06 April 2014

Dunia Bebas, Dunia Gratis

:: gusmuh

Di abad 20, soal hak cipta (right) bagi penemu dan industri adalah masalah hidup-mati. Serupa hak sejengkal tanah bagi seorang petani. Namun di era digital, perbincangan right nyaris mengalami antiklimaks. Ada tiga buku yang menyoroti sejarah panjang dunia hak cipta, kultur bebas, dan terbuka luasnya budaya gratis di masa depan. Yakni, Dunia Tanpa Hak Cipta (DTHC) karya Joost Smiers dan Marieke van Schijndel; Budaya Bebas (BB) karya Lawrence Lessig; dan Gratis: Harga Radikal yang Mengubah Masa Depan (G) karya Chris Anderson.

Dunia Tanpa Hak Cipta
Penulis: Joost Smiers dan Marieke van Schijndel
Alih Bahasa: Hastini Sabarita
Penerbit: Insist Press, Oktober 2012
Tebal: xx 167 halaman

Budaya Bebas
Penulis: Lawrence Lessig
Alih Bahasa: Brigitta Isabella, dkk
Penerbit: KUNCI, 2012
Tebal: xvi+395 hlm

Gratis: Harga Radikal yang Mengubah Masa Depan
Penulis: Chris Anderson
Alih Bahasa: Daniel Wirajaya
Penerbit: Gramedia, 2010
Tebal: 314 hlm



Sederhananya, hak cipta itu adalah hak eksklusif yang diberikan kepada seorang pencipta (author) terhadap karya seninya. Tetapi, di sinilah ironinya, hak cipta ini kerap tidak dimiliki si pencipta, melainkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang kebudayaan. Mereka tak hanya menguasai produksi, tapi juga distribusi dan pemasaran sebagian besar film, musik, teater, karya sastra, opera, desain, dan seni visual. Hal inilah yang membuat mereka punya kekuasaan mutlak dalam menentukan apa yang bisa kita lihat, dengar, atau baca. (DTHC, vii)
 

Hak cipta yang ditekankan industri ini sifatnya sangat individual. Tentu saja ini berkebalikan dengan pola kerja kreatif di negara non-Barat. Seniman-seniman kontemporer di negara berkembang ini tak disibukkan dengan hak cipta. Mereka kerjakan proyek, baik demi komisi atau dijual di pasaran. Sekali terjual, mereka bikin proyek berikutnya.
 

Atau komunitas-komunitas pribumi lokal menawarkan warisan budaya dan pengetahuan tradisional mereka kepada dunia sebagai hadiah. Itulah inti penghormatan: common human heritage dan global public goods (barang publik milik dunia). Di sana ada unsur-unsur timbal balik pengetahuan yang saling melengkapi. Sementara negara-negara Barat, terutama Amerika, memberlakukan hak cipta secara ketat terhadap sebuah ciptaan. Aneh, bukan? (DTHC 45, 53)
 

Makanya Naomi Klein di The Shock Doctrine (2007) menandaskan neoliberalisme telah membuat kita semakin tidak berhak untuk menata dan mengatur pasar budaya agar keragaman bentuk ekspresi budaya dapat memainkan peran yang signifikan dalam wilayah kesadaran masyarakat. Betul, hak cipta memberikan penghasilan bagi para seniman. Tanpa hak cipta, kita tak akan pernah mendapatkan semua film, musik, novel yang sangat kita sukai.
 

Menurut Smiers  dan Schijndel, itu mitos. Yakinlah, sebagian besar seniman hak cipta bukanlah sumber pendapatan terpenting. Dari seluruh pendapatan yang berasal dari hak cipta dan hak-hak sejenisnya. Hanya 10 persen diterima seniman. Sisanya, penguasa pasarlah yang justru dominan di banyak industri budaya. Keseluruhan proses yang dijalankan korporasi terhadap para pekerja seni secara virtual hanya dirasakan sebagian kecil dari mereka. Para pencipta rata-rata menerima persentase royalti yang sangat rendah dari perusahaan rekaman.
 

Artinya, Hak cipta lebih banyak retorikanya dibandingkan uang yang bisa diperoleh sebagian besar pencipta lagu maupun penyanyi di industri musik. Jika sedemikian minimnya relevansi hak cipta bagi seniman, maka mengapa hak cipta harus dipertahankan habis-habisan. Di titik ini yang berkepentingan justru industri untuk perlindungan investasi.
 

Industri apa? Industri kreatif. Katanya. Tapi istilah yang kemudian Indonesia adopsi dalam sebuah kementerian khusus ini begitu kabur. Kata pokok dalam istilah itu adalah “industri”. Frase “Kreatif” hanya ekor belaka.
 

"Kepemilikan" versus "Pembajakan"
 

Lawrence Lessig dalam Budaya Bebas menyadarkan kita bahwa internet tak hanya melahirkan budaya digital tapi sekaligus perang baru: “kepemilikan” dan “pembajakan”. Internet melahirkan tradisi berbagi file (peer to peer, p2p) yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan perang pun meletus. Algojo-algojo hukum kepemilikan mencekik generasi ini dengan penjara. Industri besar pemilik right ketakutan generasi p2p ini merebut keuntungan yang seharusnya dimiliki pencipta.
 

