07 September 2014

Hario Kecik dan Serdadu Pemikir yang Terhempas

Pekan ketiga Agustus 2014 adalah hari pungkas Soehario K Padmodiwirio. Lahir 12 Mei 1921 di Surabaya, Hario Kecik – demikian ia akrab disapa – menggenapi nasibnya sebagai serdadu yang terhempas. 

Kecik salah satu bintang Pertempuran Surabaya 1945 dan tumbuh sebagai tentara Rakyat pembela Sukarno paling gigih. Terdidik di Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran (Ika Daigaku) dan menempuh pendidikan kemiliteran di Amerika dan Uni Soviet menjadikan Kecik bukan saja serdadu pemberani, namun juga sosok yang empatik dan sekaligus pemikir.

 

Menurut saya, hanya ada dua serdadu penulis yang subur di Indonesia. Yang pertama A.H. Nasution dan yang kedua Hario Kecik. Nasution melahirkan memoir berjilid-jilid Memenuhi Panggilan Tugas dan melahirkan magnum opus Perang Gerilya. Kecik pun menuliskan sendiri serial memoirnya Pemikiran Militer Sepanjang Masa Bangsa Indonesia yang tebalnya lebih dari 3000-an halaman. Namun Kecik unggul dalam gaya penulisan yang lentur dan prosais.
 

Kesan itu pula yang ditangkap oleh Sukarno saat Hario Kecik yang menjadi Panglima Kodam IX Mulawarman di Kalimantan Timur dipanggil ke Istana Negara. Kata Sukarno dalam lidah suroboyoan sambil menyeruput kopi tubruk: “Saya panggil kamu setelah saya baca tulisanmu di suratkabar berjudul ‘Sungai Mahakam’. Itu tulisan prosa bagus sekali. Sempat membuat saya terharu dan terpesona. Kurang ajar kamu Hario!”
 

Tentu saja pujian Sukarno tidak mengada-ada. Sebelum menulis cerpen ‘Sungai Mahakam’, Hario Kecik telah menulis beberapa judul naskah sandiwara radio, feature, dan cerpen-cerpen realis seperti Bila Mesin-Mesin telah Berhenti.
 

Serdadu cum Sutradara
 

Dengan kejeniusannya pula Hario Kecik memasukkan film sebagai bagian dari strategi semesta negara yang diorkestrasi Sukarno berhadapan dengan Malaysia lewat proyek “Konfrontasi”.
 

Hario Kecik yang nyaris tiap hari masuk hutan rimba untuk melakukan inspeksi keamanan diam-diam mempersiapkan skenario film kolosal Tangan-Tangan Kotor. Dengan bantuan dana temannya pengepul besi dari Madura, ia tampil menjadi sutradara dengan 10 ribu pemain. Usmar Ismail bahkan geleng-geleng kepala melihat aksi heroik Hario Kecik. Betapa tidak, sosok yang tak punya keahlian dalam sinematografi bisa mengendalikan puluhan ribu orang. Satu-satunya dalih yang diberikan Kecik adalah bahwa memimpin pembuatan film seperti seorang panglima memimpin prajurit di medan tempur.
 

Film ini diganjar International Award dalam Festival Film Asia-Afrika-Amerika Latin yang berlangsung di Jakarta pada 1964. Oleh Sukarno saat film ini diganjar hadiah di Istana Negara, sosok Kecik dipuji seperti Alfred Hitchock.
 

Di atas semua itu, film Tangan-tangan Kotor adalah cara jitu Hario Kecik menyatukan suku-suku Dayak yang saling berperang satu dengan lainnya, seperti Wahau, Kenyah, Long Gelat, Tunjung, Penihing, dan Punan. Sekaligus Kecik memperkenalkan kepada masyarakat Dayak cara bertani dan beternak baru yang dibawa para transmigran dari Jawa Tengah.
 

Hario Kecik menjadi orang pertama yang bereksperimen bahwa proyek transmigrasi bisa menjadi kekuatan strategi politik-militer yang disebutnya “Nation Building Skala Kecil”. Penyatuan masyarakat itulah yang disiapkan Kecik sebagai siasat kualitatifnya untuk “Politik Ganyang Malaysia”.
 

Sebagai orang Surabaya, Kecik memang berpembawaan keras. Namun ia tetap dihormati masyarakat dayak, warga transmigran, pejabat setempat, dan anak buahnya karena tahu bahwa Kecik membela dan melindungi hak-hak mereka. Sejarah juga mencatat Kecik pulalah yang memenjarakan Gubernur Kalimantan Timur karena terlibat kasus korupsi yang membuat Kepala Staf Angkatan Darat A.H. Nasution menaruh respek besar kepadanya.
 

Nasution, Yani, Soeharto, dan Politik Transmigrasi
 

Sejarah awal pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibangun oleh tiga pilar: PETA, KNIL, dan Pejuang Bersenjata Independen (Laskar). KNIL adalah pilar yang saling bersitegang dengan tentara bentukan PETA dan Laskar. Oleh Laskar dan PETA, KNIL disebut penumpang revolusi yang rawan.
 

A.H. Nasution ada di gerbong opsir KNIL ini. Ia didikan tentara Belanda yang diproduksi untuk kepentingan militer kolonial. Dalam sejarah TNI, opsir KNIL inilah dengan kecakapan pemikiran militer mereka hanya butuh waktu tiga tahun bisa menguasai jalannya sejarah TNI zonder Laskar.
 

Hario Kecik tidak dalam posisi vis a vis dengan A.H. Nasution, walau ia menjaga kritisme kepadanya. Apalagi setelah kegagalan Nasution dalam peristiwa “17 Oktober 1952” yang membuat riwayat militernya surut.
 

Sukarno memang “memaafkan” Nasution dari dosa “17 Oktober” dan mengangkatnya kembali menjadi KSAD. Namun posisi Nasution sudah lemah. Ia tak lagi dianggap oleh “Divisi Siliwangi” dan juga bukan lagi pion berharga bagi USA untuk proyek pencaplokan sumur minyak dan ladang-ladang emas.
 

Bukan karena jasa Nasution yang merekomendasikan dirinya belajar ke Fort Benning USA dan mengangkatnya sebagai Panglima Kodam Mulawarman sehingga Kecik menyalahkan sikap PKI yang tetap menghantam habis-habisan Nasution. Akan tetapi, secara faktual Nasution sudah di bawah kendali sepenuhnya Sukarno. Tanpa sepengetahuan partai politik, Nasution justru menugaskan Hario Kecik untuk bersikap zakelijk dan resmi terhadap perusahaan minyak asing Inggris SHELL di Kalimantan Timur.
 

Justru lampu kuning segera dinyalakan Kecik ketika Nasution diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab), sementara posisinya digantikan Mayjen Yani sebagai KSAD.  Sikap Yani yang luwes terhadap SHELL terkait laporan sumur-sumur minyak yang dirahasiakan perusahaan minyak asing itu dan membuka hubungan diplomatik pribadi dengan atase militer Amerika dipandang Hario Kecik sebagai ancaman dari dalam.
 

Apalagi, Yani mulai memperkenalkan gaya hidup yang sama sekali baru yang mahal dan mewah sebagai seorang jenderal, yakni bermain golf. Suatu gaya hidup yang menurut Kecik tak pernah ada sebelumnya di era Nasution.
 

Insting Hario Kecik benar. Yani adalah pion yang dimainkan Nekolim. Tongkat panglima Hario dicabut Yani secara halus dengan menyekolahkannya ke War College Sumorov, Moskwa, Uni Soviet pada Januari 1965. Alasan Yani kepada Sukarno karena Hario Kecik punya latar belakang pendidikan universiter, menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan dapat membaca teks Prancis.
 

Di Uni Soviet, Hario Kecik memang berhasil menjadi doktor yang diuji 12 jenderal dengan tesis “Aksi Penyerangan dan Pendudukan di Malaysia” yang merupakan pengalamannya selama lebih kurang lebih 8 tahun menjadi Panglima di Kalimantan Timur.
 

Namun itulah akhir perjalanan karir militer Hario Kecik. Bahkan mengakhiri kewarganegaraannya pada bangsa yang dibelanya habis-habisan. Peristiwa G 30 S tidak hanya dijadikan dalih oleh Soeharto menyapu PKI, tapi juga menumpas habis para perwira kritis pembela Sukarno.
 

Dan Hario Kecik kembali mengingat pertemuannya terakhir kali dengan Soeharto pada 1963 sewaktu ia hendak memberi laporan kepada Yani di Kostrad. Karena Yani tak ada di tempat, Soeharto yang menerima. Hario Kecik menyerahkan tiga buku kecil tentang transmigrasi di Kalimantan Timur. Dengan laporan itu, Hario Kecik berharap ada tindakan-tindakan strategis dalam kemiliteran yang bisa diambil terkait proyek “Ganyang Malaysia”.
 

Soeharto tak memberi reaksi apa pun menerima tiga buku brosur transmigrasi itu. Ia hanya mengucapkan sepotong kalimat: “Saya dahulu sebagai Panglima tidak pernah bikin tulisan-tulisan seperti ini. Membuang waktu saja.”
 

Mendengar kata-kata itu, dahi Hario Kecik berkerut. Bagaimana mungkin seorang bekas Panglima Kodam Diponegoro berkata seperti itu kepada Panglima Kodam Mulawarman. Kesimpulan awal Hario Kecik saat itu sebagai pribadi yang mempelajari tekun dunia psikiatri dan membaca Freud, Adler, Jung adalah Soeharto mengalami dissociation yang serius dan anomali berpikir.
 

Diagnosis Hario Kecik itu meleset. Soeharto ternyata bukan hanya anomali dalam berpikir, namun juga anomali dalam bertindak dengan menyapu habis musuh-musuh yang menghalangi jalannya ke tahta kekuasaan Republik Indonesia.
 

Panglima dan si pemikir  militer, pembaca buku yang rakus, penulis esai dan prosa, pelukis, dan sutradara film asal Surabaya itu terhempas. Wakil Komandan Polisi TKR dalam Revolusi Surabaya 45 itu “disambut” Soeharto dengan penjara usai kelayaban di Uni Soviet dan Peking. Setelah itu ia menjadi serdadu paria dan sepi hingga wafat di pekan ketiga Agustus di tahun 2014 ini. [gus muh]

No comments: