Di Indonesia, secara genealogis, sepak bola diproduksi oleh daya politik yang kemudian bermetamorfosis sedemikian rupa dengan kompleksitas sejarahnya hingga kini menjadi arena niaga.
Karena urusan politik, maka untuk pertama kalinya di Pemilu 1955 sepak bola bagian yang tak terpisahkan dari kampanye politik oleh partai. Artinya, Golkar bukan menjadi partai pertama yang sadar bahwa sepak bola itu "penting" diurus sepanjang Orde Baru selama tiga dasawarsa. Ada sumur yang jauh lebih panjang di mana partai tak kalis di arena olahraga populis sejagad ini.
Di Pemilu 1955, sebagaimana lini masa yang terekam, satu-satunya partai yang secara eksplisit menyatakan keberpihakannya pada sepak bola adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Kesadaran PKI bahwa "sepak bola itu penting diurus dengan bagus" bukan hanya teori belaka, tapi teraplikasi dalam tindakan politik yang nyata.
Partai lain yang menjadi lawan-lawan politik di Pemilu 1955 sepertinya tak pernah berpikir setaktis PKI ini. Ini adalah eksperimen politik PKI yang menarik sebelum puluhan tahun berikutnya kita menyaksikan partai-partai merekrut secara eksplisit para atlet di dunia olahraga menjadi anggota parlemen.
Yang saya maksud tindakan eksplisit PKI itu adalah mengambil tiga "orang-bola" untuk maju sebagai caleg. Satu kliping yang dimuat di Harian Rakjat tepat di hari pencoblosan 29 September 1955, merekam tindakan politik itu.
Caleg PKI dari "orang bola" itu salah satunya adalah Ramlan. Dia kapten kesebelasan nasional, PSSI. Semacam "Bambang Pamungkas" pada masa itu. Berasal dari klub PSMS Medan yang "ketika melawan Salzburg dia mendjadi bintang lapangan jang terbaik dan palang-pintu kesebelasan kita jang rapat".
Ada lagi, caleg Witarsa, yang oleh PKI diperkenalkan sebagai "kanan luar jang paling tjepat, paling tjepat, paling tjekatan dan paling taktis". Membayangkan Witarsa, seperti membayangkan Andik Vermansyah atau Maldini Pali dari PSSI U-19. Witarsa adalah pemain muda yang lagi-lagi kata PKI "pemain muda jang banjak harapan, jang berkali2 membela nama nasional kita dengan gol2nya yang manis".
Kalau Ramlan dan Witarsa adalah caleg dari pemain yang masih aktif merumput, maka caleg ketiga dari "orang-bola", Jahja Jacub, adalah penulis esai-esai sepak bola dan redaktur koran yang sekaligus anggota Komisi Kesebelasan Nasional Indonesia. Kata PKI, tulisan dan analisis Jacub tentang tiap-tiap pertandingan, tiap-tiap pemain berpengaruh besar atas perkembangan sepak bola semasa.
Poin-poin yang digarap PKI terkait isu sepakbola ini adalah seperti termaktub dalam sebaris kalimat ini: "Dan ditempat saudara sepakbola madju pesat tetapi lapanganbola kurang. Saudara djangan ketjilhati, ada djalan pemetjahannja". Pemecahan yang dimaksud PKI itu adalah coblos caleg-caleg dari "orang-bola" yang tahu persis bau keringat Timnas yang membasahi seragam mereka saat bertanding.
Janji Sepak Bola dan Lobi PKI
Tak berhenti di situ saja dengan menjadikan "orang-bola" sebagai caleg. Kepada suporter penggila Timnas pun, jika mereka mencoblos gambar PKI, dijanjikan bakal melihat Timnas kesayangan mereka berlaga melawan kesebelasan-kesebelasan India, Uni Sovyet, dan Hungaria. PKI berkeyakinan hanya dengan terbiasa berlaga dengan negara-negara besar, gaya permainan Timnas Indonesia naik kelas.
Sayang, kliping yang saya kumpulkan hanya menemukan serangkaian panjang pertandingan Lokomotif Uni Sovyet sebulan setelah pencoblosan 29 september 1955. Artinya, PKI memegang janji kampanye mendatangkan tim Eropa Timur yang menjadi sekutu politiknya.
Pertandingan pertama Lokomotif berlangsung 6 November 1955 melawan "Persidja Djakarta" di Lapangan IKADA (sekarang Monas). Pertandingan ini disiarkan langsung RRI yang ditonton langsung Presiden Sukarno dan diguyuri hujan lebat. Kesebelasan buruh keretapi Uni Sovjet ini sukses mempecundangi "Persidja" 5-0 tanpa balas. Padahal, Persidja dihuni sederet nama yang sudah sangat keren di liga domestik: Freddy Davies (Gawang); Back: Hiem Tjang, Tamela (Saelan); Depan: Rudi Jan, Djamiat, Hassan, Pattypilohy, Wiem Pie.
Total gol yg dilesakkan kesebelasan buruh keretapi Uni Sovjet ini sepanjang turnya ke Indonesia yang disponsori PKI adalah 32 gol. Ke-32 gol Lokomotif itu hasil dari melawan Persidja (Jakarta 5-0), Persebaja (Surabaya 4-0), PSMS (Medan 9-0), PSP (Padang 7-0), PSSI-B (9-0), dan PSSI-A (3-1) sepanjang November 1955.
Melihat statistik pertandingan yang buruk bagi Indonesia itu, PKI menjadi benar. Untuk melihat kualitas sepak bola Indonesia, secara teratur dan disiplin mesti diujicobakan dalam skema permainan internasional. Internasional yang dimaksud PKI adalah klub atau Timnas yang datang dari negara-negara sosialis di Eropa, Asia, Afrika dan Amerika Latin yang maju sepak bolanya (A-A-A).
Janji Pemilu 1955 itu berlanjut ketika PKI menempel di sisi Sukarno yang tujuh tahun kemudian "memaksa" pembuatan stadion terbesar setelah Estadio Maracana, Brasil. Sukarno membuka Stadion Utama Senayan (sekarang Geloran Bung Karno) didampingi Wakil Perdana Menteri Uni Soviet, Anastas Mikoyan di hadapan seratus ribu suporter.
Dalam pidatonya, Mikoyan bilang Stadion Utama Senayan adalah monumen persahabatan Indonesia dan Uni Sovyet.
Lihat, Stadion Utama Senayan itu ada tangan dan partisipasi besar komunis di dalamnya di mana rumputnya pertama kali dicoba oleh pertandingan rehearsal oleh Persidja Jakarta, Persib Bandung, PSM Makassar, dan PSMS Medan.
Demikianlah, jika sepak bola didukung komitmen politik yang baik bisa mendorong pembangunan infrastruktur dan pembentukan karakter timnas yang baik pula. Semangat Pemilu 1955 telah melahirkan salah satu sejarah penting sepak bola di Indonesia. Bagi partai seperti PKI dan sosok seperti Sukarno, sepak bola adalah alat politik nasionalisme yang efektif, dan bukan hanya menempelkan citra untuk kepentingan picik dan sempit.
Keseriusan partai macam PKI mendatangkan klub sepak bola raksasa dari Uni Sovyet dan negeri komunis semacam Hungaria serta menempel Presiden Sukarno untuk membangun stadion raksasa sepak bola menunjukkan bagaimana sebuah janji dipegang teguh. Lagi pula, apa yang bisa dipegang dari partai politik selain janji para peneguhnya. [gusmuh]
* Versi cetak dimuat di Harian Jawa Pos, 29 Juni 2014
No comments:
Post a Comment