Jesse Jordan adalah korbannya. Mahasisiswa ini mengoprek mesin pencari di komputer kampusnya, jurusan RPI, Rensselaer Polytechnic Institute. Hasil oprekannya itu menjadikan warga RPI bisa mengunggah dan membagi file-file seperti brosur, video karya mahasiswa, dan tentu saja file musik. Usaha “mulianya” ini rupanya menuai tudingan bahwa kerja itu mendorong memperluas pembajakan musik. Asosiasi Industri Rekaman Amerika pada 2003 menuntut Jesse dan tiga temannya yang lain dengan pasal-pasal pembajakan. Mereka dikenai denda hampir 100 M dollar. (BB, 57-61)
 

Tiga tahun setelah kasus itu, Amerika Serikat mensponsori breidel Piratpartiet, Partai Pembajak; partai yang dibikin warga Swedia yang merasa tak nyaman dengan perkembangan terbaru tentang hak cipta. Mereka memang gagal mendapatkan kursi di parlemen, tapi partai ini mendapatkan puluhan ribu suara dalam Pemilu. Partai ini tak menghapuskan sistem paten dan menghilangkan hak cipta, melainkan hak cipta itu perlu dikembalikan ke asal-muasalnya. Bagi mereka, membagi-bagikan salinan, menyebarkan, atau menggunakan karya secara nonkomersial seharusnya tidak pernah ilegal karena perilaku penggunaan secara adil (fair use) bermanfaat bagi keseluruhan masyarakat. Sesaat sebelum pemilu, atas desakan AS, polisi Swedia menutup situs Pirate Bay di mana partai ini eksis.(DTHC, 38-39)
 

Bagi peneguh moralitas ala mafia hak cipta yang ber-KTP Amerika, tulis Lessig, pembajakan itu salah. Titik. Tapi mereka ahistoris. Bahwa sepanjang abad pertama usia Republik bernama USA, Amerika tidak menghormati hak cipta orang asing. Amerika dilahirkan sebagai bangsa pembajak. Maka moral apa yang membenarkan anggapan Amerika bahwa negara berkembang adalah salah, sementara di abad kemunculan Amerika tindakan pembajakan adalah benar. Dua kali kedatangan Bill Gates ke Indonesia (2005 dan 2014) bertujuan “membebaskan” Indonesia dari tuduhan negara pembajak terbesar ketiga setelah Zimbabwe dan Vietnam sembari “memaksa” pemerintah menandatangani MoU 300 miliar rupiah. Indonesia mesti rutin berinfaq dan bersedekah agar Gates tak terus-terusan memproduksi frase "Negara Pembajak".
 

Ketika pejuang hak cipta ini habis-habisan memberangus logika “jika bisa mengunduh, mengapa harus membeli (berlaku pada produk yang masih fresh)”, tulis Lessig, mereka tak sadar bahwa p2p punya dampak bagi pengetahuan masyarakat yang ikut terberangus. Konten-konten lama yang sudah tak dikomersialkan ikut terberangus pula. Hak mereka yang mendapatkan akses konten bebas hak cipta juga terpalang. Dan tentu saja penghapusan itu membuyarkan asa buat mereka yang masih mengepit nilai: “coba dulu baru beli”.
 

Negara dalam Buana Gratis
 

Lessig kemudian menciptakan sistem Creative Commons yang merupakan jalan tengah dari absurditas hak cipta di dunia digital dalam masyarakat baru dengan budaya bebas. Ide dasar CC seperti dalam kultur Open Source, adalah karya si A digunakan si B tanpa hambatan hak cipta. Sisi lain, si B tak dapat menggunakan karya si A untuk dirinya sendiri. CC menginginkan si A memperoleh lisensi publik atas penggunaan karyanya: silakan lakukan apa yang kamu suka dengan karyamu, sepanjang kamu tak memasukkan karya tersebut dalam kekayaan pribadi.
 

Tapi Lessig tak menjawab lugas, bagaimana sang kreator mendapatkan uang? Chris Anderson, dalam Gratis, mengelaborasi kultur ini sedemikian rupa dalam 16 subbab.
 

Adagium “coba dulu baru beli” pernah dicoba penulis fiksi ilmiah, Cory Doctorow, saat meluncurkan novel pertamanya, Down and Out in the Magic Kingdom yang diedarkan gratis secara online dan dijual di toko buku pada hari yang sama. Ia sendiri dan penerbitnya berpikir bahwa distribusi online akan menjadi iklan yang jitu bagi buku “yang sesungguhnya”. Orang akan membaca bagian buku ini secara online lalu memutuskan apakah mereka menyukainya atau tidak.
 

Anderson juga memberikan contoh cara negara Tiongkok menghadapi dilema hak cipta dan budaya gratis yang merajalela. Ketimbang melawan pembajakan yang gila-gilaan dan nyaris mustahil, pemerintah melepaskan right semua karya. Karya musik, misalnya, anggap saja sebagai portofolio perkenalan sang seniman kepada publik. Sumber pendapatan pencipta adalah penjualan cinderamata dan penampilan di panggung terbuka maupun di studio televisi.
 

Sebagaimana di Tiongkok, negara memang mesti hadir menangani soal pelik ini. Negaralah juga yang mestinya menjamin lewat UU soal kelangsungan hidup seniman kreatif, sebagaimana hampir 60 persen APBN menggaji pegawai negeri sipil. Itu pun jika pekerja kreatif ini masih dianggap penting. 

Tapi alhamdulillah, nyaris tak satu pun legislator pembuat UU itu terdengar berpikir serius soal kesejahteraan seniman di kultur bebas ini. Mungkin pekerja kreatif ini bukan dianggap "Rakyat". Kalau pun "rakyat", mereka adalah kelompok "Rakyat" yang nyinyir dengan kekuasaan. Makanya, buat apa diperhatikan. NGOK!

No comments: