::asep samboja
“Tukang pidato adalah seniman,” kata Njoto alias Iramani, menerjemahkan pernyataan Multatuli, “Ook de redenner is een kunstenaar.” Paling tidak, DN Aidit yang dikenal dunia internasional sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) itu juga menulis puisi.
Ada sembilan puisi DN Aidit yang terdapat dalam buku Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 yang dihimpun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, yang terbit pada bulan September 2008. Sebenarnya jumlah puisi Aidit lebih banyak dari itu, hanya saja ada puisi-puisi Aidit yang tidak lolos dari redaksi Harian Rakyat Minggu, Amarzan Ismail Hamid, yang kini menjadi redaktur senior Tempo dengan nama Amarzan Loebis.
Dari kesembilan puisi itu, ada satu puisi yang sepertinya tidak utuh karena kertas Koran Harian Rakyat itu sudah dimakan rayap, yakni puisi yang berjudul Jauhilah Imperialis AS, yang ditulis pada 20 Juli 1965. Meskipun demikian, pesan yang ingin disampaikan Aidit melalui puisi itu jelas tertangkap, yakni meminta Amerika Serikat menghentikan agresinya di Vietnam.
Kedelapan puisi Aidit yang lainnya adalah Hanya Inilah Jalannya, Sekarang Ia Sudah Dewasa, Yang Mati Hidup Kembali, Kidung Dobrak Salahurus, Sepeda Butut, Untukmu Pahlawan Tani, Tugas Partai, dan Ziarah ke Makam Usani.
Dari judulnya saja sudah cukup terbaca dengan terang-benderang pesan apa yang hendak disampaikan oleh penyair DN Aidit ini. Memang, kebijakan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan redaksi Harian Rakyat tidak mengharamkan puisi pamflet. Justru yang dihindari itu adalah puisi-puisi yang dinilai dekaden, klangenan, dan kosong melompong. Konsep seni Lekra adalah 1-5-1, dalam arti “Politik adalah panglima”, “5 kombinasi”, dan “Turun ke bawah”.
Yang dimaksud 5 kombinasi di sini adalah: (1) meluas dan meninggi, (2) tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (3) tradisi baik dan kekinian revolusioner, (4) kreativitas individual dan kearifan massa, (5) realisme sosialis dan romantik revolusioner.
Dengan kata lain, kelima kombinasi itu menjadi dasar dalam kerja kreatif seniman Lekra dengan payung “politik adalah panglima”. Dan, itu hanya bisa diwujudkan kalau senimannya itu langsung turun ke bawah, langsung merasakan denyut nadi rakyatnya, baik nelayan, petani, buruh, prajurit, pegawai, atau katakanlah kaum wong cilik.
Nah, konsep seperti itulah yang terbaca dalam puisi-puisi DN Aidit ini. Ia, misalnya, langsung bersimpati pada orang-orang kecil yang mati memperjuangkan haknya. Dalam puisi “Untukmu Pahlawan Tani” Aidit menuliskan /kutundukkan kepala/ untukmu pahlawan/ pahlawan tani boyolali. Jelas, bahwa yang dikatakan Aidit dalam puisinya itu memiliki konteks, yakni peristiwa penembakan petani yang terjadi pada 18 November 1964, yang menewaskan tiga petani, yakni Jumari, Sonowiredjo, dan Partodikromo.
Peristiwa penembakan petani itu cukup terekspos secara nasional, sehingga yang merespons peristiwa itu melalui puisi bukan hanya DN Aidit. Penyair lainnya yang juga menulis puisi dengan konteks yang sama adalah Sitor Situmorang, yang menulis Pesan 3 Petani Boyolali, Budi Santosa Djajadisastra yang menulis Ketahon--Suatu Titik Balik, dan Amarzan Ismail Hamid yang menulis Boyolali. Amarzan tidak hanya menulis puisi mengenai hal ini. Dalam buku Laporan Dari Bawah:Sehimpunan Cerita Pendek Lekra, Harian Rakyat 1950-1965 (yang juga disusun oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan), Amarzan juga menulis cerpen dengan judul yang sama, Boyolali. Bahwa ketiga petani itu mati karena memperjuangkan haknya untuk mendapatkan bagi hasil yang sama antara petani dengan pemilik tanah ('tuan tanah') Wirjowiredjo, yakni 1:1 sesuau UU Pokok Agraria. Sayang, ketiga petani itu ditembak mati.
Demikian pula dalam puisi Ziarah ke Makam Usani, Aidit menulis /semua kawan tunduk berdiri/ duka cita menyayat hati/ airmata mengalir, butir demi butir/ dan semua berjanji/ akan nyalakan api juang usani …usani pergi, api juangnya nyala abadi/ PKI mekar harum mewangi. Sekali lagi, konteksnya jelas, yakni Usani, seorang perempuan yang mungkin dianggap biasa-biasa saja, tapi di mata seorang ketua partai politik terbesar keempat di Indonesia diberi penghargaan yang demikian terhormat. Aidit menyebutnya, “Wanita pejuang komunis, pembela setia buruh dan tani, yang mati dalam pengabdiannya sebagai proletariat sejati.”
Dalam puisi Ziarah ke Makam Usani ini, Aidit juga memasukkan ideologinya atau ideologi partainya, yakni “Mengganyang si lima jahat”. Kelima “lawan” yang dianggap “jahat” itu adalah (1) “Malaysia”, (2) kabir, (3) 7 setan desa, (4), imperialis AS, (5) Revisionis.
Presiden Soekarno pada 3 Mei 1964 mengeluarkan kebijakan mengenai Dwikora, yang terdiri dari: pertama, Ganyang Malaysia, yang dianggap sebagai negara bentukan neokolonialis Inggris, dan kedua, membantu perjuangan rakyat Kalimantan Utara. Kebijakan ini ditafsir Aidit sebagai lawan yang harus dihadapi, terutama untuk pembentukan negara federasi Malaysia.
Kabir atau Kapbir adalah akronim dari Kapitalis Birokrat, yakni para purnawirawan militer yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan negara, sehingga mengakibatkan mismanagement yang akrab dikenal dengan “salah urus”. Bisa dibayangkan jika Aidit jadi presiden seandainya menang dalam pemilihan umum, maka para purnawirawan militer itu akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan. Makanya, dengan menjadikan kabir sebagai musuh, Aidit dan PKI pun berhadapan dengan militer, terutama Angkatan Darat.
Tujuh setan desa juga dimaksudkan Aidit dan PKI untuk memudahkan warga desa mewaspadai musuh-musuhnya. Ketujuh setan desa yang dimaksud adalah (1) tuan tanah, (2) lintah darat, (3) tengkulak jahat, (4) tukang ijon, (5) bandit desa, (6) pemungut zakat, (7) kapitalis birokrat desa. Untuk poin nomor 6, tentu saja menyebabkan massa PKI di desa berhadapan dengan massa Islam, karena membayar zakat itu merupakan kewajiban sebagai seorang muslim, sama halnya dengan melakukan ibadah sholat atau puasa, serta naik haji bagi yang kaya. Dibandingkan seruan menyerang 3 setan kota, seruan mengganyang 7 setan desa ini lebih bergemuruh di bawah. Dampaknya adalah terjadi konflik horisontal di level akar rumput, mirip dengan konflik di Ambon dan Sambas.
Dengan menempatkan imperialis AS sebagai musuh, meskipun hingga kini kita masih melihat “kreativitas” Amerika di Afghanistan dan Irak, sudah pasti PKI berhadapan dengan Amerika, lengkap dengan mata-matanya. Kalau dalam penelitian Asvi Warman Adam mengenai peristiwa G 30 S 1965 disebutkan adanya keterlibatan CIA, hal itu merupakan sesuatu yang niscaya. Demikian pula dengan menempatkan kaum Revisionis, kalangan yang tidak sejalan dengan paham Revolusi belum selesai, sebagai musuh, maka Aidit dan PKI serta merta membuat jurang pemisah yang semakin dalam.
Dari puisi Ziarah ke Makam Usani itu pula Aidit memperlihatkan bahwa api juang Usani, semangat Usani dan kaum proletar lainnya, bahkan semangat partai komunis demikian tumbuh bergelora. Semangat seperti inilah yang membuat hidup lebih hidup, membuat hidup penuh taste, sama sekali tidak menciptakan generasi yang enjoy aja.
Hanya saja, kita tahu, bahwa kita tidak hidup di lingkungan yang homogen. Meminjam kata-kata Utuj Tatang Sontani, “sayang ada orang lain”. Dan lagi, pengaruh globalisasi juga bisa terasa sampai di dapur dan tempat tidur kita. Perang Dingin antara Amerika dengan Uni Soviet terasa juga sampai di Jakarta, sampai ke Lubang Buaya, sampai pula pada pembunuhan massal orang PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Kenapa di Jawa Barat, yang notabene berjarak paling dekat dengan Lubang Buaya, tidak ada pembantaian massal terhadap orang-orang PKI? Dari penelitian Ben Anderson terbaca bahwa Pangdam Siliwangi saat itu, yakni Ibrahim Adjie, tidak mengizinkan RPKAD beroperasi di wilayahnya. Siapa yang menggerakkan RPKAD saat itu? Siapa yang berani bertanggung jawab?
Aidit pun mati. Ia menjadi salah satu target yang diburu. Ia diburu seperti Amerika memburu Osama bin Ladin. Osama, bukan Obama. Meskipun Aidit mati, karyanya akan tetap abadi. Karyanya akan terus dibaca. Karena, di balik karyanya, sesungguhnya Aidit ingin bicara banyak. Tukang pidato yang ingin jadi penyair itu boleh saja dihilangkan, tapi pesan yang ingin disampaikan masih terpelihara hingga kini.
Berikut saya kutipkan sebuah sajak lengkap Aidit, Kidung Dobrak Salahurus, yang tetap memperlihatkan garis ideologi dan keyakinan politiknya yang demikian kental.
Kidung Dobrak Salahurus
Kau datang dari jauh adik
Dari daerah banjir dan lapar
Membawa hati lebih keras dari bencana
Selamat datang dalam barisan kita
Di kala kidung itu kau tembangkan
Bertambah indah tanah priangan
Sesubur seindah priangan manis
Itulah kini partai komunis
Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
Biar tukang-tukang salahurus mengerti
Benci rakyat dibawa mati
Cinta rakyat pada pki
Teruskan, teruskan tembangmu
Bikin rakyat bersatupadu
Bikin priangan maju dan jaya
Alam indah rakyat bahagia
Cipanas, 13 Januari 1963
Apa yang ditulis penyair Aidit di atas tidak jauh beda dengan apa yang diucapkan para calon presiden Indonesia sekarang ini. Baik yang kita baca di media massa atau yang kita tonton di iklan televisi. Jadi, sama saja. Siapa pun ketua partai politiknya, siapa pun yang ingin menjadi penguasa, suaranya akan sama seperti itu. Inilah puisi pamflet. Dan itu sah saja, meskipun bukan satu-satunya.
30 October 2008
28 October 2008
Mari Nginap di Library Hotel
::gusmuh
Bagi para pejalan, hotel mirip stasiun atau pelabuhan yang dikatakan penyair Chairil Anwar sebagai tempat persinggahan yang ''sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan''.
Hotel adalah bagian dari ritus perjalanan di mana tubuh penyinggah termanjakan. Di sini apa saja bisa terjadi. Dari pertemuan bisnis hingga politik (beberapa kali KPK memergoki adegan picisan penyuapan para politisi di lobi atau kamar hotel). Dari pengajian tasawuf untuk kalangan elite hingga pesta striptease yang gila-gilaan. Di dalam hotel, setiap manusia menjadi majikan sesaat. Tubuh dan segala keinginan dilayani dan mendapatkan ''perlindungan'' privasi dengan (hanya) sejumlah uang. Hotel pun menjadi penanda status sosial seseorang, sebagaimana kata sastrawan Cicero, ''Jika kau memiliki kebun dan perpustakaan, kau memiliki segala yang kaubutuhkan.''
Tapi hotel juga bisa menjadi sebuah tempat istirah yang melayani dua sekaligus, tubuh dan otak; jika hotel juga perpustakaan (library hotel). Selama ini kampanye aktivis perbukuan bertumpu pada bagaimana menerbitkan buku sebanyak-banyaknya, mendirikan perpustakaan sebanyak-banyaknya, dan membikin taman bacaan di mana-mana. Kita juga bersyukur sudah ada cafe yang disatukan dengan toko buku dan mall yang ada toko buku di dalamnya.
Tapi yang belum ada adalah hotel yang bersatu dengan perpustakaan. Sebab, selama ini dua gedung ini bukan hanya dipisahkan oleh peruntukannya, tapi juga dipisahkan oleh cara berpikir (modern) kita, dengan pengeculiaan Iwan Simatupang dan John Steinbeck yang melihat hotel sebagai ruang pertapaan mengurus (biografi) diri, eksistensialisme, dan dunia susastra.
Library hotel yang dimaksud di sini bukanlah hotel yang ada ruang perpustakaannya (dengan ruangan khusus). Tapi hotel yang rancang interiornya berpadu dengan buku-buku dan juga pembagian ruangnya.
Bayangkanlah ada sebuah hotel yang setiap lantainya dikelompokkan berdasarkan sistem Dewey Decimal. Ada bidang sosial, bahasa, matematika dan sains, teknologi, seni, sastra, sejarah, pengetahuan umum, filsafat, dan agama. Petunjuk penomorannya pun disesuaikan subkategorinya. Misalnya, lantai delapan atau sastra, kamar-kamarnya dinomori: 800.008 misteri, 800.004 sastra dramatik, 800.003 puisi, dan lain-lain.
Seperti kebanyakan hotel berbintang lain, dekorasi kamarnya mesti dirancang seperti perpustakaan pribadi yang membikin orang betah. Lantainya dilapisi kayu dengan warna kalem sehingga memberikan suasana tenang dan sunyah. Kursi diletakkan di dekat jendela untuk mendapatkan cahaya yang cukup saat membaca. Sebuah rak kecil yang berisi buku-buku sesuai kategori kamar ada di dekatnya. Buku-buku yang disediakan termasuk koleksi-koleksi yang tak umum, langka, penting, dan bukan sekadar buku pengantar tidur sehingga membutuhkan waktu lebih lama dan konsentrasi lebih banyak untuk membacanya.
Di kamar inap yang sama juga terdapat lemari-mini dan televisi berlayar datar dengan koleksi 100 film terbaik yang bisa dipesan di resepsionis. Di dindingnya terdapat rak buku sesuai dengan kategori kamar yang dipesan, seperti puisi, perjalanan, atau erotisme. Hiasan dindingnya berupa kutipan-kutipan buku atau puisi-puisi dari buku-buku penulis terkenal.
Restoran terletak di lantai tersendiri yang dirancang sebagai perpustakaan umum dengan gaya hotel berkelas di mana di sana tersedia aneka makanan dan minuman, koran, majalah, jurnal, dan buku-buku ringan. Dan, pada hari-hari tertentu disediakan wine dan keju di ruang baca.
Jika ada tamu hotel yang berminat pada buku tertentu bisa memesan pada bagian resepsionis atau langsung saja masuk ke toko buku yang terletak tak jauh dari ruang lobi. Pendeknya, hotel jenis ini menyediakan buku, buku, dan buku; mulai dari pintu masuk, lobi, lorong hotel, kamar, toilet, restoran, cafe, hingga fasilitas wisata buku di sekitar hotel.
Adakah hotel yang begini di Indonesia? Cari dicari, tampaknya belum ada. Di New York, USA, ada satu. Terletak di 299 Madison Avenue yang harga sewanya mulai USD 345-525 per hari. Hotel unik ini berdiri di jantung perbukuan. Tak jauh darinya ada perpustakaan umum (NY Public Library) juga beberapa perpustakaan lain yang bertebaran di sekitarnya. Di dekat hotel itu juga ada ratusan toko buku yang menjual buku-buku dengan harga bervariasi, dari yang loakan hingga buku-buku referensi. Ada juga sebuah koloseum buku milik pribadi dengan koleksi unik dan langka yang menyediakan cafe berikut cenderamata bagi pembaca.
Artinya, dalam bisnis perhotelan, ini adalah peluang dengan kategori ''samudera biru'', tanpa satu pun pesaing. Menawarkan alternatif yang tak terpikirkan. Di Indonesia, eksekutif pencinta buku banyak dan segmen pembaca ini belum terlayani dengan baik. Para eksekutif dari kelas menengah ini sampai putus urat leher Anda berseru-seru (dan atau memaki-makinya!) tak bakal mau ke perpustakaan umum (di daerah atau di ibu kota) untuk memperkaya pengetahuannya. Sebab, memang perpustakaan kita dibikin sangat tak menarik, membosankan, dan umumnya jorok.
Saya berpikir, tak perlu mendirikan hotel baru untuk library hotel ini. Cukup memugar beberapa hotel atau bangunan yang berlokasi di jantung kota. Misalnya di Surabaya, Hotel Oranye yang menjadi kawasan paling bersejarah dalam pertempuran 10 November 1945 bisa dimodifikasi menjadi library hotel. Di Jogjakarta, Hotel Mutiara (bangunan dengan desain lama) yang berada di kawasan niaga Malioboro bisa menjadi alternatif yang tepat. Sebab di sepanjang jalan tersibuk itu terdapat juga perpustakaan umum dan tak jauh dari sana terdapat pusat buku.
Di Jakarta, di samping kiri Perpustakaan Nasional ada Hotel Atlantic yang bisa dijadikan percobaan library hotel. Atau di Jalan Veteran, yang merupakan kawasan ''Ring 1'' karena di dekat Istana Presiden, terdapat satu-satunya hotel, yakni Hotel Sriwijaya, yang bisa disulap jadi library hotel. Di kota-kota lain tentu masih banyak kawasan yang bisa kita tunjuk, seperti Semarang, Bandung, Medan, dan Makassar.
Pendirian library hotel ini barangkali menjadi salah satu kampanye diam, tapi efektif, agar kalangan eksekutif (pengusaha, politisi, artis hiburan, dll) yang klimis dan berkantong tebal itu tetap dekat dengan buku. Caranya, ya beri mereka tempat menginap sesaat dan sekaligus menikmati hangatnya dipeluk buku-buku yang sesuai dengan status sosial dan seleranya. Tak hanya itu, library hotel juga menjadi tempat paling nyaman dan mewah bagi para penulis yang sudah berduit untuk menulis novel atau puisi-puisinya.
* Dimuat di Harian Jawa Pos edisi 26 Oktober 2008
Bagi para pejalan, hotel mirip stasiun atau pelabuhan yang dikatakan penyair Chairil Anwar sebagai tempat persinggahan yang ''sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan''.
Hotel adalah bagian dari ritus perjalanan di mana tubuh penyinggah termanjakan. Di sini apa saja bisa terjadi. Dari pertemuan bisnis hingga politik (beberapa kali KPK memergoki adegan picisan penyuapan para politisi di lobi atau kamar hotel). Dari pengajian tasawuf untuk kalangan elite hingga pesta striptease yang gila-gilaan. Di dalam hotel, setiap manusia menjadi majikan sesaat. Tubuh dan segala keinginan dilayani dan mendapatkan ''perlindungan'' privasi dengan (hanya) sejumlah uang. Hotel pun menjadi penanda status sosial seseorang, sebagaimana kata sastrawan Cicero, ''Jika kau memiliki kebun dan perpustakaan, kau memiliki segala yang kaubutuhkan.''
Tapi hotel juga bisa menjadi sebuah tempat istirah yang melayani dua sekaligus, tubuh dan otak; jika hotel juga perpustakaan (library hotel). Selama ini kampanye aktivis perbukuan bertumpu pada bagaimana menerbitkan buku sebanyak-banyaknya, mendirikan perpustakaan sebanyak-banyaknya, dan membikin taman bacaan di mana-mana. Kita juga bersyukur sudah ada cafe yang disatukan dengan toko buku dan mall yang ada toko buku di dalamnya.
Tapi yang belum ada adalah hotel yang bersatu dengan perpustakaan. Sebab, selama ini dua gedung ini bukan hanya dipisahkan oleh peruntukannya, tapi juga dipisahkan oleh cara berpikir (modern) kita, dengan pengeculiaan Iwan Simatupang dan John Steinbeck yang melihat hotel sebagai ruang pertapaan mengurus (biografi) diri, eksistensialisme, dan dunia susastra.
Library hotel yang dimaksud di sini bukanlah hotel yang ada ruang perpustakaannya (dengan ruangan khusus). Tapi hotel yang rancang interiornya berpadu dengan buku-buku dan juga pembagian ruangnya.
Bayangkanlah ada sebuah hotel yang setiap lantainya dikelompokkan berdasarkan sistem Dewey Decimal. Ada bidang sosial, bahasa, matematika dan sains, teknologi, seni, sastra, sejarah, pengetahuan umum, filsafat, dan agama. Petunjuk penomorannya pun disesuaikan subkategorinya. Misalnya, lantai delapan atau sastra, kamar-kamarnya dinomori: 800.008 misteri, 800.004 sastra dramatik, 800.003 puisi, dan lain-lain.
Seperti kebanyakan hotel berbintang lain, dekorasi kamarnya mesti dirancang seperti perpustakaan pribadi yang membikin orang betah. Lantainya dilapisi kayu dengan warna kalem sehingga memberikan suasana tenang dan sunyah. Kursi diletakkan di dekat jendela untuk mendapatkan cahaya yang cukup saat membaca. Sebuah rak kecil yang berisi buku-buku sesuai kategori kamar ada di dekatnya. Buku-buku yang disediakan termasuk koleksi-koleksi yang tak umum, langka, penting, dan bukan sekadar buku pengantar tidur sehingga membutuhkan waktu lebih lama dan konsentrasi lebih banyak untuk membacanya.
Di kamar inap yang sama juga terdapat lemari-mini dan televisi berlayar datar dengan koleksi 100 film terbaik yang bisa dipesan di resepsionis. Di dindingnya terdapat rak buku sesuai dengan kategori kamar yang dipesan, seperti puisi, perjalanan, atau erotisme. Hiasan dindingnya berupa kutipan-kutipan buku atau puisi-puisi dari buku-buku penulis terkenal.
Restoran terletak di lantai tersendiri yang dirancang sebagai perpustakaan umum dengan gaya hotel berkelas di mana di sana tersedia aneka makanan dan minuman, koran, majalah, jurnal, dan buku-buku ringan. Dan, pada hari-hari tertentu disediakan wine dan keju di ruang baca.
Jika ada tamu hotel yang berminat pada buku tertentu bisa memesan pada bagian resepsionis atau langsung saja masuk ke toko buku yang terletak tak jauh dari ruang lobi. Pendeknya, hotel jenis ini menyediakan buku, buku, dan buku; mulai dari pintu masuk, lobi, lorong hotel, kamar, toilet, restoran, cafe, hingga fasilitas wisata buku di sekitar hotel.
Adakah hotel yang begini di Indonesia? Cari dicari, tampaknya belum ada. Di New York, USA, ada satu. Terletak di 299 Madison Avenue yang harga sewanya mulai USD 345-525 per hari. Hotel unik ini berdiri di jantung perbukuan. Tak jauh darinya ada perpustakaan umum (NY Public Library) juga beberapa perpustakaan lain yang bertebaran di sekitarnya. Di dekat hotel itu juga ada ratusan toko buku yang menjual buku-buku dengan harga bervariasi, dari yang loakan hingga buku-buku referensi. Ada juga sebuah koloseum buku milik pribadi dengan koleksi unik dan langka yang menyediakan cafe berikut cenderamata bagi pembaca.
Artinya, dalam bisnis perhotelan, ini adalah peluang dengan kategori ''samudera biru'', tanpa satu pun pesaing. Menawarkan alternatif yang tak terpikirkan. Di Indonesia, eksekutif pencinta buku banyak dan segmen pembaca ini belum terlayani dengan baik. Para eksekutif dari kelas menengah ini sampai putus urat leher Anda berseru-seru (dan atau memaki-makinya!) tak bakal mau ke perpustakaan umum (di daerah atau di ibu kota) untuk memperkaya pengetahuannya. Sebab, memang perpustakaan kita dibikin sangat tak menarik, membosankan, dan umumnya jorok.
Saya berpikir, tak perlu mendirikan hotel baru untuk library hotel ini. Cukup memugar beberapa hotel atau bangunan yang berlokasi di jantung kota. Misalnya di Surabaya, Hotel Oranye yang menjadi kawasan paling bersejarah dalam pertempuran 10 November 1945 bisa dimodifikasi menjadi library hotel. Di Jogjakarta, Hotel Mutiara (bangunan dengan desain lama) yang berada di kawasan niaga Malioboro bisa menjadi alternatif yang tepat. Sebab di sepanjang jalan tersibuk itu terdapat juga perpustakaan umum dan tak jauh dari sana terdapat pusat buku.
Di Jakarta, di samping kiri Perpustakaan Nasional ada Hotel Atlantic yang bisa dijadikan percobaan library hotel. Atau di Jalan Veteran, yang merupakan kawasan ''Ring 1'' karena di dekat Istana Presiden, terdapat satu-satunya hotel, yakni Hotel Sriwijaya, yang bisa disulap jadi library hotel. Di kota-kota lain tentu masih banyak kawasan yang bisa kita tunjuk, seperti Semarang, Bandung, Medan, dan Makassar.
Pendirian library hotel ini barangkali menjadi salah satu kampanye diam, tapi efektif, agar kalangan eksekutif (pengusaha, politisi, artis hiburan, dll) yang klimis dan berkantong tebal itu tetap dekat dengan buku. Caranya, ya beri mereka tempat menginap sesaat dan sekaligus menikmati hangatnya dipeluk buku-buku yang sesuai dengan status sosial dan seleranya. Tak hanya itu, library hotel juga menjadi tempat paling nyaman dan mewah bagi para penulis yang sudah berduit untuk menulis novel atau puisi-puisinya.
* Dimuat di Harian Jawa Pos edisi 26 Oktober 2008
20 October 2008
Buku Lekra Paling Komprehensif
::h tanzil
Jika kita mendengar kata Lekra, maka yang langsung terpikirkan oleh kita adalah sebuah lembaga kebudayaan bentukan PKI yang pernah membikin ricuh panggung budaya Indonesia di era Demokrasi Terpimpin (1950-1965).
Mereka adalah tukang ganyang, pembuat onar, pemicu konflik tak berkesudahan dengan para sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), dan telibat pembakaran buku-buku di depan Kantor USIS (Pusat Informasi Amerika)
Stigma negatif yang ditempelkan pada Lekra ini terus melekat dalam benak kita dan keterlibatan Lekra dalam pembakaran buku yang sebenarnya tak terbuktikan itu telah menjadi mitos abadi.
Itu terjadi lantaran hal ini terus ditulis di berbagai media dan dikisahkan oleh para sastrawan-sastrawan senior penandatangan Manifestasi Kebudayaan ketika menggambarkan situasi politik dan budaya Indonesia di tahun 50-60an.
Mitos tersebut seolah tak terbantahkan karena suara-suara mantan aktifis Lekra yang menyangkalnya telah dibungkam ketika penguasa orde baru ‘menjahit’ mulut para lawan-lawan politiknya.
Tak hanya itu, secara sengaja sejarah dan kiprah Lekra di ranah budaya Indonesia dikerdilkan hingga yang tercatat sekedar pertarungan antara dua kubu dalam isu kesusasteraan nasional: Lekra vs Manikebu.
Lalu apa dan bagaimana sesungguhnya Lekra ? Apa saja yang telah dikerjakannya selama lembaga kebudayaan ini menguasai panggung budaya Indonesia selama lima belas tahun (1950-1965)?
Tak banyak yang mengetahuinya karena tak satu buku pun yang secara komprehensif pernah menulis tentang Lekra hingga akhirnya terbitlah buku bertajuk “Lekra Tak Membakar Buku” karya Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.
Buku ini bisa dikatakan buku yang paling komprhensif mengenai Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim, lampiran, dan indeks.
Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus segaris dengan Manifestasi Politik (Manipol)-nya Soekarno.
Demikian pula dengan sikap berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah panglima kebudayaan”. Dalam Konggres-nya inilah Lekra mencoba merumuskan berbagai aksi nyata di lapangan kebudayaan yang memihak Rakyat, anti imperialis, dan anti feodal!
Masih dalam bab yang sama, diungkapkan pula kelahiran dan peran Lekra secara umum sebelum dibahas secara detail di bab-bab berikutnya.
Satu hal yang menarik adalah terungkapnya bahwa Lekra bukanlah salah satu organ PKI seperti yang selama ini banyak diasumsikan orang. Hal ini tampak saat diselenggarakannya Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya dilakukan oleh PKI.
Memang dalam kenyatannya banyak seniman-seniman Lekra ikut terlibat, namun kapasitas mereka sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara institusi.
Jika Lekra memang organ resmi PKI tentu saja konferensi ini akan dilaksanakan oleh Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang paling siap dan kompeten untuk menyelenggarakannya, atau setidaknya nama Lekra akan selalu disebut-sebut.
Pada kenyataannya hingga resolusi KSSR diumumkan, Lekra tak pernah disebutkan sebagai bagian dari PKI.
Karena itulah buku ini menyebutkan secara gamblang bahwa: “ Lekra tak pernah menjadi underbow PKI. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI…Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerja budaya komunis yang menjadi anggota Lekra di pucuk-pucuk pimpinannya. “ (hal 61)
“Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi.(hal 63)
Selain itu terungkap pula bahwa Pramoedya Ananta Toer bukanlah komunis. Hal ini terungkap ketika PKI hendak melakukan “pemerahan total” pada Lekra melalui konggres KSSR.
“..bahkan Nyoto yang pendiri Lekra pun menolak 'pemerahan total' Lekra dengan pertimbangan hengkangnya tenaga-tenaga potensial Lekra yang non-Komunis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan sebagainya.” (hal 62)
Setelah bab Mukadimah, buku ini membahas mengenai Riwayat Harian Rakjat yang merupakan terompet PKI dan Koran politik nasional terbesar pada masanya, dan tempat dimana sastrawan-sastrawan Lekra mengisi secara penuh lembar-lembar kebudayaannya yang merupakan sumber utama dari lahirnya buku ini.
Kemudian mulailah buku ini membahas semua kerja Lekra dan pemikiran-pemikiran seniman Lekra diberbagai bidang kebudayaan yang dibagi secara bab per bab mulai dari sastra, film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan buku.
Dari berbagai bahasan dalam buku ini akan terlihat bahwa para Lekra sangat militan dalam melaksanakan kerja budaya yang segaris dengan prinsip Manipol yang menentang kebudayaan imperialis dan sepenuhnya memihak sekaligus memberdayakan kebudayaan Rakyat.
Di tangan Lekra beberapa seni dan kebudayaan rakyat yang telah terkurung dalam kebudayaan feodal (wayang, tari-tarian keraton, dll) yang tadinya hanya dipentaskan di kalangan dan tempat-tempat tertentu, kini dikembalikan pada rakyat sehingga semua rakyat bisa menikmati dan mengembangkannya.
Lekra juga membabat habis semua bacaan-bacaan, film, musik yang tidak sesuai dengan garis kebijakan Manipol termasuk karya-karya sastrawan Manikebu. Sebagai gantinya, Lekra menumbuh kembangkan bacaan, film, dan musik yang sesuai dengan jiwa revolusioner.
Dalam berbagai simposium kebudayaannya Lekra mencatat dan menginventarisir semua kesenian-kesenian rakyat dan mengurus hak ciptanya. Kalau saja apa yang dikerjakan Lekra tak terkubur oleh sebuah prahara politik di tahun 65 mungkin kini tak ada ceritanya kalau kesenian reog ponorogo, dan beberapa lagu daerah diklaim sebagai milik budaya negara tetangga kita.
Dalam bidang musik, selain mengecam musik ngak-ngik-ngok yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian nasional, Lekra juga sangat prihatin terhadap perilaku anak-anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu dewasa yang liriknya cengeng dan cinta-cintaan.
Karenanya Lekra membahasnya secara khusus dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra).
Kondisi ini tampaknya tak jauh berbeda dengan keadaan sekarang dimana anak-anak tak memiliki lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga tak heran kalau kita mendengar anak-anak menyanyikan lagu –lagu cinta orang dewasa.
Di bidang buku, kita akan melihat bagaimana saat itu pameran-pameran buku tak sekedar ajang bisnis semata, melainkan menjadi ajang propaganda politik melalui buku-buku yang dipamerkan.
Secara menarik kita akan diajak melihat siapa-siapa saja yang ikut dalam pemeran buku yang saat itu bernama “Gelanggang Buku” dan buku-buku apa saja yang dipamerkan.
Hal ini mungkin bisa berguna bagi penyelenggara pameran buku di masa kini yang umumnya hanya memindahkan aktifitas toko buku ke dalam pameran.
Kemudian dibahas pula politik sebagai panglima buku, politik buku pelajaran, lembaga penerbitan buku Lekra, dan bab khusus “Lekra tak membakar buku” yang berisi fakta-fakta bahwa Lekra tak pernah membakar buku dan melarang peredaran buku-buku yang notabene adalah wewenang Kejaksaan Agung.
Berdasarkan guntingan-guntingan Koran Harian Rakjat yang menjadi dasar buku ini, kedua penulis buku ini sampai pada kesimpulan bahwa “tak satupun individu yang menyebutkan bahwa Lekra secara keorganisasian maupun individu-individu ikut serta dalam pembakaran buku”. (hal 476)
Masih banyak sepak terjang Lekra yang akan kita dapat di buku ini. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif yang dihasilkan Lekra selama 15 tahun (1950-1965) di bidang kebudayaan sebelum lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa Indonesia.
Kini kita patut bersyukur, karena kiprah Lekra yang telah dengan sengaja dihilangkan dari sejarah bangsa ini kembali terkuak dan dapat dibaca oleh semua orang. Ini semua berkat ‘kegilaan’ dua penulis muda yang dengan tekun menyelisik sekitar 15 ribu artikel kebudayaan di Harian Rakjat selama 1.5 tahun yang tersimpan dalam ruang terlarang untuk dibaca di sebuah perpustakaan di Jogya.
Artikel-arttikel itu terpaksa mereka salin karena lembar koran yang sudah usang sebagian besar sudah tak memungkinkan lagi untuk di foto copy.
Dari ribuan artikel yang mereka baca dan salin inilah mereka dan menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku utuh yang enak dibaca, .
“Kami hanya mengatur tempo dan menggilir siapa yang naik panggung duluan dan siapa yang kena giliran berikutnya. Untuk memberi suasana dan raut wajah dan suara semasa, maka kami sebanyak mungkin mengiringi kembali seluruh bahasan dengan kutipan langsung dari potongan-potongan berita braksen ejaan lama itu?” (hal 6).
Tampaknya kegilaan ide dan ketekunan kerja yang dilakukan Muhidin dan Rhoma Dwi Aria tak sia-sia.
Buku yang awalnya diprediksi oleh kedua penulisnya hanya akan setebal duaratusan halaman ternyata menggelembung menjadi hampir 600 halaman karena semakin meluasnya temuan-temuan baru yang mereka temukan untuk diungkapkan.
Jangan menciut melihat ketebalannya, karena walaupun tebal dan bersumber dari ribuan artikel-artikel yang berdiri sendiri namun kedua penulis berhasil merangkainya menjadi sebuah buku yang sistematis, runut, tak bertele-tele, dan enak dibaca.
Lampiran-lampiran risalah rapat, hasil komunike, struktur organisasi, dan sebagainya merupakan bonus bagi mereka yang berniat meneliti lebih dalam mengenai Lekra.
Melihat lengkapnya bahasan dalam buku ini tampaknya inilah buku tentang Lekra yang paling komprehensif yang pernah diterbitkan di Indonesia semenjak Lekra berdiri hingga kini.
Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain berupa wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup atau sumber-sumber kepustakaan lain.
Selain itu, ketika saya selesai menamatkan buku ini, saya bertanya-tanya mengapa judul bukunya “Lekra tak Membakar Buku”, padahal yang dibahas lebih dari sekedar jawaban atas pernyataan tersebut. Menurut saya judul tersebut mengecilkan luasnya cakupan yang dibahas dalam buku ini.
Ketika kedua hal tersebut saya tanyakan pada salah seorang penulisnya (Muhidin M Dahlan), ia mengatakan bahwa tak adanya narasumber dari para tokoh sejarah dalam menyusun buku ini sudah disadarinya sejak awal, “Itulah kelemahan sekaligus kekuatan buku ini”, ungkapnya.
Wawancara terhadap tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup dilakukan hanya sebatas konfirmasi nama, tak bisa lebih dari itu, faktor usia tampaknya menjadi kendala karena mungkin ingatan mereka sudah tak jernih lagi.
Sedangkan untuk judul, Muhiddin menjelaskan bahwa dalam proses kreatifnya ia cenderung mengambil judul bab yang paling kuat. Selain itu bab “Lekra tak Membakar Buku” adalah yang ditulis paling awal ketika buku ini dikerjakan, dan dari bab inilah maka pembahasannya menjadi semakin berkembang.
“Tidak ada bab itu sebagai pemicunya , maka tidak akan ada buku Lekra,” demikian imbuhnya.
Kritik lainnya untuk buku ini adalah hurufnya yang terlalu kecil dan beberapa kesalahan cetak sehingga mengganggu kenyamanan membaca.
Untuk ukuran huruf mungkin ini salah satu cara untuk menyiasati agar buku ini tidak bertambah ‘gemuk’ yang tentunya akan mengakibatkan harganya menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh khalayak ramai.
Terlepas dari baik buruknya buku ini, saya berani mengatakan bahwa buku ini buku merupakan karya monumental yang mendokumentasikan penggalan sejarah berkebudayaan di Indonesia.
Karenanya buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para pecinta sejarah, pemerhati, dan pelaku gerakan kebudayan Indonesia. Kiprah Lekra selama lima belas tahun tampil apa adanya dalam buku ini. Ada yang buruk, ada pula yang baik.
Yang buruk bisa menjadi pelajaran agar hal serupa tak terulang kembali. Sedangkan apa yang baik dari kerja kreatif Lekra setidaknya dapat menjadi inspirasi dan bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kebudayaan kita saat ini.
Yang pasti buku ini akan membuka mata kita bahwa sejarah Lekra tak sekedar berisi polemik tak berkesudahan dengan pengusung Manifes Kebudayaan.
Lekra bukan hanya diisi oleh orang-orang yang haus kuasa, tukang boikot, tukang cela, dan pembuat onar panggung kebudayaan, tapi Lekra adalah sebuah lembaga kebudayaan yang telah memberi warna dan sumbangsih yang luar biasa bagi kebudayaan Indonesia sebelum tragedi nasional menumbuk dan menghancurkan semua hasil kerja keras yang dipupuk selama 15 tahun tanpa henti itu.
Cover yang dipermasalahkan
Baru saja sehari terpajang di toko-toko buku, tiba-tiba Toko Buku Gramedia menarik seluruh buku Tilogi Lekra Tak Membakar Buku dan mengembalikan pada penerbitnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Usut punya usut ternyata mereka khawatir dengan cover buku “Lekra Tak Membakar Buku” yang memuat gambar ‘palu arit’ yang merupakan lambang PKI.
Mereka tampaknya khawatir karena pelarangan logo PKI hingga kini belum dicabut oleh pemerintah. Karenanya TB Gramedia bersikukuh tak mau memajang buku ini jika covernya belum diganti.
Sebenarnya lambang PKI pada buku ini tak terlalu kentara karena hanya berupa gambar timbul (embossed) tanpa bingkai dan warna, nyaris tak terlihat terutama dari jarak jauh.
Sehingga sekilas yang terlihat hanyalah cover putih polos dengan judul buku berwarna merah di bagian bawahnya.
Sebenarnya desain cover seperti ini menggambarkan keberadaan Lekra dengan PKI. Lekra bukanlah salah satu organ PKI, tapi tokoh-tokoh Lekra adalah orang-orang yang juga tergabung dalam PKI. Jadi dibilang PKI bukan, dibilang bukan PKI juga salah.
Awalnya penerbit maupun penulisnya tetap ingin mempertahankan cover tersebut, namun tampaknya daripada buku ini tersendat peredaraannya dan di sweeping oleh pihak-pihak tertentu sehingga kesempatan masyarakat untuk membaca buku ini menjadi terhalang, akhirnya diambil jalan kompromi.
Daripada membuang-buang waktu dan dana untuk mengganti cover baru, maka ditutuplah lambang palu aritnya dengan kertas putih.
Akhirnya buku monumental ini kini tersaji dengan wajah yang tambal sulam, hal yang buruk dan tak memenuhi kaidah estetika sebuah buku….
Judul: Lekra Tak Membakar Buku
(Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merakesumba
Cetakan: I, Sept 2008
Tebal: 584 hlm ; 15x24 cm
Jika kita mendengar kata Lekra, maka yang langsung terpikirkan oleh kita adalah sebuah lembaga kebudayaan bentukan PKI yang pernah membikin ricuh panggung budaya Indonesia di era Demokrasi Terpimpin (1950-1965).
Mereka adalah tukang ganyang, pembuat onar, pemicu konflik tak berkesudahan dengan para sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), dan telibat pembakaran buku-buku di depan Kantor USIS (Pusat Informasi Amerika)
Stigma negatif yang ditempelkan pada Lekra ini terus melekat dalam benak kita dan keterlibatan Lekra dalam pembakaran buku yang sebenarnya tak terbuktikan itu telah menjadi mitos abadi.

Mitos tersebut seolah tak terbantahkan karena suara-suara mantan aktifis Lekra yang menyangkalnya telah dibungkam ketika penguasa orde baru ‘menjahit’ mulut para lawan-lawan politiknya.
Tak hanya itu, secara sengaja sejarah dan kiprah Lekra di ranah budaya Indonesia dikerdilkan hingga yang tercatat sekedar pertarungan antara dua kubu dalam isu kesusasteraan nasional: Lekra vs Manikebu.
Lalu apa dan bagaimana sesungguhnya Lekra ? Apa saja yang telah dikerjakannya selama lembaga kebudayaan ini menguasai panggung budaya Indonesia selama lima belas tahun (1950-1965)?
Tak banyak yang mengetahuinya karena tak satu buku pun yang secara komprehensif pernah menulis tentang Lekra hingga akhirnya terbitlah buku bertajuk “Lekra Tak Membakar Buku” karya Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.
Buku ini bisa dikatakan buku yang paling komprhensif mengenai Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim, lampiran, dan indeks.
Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus segaris dengan Manifestasi Politik (Manipol)-nya Soekarno.
Demikian pula dengan sikap berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah panglima kebudayaan”. Dalam Konggres-nya inilah Lekra mencoba merumuskan berbagai aksi nyata di lapangan kebudayaan yang memihak Rakyat, anti imperialis, dan anti feodal!
Masih dalam bab yang sama, diungkapkan pula kelahiran dan peran Lekra secara umum sebelum dibahas secara detail di bab-bab berikutnya.
Satu hal yang menarik adalah terungkapnya bahwa Lekra bukanlah salah satu organ PKI seperti yang selama ini banyak diasumsikan orang. Hal ini tampak saat diselenggarakannya Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya dilakukan oleh PKI.
Memang dalam kenyatannya banyak seniman-seniman Lekra ikut terlibat, namun kapasitas mereka sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara institusi.
Jika Lekra memang organ resmi PKI tentu saja konferensi ini akan dilaksanakan oleh Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang paling siap dan kompeten untuk menyelenggarakannya, atau setidaknya nama Lekra akan selalu disebut-sebut.
Pada kenyataannya hingga resolusi KSSR diumumkan, Lekra tak pernah disebutkan sebagai bagian dari PKI.
Karena itulah buku ini menyebutkan secara gamblang bahwa: “ Lekra tak pernah menjadi underbow PKI. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI…Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerja budaya komunis yang menjadi anggota Lekra di pucuk-pucuk pimpinannya. “ (hal 61)
“Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi.(hal 63)
Selain itu terungkap pula bahwa Pramoedya Ananta Toer bukanlah komunis. Hal ini terungkap ketika PKI hendak melakukan “pemerahan total” pada Lekra melalui konggres KSSR.
“..bahkan Nyoto yang pendiri Lekra pun menolak 'pemerahan total' Lekra dengan pertimbangan hengkangnya tenaga-tenaga potensial Lekra yang non-Komunis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan sebagainya.” (hal 62)
Setelah bab Mukadimah, buku ini membahas mengenai Riwayat Harian Rakjat yang merupakan terompet PKI dan Koran politik nasional terbesar pada masanya, dan tempat dimana sastrawan-sastrawan Lekra mengisi secara penuh lembar-lembar kebudayaannya yang merupakan sumber utama dari lahirnya buku ini.
Kemudian mulailah buku ini membahas semua kerja Lekra dan pemikiran-pemikiran seniman Lekra diberbagai bidang kebudayaan yang dibagi secara bab per bab mulai dari sastra, film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan buku.
Dari berbagai bahasan dalam buku ini akan terlihat bahwa para Lekra sangat militan dalam melaksanakan kerja budaya yang segaris dengan prinsip Manipol yang menentang kebudayaan imperialis dan sepenuhnya memihak sekaligus memberdayakan kebudayaan Rakyat.
Di tangan Lekra beberapa seni dan kebudayaan rakyat yang telah terkurung dalam kebudayaan feodal (wayang, tari-tarian keraton, dll) yang tadinya hanya dipentaskan di kalangan dan tempat-tempat tertentu, kini dikembalikan pada rakyat sehingga semua rakyat bisa menikmati dan mengembangkannya.
Lekra juga membabat habis semua bacaan-bacaan, film, musik yang tidak sesuai dengan garis kebijakan Manipol termasuk karya-karya sastrawan Manikebu. Sebagai gantinya, Lekra menumbuh kembangkan bacaan, film, dan musik yang sesuai dengan jiwa revolusioner.
Dalam berbagai simposium kebudayaannya Lekra mencatat dan menginventarisir semua kesenian-kesenian rakyat dan mengurus hak ciptanya. Kalau saja apa yang dikerjakan Lekra tak terkubur oleh sebuah prahara politik di tahun 65 mungkin kini tak ada ceritanya kalau kesenian reog ponorogo, dan beberapa lagu daerah diklaim sebagai milik budaya negara tetangga kita.
Dalam bidang musik, selain mengecam musik ngak-ngik-ngok yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian nasional, Lekra juga sangat prihatin terhadap perilaku anak-anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu dewasa yang liriknya cengeng dan cinta-cintaan.
Karenanya Lekra membahasnya secara khusus dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra).
Kondisi ini tampaknya tak jauh berbeda dengan keadaan sekarang dimana anak-anak tak memiliki lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga tak heran kalau kita mendengar anak-anak menyanyikan lagu –lagu cinta orang dewasa.
Di bidang buku, kita akan melihat bagaimana saat itu pameran-pameran buku tak sekedar ajang bisnis semata, melainkan menjadi ajang propaganda politik melalui buku-buku yang dipamerkan.
Secara menarik kita akan diajak melihat siapa-siapa saja yang ikut dalam pemeran buku yang saat itu bernama “Gelanggang Buku” dan buku-buku apa saja yang dipamerkan.
Hal ini mungkin bisa berguna bagi penyelenggara pameran buku di masa kini yang umumnya hanya memindahkan aktifitas toko buku ke dalam pameran.
Kemudian dibahas pula politik sebagai panglima buku, politik buku pelajaran, lembaga penerbitan buku Lekra, dan bab khusus “Lekra tak membakar buku” yang berisi fakta-fakta bahwa Lekra tak pernah membakar buku dan melarang peredaran buku-buku yang notabene adalah wewenang Kejaksaan Agung.
Berdasarkan guntingan-guntingan Koran Harian Rakjat yang menjadi dasar buku ini, kedua penulis buku ini sampai pada kesimpulan bahwa “tak satupun individu yang menyebutkan bahwa Lekra secara keorganisasian maupun individu-individu ikut serta dalam pembakaran buku”. (hal 476)
Masih banyak sepak terjang Lekra yang akan kita dapat di buku ini. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif yang dihasilkan Lekra selama 15 tahun (1950-1965) di bidang kebudayaan sebelum lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa Indonesia.
Kini kita patut bersyukur, karena kiprah Lekra yang telah dengan sengaja dihilangkan dari sejarah bangsa ini kembali terkuak dan dapat dibaca oleh semua orang. Ini semua berkat ‘kegilaan’ dua penulis muda yang dengan tekun menyelisik sekitar 15 ribu artikel kebudayaan di Harian Rakjat selama 1.5 tahun yang tersimpan dalam ruang terlarang untuk dibaca di sebuah perpustakaan di Jogya.
Artikel-arttikel itu terpaksa mereka salin karena lembar koran yang sudah usang sebagian besar sudah tak memungkinkan lagi untuk di foto copy.
Dari ribuan artikel yang mereka baca dan salin inilah mereka dan menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku utuh yang enak dibaca, .
“Kami hanya mengatur tempo dan menggilir siapa yang naik panggung duluan dan siapa yang kena giliran berikutnya. Untuk memberi suasana dan raut wajah dan suara semasa, maka kami sebanyak mungkin mengiringi kembali seluruh bahasan dengan kutipan langsung dari potongan-potongan berita braksen ejaan lama itu?” (hal 6).
Tampaknya kegilaan ide dan ketekunan kerja yang dilakukan Muhidin dan Rhoma Dwi Aria tak sia-sia.
Buku yang awalnya diprediksi oleh kedua penulisnya hanya akan setebal duaratusan halaman ternyata menggelembung menjadi hampir 600 halaman karena semakin meluasnya temuan-temuan baru yang mereka temukan untuk diungkapkan.
Jangan menciut melihat ketebalannya, karena walaupun tebal dan bersumber dari ribuan artikel-artikel yang berdiri sendiri namun kedua penulis berhasil merangkainya menjadi sebuah buku yang sistematis, runut, tak bertele-tele, dan enak dibaca.
Lampiran-lampiran risalah rapat, hasil komunike, struktur organisasi, dan sebagainya merupakan bonus bagi mereka yang berniat meneliti lebih dalam mengenai Lekra.
Melihat lengkapnya bahasan dalam buku ini tampaknya inilah buku tentang Lekra yang paling komprehensif yang pernah diterbitkan di Indonesia semenjak Lekra berdiri hingga kini.
Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain berupa wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup atau sumber-sumber kepustakaan lain.
Selain itu, ketika saya selesai menamatkan buku ini, saya bertanya-tanya mengapa judul bukunya “Lekra tak Membakar Buku”, padahal yang dibahas lebih dari sekedar jawaban atas pernyataan tersebut. Menurut saya judul tersebut mengecilkan luasnya cakupan yang dibahas dalam buku ini.
Ketika kedua hal tersebut saya tanyakan pada salah seorang penulisnya (Muhidin M Dahlan), ia mengatakan bahwa tak adanya narasumber dari para tokoh sejarah dalam menyusun buku ini sudah disadarinya sejak awal, “Itulah kelemahan sekaligus kekuatan buku ini”, ungkapnya.
Wawancara terhadap tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup dilakukan hanya sebatas konfirmasi nama, tak bisa lebih dari itu, faktor usia tampaknya menjadi kendala karena mungkin ingatan mereka sudah tak jernih lagi.
Sedangkan untuk judul, Muhiddin menjelaskan bahwa dalam proses kreatifnya ia cenderung mengambil judul bab yang paling kuat. Selain itu bab “Lekra tak Membakar Buku” adalah yang ditulis paling awal ketika buku ini dikerjakan, dan dari bab inilah maka pembahasannya menjadi semakin berkembang.
“Tidak ada bab itu sebagai pemicunya , maka tidak akan ada buku Lekra,” demikian imbuhnya.
Kritik lainnya untuk buku ini adalah hurufnya yang terlalu kecil dan beberapa kesalahan cetak sehingga mengganggu kenyamanan membaca.
Untuk ukuran huruf mungkin ini salah satu cara untuk menyiasati agar buku ini tidak bertambah ‘gemuk’ yang tentunya akan mengakibatkan harganya menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh khalayak ramai.
Terlepas dari baik buruknya buku ini, saya berani mengatakan bahwa buku ini buku merupakan karya monumental yang mendokumentasikan penggalan sejarah berkebudayaan di Indonesia.
Karenanya buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para pecinta sejarah, pemerhati, dan pelaku gerakan kebudayan Indonesia. Kiprah Lekra selama lima belas tahun tampil apa adanya dalam buku ini. Ada yang buruk, ada pula yang baik.
Yang buruk bisa menjadi pelajaran agar hal serupa tak terulang kembali. Sedangkan apa yang baik dari kerja kreatif Lekra setidaknya dapat menjadi inspirasi dan bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kebudayaan kita saat ini.
Yang pasti buku ini akan membuka mata kita bahwa sejarah Lekra tak sekedar berisi polemik tak berkesudahan dengan pengusung Manifes Kebudayaan.
Lekra bukan hanya diisi oleh orang-orang yang haus kuasa, tukang boikot, tukang cela, dan pembuat onar panggung kebudayaan, tapi Lekra adalah sebuah lembaga kebudayaan yang telah memberi warna dan sumbangsih yang luar biasa bagi kebudayaan Indonesia sebelum tragedi nasional menumbuk dan menghancurkan semua hasil kerja keras yang dipupuk selama 15 tahun tanpa henti itu.
Cover yang dipermasalahkan
Baru saja sehari terpajang di toko-toko buku, tiba-tiba Toko Buku Gramedia menarik seluruh buku Tilogi Lekra Tak Membakar Buku dan mengembalikan pada penerbitnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Usut punya usut ternyata mereka khawatir dengan cover buku “Lekra Tak Membakar Buku” yang memuat gambar ‘palu arit’ yang merupakan lambang PKI.
Mereka tampaknya khawatir karena pelarangan logo PKI hingga kini belum dicabut oleh pemerintah. Karenanya TB Gramedia bersikukuh tak mau memajang buku ini jika covernya belum diganti.
Sebenarnya lambang PKI pada buku ini tak terlalu kentara karena hanya berupa gambar timbul (embossed) tanpa bingkai dan warna, nyaris tak terlihat terutama dari jarak jauh.
Sehingga sekilas yang terlihat hanyalah cover putih polos dengan judul buku berwarna merah di bagian bawahnya.
Sebenarnya desain cover seperti ini menggambarkan keberadaan Lekra dengan PKI. Lekra bukanlah salah satu organ PKI, tapi tokoh-tokoh Lekra adalah orang-orang yang juga tergabung dalam PKI. Jadi dibilang PKI bukan, dibilang bukan PKI juga salah.
Awalnya penerbit maupun penulisnya tetap ingin mempertahankan cover tersebut, namun tampaknya daripada buku ini tersendat peredaraannya dan di sweeping oleh pihak-pihak tertentu sehingga kesempatan masyarakat untuk membaca buku ini menjadi terhalang, akhirnya diambil jalan kompromi.
Daripada membuang-buang waktu dan dana untuk mengganti cover baru, maka ditutuplah lambang palu aritnya dengan kertas putih.
Akhirnya buku monumental ini kini tersaji dengan wajah yang tambal sulam, hal yang buruk dan tak memenuhi kaidah estetika sebuah buku….

(Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merakesumba
Cetakan: I, Sept 2008
Tebal: 584 hlm ; 15x24 cm
16 October 2008
Selamat Datang Kreasi Monumental, Selamat Jalan Lekra
::a kohar ibrahim
AKU sitir Lorca dalam menyimak makna serangkum naskah sekitar penyair besar Spanyol yang tewas dibantai pasukan fasis, sekaitan dengan sitiran penyair Jasmineflame, nyaris bareng dengan datangnya berita akbar dari Nusantara. Berita yang menggelora sekaligus mengharukan jiwa. Berita terbitan buku Trilogi Lekra Tak Membakar Buku Oleh Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan (Penerbit Merekesumba, Jogjakarta, Oktober 2008).
Berita itu sangat pas dalam suasana kejiwaanku yang secara kenabian terlukis oleh baris-baris kata puitis "Braver le silence" (Tantangan Keheningan) Garcia Lorca. Tantangan keheningan kaum yang terhina, terfitnah, terbungkam, terpinggirkan, terkalahkan, termusnahkan oleh arogansi kekuasaan selama sekian dasawarsa lamanya. Semenjak 1 Oktober 1965 hingga detik kutulis catatan ini. Meski dalam batas-batas tertentu, kaum yang terbungkam dibungkam mulai bisa kembali bicara, mengekspresikan diri, sekuat bisa. Bukan tanpa bayangan pedang atau bayonet mengancam jiwa dan raga.
Namun, siapakah yang lebih memahami dari pada kaum yang terbungkam akan kebenaran betapa kuat perkasa teriak keheningan itu. Pasalnya yang hakiki tak lain bahwa ia menyimpan kebenaran dan keadilan yang oleh arogansi kekuasaan dibenam-bungkamkan secara sewenang-wenang. Kesewenangan yang berkepanjangan sampai pada pengabaian atas penegakan hukum meski negara berazaskan hukum. Pengabaian yang berdampak pada pelanggengan stigma bagi pendosa sekalian yang tanpa dosa; pelanggengan cap dijidat bagi kaum yang dilaknat.
Tetapi, di luar obrolan, sebutan, hujatan, pencapan macam-macam apa siapa sih sebenarnya kaum yang terlaknat itu ? Tegasnya, apa yang telah dilakukan mereka ? Apa yang telah dilakukan kaum pekerja kebudayaan rakyat yang ragam-macam itu selama keberadaannya dari awal mula tegak berdirinya Lekra sampai titik akhirnya?
Kata orang: di depan hasil kreasinya seniman telanjang bulat. Memang benar, jika dimaknai bahwa hasil aktivitas-kreativitas itulah yang jadi ukuran utamanya.
Justeru, dalam hal upaya tolak-ukur yang terutama itulah betapa penting lagi besarnya upaya riset sekaligus penerbitan buku Trilogi: Lekra Tak Membakar Buku ini. Penerbitan yang ditinjau dari isi maupun makna kesejarahannya merupakan karya monumental dari suatu gerakan kebudayaan rakyat bersifat nasional berwadahkan organisasi bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Sejak berdirinya pada tanggal 17 Agustus 1950 sampai akhirnya dibantai kaum militeris penegak Orde Baru.
Penerbitan buku trilogi tentang Lekra ini, dengan isinya yang begitu kaya ragamnya, mencakup beratus-ratus makalah, esai, puisi dan cerpen mengingatkan saya pada pepatah Perancis: La parole s’envole l’écrit reste. Omongan mabur tulisan tetap. Dalam kaitan ini, selintas pintas, saya terkenang bagaimana aktivitas-kreativitas kami sebagai pekerja dapur Harian Rakyat dan HRM (Harian Rakyat Minggu). Baik di ruang sempit gedung tua yang bau apek dan timah zetter Percetakan Rakyat di bawah pimpinan Bung Samosir di Pintu Besar Utara, maupun ketika pindah ke gedung yang baru di Jalan Pintu Air II. Masih terbayang dengan jelas wajah-wajah para pemimpin redaksi maupun anggota redaksi dan para jurnalisnya – baik yang senior seperti Naibaho, Dahono, Nyoto maupun yang yunior macam Amarzan, Tikno, Nurlan dan saya sendiri. Di samping sebagai reporter, juga merangkap pengelolaan HR Minggu yang dipimpin oleh penyair HR Bandaharo, bersama Zubir AA dan juga Bambang Sukowati Dewantara.
Maka, dari dapur-dapur redaktur Jalan Pintu Besar Utara dan Pintu Air II sanalah tersiarnya karya tulis yang tercetak hingga bisa dilacak dan tersajikan kepada para pemerhati, penyelidik yang cerdik dan akhirnya sampai kepada pembaca yang berkenan.
Semoga penerbitan buku ini menjadi tambahan bahan pertimbangan yang penting dan berharga baik bagi pemerhati, pekerja kebudayaan, pencinta kebudayaan dan kesenian serta kalangan masyarakat umumnya. Terutama sekali kaum muda dan mereka yang merasa terjebak oleh ajaran sejarah yang cekak dan direkayasa penguasa OrBa.
Sebagai salah seorang saksimata sekaligus pelaku baik dalam gerakan kebudayaan dengan wadah organisasi Lekra, maupun sebagai mantan penulis-jurnalis HR/HRM, izinkan saya untuk mengucap terimakasih tak berhingga pada segenap team penyunting Trilogi: Lekra Tak Membakar Buku yang monumental ini.
Akhirnya, saya berterima kasih bisa menerima bahan-bahan seperti tertera di bawah ini. Selain berisi keterangan mengenai isi ketiga buku tersebut, juga tercantum para sosok tokoh yang menyatakan testimoni-nya yang bernas. Pun bisa menyimak nukilan dari Bab Penutup Lekra Tak Membakar Buku berjudul: "Selamat Jalan Lekra!" yang tak urung membuat saya terenyuh dalam ketabahan berbaur kemasygulan. Seraya berbisik di dalam hati:
"Iyalah. Iya : Selamat Jalan, Lekra. Ibarat macan yang telah meninggalkan belang."
15 Oktober 2008.
*
Tantang keheningan
Dengan hujaman lantang meradang
Dan kuasai kegundahgelisahan
Sembari minum di atas makam kepedihan
(Garcia Lorca)
*
AKU sitir Lorca dalam menyimak makna serangkum naskah sekitar penyair besar Spanyol yang tewas dibantai pasukan fasis, sekaitan dengan sitiran penyair Jasmineflame, nyaris bareng dengan datangnya berita akbar dari Nusantara. Berita yang menggelora sekaligus mengharukan jiwa. Berita terbitan buku Trilogi Lekra Tak Membakar Buku Oleh Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan (Penerbit Merekesumba, Jogjakarta, Oktober 2008).
Berita itu sangat pas dalam suasana kejiwaanku yang secara kenabian terlukis oleh baris-baris kata puitis "Braver le silence" (Tantangan Keheningan) Garcia Lorca. Tantangan keheningan kaum yang terhina, terfitnah, terbungkam, terpinggirkan, terkalahkan, termusnahkan oleh arogansi kekuasaan selama sekian dasawarsa lamanya. Semenjak 1 Oktober 1965 hingga detik kutulis catatan ini. Meski dalam batas-batas tertentu, kaum yang terbungkam dibungkam mulai bisa kembali bicara, mengekspresikan diri, sekuat bisa. Bukan tanpa bayangan pedang atau bayonet mengancam jiwa dan raga.
Namun, siapakah yang lebih memahami dari pada kaum yang terbungkam akan kebenaran betapa kuat perkasa teriak keheningan itu. Pasalnya yang hakiki tak lain bahwa ia menyimpan kebenaran dan keadilan yang oleh arogansi kekuasaan dibenam-bungkamkan secara sewenang-wenang. Kesewenangan yang berkepanjangan sampai pada pengabaian atas penegakan hukum meski negara berazaskan hukum. Pengabaian yang berdampak pada pelanggengan stigma bagi pendosa sekalian yang tanpa dosa; pelanggengan cap dijidat bagi kaum yang dilaknat.
Tetapi, di luar obrolan, sebutan, hujatan, pencapan macam-macam apa siapa sih sebenarnya kaum yang terlaknat itu ? Tegasnya, apa yang telah dilakukan mereka ? Apa yang telah dilakukan kaum pekerja kebudayaan rakyat yang ragam-macam itu selama keberadaannya dari awal mula tegak berdirinya Lekra sampai titik akhirnya?
Kata orang: di depan hasil kreasinya seniman telanjang bulat. Memang benar, jika dimaknai bahwa hasil aktivitas-kreativitas itulah yang jadi ukuran utamanya.
Justeru, dalam hal upaya tolak-ukur yang terutama itulah betapa penting lagi besarnya upaya riset sekaligus penerbitan buku Trilogi: Lekra Tak Membakar Buku ini. Penerbitan yang ditinjau dari isi maupun makna kesejarahannya merupakan karya monumental dari suatu gerakan kebudayaan rakyat bersifat nasional berwadahkan organisasi bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Sejak berdirinya pada tanggal 17 Agustus 1950 sampai akhirnya dibantai kaum militeris penegak Orde Baru.
Penerbitan buku trilogi tentang Lekra ini, dengan isinya yang begitu kaya ragamnya, mencakup beratus-ratus makalah, esai, puisi dan cerpen mengingatkan saya pada pepatah Perancis: La parole s’envole l’écrit reste. Omongan mabur tulisan tetap. Dalam kaitan ini, selintas pintas, saya terkenang bagaimana aktivitas-kreativitas kami sebagai pekerja dapur Harian Rakyat dan HRM (Harian Rakyat Minggu). Baik di ruang sempit gedung tua yang bau apek dan timah zetter Percetakan Rakyat di bawah pimpinan Bung Samosir di Pintu Besar Utara, maupun ketika pindah ke gedung yang baru di Jalan Pintu Air II. Masih terbayang dengan jelas wajah-wajah para pemimpin redaksi maupun anggota redaksi dan para jurnalisnya – baik yang senior seperti Naibaho, Dahono, Nyoto maupun yang yunior macam Amarzan, Tikno, Nurlan dan saya sendiri. Di samping sebagai reporter, juga merangkap pengelolaan HR Minggu yang dipimpin oleh penyair HR Bandaharo, bersama Zubir AA dan juga Bambang Sukowati Dewantara.
Maka, dari dapur-dapur redaktur Jalan Pintu Besar Utara dan Pintu Air II sanalah tersiarnya karya tulis yang tercetak hingga bisa dilacak dan tersajikan kepada para pemerhati, penyelidik yang cerdik dan akhirnya sampai kepada pembaca yang berkenan.
Semoga penerbitan buku ini menjadi tambahan bahan pertimbangan yang penting dan berharga baik bagi pemerhati, pekerja kebudayaan, pencinta kebudayaan dan kesenian serta kalangan masyarakat umumnya. Terutama sekali kaum muda dan mereka yang merasa terjebak oleh ajaran sejarah yang cekak dan direkayasa penguasa OrBa.
Sebagai salah seorang saksimata sekaligus pelaku baik dalam gerakan kebudayaan dengan wadah organisasi Lekra, maupun sebagai mantan penulis-jurnalis HR/HRM, izinkan saya untuk mengucap terimakasih tak berhingga pada segenap team penyunting Trilogi: Lekra Tak Membakar Buku yang monumental ini.
Akhirnya, saya berterima kasih bisa menerima bahan-bahan seperti tertera di bawah ini. Selain berisi keterangan mengenai isi ketiga buku tersebut, juga tercantum para sosok tokoh yang menyatakan testimoni-nya yang bernas. Pun bisa menyimak nukilan dari Bab Penutup Lekra Tak Membakar Buku berjudul: "Selamat Jalan Lekra!" yang tak urung membuat saya terenyuh dalam ketabahan berbaur kemasygulan. Seraya berbisik di dalam hati:
"Iyalah. Iya : Selamat Jalan, Lekra. Ibarat macan yang telah meninggalkan belang."
15 Oktober 2008.
14 October 2008
Trilogi Lekra Tak Membakar Buku
::gus muh
Telah terbit tiga buku dari riset Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan tentang gerakan kiri kebudayaan yang luar biasa bergemuruhnya selama 15 tahun menahan arus besar imperialisme modal dan intervensi asing (Amerika Serikat) hingga mereka sangsai di depan sejarah. Ketiganya adalah:
(1) LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat
15 x 24 cm; ISBN 978-979-18475-0-6; 581 halaman. Cetak massal dan bisa didapatkan di toko-toko buku terdekat. Mengulas banyak hal dari sepuluh bab, seperti Garis Utama Ideologi Kebudayaan, Riwayat Harian Rakjat, Sastra, Film, Seni Rupa, Seni Pertunjukan (Ketoprak, Wayang, Drama, Ludruk, Reog), Seni Tari, Musik, dan Dunia Buku.
(2) GUGUR MERAH: Sehimpunan Puisi Lekra 1950 – 1965
Himpunan puisi ini adalah ikhtiar mengumpulkan sekira 450 judul puisi dari 111 penyair Lekra yang nama dan puisinya terekam di lembar kebudayaan Harian Rakjat sepanjang 15 tahun (1950-1965). 15 x 24 cm; ISBN: 978-979-18475-1-3; 966 hlm. Hanya tersedia dalam edisi terbatas (hardcover). Bisa dipesan ke 081-328690269.
(3) LAPORAN DARI BAWAH: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra 1950-1965
Buku ini merekam geliat 100 cerita pendek yang ditulis oleh eksponen budaya Lekra (sastra) untuk memberitahu bagaimana gaya realisme sosialis “ditemukan”, “diadaptasi”, dan “dipraktikkan” di lapangan kesusastraan Indonesia. 15x24 cm; ISBN 978-979-18475-2-0; 558 hlm. Hanya tersedia dalam edisi terbatas (hardcover). Silakan pesan ke 081-328690269.
Selamat Jalan Lekra
(Dinukil dari Bab Penutup ‘Lekra Tak Membakar Buku’)

Sebelum mendapat vonis hukuman mati di depan mahkamah sejarah pada 1 Oktober 1965, limabelas tahun kehidupan Lekra adalah limabelas tahun bekerja agar kebudayaan mendapatkan tempat terhormat di tengah kehidupan politik Indonesia. Kebudayaan tak boleh hanya jadi suplemen dari kehidupan ekonomi dan politik. Pengekor tanpa tendens atau diabaikan seperti makhluk tiada guna. Kebudayaan harus menjadi bidang utama yang menentukan bulat-lonjong-persegi raut Indonesia. Dan seniman/sastrawan bukan kelas pinggiran di panggung luas bernama Indonesia. Lekra sudah menunjukan dengan segamblang-gamblangnya bagaimana cara menghormati kebudayaan Indonesia, menghormati tradisi yang dilahirkan Rakyat, membawa pulang sastra ke pangkuan si pemiliknya, yakni Rakyat.
Lekra oleh seteru-seteru politik kebudayaan yang dilabelinya sebagai pemangku “humanisme universil”, “seni untuk seni”, “kontrarevolusioner”, mendaftar sekian panjang dosa-dosa dan mengubur kehadiran dan perannya dalam ruang ingatan masa depan. Buku-buku ditulis dengan gempita dan penuh semangat mengasasinasinya tanpa ada pembelaan. Rasa-rasanya belum cukup dosa itu dibayar dengan penghukuman penjara puluhan tahun, pengejaran dan penggorokan leher para budayawannya oleh aksi massa yang sangat brutal, penembakan-penembakan sistematik Angkatan Bersenjata. Para seteru politik kebudayaan itu menulis buku-buku dengan bersemangat bahwa Lembaga Kebudayaan Rakyat yang jumlah pendukung di dusun dan di kota yang luar biasa banyak itu bukan hanya diisi orang-orang haus kuasa, algojo-algojo haus darah, tukang keroyok, pembikin onar panggung kebudayaan, tapi juga turut aktif menggulingkan Sukarno dengan cara-cara kotor dan licik, yakni lewat jalan kudeta 30 September.
Katakanlah semua dosa itu benar sebagai dosa (walau harus dibuktikan dulu). Katakanlah Lekra pembabat kebebasan berkreasi. Katakanlah Lekra adalah penghasut, tukang fitnah, bahkan ada yang menudingnya sebagai pembakar buku yang brutal. Tapi tak adakah yang positif yang mereka berikan buat warga bangsa yang dicintainya ini sepanjang 15 tahun bekerja di lapangan kebudayaan Indonesia?
Di bidang penegakkan moralitas, Lekra adalah laskar kebudayaan yang memagari moralitas keluarga dan anak-anak Indonesia dengan intensif dari amukan bacaan-bacaan cabul, komik bandit-banditan, film-film Hollywood yang mempertontonkan kevulgaran, musik ngak-ngik-ngok. Laskar budaya Lekra beserta ormas-ormas revolusioner melakukan sweeping atas hiburan-hiburan malam yang memamerkan dansa-dansi dan pakaian-pakaian seronok.
Janganlah dilupakan bagaimana cendekiawan organik Lekra dan sekaligus Wakil Ketua II CC PKI Njoto pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bojonegoro, Jawa Timur. Pada saat malam pidato itu, sebagaimana digambarkan Harian Rakjat edisi 5 Februari 1955, “sekolah SMA-malam jang muridnja berdjumlah lebih dari 300 orang, malam itu ditutup, dan guru2 maupun murid2nja semuanja datang ketjeramah PKI”. Setelah menerangkan secara terang-benderang tentang “Front Anti Komunis” yang menurutnya bukan hanya komunis yang dimusuhi, tapi juga PNI, NU, PSII, PRN, dll yang karena itu sebetulnya adalah “Front Anti Segala Sesuatu”; tapi juga “nyerempet” ke soal sikap PKI—juga Lekra—atas demoralisasi masyarakat khususnya bagi anak-anak pelajar. Dengan tangkas Njoto menegaskan sikap bulat: “Menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita. Pengaruh jang djelek itu sudah demikian meluasnja, sehingga tidak sedikit anak2 kita jang menanggalkan pakaiannja jg nasional, pakaiannya jang normal, dan lebih suka memakai tjelana jang saja sebut sadja ,,tjelana potlot”.
Njoto dalam pidato yang sama berjanji merencanakan suatu mosi menuntut pelarangan segala sesuatu yang cabul kepada Parlemen. Dan untuk mendukung validitas data, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) memfasilitasi sarasehan besar “Demoralisasi Peladjar” yang digelar selama sepekan pada 27 Februari s/d 5 Maret 1955 di Jogjakarta.
Keseriusan dan ketegasan terhadap semua produk kebudayaan yang mencemari “watak dan sifat anak2 kita” itulah yang membikin Lekra Jogja melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Bagi eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat. Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs. Soemarsono, yang menyerukan bahwa “disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatles, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim”.
Sebelum giliran “pakaian jang berbau nekolim” atau “tjelana potlot” kena sapu, Angkatan Kepolisian Jawa Timur memang sudah terlebih dulu melego semua piringan hitam berisi lagu-lagu ngak-ngik-ngok. Dalam kesadaran terdalam aktivis PKI dan Lekra, moralitas bangsa harus tetap dilindungi dari destruksi yang ditimbulkan budaya-budaya nekolim. Karena itu tindakan-tindakan di lapangan pun diambil secara seksama dan sistematis. Gelombang demonstrasi dan propaganda menjebol, misalnya, produksi film-film Amerika Serikat yang disebar oleh Association Picture American of Indonesia (AMPAI) dilangsungkan secara massif dan berhasil. AMPAI pun jebol pada Oktober 1964. Majalah-majalah cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang. Sejalan dengan itu, Badan Kontak Organisasi Wanita Indonesia Djawa Timur (BKOWI) di Surabaya juga mengeluarkan pernyataan menertibkan peredaran buku-buku dan majalah yang tak sesuai dengan kepribadian nasional. Keluarnya pernyataan itu merupakan respons langsung dari beredarnya kisah-kisah bergambar yang tak pantas dilihat, “Keluarga Miring” No 8, 9, 10 terbitan Semarang tahun 1965.
Kerap PKI dan Lekra dituding melecehkan agama. Itu diajarkan di sekolah dan menjadi dongengan yang wajar dalam masyarakat dan karena itu menjadi benar. Sebagian barangkali benar. Tapi bagaimana dengan kejadian di Banyuwangi seperti ini dan diliput Harian Rakjat edisi 25 April 1953 dengan judul berita “BANJUWANGI: 13 buah mesdjid diperbaiki PKI”.
Di film-film bagaimana orang-orang PKI dan seluruh ormas yang sealiran dengannya diperlihatkan memasuki masjid, menginjak-injak Alquran, seperti kejadian di Kanigoro, Kras, Kediri. Dan rekaman itu terus berulang hingga merasuki bawah sadar dan melahirkan kebencian yang tiada tara. Barangkali tudingan itu benar. Tapi tidakkah PKI—ketika mereka berada pada titik konsolidasinya yang kuat—sudah memberi bantahan yang tak pernah terungkap dalam dua kali pemuatan di Harian Rakjat edisi 13 Februari 1965:
Di dalam tradisi mencipta atau menulis, Lekra juga telah meninggalkan tradisi yang baik: yakni riset intensif. Mencipta dan menulis apa saja baik drama, cerita pendek, puisi, esai, atau melukis hendaklah terlebih dahulu dilakukan riset yang tekun di lapangan. Mereka menamakan tradisi riset itu dengan turun ke bawah atau Turba ke desa-desa yang terpencil selama satu atau dua bulan. Di sana, pekerja budaya Lekra itu bukan menampilkan diri sebagai “turis”, melainkan pendamping masyarakat. Pekerja Lekra tak boleh lebih tinggi dari tani-nelayan-buruh yang disebut Presiden Sukarno sebagai sokoguru Revolusi. Tak boleh keminter dan sok-sokan, mentang-mentang dari kota dan terpelajar. Dalam Turba, setiap pekerja Lekra memegang teguh aturan main yang emansipatif yang mereka sebut “tiga sama”: sama kerja, sama makan, sama tidur. Apa yang dikerjakan petani, itu juga yang dikerjakan pekerja Lekra. Kalau petani makan tiwul, pekerja Lekra juga makan tiwul. Kalau petani tidur beralas papan keras, pekerja Lekra juga mesti tidur di atas papan. Di desa itulah, kerap pekerja Lekra terlibat membantu dan mendampingi petani merebut hak-haknya yang dirampas sewenang-wenang oleh para tuan tanah. Kalau sudah begini, mereka akan diuber-uber oleh polisi yang memang memihak pada kekuatan feodal di kampung-kampung. Tradisi baik ini kemudian yang masih kita saksikan dalam tradisi Kuliah Kerja Mahasiswa (KKN) yang saban tahun dilakukan untuk tujuan akademis tapi minus ideologi dan kesadaran penuh membela Rakyat tertindas. Atau ini juga dilakukan LSM-LSM yang mendampingi masyarakat papah di daerah-daerah.
Berkait dengan basis kesenian Lekra adalah dari kelas bawah, maka kerja lembaga ini yang tak boleh disepelekan adalah membawa sastra masuk kampung dan pabrik-pabrik. Mengajari masyarakat menulis puisi, membina anak-anak muda menulis puisi, cerpen, atau apa pun. Lekra juga intensif merevitalisasi dongeng-dongeng Nusantara dengan memanggungkannya di pentas ketoprak, teater, arena deklamasi, bahkan dalam lukisan-lukisan. Dari sisi musik, Lekra bersemangat mengumpulkan lagu-lagu daerah dan memperkenalkannya secara nasional, seperti salah satunya lagu Rakyat berjudul Genjer-genjer asal daerah Banyuwangi yang kemudian disangsai oleh rezim post Sukarno sebagai lagu penyuplai praktik seks cabul dan menstimulasi kebiadaban. Tari-tari daerah pun direvitalisasi, diberi isi baru—bukan hanya sebagai tari penghibur dan objek turisme, tapi juga mampu menstimulasi perlawanan yang revolusioner. Bahkan beberapa tari dinaikkan tarafnya menjadi tari pergaulan nasional seperti tari “Lenso” dari Maluku.
Pekerja budaya Lekra juga dengan bersemangat mengangkat dan melindungi kebudayaan Rakyat dan kepunahan atau pencaplokan hak oleh negara lain yang ingin melihat Indonesia terus tersiksa dan terbelakang terus diingatkan oleh kongres dan konferensi nasionalnya untuk terus bekerja keras meregistrasi nyanyian daerah, dongeng Rakyat, tari daerah. Sebab untuk memperkokoh letak berdirinya kebudayaan Indonesia ini, mestilah memperkuat pondasi kebudayaan Rakyat. Dan itu tak bisa dilakukan dengan mengandalkan dayabayang belaka, tapi juga dayakerja di lapangan kebudayaan di tengah-tengah kehidupan Rakyat.
Di bidang senirupa, tergabung para perupa-perupa maestro seperti Affandi, Hendra, Sudjojono, dan sederet lainnya pelukis-pelukis Rakyat dengan pelbagai ekspresi dan gayanya. Dari tangan perupa-perupa itulah lahir organ dan gerakan seni yang revolusioner seperti Persagi, SIM, Pelukis Rakyat, dan sebagainya. Karya-karya para perupa ini pun diperjuangkan Lekra agar bisa menghiasi dinding kantor-kantor jawatan pemerintah yang bertebaran di Jakarta. Dan jika sekali waktu melewati bunderan Hotel Indonesia, lihatlah tugu “Selamat Datang” yang merupakan karya pematung Lekra Henk Ngantung yang juga menjadi dewan juri perlombaan membikin Monumen Nasional (Monas). Di masa ketika Lekra hadir inilah seni grafis yang kerap dianggap kelas dua dalam seni rupa seperti mural, karikatur, poster, cukikayu, mendapatkan tempat yang terhormat.
Di dalam menghalau kekuatan asing seperti Amerika Serikat, Lekra tak pernah kehabisan stok energi. Mereka sebar seluruh pasokan logistik perlawanan di mana-mana. Di sidang-sidang kongres, pleno, di rapat-rapat umum, di ruang-ruang seminar, di atas kanvas pelukis, di kuplet-kuplet puisi, di dinding-dinding mural, di halaman-halaman koran, buku, di atas panggung pertunjukan, di layar putih, dan di sekujur jalanan kota yang memungkinkan mengalirnya sumpah dan protes. Lekra dengan bekerjasama dengan organisasi masyarakat yang sepaham---dan tentu saja PKI---tak pernah kendur dan lelah menyiapkan bara di bawah kursi empuk agen-agen imperialis yang menduduki Indonesia. Di bidang film, distributor film Amerika (AMPAI) diuber sampai rubuh. Berkarung-karung majalah-majalah Amerika yang kerap menjelek-jelekkan Indonesia disita para buruh pos dan dengan kemarahan yang mendidih-didih dibakar oleh Pemuda Rakjat dibakar. Gedung Penerangan Amerika Serikat (USIS) di Surabaya dan di Jakarta diganyang. Industri-industri minyak Amerika seperti Exxon atau perusahaan Inggris bernama Unilever nyaris setiap hari didatangi dan disumpahserapahi karena keterlibatan negara-negara ini memakzulkan negara-negara berdaulat seperti Pakistan, Vietnam, Kamboja, Laos, Konggo, Venezuela, Aljazair, dan serangkaian negara Asia-Afrika-Amerika Latin lainnya. Untuk melawan kekuatan imperialis yang bersekongkol dengan banyak negara sekutunya, Lekra juga membangun basis perlawanan lewat jejaringan ikatan kebudayaan antara negara-negara blok Asia-Afrika-Amerika Latin. Dengan jaringan ini, konsolidasi perlawanan menjadi efektif dan memiliki gaung dan efek waswas bagi negara-negara imperialis.
Akhirul kalam, selama 15 tahun usianya, Lekra telah memperlihatkan dan membuktikan bahwa kebudayaan punya posisi tawar dan merupakan cara paling damai mengajak dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif mendongkel kekuasaan kolonial dan feodal yang menghambakan Rakyat.
Maka dari itu, penulis buku ini berucap: selamat jalan Lekra. Tugas buku ini mesti pungkas di sini saja setelah memberi panggung terbuka bagi pekerja budaya Lekra, baik komunis maupun nonkomunis, untuk mengatakan bahwa inilah kerja kreatif kami selama limabelas tahun tanpa lelah bekerja dalam setiap ceruk komunitas kesenian seperti ketoprak, reog, jatilan, ludruk, wayang, tari, sandiwara, sanggar-sanggar lukis, di mimbar-mimbar sastra dan seminar, rapat terbuka, bioskop, partai politik, pabrik, desa, gang-gang kumuh, kampung-kampung nelayan yang asin, organ-organ persekutuan, konferensi-konferensi internasional, bahkan hingga dalam gedung parlemen, kantor-kantor jawatan, dan istana presiden.
Lalu kita pun tahu bahwa Lekra tak seperti makhluk setengah setan setengah manusia. Mereka seutuhnya manusia dan pekerja-pekerja kreatif. Mereka adalah cendekiawan-cendekiawan organik yang sadar memilih di mana ia mesti mengambil tempat di lapangan kebudayaan Indonesia. Dan peristiwa G-30-S, tak hanya mengubur Lekra sebagai organ, tapi juga memacetkan pertumbuhan cendekiawan-cendekiawan revolusioner bertalenta yang dipunyai Indonesia.
Telah terbit tiga buku dari riset Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan tentang gerakan kiri kebudayaan yang luar biasa bergemuruhnya selama 15 tahun menahan arus besar imperialisme modal dan intervensi asing (Amerika Serikat) hingga mereka sangsai di depan sejarah. Ketiganya adalah:
(1) LEKRA TAK MEMBAKAR BUKU: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat
15 x 24 cm; ISBN 978-979-18475-0-6; 581 halaman. Cetak massal dan bisa didapatkan di toko-toko buku terdekat. Mengulas banyak hal dari sepuluh bab, seperti Garis Utama Ideologi Kebudayaan, Riwayat Harian Rakjat, Sastra, Film, Seni Rupa, Seni Pertunjukan (Ketoprak, Wayang, Drama, Ludruk, Reog), Seni Tari, Musik, dan Dunia Buku.
(2) GUGUR MERAH: Sehimpunan Puisi Lekra 1950 – 1965
Himpunan puisi ini adalah ikhtiar mengumpulkan sekira 450 judul puisi dari 111 penyair Lekra yang nama dan puisinya terekam di lembar kebudayaan Harian Rakjat sepanjang 15 tahun (1950-1965). 15 x 24 cm; ISBN: 978-979-18475-1-3; 966 hlm. Hanya tersedia dalam edisi terbatas (hardcover). Bisa dipesan ke 081-328690269.
(3) LAPORAN DARI BAWAH: Sehimpunan Cerita Pendek Lekra 1950-1965
Buku ini merekam geliat 100 cerita pendek yang ditulis oleh eksponen budaya Lekra (sastra) untuk memberitahu bagaimana gaya realisme sosialis “ditemukan”, “diadaptasi”, dan “dipraktikkan” di lapangan kesusastraan Indonesia. 15x24 cm; ISBN 978-979-18475-2-0; 558 hlm. Hanya tersedia dalam edisi terbatas (hardcover). Silakan pesan ke 081-328690269.
Selamat Jalan Lekra
(Dinukil dari Bab Penutup ‘Lekra Tak Membakar Buku’)

Sebelum mendapat vonis hukuman mati di depan mahkamah sejarah pada 1 Oktober 1965, limabelas tahun kehidupan Lekra adalah limabelas tahun bekerja agar kebudayaan mendapatkan tempat terhormat di tengah kehidupan politik Indonesia. Kebudayaan tak boleh hanya jadi suplemen dari kehidupan ekonomi dan politik. Pengekor tanpa tendens atau diabaikan seperti makhluk tiada guna. Kebudayaan harus menjadi bidang utama yang menentukan bulat-lonjong-persegi raut Indonesia. Dan seniman/sastrawan bukan kelas pinggiran di panggung luas bernama Indonesia. Lekra sudah menunjukan dengan segamblang-gamblangnya bagaimana cara menghormati kebudayaan Indonesia, menghormati tradisi yang dilahirkan Rakyat, membawa pulang sastra ke pangkuan si pemiliknya, yakni Rakyat.
Lekra oleh seteru-seteru politik kebudayaan yang dilabelinya sebagai pemangku “humanisme universil”, “seni untuk seni”, “kontrarevolusioner”, mendaftar sekian panjang dosa-dosa dan mengubur kehadiran dan perannya dalam ruang ingatan masa depan. Buku-buku ditulis dengan gempita dan penuh semangat mengasasinasinya tanpa ada pembelaan. Rasa-rasanya belum cukup dosa itu dibayar dengan penghukuman penjara puluhan tahun, pengejaran dan penggorokan leher para budayawannya oleh aksi massa yang sangat brutal, penembakan-penembakan sistematik Angkatan Bersenjata. Para seteru politik kebudayaan itu menulis buku-buku dengan bersemangat bahwa Lembaga Kebudayaan Rakyat yang jumlah pendukung di dusun dan di kota yang luar biasa banyak itu bukan hanya diisi orang-orang haus kuasa, algojo-algojo haus darah, tukang keroyok, pembikin onar panggung kebudayaan, tapi juga turut aktif menggulingkan Sukarno dengan cara-cara kotor dan licik, yakni lewat jalan kudeta 30 September.
Katakanlah semua dosa itu benar sebagai dosa (walau harus dibuktikan dulu). Katakanlah Lekra pembabat kebebasan berkreasi. Katakanlah Lekra adalah penghasut, tukang fitnah, bahkan ada yang menudingnya sebagai pembakar buku yang brutal. Tapi tak adakah yang positif yang mereka berikan buat warga bangsa yang dicintainya ini sepanjang 15 tahun bekerja di lapangan kebudayaan Indonesia?
Di bidang penegakkan moralitas, Lekra adalah laskar kebudayaan yang memagari moralitas keluarga dan anak-anak Indonesia dengan intensif dari amukan bacaan-bacaan cabul, komik bandit-banditan, film-film Hollywood yang mempertontonkan kevulgaran, musik ngak-ngik-ngok. Laskar budaya Lekra beserta ormas-ormas revolusioner melakukan sweeping atas hiburan-hiburan malam yang memamerkan dansa-dansi dan pakaian-pakaian seronok.
Janganlah dilupakan bagaimana cendekiawan organik Lekra dan sekaligus Wakil Ketua II CC PKI Njoto pada 29 Desember 1954 naik mimbar di gedung bioskop Radjekwesi Bojonegoro, Jawa Timur. Pada saat malam pidato itu, sebagaimana digambarkan Harian Rakjat edisi 5 Februari 1955, “sekolah SMA-malam jang muridnja berdjumlah lebih dari 300 orang, malam itu ditutup, dan guru2 maupun murid2nja semuanja datang ketjeramah PKI”. Setelah menerangkan secara terang-benderang tentang “Front Anti Komunis” yang menurutnya bukan hanya komunis yang dimusuhi, tapi juga PNI, NU, PSII, PRN, dll yang karena itu sebetulnya adalah “Front Anti Segala Sesuatu”; tapi juga “nyerempet” ke soal sikap PKI—juga Lekra—atas demoralisasi masyarakat khususnya bagi anak-anak pelajar. Dengan tangkas Njoto menegaskan sikap bulat: “Menjokong setiap usaha jang akan memberantas demoralisasi, tidak sadja dikalangan peladjar, tetapi dikalangan manapun. Sekarang ini, tidak sedikit orang jang suka meremehkan pengaruh jg ditimbulkan oleh film2 tjabul, buku2 tjabul dan musik tjabul. Ibu2 dan bapak2, djuga guru2, lebih daripada saja tentu tahu betapa merusaknja barang2 tjabul itu bagi watak dan sifat anak2 kita. Pengaruh jang djelek itu sudah demikian meluasnja, sehingga tidak sedikit anak2 kita jang menanggalkan pakaiannja jg nasional, pakaiannya jang normal, dan lebih suka memakai tjelana jang saja sebut sadja ,,tjelana potlot”.
Njoto dalam pidato yang sama berjanji merencanakan suatu mosi menuntut pelarangan segala sesuatu yang cabul kepada Parlemen. Dan untuk mendukung validitas data, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) memfasilitasi sarasehan besar “Demoralisasi Peladjar” yang digelar selama sepekan pada 27 Februari s/d 5 Maret 1955 di Jogjakarta.
Keseriusan dan ketegasan terhadap semua produk kebudayaan yang mencemari “watak dan sifat anak2 kita” itulah yang membikin Lekra Jogja melakukan sweeping atas pemakai baju-baju norak nekolim atau you-can-see. Bagi eksponen Lekra, pakaian-pakaian cabul semacam you-can-see dan bikini, film cabul, sastra cabul, maupun majalah cabul bukan soal sepele. Ia adalah bagian dari arus revolusi kebudayaan yang mesti dibersihkan dari perikehidupan masyarakat. Dan mereka konsisten dengan sikap penentangan itu. Ada sekira sepuluh tahun rentang antara pidato Njoto dan tindakan Panglima Daerah Angkatan Kepolisian X Jawa Timur di Surabaya, Drs. Soemarsono, yang menyerukan bahwa “disamping terhadap lagu2 ngak-ngik-ngok sebangsa the beatles, rok n roll, AKRI akan mengambil tindakan tegas terhadap mode2 pakaian jang berbau nekolim”.
Sebelum giliran “pakaian jang berbau nekolim” atau “tjelana potlot” kena sapu, Angkatan Kepolisian Jawa Timur memang sudah terlebih dulu melego semua piringan hitam berisi lagu-lagu ngak-ngik-ngok. Dalam kesadaran terdalam aktivis PKI dan Lekra, moralitas bangsa harus tetap dilindungi dari destruksi yang ditimbulkan budaya-budaya nekolim. Karena itu tindakan-tindakan di lapangan pun diambil secara seksama dan sistematis. Gelombang demonstrasi dan propaganda menjebol, misalnya, produksi film-film Amerika Serikat yang disebar oleh Association Picture American of Indonesia (AMPAI) dilangsungkan secara massif dan berhasil. AMPAI pun jebol pada Oktober 1964. Majalah-majalah cabul seperti Playboy dirazia yang dalam bahasa kartun Harian Rakjat edisi 8 Agustus 1965 merupakan sampah-sampah berbau Amerika yang sepantasnya dibuang. Sejalan dengan itu, Badan Kontak Organisasi Wanita Indonesia Djawa Timur (BKOWI) di Surabaya juga mengeluarkan pernyataan menertibkan peredaran buku-buku dan majalah yang tak sesuai dengan kepribadian nasional. Keluarnya pernyataan itu merupakan respons langsung dari beredarnya kisah-kisah bergambar yang tak pantas dilihat, “Keluarga Miring” No 8, 9, 10 terbitan Semarang tahun 1965.
Kerap PKI dan Lekra dituding melecehkan agama. Itu diajarkan di sekolah dan menjadi dongengan yang wajar dalam masyarakat dan karena itu menjadi benar. Sebagian barangkali benar. Tapi bagaimana dengan kejadian di Banyuwangi seperti ini dan diliput Harian Rakjat edisi 25 April 1953 dengan judul berita “BANJUWANGI: 13 buah mesdjid diperbaiki PKI”.
Kerdjabakti jang dilangsungkan pada tg. 8-4 jl. dipimpin oleh Subsecom Pesanggrahan - Banjuwangi, dan diikuti oleh 532 petjinta PKI berhasil membersihkan kantor ODM setempat, halaman tangsi polisi, kantor Djapen, makam Pahlawan, Kuburan2, memperbaiki djalan Pasar, menggali parit sepandjang 2 KM dan membersihkan/mengkapur 13 buah mesdjid (surau).
Kerdjabakti tsb. disaksikan oleh Ass. Wedana setempat.
Di film-film bagaimana orang-orang PKI dan seluruh ormas yang sealiran dengannya diperlihatkan memasuki masjid, menginjak-injak Alquran, seperti kejadian di Kanigoro, Kras, Kediri. Dan rekaman itu terus berulang hingga merasuki bawah sadar dan melahirkan kebencian yang tiada tara. Barangkali tudingan itu benar. Tapi tidakkah PKI—ketika mereka berada pada titik konsolidasinya yang kuat—sudah memberi bantahan yang tak pernah terungkap dalam dua kali pemuatan di Harian Rakjat edisi 13 Februari 1965:
Ada pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang: ,,anggota PKI meng-indjak2 Al Qur'an". Tema ini sadjapun sudah menundjukkan, bahwa maksud sipembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.
Sekarang tak kurang dari team FN [Front Nasional] dibawah pimpinan Major Said sendiri jang menjangkal kampanje itu. Tidak ada sama sekali kedjadian sematjam itu, malahan, jang ada adalah kongkalingkong kaum Masjumi untuk memetjahbelah FN, chususnja antara PKI dan NU.
Tentang peristiwa Kanigoro itu sendiri, silakan dibaca berita sanggahan berikut ini pada Harian Rakjat edisi 11 Februari 1965:
Team PB Front Nasional jang terdiri dari Major Said Pratalikusuma dan Hartojo dengan dibantu anggota pengurus daerah F.N. Djawa Timur ketika mengadakan penindjauan on the spot kedaerah Kanigoro, Kras, memperoleh tjukup bukti, bahwa antara BTI dan Pemuda Rakjat disatu pihak dan NU serta GP Ansor dilain pihak, tidak ada perasaan apa2 bertalian dengan terdjadinja peristiwa Kanigoro.
Dinjatakan oleh anggota team PB FN, bahwa peristiwa Kanigoro sudah dapat diatasi karena kesadaran dan kewaspadaan Rakjat untuk melawan setiap gerakan kontra-revolusi. Di Mental Training Kader PII di Kanogoro, Kras, didaerah Kediri pada waktu itu disinjalir adanja gerakan kontra-revolusi jang dilakukan anggota2 bekas partai terlarang.
Major Said Pratalikusuma dalam pertemuan dengan para wartawan Surabaja mengemukakan setjara kronologis mengenai kedjadian2 sebelum dan sesudah terjadinja peristiwa Kanigoro dimana dinjatakan bahwa pada Maret 1964 jl. Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2. Pernjataan serupa telah dikeluarkan djuga oleh Panitia Mental Training Kader PII di Kras pada tgl. 12 Djan. jl. jaitu sehari sebelum terdjadinja penggropjokan.
Mengenai penggeropjokan jg dilakukan oleh anggota2 BTI dan Pemuda Rakjat itu ialah karena alasan2 tersebut diatas, jaitu di Mental Training PII di Kanigoro, Kras, terdapat unsur jang dapat membahajakan revolusi dan membahajakan persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom....
Dalam memberikan keterangan kepada para wartawan itu Team PB FN djuga menjanggah pemberitaan sementara suratkabar jang menjatakan, bahwa dalam peristiwa Kanigoro telah di-indjak2 Kitab Sutji Al-Quran. Dengan tandas dikatakan ,,itu tidak benar".
Di dalam tradisi mencipta atau menulis, Lekra juga telah meninggalkan tradisi yang baik: yakni riset intensif. Mencipta dan menulis apa saja baik drama, cerita pendek, puisi, esai, atau melukis hendaklah terlebih dahulu dilakukan riset yang tekun di lapangan. Mereka menamakan tradisi riset itu dengan turun ke bawah atau Turba ke desa-desa yang terpencil selama satu atau dua bulan. Di sana, pekerja budaya Lekra itu bukan menampilkan diri sebagai “turis”, melainkan pendamping masyarakat. Pekerja Lekra tak boleh lebih tinggi dari tani-nelayan-buruh yang disebut Presiden Sukarno sebagai sokoguru Revolusi. Tak boleh keminter dan sok-sokan, mentang-mentang dari kota dan terpelajar. Dalam Turba, setiap pekerja Lekra memegang teguh aturan main yang emansipatif yang mereka sebut “tiga sama”: sama kerja, sama makan, sama tidur. Apa yang dikerjakan petani, itu juga yang dikerjakan pekerja Lekra. Kalau petani makan tiwul, pekerja Lekra juga makan tiwul. Kalau petani tidur beralas papan keras, pekerja Lekra juga mesti tidur di atas papan. Di desa itulah, kerap pekerja Lekra terlibat membantu dan mendampingi petani merebut hak-haknya yang dirampas sewenang-wenang oleh para tuan tanah. Kalau sudah begini, mereka akan diuber-uber oleh polisi yang memang memihak pada kekuatan feodal di kampung-kampung. Tradisi baik ini kemudian yang masih kita saksikan dalam tradisi Kuliah Kerja Mahasiswa (KKN) yang saban tahun dilakukan untuk tujuan akademis tapi minus ideologi dan kesadaran penuh membela Rakyat tertindas. Atau ini juga dilakukan LSM-LSM yang mendampingi masyarakat papah di daerah-daerah.
Berkait dengan basis kesenian Lekra adalah dari kelas bawah, maka kerja lembaga ini yang tak boleh disepelekan adalah membawa sastra masuk kampung dan pabrik-pabrik. Mengajari masyarakat menulis puisi, membina anak-anak muda menulis puisi, cerpen, atau apa pun. Lekra juga intensif merevitalisasi dongeng-dongeng Nusantara dengan memanggungkannya di pentas ketoprak, teater, arena deklamasi, bahkan dalam lukisan-lukisan. Dari sisi musik, Lekra bersemangat mengumpulkan lagu-lagu daerah dan memperkenalkannya secara nasional, seperti salah satunya lagu Rakyat berjudul Genjer-genjer asal daerah Banyuwangi yang kemudian disangsai oleh rezim post Sukarno sebagai lagu penyuplai praktik seks cabul dan menstimulasi kebiadaban. Tari-tari daerah pun direvitalisasi, diberi isi baru—bukan hanya sebagai tari penghibur dan objek turisme, tapi juga mampu menstimulasi perlawanan yang revolusioner. Bahkan beberapa tari dinaikkan tarafnya menjadi tari pergaulan nasional seperti tari “Lenso” dari Maluku.
Pekerja budaya Lekra juga dengan bersemangat mengangkat dan melindungi kebudayaan Rakyat dan kepunahan atau pencaplokan hak oleh negara lain yang ingin melihat Indonesia terus tersiksa dan terbelakang terus diingatkan oleh kongres dan konferensi nasionalnya untuk terus bekerja keras meregistrasi nyanyian daerah, dongeng Rakyat, tari daerah. Sebab untuk memperkokoh letak berdirinya kebudayaan Indonesia ini, mestilah memperkuat pondasi kebudayaan Rakyat. Dan itu tak bisa dilakukan dengan mengandalkan dayabayang belaka, tapi juga dayakerja di lapangan kebudayaan di tengah-tengah kehidupan Rakyat.
Di bidang senirupa, tergabung para perupa-perupa maestro seperti Affandi, Hendra, Sudjojono, dan sederet lainnya pelukis-pelukis Rakyat dengan pelbagai ekspresi dan gayanya. Dari tangan perupa-perupa itulah lahir organ dan gerakan seni yang revolusioner seperti Persagi, SIM, Pelukis Rakyat, dan sebagainya. Karya-karya para perupa ini pun diperjuangkan Lekra agar bisa menghiasi dinding kantor-kantor jawatan pemerintah yang bertebaran di Jakarta. Dan jika sekali waktu melewati bunderan Hotel Indonesia, lihatlah tugu “Selamat Datang” yang merupakan karya pematung Lekra Henk Ngantung yang juga menjadi dewan juri perlombaan membikin Monumen Nasional (Monas). Di masa ketika Lekra hadir inilah seni grafis yang kerap dianggap kelas dua dalam seni rupa seperti mural, karikatur, poster, cukikayu, mendapatkan tempat yang terhormat.
Di dalam menghalau kekuatan asing seperti Amerika Serikat, Lekra tak pernah kehabisan stok energi. Mereka sebar seluruh pasokan logistik perlawanan di mana-mana. Di sidang-sidang kongres, pleno, di rapat-rapat umum, di ruang-ruang seminar, di atas kanvas pelukis, di kuplet-kuplet puisi, di dinding-dinding mural, di halaman-halaman koran, buku, di atas panggung pertunjukan, di layar putih, dan di sekujur jalanan kota yang memungkinkan mengalirnya sumpah dan protes. Lekra dengan bekerjasama dengan organisasi masyarakat yang sepaham---dan tentu saja PKI---tak pernah kendur dan lelah menyiapkan bara di bawah kursi empuk agen-agen imperialis yang menduduki Indonesia. Di bidang film, distributor film Amerika (AMPAI) diuber sampai rubuh. Berkarung-karung majalah-majalah Amerika yang kerap menjelek-jelekkan Indonesia disita para buruh pos dan dengan kemarahan yang mendidih-didih dibakar oleh Pemuda Rakjat dibakar. Gedung Penerangan Amerika Serikat (USIS) di Surabaya dan di Jakarta diganyang. Industri-industri minyak Amerika seperti Exxon atau perusahaan Inggris bernama Unilever nyaris setiap hari didatangi dan disumpahserapahi karena keterlibatan negara-negara ini memakzulkan negara-negara berdaulat seperti Pakistan, Vietnam, Kamboja, Laos, Konggo, Venezuela, Aljazair, dan serangkaian negara Asia-Afrika-Amerika Latin lainnya. Untuk melawan kekuatan imperialis yang bersekongkol dengan banyak negara sekutunya, Lekra juga membangun basis perlawanan lewat jejaringan ikatan kebudayaan antara negara-negara blok Asia-Afrika-Amerika Latin. Dengan jaringan ini, konsolidasi perlawanan menjadi efektif dan memiliki gaung dan efek waswas bagi negara-negara imperialis.
Akhirul kalam, selama 15 tahun usianya, Lekra telah memperlihatkan dan membuktikan bahwa kebudayaan punya posisi tawar dan merupakan cara paling damai mengajak dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif mendongkel kekuasaan kolonial dan feodal yang menghambakan Rakyat.
Maka dari itu, penulis buku ini berucap: selamat jalan Lekra. Tugas buku ini mesti pungkas di sini saja setelah memberi panggung terbuka bagi pekerja budaya Lekra, baik komunis maupun nonkomunis, untuk mengatakan bahwa inilah kerja kreatif kami selama limabelas tahun tanpa lelah bekerja dalam setiap ceruk komunitas kesenian seperti ketoprak, reog, jatilan, ludruk, wayang, tari, sandiwara, sanggar-sanggar lukis, di mimbar-mimbar sastra dan seminar, rapat terbuka, bioskop, partai politik, pabrik, desa, gang-gang kumuh, kampung-kampung nelayan yang asin, organ-organ persekutuan, konferensi-konferensi internasional, bahkan hingga dalam gedung parlemen, kantor-kantor jawatan, dan istana presiden.
Lalu kita pun tahu bahwa Lekra tak seperti makhluk setengah setan setengah manusia. Mereka seutuhnya manusia dan pekerja-pekerja kreatif. Mereka adalah cendekiawan-cendekiawan organik yang sadar memilih di mana ia mesti mengambil tempat di lapangan kebudayaan Indonesia. Dan peristiwa G-30-S, tak hanya mengubur Lekra sebagai organ, tapi juga memacetkan pertumbuhan cendekiawan-cendekiawan revolusioner bertalenta yang dipunyai Indonesia.
Subscribe to:
Posts (Atom)