Saya itu sudah jarang lihat daftar acara televisi setiap hari. Yang saya tahu, TPI dan Lativi punya stok film Rhoma Irama yang melimpah-limpah. Nah, Sabtu belum lama ini, selagi asyik nonton dar-der-dor antara dua sniper KGB dan FBI (benar nggak sih) dalam film Sniper 2 di Trans TV, dari jauh saya dengar ada sayup-sayup suara Raden Oma Irama atau biasa dipanggil Rhoma Irama dari rumah tetangga. Maaf saja ini, telinga saya masih cukup peka dengan suara lirih Rhoma yang bariton itu.
Langsung saja saya mendekat ke televisi. Sasaran saya dipastikan cuma dua saluran: kalau nggak Lativi ya TPI. Dan TPI ternyata, Saudara. TPI sedang memutar film Perjuangan dan Doa. Film ini diproduksi sekira tahun 1980.
Saya nggak ngeliat awal-awalnya karena film hollywood sialan itu sudah menyita perhatian awal saya. Yang saya lihat sudah pada adegan beberapa preman yang besar dan brewokan marah-marah kepada anggota tim Soneta di belakang panggung setelah mereka tampil. Mereka sewot benar dengan kalimah-kalimah agama di lirik lagu Rhoma yang berjudul “Iman” dan “Syahadat”.
“Apa maksudmu mengatakan mengapa yang asyik-asyik itu yang dilarang? Mengapa kamu bilang minum-minuman itu ngikuti cara binatang?” seru salah satu dari mereka.
Lalu di belakang panggung itu terjadi adu moncong dan Rhoma menceramahi preman-preman itu. Sudah menjadi langganan film Rhoma bahwa musuhnya itu ya tukang jigo (main kartu), pemabok, dan pemalak. Nggak jauh-jauh dari soal akhlak dalam masyarakat. Makanya jangan heran kalau Rhoma marah benar ama pantat Inul. Secara genealogis, udah dari sononya dia selalu sewot dengan yang kayak gituan. Dan di film ini, sebagaimana tersirat dari judulnya, sangat royal mengeluarkan hadis dan firman Tuhan untuk menghantam perbuatan-perbuatan maksiat.
Film ini berisi perjuangan keras Rhoma agar bagaimana kalangan Muslim bisa menerima bahwa agama dan musik (dangdut) bisa sejalan. Sebab masyarakat bertanya-tanya, kenapa harus dangdut di mana hal itu membuat orang berjoget-joget ketika dinyanyikan lagu syahadat misalnya. Itu kan mudharot. Mengapa bukan kasidah saja.
Rhoma dan Soneta juga diprotes kalangan santri karena telah menjual firman-firman Tuhan untuk publisitas dan merayu cewek-cewek muda. Tentu saja Rhoma membantah. Ia kutip hadis sana, pinjam firman ini untuk membelah diri dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan pondok Al-Mutmainah pimpinan Kiai Alwi.
Di adegan ini nyaris 30 menit kita disuguhi ceramah verbal agama yang monoton. Kamera boleh dibilang nggak gerak. Seperti diletakkan begitu saja mengikuti diskusi agama dengan lidah difasih-fasihkan. Bangku-bangku berjejer-pjejer seperti waktu kita sekolah dulu. Di situ peserta yang rata-rata berbaju putih duduk. Pacarnya Rhoma juga di situ sambil sesekali mesem kalau Rhoma terlihat cerdas ngasih jawaban.
Rhoma di mimbar kiri, sementara santri yang protes, di antaranya Iman, Said, dan Ahmad ada di mimbar kanan. Di tengahnya moderator—kayaknya setelah meniliki raut dan suaranya pasti deh itu Ustaz Sanusi yang sampai hari ini masih ceramah ditipi-tipi itu. Saya yakin kok. Telinga dan perasaan saya belum pikun amat untuk mengingat.
Nah, Kiai Alwi berada di tengah. Dan sudah ditebak juga, Rhoma direstui oleh Kiai untuk tetap bermusik. Alasan Rhoma agar anak muda yang gandrung musik dekat dengan Islam dan Soneta bisa menangkis serangan budaya dari Barat. Oh, Rhoma, mulianya niatmu. Allahu akbar.
Musuh Rhoma ternyata bukan hanya preman-preman kios yang tambun itu, tapi juga ayah pacarnya. Dalam film ini Rhoma pacaran sama anak tsanawiyah bernama Lela (Rica Rachim). Si Lela ini teman sekolahnya Rita (Rita Sugiharto) yang biasa dibawa Rhoma untuk backing vocal kalau Soneta manggung di acara sunatan atau pesta kawin. Uh uh, memang Rhoma ini dari dulu gandrung banget ama cewek pucuk ijo.
Lela dikisahkan seorang anak alim yang sering digodain preman. Ibunya juga alim. Yang soal justru bapaknya, si Mansyur (WD Mochtar). Si bapak ini seorang pengrajin bir yang tekun. Stok botol bir dan miras di rumahnya sudah bejibun.
Nggak ada yang mengejutkan, nggak ada plot yang rumit. Rhoma datang ke rumah itu. Tugasnya adalah menyadarkan Pak Mansyur bahwa minum-minum itu pekerjaan setan. Kalau nggak salah ada 3 atau 4 ayat yang terlontar di antara deretan botol bir yang berdiri berbaris mabuk di atas meja. Tentu saja Pak Mansyur tak mau diceramahi Rhoma yang tak tahu diri memacari putrinya itu. Rhoma pun diusir.
Lela sedih. Lalu nyanyi. Sedih sekali nyanyinya. Pas menjelang bait terakhir Rhoma ikut nyanyi. Berduetlah mereka.
Karena air seni setan dalam botol-botol bir itu, nyaris saja Pak Mansyur memperkosa Lela. Rhoma datang. Berkelahi. Rhoma dengan sangat kuat mendorong Pak Mansur. Kepala Pak Mansyur membentur dinding. Tapi nggak sampai mati. Dan jalan ceritanya udah ketahuan. Pak Mansyur ini langsung tobat begitu diberitahu Rhoma bahwa ia nyaris memperkosa putrinya. "Minuman laknat itu telah membuatku khilaf. Bapak macam apa aku ini," ia tereak-tereak seperti orang kesurupan jelang taubatan nashuha. Ia berlari ke ruang tamu. Ia pecahkan koleksi botol-botol minumannya. Lalu setelah lelah, ia mengangkat tangan dan menyebut-nyebut nama Tuhan. Udahlah, nggak usaha dijelaskan. Nggak menarik. Sebab setelah itu, si pengrajin bir ini memimpin solat berjamaah.
Nggak ada lagi konflik setelah itu—kalau pun ada sudah tahu sama tahulah. Bagaimana tidak, lha yang buat skenarionya juga si Rhoma. Nyaris semua filmnya. Tahu sendiri saja, ilmunya ya cuma segitu-gitu.
Kembali ke film. Sesudah Pak Mansyur mau solat kembali, 30 menit terakhir cuma nyanyi-nyanyi. Setidaknya tiga buah lagu hit dibawakan Rhoma. Ada lagu “Di Balik Kerudung Putih”. Setingnya di padang pasir. Kamera menatap langit biru. Lalu kamera nyemprot kuda yang berdiri sendiri di bawah pohon. Lela berkerudung putih. Naik kuda. Kuda dituntun Rhoma yang di punguknya tergantung caping. Puter-puter padang pasir nggak tahu mo ke mana. Nyari tempat rimbun kali... Hehe otakku kok ngeres.
Lalu dengan menenteng tas kecil—kayak tas kecil yang biasa saya pake itu—Rhoma bertandang ke panti asuhan. Dan saat ditanya ustaznya siapa yang datang, serempak anak-anak yatim itu menjawab: "Kak Rhoma, Kak Rhoma...." Di panti itu Kak Rhoma menyumbang dana, dan tentu saja ya ceramah. Assalamu'alaikum wr wb....
Juga tak ketinggalan nyanyi. Anak-anak itu pun goyang kepala. Ke kanan ke kiri. Yatim piatu, malang nasibmu. Semoga tuhan melimpahkan rahmatnya padamu. Amin allahuma ya amin...
Setelah kamera menyapu kelas, lalu adegan goyang-goyang dialihkan ke pantai. Kayaknya di Ancol tuh. Lalu berakhir di Monas. Anak-anak itu bergandeng-gandengan dan menyanyi bersama... Di situ tergambar begitu dekatnya Kak Rhoma dan anak yatim. Sebetulnya lagu ini terjemahan bebas surat al-maun yang menjadi salah satu ayat pamungkas orang-orang Muhammadiyah, yakni para pendusta agama adalah mereka yang tak menafkahkan hartanya di jalan Allah.
Malamnya anggota-anggota Soneta rapat mirip pengajian. Pake peci, baju koko dan tangan memegang tasbeh. Ternyata Soneta diundang ke acara silaturahmi nasional. Soneta tampil. Anggota-anggotanya memakai baju kombinasi koko Betawi, Pakistan, dan Aladin. Kecuali Rhoma yang berjubah hitam-putih.
Eh, waktu nyanyi “Nafsu Serakah” di depan orang-rang yang berpakain safari—kayaknya pejabat-pejabat—tiba-tiba muncul gitu aja latar gambar kayak film perang. Ada bom meledak dar der dor. Tapi nggak jelas juga perang. Karena cuma terlihat kawat berduri dan debu mengepul. Ada yang turun dari jip, memegang bambu. Berlari...
Perang benaran ding.... Sebab ada kilas balik yang nggak jelas, seakan Soneta Grup bukan bermain di depan pejabat, tapi bermusik di tengah perang. Anggota grup Soneta bersalin pakaian. Dari koko aladin lalu memakai pakaian perjuangan TKR dengan ikat kepala merah putih serta muka belepotan daki. Bukan renteng peluru di dada, tapi gitar.
Mungkin ini ya yang dimaksud oleh judul film ini: Perjuangan dan Doa. Tapi menurut saya ini film 100 prosen film ceramah verbal agama kok. Entahlah. Entar kalau dianalisis lebih dalam nanti jadi review film gaya kompas. Males ah.
Dan memang nggak perlu dianalisis, karena setelah lagu itu berakhir yang muncul dilayar televisi adalah kata ini: “Wassalam”. [gusmuh]
No comments:
Post a Comment