26 January 2014

Ketika Laut Menjadi Pekarangan Belakang

:: gusmuh

laut terbakar
tiada alamat melego jangkar

Tak banyak penyair muda yang menjadikan laut sebagai basis utama proses kreatifnya. Dan di antara yang sedikit itu saya menemukan nama Dino Umahuk. Penyair Halmahera yang mendapuk diri sebagai “lelaki laut” ini telah menerbitkan enam buku puisi ihwal laut. Dua dari enam buku itu adalah: Panggilan Laut Halmahera (PLH) dan Sebelum Laut Merebutku Sepi (SLMS).

Laut macam apa yang disuntuki Dino Umahuk ini ketika kini laut hanya gagah dalam retorika tapi cuang-caing dalam kebijakan ekonomi-politik? 

Dalam dua buku puisi ini, laut adalah igauan orang-orang pelupa. Dan mereka, orang yang lupa laut itu, digambarkan Dino seperti “malam menduakan kelam” (SLMS, 21). Lupa itu yang memerosokkan laut sebagai kenyataan hidup yang menakutkan, di mana “ombak-ombak yang tumpah ruah, puting beliung, layar-layar beterbangan perahu karam/ tak ada nelayan, tak ada sayang, tak ada …” (PLH, 34).


Puisi-puisi Dino mengguratkan kekalahan paling telak dalam sejarah maritim Indonesia. Puluhan judul puisi ini adalah tangisan sunyi dari masa silam yang jauh.

Secara geopolitik-ekonomi, di abad 16 dan 17, barangkali frase “Maluku” di buku ini adalah masa depan, halaman depan Nusantara dengan memanggul julukan “pulau rempah” atau spices island

Namun abad 19 dan 20, kiblat masa depan bergerak ke Malaka dan kemudian menetap di Jawa. Maluku kemudian menjadi masa silam yang rawan dan ringkih, seperti Sultan Nuku mengangkat sumpah Kaicil Paparangan, “mengangkat parang, membangun armada, tapi sekarang binasa”. (PLH, 75)

“Kau cabut karang/ Kau rebut ganggang/ Aku ikan kehilangan sarang,” tulis Dino (PLH, 68). Dan Maluku yang "kehilangan sarang" bukan hanya Maluku yang kehilangan tanah, tapi juga kehilangan nilai dan pegangan oleh gempa sosial. 

Oleh Dino, gempa sosial itu disebabkan oleh saling memangsa sesama, “ikan makan ikan”. Dengan menyitir novel legendaris YB Mangunwijaya “Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa”, takdir sejarah Maluku atau Sio Kona dirajah habis-habisan sejak Jan Pieterszoon Coen berkuasa di tanah Hindia abad 17. Ikan homa dimakan ikan ido menjadi santapan hiu. Dan satu-satunya masa depan Maluku yang tersisa adalah “arus balik yang terus memerah”. (PLH, 29)

Maluku yang disebut-sebut Dino Umahuk di bait-bait puisinya adalah Maluku di pekarangan belakang. Frase “pulang”, “rindu”, “cinta” semacam rembulan yang retak di geladak kapal di mana nasib para pelaut tertulis di kain kafan. 

Frase “kain kafan” itu menyeret laut tak lebih hanya tempat menampung luka dan pilu. Teriakan menantang seperti ini, misalnya, hanyalah milik masa lalu yang kehilangan daya gegaknya: “Akulah lelaki Halmahera/ Ketika lahir dibilang Canga/ Tekadku batu meraja bagai hantu/ Merampas harta dari tangan tentara Belanda”. (PLH, 79)

Fakta masa kini bagi Maluku adalah kehampaan dan jalan mundur ke kebinasaan. Pantai Galala, Tanjung Alang, Galesong, Takalar yang ada di Maluku tinggallah nama tempat untuk kaum pemuja statistik. Serupa deret nama para nona—Ken, Wulan, Alia, Isabella—bagi lelaki-lelaki muda yang sudah lupa cara merentang layar namun mendaku diri turunan Murhum yang berhasil menjungkatkan bajak laut bermata satu bernama La Bolontio.

Dengan mata perih seorang penyair, Dino melihat kaumnya adalah sebarisan lelaki yang kalah bertarung dalam ombak yang terus mengurung. Mereka seperti hamparan yang malang, lelaki yang terkurung umur di mana nasib mencekik dalam tempurung.

Siapakah para “lelaki terkurung” yang digambarkan Dino Umahuk itu. Jika Anda menjawab mereka hanya pelayar-pelayar Halmahera, itu salah besar. Mereka adalah lelaki-lelaki Nusantara yang menyandarkan hidupnya di tepian air sepanjang 99 ribu kilometer; terpanjang keempat di dunia.

Nelayan-nelayan yang murung saat musim sedang mabuk dan ombak mengambak-ambak dan nasib mereka “tergulung cuaca yang terus mendung” (SLMS, 37). 

Dino sadar bahwa bukan musim itu, bukan taufan itu yang merampas kemudi pelaut, melainkan peruntukkan hasil-hasil tangkapan masyarakat tepian air untuk “sebesarbesarnya kesejahteraan penguasa/ sebesarbesarnya kepentingan Jakarta”. (SLMS, 20)

Di Jakarta-lah, demikian Dino Umahuk di bait-bait puisinya yang sendu di dua buku ini, dunia maritim dirancang dengan sadar sebagai rongsokan pekarangan belakang.




Panggilan Laut Halmahera
Puisi Dino Umahuk
Penerbit: Garasi Genta & Ummu Press, 2011
Tebal: 100 hlm

Sebelum Laut Merebutku Sepi
Puisi Dino Umahuk
Penerbit: Garasi Genta, 2013
Tebal:86 hlm



NOTE: Edisi cetak dipublikasikan Jawa Pos edisi 16 Februari 2014, hlm 10

No comments: