28 August 2014

Nama sebagai Merek Politik

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah tokoh pemasar inisial nama sendiri sebagai sebuah merek politik. Tak ada yang menduga bahwa singkatan namanya, SBY, seperti aksara biru yang tercetak di lambung roket yang melontarkan karir politiknya setinggi yang barangkali ia pun tak pernah menduganya.

Umumnya singkatan yang merupakan pengambilan huruf kapital pertama dari masing-masing kata yang secara khusus untuk penyebutan nama lembaga, seperti MPR, DPR, ABRI, PKK, dan seterusnya. Tapi SBY mengambil kelaziman itu untuk namanya. Sesuatu yang tak lazim. Justru ketaklaziman itu membawa keberuntungan politik enam tahun setelah merek itu disandangnya pada 1998 saat ia menjadi Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI.

Adalah jurnalis yang memberikan inisial itu pertama kali saat ia nyaris tiap hari berhadapan dengan pers. Dan anehnya, SBY tidak menolak pemberian inisial itu. Malahan pada Pemilu 2004, inisial itu justru dipakainya sebagai bagian penting dari propaganda di alat-alat peraga kampanye.

Sadar dengan nama “SBY” sebagai merek politik inilah, PDI-P yang menjadi kompetitor politik di Pemilu 2004 dan 2009 mencoba menyingkirkannya lewat komentar-komentar di depan layar kaca. Misalnya, para fungsionaris PDI-P emoh menyebut Susilo Bambang Yudhoyono sebagai SBY, melainkan “Jenderal Susilo”. Tujuannya agar publik tetap mengingatnya sebagai seorang jenderal yang dibesarkan di barak-barak militer.

Namun sejarah menghendaki lain. Justru merek “SBY” mampu menghantarkannya mencapai titik karir paling puncak dalam pasar politik Indonesia di dua kali pemilihan presiden langsung.

Tuah nama ini melahirkan pengikut. Beberapa tokoh partai mencoba mencari peruntungan dengan singkatan nama sebagai merek politik. Megawati Soekarnoputri oleh pengusungnya pernah suatu masa di Pemilu 2009 membuat singkatan “MSP”. Namun kita tahu “MSP” berakhir hanya sebagai merek bibit padi, dan bukan merek politik yang membawa berkah.

Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dengan penuh percaya diri menyingkat namanya menjadi “ARB”. Merek “ARB” terus digeber dalam iklan politik enam purnama sebelum pendaftaran capres dibuka KPU. 

Dan nama “ARB” itu, jangankan terdaftar dalam “buku kandidat” yang disediakan KPU, malah terlempar dan nyungsep ke pasir beberapa pekan sebelum hari “H” pendaftaran yang diawali peristiwa memalukan “boneka teddy bear”.

Ada hal lain yang dilupakan para pengikut yang tak kreatif ini bahwa singkatan atau inisial nama sudah menjadi domain utama reserse untuk menyebut para bromocorah di hadapan publik. MN, AM, AU, AM, LHI, SDA adalah sejumlah nama inisial yang diproduksi para reserse antirasuah untuk bromocorah. 

Alhasil, inisial nama, alih-alih membawa keberuntungan politik, malah menjadi bagian dari kesialan hidup. Dan inisial “ARB” adalah salah satu merek politik yang paling sial yang dilahirkan Pemilu 2014.

Mengambil trek yang sama, tapi sedikit berbeda, Joko Widodo maju mengarungi karir politiknya dengan akronim dan bukan singkatan. Akronim, sebagaimana penjelasan Kamus Besar, mengambil dua atau lebih huruf dari setiap kata yang diucapkan secara wajar. 

“Jokowi” adalah akronim dan sekaligus merek politik yang diusung Joko Widodo sejak membuka palagan di Solo. Yang menarik, merek itu didapatkan Joko Widodo secara natural dari pelanggan mebelnya dari Prancis. Merek dari akronim ini, kita tahu kemudian melejit begitu cepat. Mula-mula di Solo, lalu mengejutkan ibukota, dan pada akhirnya dalam waktu sesingkat-singkatnya, merek politik “Jokowi” ini menjadi penguasa tertinggi Republik Indonesia. 

“Jokowi”, di beranda politik terkini, bukan hanya berhenti menjadi sebuah akronim belaka, tapi menjadi frasa dengan makna baru. Jokowi adalah kita yang muda (Jaka=muda; we=kita). Jokowi adalah simpul kepemimpinan angkatan muda yang menjadi pemegang lisensi penggerak kreativitas paling depan. [gusmuh]

* Versi cetak dipublikasikan Harian Koran Tempo, 3 September 2014

No comments: