05 March 2008

Social Agency Baru: Surga Bukuku

::gus muh

Di manakah surga buku itu berada?

Ada orang yang mengatakan bahwa surga buku ada di sebuah tokoh yang disirami terus-menerus oleh pendingin. Ada orang yang mengatakan—atau mungkin Anda—surga buku ada di perpustakaan-perpustakaan mewah yang lengkap dan hanya segelintir jumlahnya.

Ada yang meyakini bahwa surga buku ada di toko yang menghamburkan janji diskon yang besar dan membebaskan lahan parkirnya dari pungutan.

Orang gila buku mengatakan, surga buku ada di lapak-lapak. Surga buku ada di gerai Gudang Buku atau di rak-rak buku murah Yusuf Agency.

Semua orang memiliki surga tempat di mana ia tetirah mendapatkan buku. Semua orang berbeda tempat di mana ia menambatkan hati dan menuang keringat serta ceceran uang yang entah didapat dari mana saja.

Tapi di manakah surga buku tempat saya menghabiskan begitu banyak uang, pengharapan, dan rasa sakit serta kesenangan melimpah-limpah pada buku? Saya hanya menyebut satu tempat: Social Agency Baru. Barangkali yang pernah ke sini akan mencibir, apa istimewanya? Di mana-mana sama saja. Harganya pun merata di semua lapak. Apa, apa istimewanya. Ngawur sekali surgamu, Gus Muh!

Tapi ini adalah kisah. Dan kisah bertaut dengan ingatan. Dan ingatan yang abadi selalu bermuara pada kenangan yang manis dari sebuah masa yang pahit dan berdarah-darah. Saya masih ingat bagaimana kios buku itu masih menghadap utara didekap oleh kios buah yang mencium pagar-pagar seng persiapan Taman Budaya Yogyakarta hendak dibangun. Dengan tertatih-tatih dan sebersit perasaan gembira, saya akan singgah di tempat kumuh dan jorok serta sempit ini.

Barangkali penjaganya bilang, siapa pula pemuda kumal tak jelas asal-usulnya datang ke mari. Menaiki sepeda buntut dengan caping serta tas yang membuatnya selalu berjalan kedodoran.

Tapi pertemuan yang keras kepala dan berlangsung menahun menjadikan keakraban dan kehangatan. Bu Afni pun saya kenal. Dari beliau saya dengar banyak kisah dari kesederhanaan kios buku “khas Jogja” itu. Saya bilang “khas Jogja” karena umumnya buku-buku yang dijual didominasi oleh penerbit Pustaka Pelajar dengan rabat standarnya 30%.

Tapi bukan soal rabat yang membuat kios buku ini kian khas, tapi gosip di dalamnya. Dari Bu Afni saya dengarkan cerita. Dari Bu Afni saya tahu bahwa Emha Ainun Nadjib semasa masih menjadi penyair jalanan dan belum sesukes sekarang adalah pelanggan utama kios ini. Sejarawan Budiawan menjadi tempat ini favoritnya. Walau saya belum pernah bertemu langsung dengan beliau, saya tahu bagaimana rupawannya dia bernapas di antara deretan buku di kios sempit dan berdebu itu. Nyaris semua penulis dan penyair jalanan kala itu mengenal kios buku ini.

Dan ini juga kisah lain. Pernah suatu hari seorang peresensi Jogja yang beberapa kali namanya dijagokan sebagai kandidat peresensi terbaik versi Penerbit Mizan Bandung ketahuan mengantongi buku yang bukan haknya. Bu Afni membiarkannya saja. Bu Afni meloloskannya, walau tujuannya datang ke kios itu untuk menukar kliping resensinya (Pustaka Pelajar) dengan buku baru. Dan ia dipersilahkan memilih. Dan ia mengambil lebih di luar jatahnya.

Di sini, tak ada yang dipermalukan. Bu Afni memang ceplas ceplos jika bicara. Tapi ia ramah. Ia tegas, tapi baik dan gampang mengambil hati. Membeli atau tidak, tamu buku tetap akan diperlakukan sebagai teman, seperti layaknya buku bersahabat dengan pembacanya.

Di sini, semua diakrabi. Apalagi jika Pak Mas’ud Chasan atau akrab disapa Cak Ud ujuk-ujuk muncul. Suasana akan menjadi cair, sumringah, penuh canda tawa. Cak Ud adalah jutawan buku yang lahir dari comberan kertas-kertas sebelum berhasil mendirikan industri buku bernama Pustaka Pelajar.

Dan saya, sungguh mati, terhibur di sini. Ada atau tidak ada uang, kios ini begitu menyenangkan. Jika tak ada uang, saya akan duduk di pojok meringkuk membaca seharian. Jika ada uang, saya akan tutup mata mengambil buku apa saja yang saya suka dan tak ada tawar-menawar. Yang ada adalah gombalan saya tentang jumlah rabat dan Bu Afni akan mengeluarkan suaranya yang khas dan setengah berteriak memberitahu berapa rabat yang sudah menjadi ketentuan.

Jika keinginan memiliki buku memuncak dan uang tak ada di kantong, saya akan tetap singgah dan minta dibuatkan nota bon. Kadang saya membon 800 ribu. Kadang satu tahun baru saya lunasi di mana satu tahun saya menghilang dari area book shoping ini. Dan utang itu masih hingga kini. Menurut nota yang masih ada di kantong saya, utang saya sekira 680 ribu. Dan buku itu belum saya ambil, walau sudah di sampul. Maklum, sore itu hujan.

Surga ini tentu tak dibangun dari sebuah perjumpaan yang biasa. Surga ini terbangun dari keakraban yang menahun. Hingga kemudian saya tahu bagaimana jaringan buku bekerja, bagaimana penagih dan tertagih datang silih berganti menyambang. Mereka menyerahkan nota dan berharap ada uang yang masuk kas.

Dengan setengah bercanda, Bu Afni kerap menggodai penghutang ini: “Awas lho, saya tulis di surat pembaca di Kedaulatan Rakyat ada penulis ngemplang di kios saya.”

Dan ringan saya balas: “Bolehlah ditulis. Ntar saya balas di Jawa Pos.”

Gayanya nggak pernah berubah. Keramahannya nggak luntur-luntur. Bertahun-tahun. Sudah sedasawarsa lebih sejak saya mengenalnya. Walau sekarang kiosnya sudah agak bermartabat walau saja kecil.

Dan si penjaga surga buku ini juga sudah mungga haji. Namanya haji labuk. Haji lapak buku. Hahahaha. Buku pun ternyata bisa menarik orang menuju rumah Tuhan.

@Kaki Gunung Sempu, Februari 2008

3 comments:

blackpurple @ jowopinter said...

Salam sdra.

Saya dari Kuala Lumpur. Baru sahaja memiliki novel saudara. 'Tuhan izinkan saya menjadi pelacur'. Saya belum habis membacanya, tapi sudah terbau 'kelazatannya' isinya. Semoga saya dapat belajar sesuatu darinya. Terima kasih kerana karya ini :)

Anonymous said...

bayar pake royalti buku aja, gus! di bandung, susah cari tempat ngutang seperti ini. btw, buku terbaik ialah selalu buku yang diberi gratis! [penggemar buku gratisan]

Aghnam said...

Setuju dengan Dewa Api