02 November 2014

Mega dan Buku

TAK ada seorang pun yang bisa membantah bahwa Megawati Soekarnoputri adalah politisi paling senior di Indonesia saat ini. SBY masih mengejar karir militernya di negeri Balkan saat Mega sudah beradu nyali melawan arus keyakinan Orde Baru yang mabuk-kepayang menikmati masa-masa puncak kejayaannya. 

Lima tahun menjadi pusat dari narasi gravitasi politik oposan (1993-1998) tak juga menarik banyak peneliti untuk serius menuliskan kiprah Megawati. Kecuali buku tipis kumpulan liputan jurnalis Santoso dkk Megawati Soekarnoputri: Pantang Surut Langkah (ISAI, 1996, 176 hlm). Buku itu merekam dua episode paling genting dan penting dalam sejarah politik Megawati, yakni kisruh Kongres IV PDI di Medan pada Juli 1993 dan penyerbuan kantor PDI pada Juli 1996.

Tak ada yang menyangsikan bagaimana keberanian Mega maju untuk menunjukkan martabat trah politiknya yang dilalimi Orde Baru. Namun keberanian itu sepertinya tak menggerakkan hasrat kuat dan menggebu dari penulis-penulis politik kenamaan untuk menjadikan kisah sang pejuang ini sebagai bahan dasar untuk menghasilkan sebuah biografi politik yang bermutu dan kredibel. Kita hanya menemukan buku-buku yang teramat tipis dan dibuat ala kadarnya dengan foto Mega sedang mengepalkan tangan di atas mimbar.

Apalagi, semua buku tentang Mega yang terbit dari tahun 1996 hingga 2013 tak ada yang secara khusus mengisahkan hubungan intim Mega, buku, dan dunia literasi. Maka tak mengherankan kemudian muncul spekulasi bahwa Mega dan buku seperti bukan sahabat baik.

Sebagai manusia politik yang menjadi saksi dari tumbuh dan bangkrutnya rezim revolusi yang dihelat Sukarno, Mega tentu memiliki pengalaman yang istimewa lebih dari tokoh yang lain. 

Mega adalah pemimpin yang lahir dari sebuah perjuangan dan kisah panjang tentang penderitaan dan pengucilan. Lahir dari mega-mega hitam Republik dalam ancaman agresi militer Belanda, hidup dalam kekangan dan pingitan sosial setelah ayahnya tersingkir secara tragis dari politik 1965. 

Ketika suara-suara lain terbungkam pada tahun-tahun awal 90-an, Mega mengajukan tuntutan politik yang tak biasa. Sejak itu, ia menjadi ikon bagi suara orang biasa, perempuan yang merasakan secara langsung tindasan politik.

Semua jalan terjal politik yang berbatu cadas yang dilalui Mega sudah jauh di atas rata-rata untuk menjadikannya tokoh sentral lahirnya biografi utama yang keren. Namun yang muncul hanya buku kompilasi tulisan dari banyak pihak, seperti kebanyakan buku-buku yang tak layak dijadikan sandaran untuk menimba pengalaman-pengalaman yang berharga dari Mega sebagai manusia politik paling senior dan masih aktif di atas panggung.

Tanpa mesti melihat dengan lensa mikroskop, sudah tampak terang-benderang bahwa puncak dari semua jalan politik Mega adalah saat ia diangkat menjadi presiden RI setelah Abdurrahman Wahid dijatuhkan parlemen. Pengangkatan ini menjadikan Mega sebagai presiden perempuan pertama di Republik Indonesia. Kenyataan yang gigantik dan sekaligus mengharukan ini, rupa-rupanya belum menggerakkan penulis-penulis biografi paling berpengalaman untuk menjadikan Mega sebagai sumur pengetahuan politik dalam sebuah buku biografi par excellence.

Bagaimana mungkin mempercayakan pada buku yang ditulis anonim ini, Megawati Membangun Negeri (Komunitas Peduli Komunikasi, Jakarta, 2004; 21 cm, 250 hlm), misalnya, untuk menjelaskan babakan-babakan penting perjalanan pemerintahan di bawah kendali mantan oposan paling berani di masa Presiden Soeharto ini.

Sebagai bekas Presiden RI, Mega adalah warga senior; dan sebagai manusia politik, Mega adalah politisi utama yang paling senior dari siapa pun saat ini. Dan di rentang waktu pasca kedudukannya sebagai presiden direbut Susilo Bambang Yudhoyono, buku utama tentang sosok Megawati yang ditulis secara utuh, mendalam, dan komprehensif tak juga muncul.

Justru yang muncul buku yang “biasa-biasa saja” dibandingkan jalan politik berbatu yang menyandung-nyandung telapan kaki politik Mega yang berdarah-darah. Sebut saja buku keroyokan yang dieditori August Parengkuan, Megawati: Anak Putra Sang Fajar (2012, 463 hlm). Dari sisi jumlah halaman, bolehlah disebut inilah biografi Mega yang paling gemuk. Namun dari sisi isi, ini adalah gado-gado dan lebih banyak berisi testimoni orang lain atas kiprah Megawati di jalan politik. Sama sekali tak sepadan.

Dan ini tahun sudah 2014. Artinya sudah 21 tahun sejak Mega naik ke pentas politik nasional. Namun dua dekade dengan dentuman-dentuman besar perubahan politik di mana Mega menjadi saksi dan pelaku, buku biografi utama yang merekamnya belum juga lahir. [gusmuh]

No comments: