu. Lantas karena itu Jae-Yung memilih mati. Tapi kematiannya adalah perubahan jalan hidup Yeo-Jin. Dia adalah anak aparat polisi moral Seoul. Seusai diasupi ayahnya setiap pagi dengan masakan kesukaan almarhum ibunya, dia segera berangkat ke sekolah lalu melacur. Dia hubungi semua teman kencan Jae-Young untuk menidurinya di lantai tiga motel. Usai bercinta, dia ucapkan terimakasih dan uang pemberian lelaki kepada Jae-Yung dikembalikannya.
Ayahnya resah setelah tahu bahwa anaknya lonte. Dibunuhnya satu per satu lelaki yang meniduri anaknya. Kalau Yeo-Jin melacur untuk nazar membersihkan rasa bersalahnya melarang Jae-Young jatuh cinta, maka ayahnya membunuh semua lelaki girang itu karena martabat sebagai seorang ayah dan polisi. Selanjutnya film ini tak banyak bicara. Semuanya berjalan dingin dan tak mudah ditebak ujung emosi dan hubungan ayah dan anak ini. Yeo-Jin memang menyelesaikan nazarnya dan mencoret nama terakhir yang mengencani Jae-Young dan ayahnya juga mengakhiri pembataiannya atas lelaki terakhir dalam buku diari itu dengan cambukan borgol dan hentakan batu bata yang menghamburkan seisi kepala lelaki bejat itu. Yeo-Jin tersedu di kaki gunung. Ayahnya dengan tatapan kosong meninggalkan Yeo-Jin di gigir sungai yang teduh menuju penjara dengan dakwaan pembunuhan.
Di dapur rumahnya, Taufik Ismail terus berlatih menangis. Ia bawa juga tangisnya di ruang sidang DPR dan tangis itu berbuah kata “PKI” kembali masuk kurikulum pelajaran sejarah SMP-SMU setelah sebelumnya sempat raib (kurikulum 2004). Ia tumpahkan pula tangis itu di ujung-ujung mikrofon atas nama pidato kebudayaan; audiens terharu dan ia berharap dukungan membabat 13 aliansi Sastra Syahwat Merdeka. Tangisnya itu pula yang ia sebar di halaman-halaman koran dan huruf-huruf di koran pun luntur.
Politik tangis itu pula yang membuat saya iba hingga saya terkadang tak lagi mengenali siapa sejatinya Taufik Ismail ini. Masihkah ia seorang Humanis Universal atau Humanis Unilever. Masihkah ia seorang penyair yang melahirkan puisi pamflet Tirani dan Benteng, walau gaya realis itu sudah menjadi makanan sehari-hari penyair-penyair Lekra yang dia kutuk hingga ke liang lahat selama bertahun-tahun lamanya.
Saya berharap mewekan Taufik Ismail di atas hanya fiksi belaka dan salah satu adegan persiapan syuting film Ratapan Anak Tiri 3 yang penuh hujan airmata. Sebab jika terjadi di panggung kebudayaan yang sebenar-benarnya, Taufik Ismail hanyalah epigon dari salah satu projek Lembaga Kebudayaan Rakyat yang sudah teralpa: buang ke tong sampah majalah Playboy, singkirkan sastra yang mengabuti moralitas revolusi, pria berkeluarga haram hukumnya selingkuh dengan perempuan lain, dan perempuan berbikini dilarang berlenggak-lenggok di ruang publik karena merusak jalannya revolusi.
*Dipublikasikan Harian Media Indonesia Ahad 8 Juli 2007
* Untuk membaca secara keseluruhan Pidato Kebudayaan DR Honoris Causa Dokter Hewan Taufik Ismail, silakan baca di sini!
5 comments:
Hihihi... Sinisnya Gus Muh udah kayak orang Inggris.
Oya, di Horison edisi Pramoedya, semua esainya nggak ada cerita bagus tentang Pram.
Lida, boleh jg dibilang sinis. Tapi itu cuma mengingatkan taufik ismail bahwa apa yang dilakukan taufik hari ini dengan petetntang petentengnya itu, sudah dilakukan jauh lebih heroik oleh manusia2 taik yang dikutuknya bertahun2, yakni sastrawan2 lekra. Taufik-taufik, ....
segitu-nya kah?? Wah kalau terlalu sinis nanti jadi "mirip" dengan gaya-gaya "hujah menghujah" di Harian Rakjat loch...
Begini, sinisme itu kan doctor honoris causa docter hewaniah Taufik Ismail sendiri yang membuka dan memakai cara-cara Lekra yang dikutuknya itu. duh, malu betul aku menghujat sastra (*lirik binhad*)... jadi ya setimpal juga bukan....?
hehehhe...saya baru sadar kalo topik semail kayak gitu..hahaha
topik, topik!!! ckckckck
tulisan yang menarik Gus..
harus banyak orang yang membaca ini, supaya tahu siapa yang suci dan pura2 suci...
sayangnya, kadang orang yang mewek dalm deklamasi dianggap sangat meresapi, astaganagaaaaaaaaaaa
Post a Comment