08 March 2015

Setengah Abad Api Diponegoro (Di)padam(kan)

"Kita pewaris2nya jang absah ini, harus melandjutkan api Diponegoro bernjala terus. Abadilah dikau!" ~ Editorial Harian Rakjat, 8 Januari 1955, hlm 1

Episode terakhir Java Oorlog dihidupkan kembali lewat eksibisi seni rupa di Galeri Nasional, Jakarta, pada 6 Februari - 8 Maret 2015, dengan tema: “Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh Hingga Kini”.

Selama satu purnama karya Raden Saleh berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro”(1857) dipamerkan secara bersama-sama dengan karya seniman lain seperti Aditya Novali, Basuki Abdullah, Chusin Setyadikara, Eddy Susanto, Eldwin Pradipta, Entang Wiharso, Galam Zulkifli, Guntur Triyadi, Harijadi Sumodidjojo, Heri Dono, Indyra, Maharani Mancanegara, Manguputra, Nasirun, Oscar Matuloh, Pupuk Daru Purnomo, Raden Saleh, Soedjono Abdullah, Sri Astari, Srihadi Soedarsono, dan S.Sudjojono.



Merunut lini masa, pameran ini mestinya menjadi haul ke-160 jika ditarik dari tarikh kematian Diponegoro. Atau tahun ke-185 setelah Java Oorlog (1830) dipadamkan dengan destruksi luar biasa besarnya. Dari 23 ribu serdadu yang dikerahkan Belanda, 8 ribu di antaranya tewas. Sementara separuh rakyat Yogyakarta habis dilalap perang dan penyakit.

Namun, angka setengah abad yang saya pakai di judul tulisan ini adalah 50 tahun dari hitungan tahun 1965 saat Gestok meletus. Di tahun itu, bukan saja kekuasaan Sukarno mengalami pemakzulan, PKI dibubarkan, dan semua anasir kiri progresif dibabat habis, melainkan juga terjadi pembabatan total sisa-sisa pengikut Diponegoro.

Pengakuan itu diungkapkan sejarawan Peter Carey di sesi “Pemberontakan PKI” pada pergelaran Borobudur Writers yang berlangsung di Borobudur, Magelang, November 2014. Peter yang juga menjadi kurator utama pameran “Aku Diponegoro” bersama Jim Supangkat dan Werner Kraus, pada saat itu, mengaku bahwa sisa-sisa pengikut Diponegoro juga mengalami nasib yang sama dengan PKI di tahun 1965.

Pertanyaannya adalah relasi macam apa antara PKI dan Diponegoro sehingga pengikutnya turut menjadi korban pembantaian massal?



Halaman Muka Katalog "Aku Diponegoro"

Pieneman, Saleh, dan Sudjojono: Tiga Pandangan
Mari sejenak kembali ke ruang pameran Galeri Nasional. Tiga dari lima lukisan utama yang dipasang di ruang utama pameran seperti saling menantang dan menegasikan.

Lukisan utama “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857) karya Raden Saleh diletakkan bersisian dengan lukisan Louis Gallait asal Belgia berjudul “Charles V Turun Tahta” (1841) yang dipakai Saleh untuk menyatakan “sikap politik”nya.

Karya monumental Saleh itu dipuji sebagai bentuk “perlawanan senyap” pelukis asal Semarang ini atas kolonialisme yang menyembunyikan sekuplet sejarah penumpasan terakhir itu lewat lukisan Nicolaas Pieneman “Penyerahan Diri Diponegoro” (1835).

Atau dalam bahasa kuratorial pameran ini, karya Saleh adalah “sebuah pernyataan proto-nasionalis dan sebagai simbol berakhirnya kekalahan perang serta lahirnya rangkaian perlawanan anti-kolonial yang baru”.

Namun S Sudjojono berbicara lain dengan karyanya yang pada tahun 2014 di Balai Lelang Sotheby’s Hong Kong terjual Rp 90 milyar. Karya berjudul “Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro” (1979) merupakan tanggapan kritis atas Raden Saleh.

Sudjojono yang menjadi tenaga pacu seni kerakyatan di Yogyakarta dan anggota parlemen dari fraksi PKI sebelum kemudian dipecat menganggap Saleh justru memadamkan kobaran api Diponegoro. Alih-alih memperlihatkan heroisme, Saleh tak memberi makna apa-apa atas kehebatan Diponegoro dalam Java Oorlog yang karena perlawanannya nyaris membangkrutkan ekonomi Hindia Belanda.

Seru Sudjojono: “Saya tidak sependapat bila seorang pelukis pribumi berasal dari tanah Indonesia melukiskan pahlawannya pada saat ditangkap Belanda dalam keadaan pasrah, loyo, tidak bertenaga.”

Oleh karena itu, Sudjojono membuat antitesis dengan memperlihatkan sebuah episode kemenangan heroisme Diponegoro. Dalam kanvas Sudjojono, Diponegoro adalah pemimpin palagan pertempuran melawan Belanda dengan pengikut yang gagah berani. Sudjojono menghidupkan api Diponegoro yang satu tarikan semangat dengan narasi Chairil Anwar lewat sajak “Diponegoro”: “MADJU. Bagimu Negeri. Menjediakan api. Madju. Serbu. Serang. Terdjang.”

Headline Harian Rakjat, 8 Januari 1955
 

PKI dan Sang Pangeran

Sikap politik lukisan Sudjodjono itu mudah dilacak genealogisnya dari bagaimana PKI memperlakukan sejarah Diponegoro. Mari buka Harian Rakjat edisi 8 Januari 1955 yang dalam keterangan redaksi disebut edisi Seabad Pemberontakan Diponegoro yang ditarik dari waktu wafatnya, 8 Januari 1855. Headline itu tertulis gagah: "Abadilah dikau, api Diponegoro!"

Tulisan headline itu didampingi esei panjang “Sejenak Mengenangkan: Pahlawan Diponegoro (8-1-1855 - 8-1-1955)” dan sajak Chairil Anwar yang ditulis pada 1943 berjudul “Diponegoro”.

Alih-alih PKI membawa kita pada sejarah kepangeranan Diponegoro secara individual, justru kita diajak untuk melihat situasi sosial yang melingkupi bagaimana api sosial pembangkangan bersenjata itu nyaris membangkrutkan Belanda. Kas terkuras lebih kurang 20 juta gulden.

Bagi PKI, pemberontakan Diponegoro adalah pemberontakan tani semesta yang justru didahului oleh pemberontakan petani di Banten dan Cirebon. Artinya, radikalisme Diponegoro tidak berdiri sendiri, melainkan dipicu oleh rantai kekuatan sosial lain. Dan menyingkirnya Diponegoro dari Keraton dan bertani di Tegalrejo menjadi titik balik kesadaran kelas Sang Pangeran. Sebab pemberontakan hanya bisa terjadi bila mendapat dukungan penuh dari petani.

Di titik itu PKI meyakini, mereka yang tidak melihat kekuatan sosial petani dalam Java Oorlog itu, tak mengerti sama sekali watak pemberontakan 1825-1830 yang dipimpin Diponegoro.

Betul Diponegoro kalah, tapi kekalahannya melahirkan sikap patriotik yang memicu keberanian rakyat menyatakan sikap. Dibuatnya Belanda kelimpungan karena Diponegoro membuktikan pribadinya bukan ningrat kroco dan pengecut, tapi pemberani dengan sokongan barisan tani. Sikap yang tak mau menyerah dan berakhir di pembuangan adalah harga yang mesti dibayar Diponegoro bersama pengikutnya yang setia.

Api itulah yang membuat PKI mendaku diri sebagai “pewaris2nja jang absah, (jang) harus melandjutkan api Diponegoro bernjala terus”.

Jalan (Diponegoro) tanpa Api
Sejarah kemudian menulis sejelas-jelasnya, bagaimana kaum merah yang mendaku pewaris-pewaris absah (api) Diponegoro itu melewati kekalahannya dengan cara memilukan. Ditumpas seperti laskar-laskar Diponegoro dikejar-kejar dan dihabisi dalam jumlah ratusan ribu di seantero Jawa. Ratusan mereka yang masih hidup ditangkap dan dibariskan menuju tanah pembuangan di luar tanah Jawa sebagaimana juga nasib tragis dialami Sang Pangeran.

Memang, Diponegoro tetap hadir di tengah masyarakat saat ini. Namun tanpa api. Di ingatan publik, selain kuda berjingkrak yang direkam oleh foto karya Sangaji Surahmat dalam pameran “Aku Diponegoro”, Sang Pangeran juga membeku sekadar nama jalan sebagaimana dengan tepat digambarkan Galam Zulkifli dalam mosaik “Jalan Diponegoro” di pelbagai kota di Nusantara. Sekira 9 ribu foto plang nama kantor pemerintahan, toko, usaha, monumen, hotel, dan tugu itu membentuk karya Raden Saleh dan Pieneman saat dilihat via kamera ponsel pintar.

Ya, Diponegoro di era kiwari telah bertiwikrama menjadi sebentuk ruas jalan di mana “generasi nunduk” ini sibuk masing-masing menantang hidup harian yang keras. Diponegoro yang berapi pun pada akhirnya hanya hidup pada sebuah masa oleh para peneguhnya. Dan setelah itu padam. Atau dalam sebait sajak Chairil, “sekali berarti, sudah itu mati”.


* Edisi cetak dipublikasikan Harian Jawa Pos Minggu, 8 Maret 2015
 
Galam Zuklkifli - "Jalan Sang Ratu Adil" (2015)