Eduardo Hughes Galeano (1940-2015) adalah sosok masyhur dalam sepakbola. Tapi kemasyhurannya bukan ia peroleh dari anugerah kaki-kaki Tuhan hasil tempaan tanah lapang Amerika Latin, melainkan lewat tangannya. Dan semuanya bermula dari mimpi buruk: kaki terkutuknya ditolak oleh bola dan bikin malu di lapangan.
Galeano menuliskan mimpinya itu yang mengingatkan kita pada kakidasi Franz Kafka yang masyhur: “Ketika saya terbangun, saya menyadari bahwa saya memiliki kaki kayu dan aku ditakdirkan untuk menjadi penulis. Dengan menulislah, saya bisa melakukan dengan tangan apa yang saya tak pernah bisa lakukan dengan kaki.”
Nasib Galeano pun, sebagaimana gambarannya sendiri, mirip kesunyian seorang kiper; berdiri sendirian menyaksikan permainan dari ujung lapangan dan berkawan dengan sepasang tiang bisu. Warna nasibnya seperti kaus hitam lengan panjang yang biasa dikenakan kiper yang berusaha keras menghibur kesunyiannya dengan fantasi aneka warna.
Fantasi memang salah satu gaya khas Galeano, selain esei yang efisien. Ia bisa menggambarkan dengan sangat baik sejarah panjang legenda sepak bola Brasil Garincha yang gantung sepatu saat Sukarno tumbang hanya dengan 200 kata yang diakhiri kalimat: “Jawarakah dia? Pecundang beruntung lebih tepatnya. Dan keberuntungan punya penghabisan. Seperti pepatah Brasil: jika tahi bisa jadi duit, orang miskin akan lahir tanpa burit. Garincha mati dengan cara seperti yang dikira: mabuk, papa, dan sebatang kara”.
Ia bisa menjadi ahli taktik, tapi juga prosais sekaligus. Dengan bagus Galeano bisa menggambarkan anak-anak usia belasan yang tidur dengan bola pada malamnya dan terus-menerus menggiring bola siang harinya di lapangan pasir yang panas seraya kakinya terus berbisik: “Ayo, masuklah ke gawang”.
Tapi di sisi lain ia melontarkan amarah ketika sepakbola dirampas industri siaran. Dalam bisnis siaran, kata Galeano, hadir jenis sepakbola lain yang ogah pada kegembiraan, mengerdilkan fantasi, dan mengubah nyali sekadar uang. Atau dalam bahasa Joseph Blatter yang sedang menanti was-was Hari Pembalasan tiba, pemain yang dihisap industri ini tak ubahnya hanyalah pegawai setiap klub.
Galeano tak membatasi sepakbola melulu urusan dalam stadion, melainkan juga berdampingan dengan kehidupan muram di pelbagai negeri yang malang oleh politik buas. Termasuk dalam buku legendarisnya, Soccer in Sun and Shadow (2003), yang beberapa serpihannya diterjemahkan Makhfud Ikhwan untuk kegembiraan menulis di blog belakanggawang, Galeano memasukkan dua kali frase “Indonesia”.
Penyebutan pertama terkait dengan tahun-tahun pembunuhan berdarah 1965-1966 oleh kudeta militer Soeharto terhadap komunis saat peluit Piala Dunia ke-8 di London ditiup. “Militer memandikan Indonesia dalam kubangan darah. Setengah juta, sejuta, atau entah berapa tak ada yang tahu, mati. Dan Jenderal Soeharto meresmikan kediktatorannya yang panjang dengan membunuhi sisa-sisa orang merah, yang kemerah-merahan, atau yang dicurigai merah, yang masih hidup,” tulis Galeano pada paragraf pertama, sejajar dengan kudeta di Ghana dan Argentina.
Indonesia disebut kali kedua Galeano saat Piala Dunia ke-16 digelar di Perancis tahun 1998. Galeano menulis: “Pasar saham Asia tiarap, sebagaimana juga kediktatoran panjang Suharto di Indonesia, yang kekuasaannya gembos bahkan saat kantongnya menggembung besar dengan uang enam miliyar dolar.”
Galeano selalu memasukkan sejarah dunia dan semua cerita kegembiriaan dan nista yang melanda penduduk dunia yang kebetulan menggilai sepak bola. Ia berjuang habis-habisan agar permainan ini tidak terperosok begitu jauh menjadi tontonan banal yang merusak.
Dengan esei-eseinya, ia mengkritik teknokrasi olahraga profesional yang menurutnya makin ke kanan dan mengalienasi pemain-pemain berbakat hanya sebagai baut-baut untuk mesin prestasi. Sementara di sudut kiri, aktivis-aktivis sangar itu selalu menganggap bahwa kesalahan terbesar sepakbola membuat rakyat tidak berpikir.
Galeano hadir bukan saja saat sepak bola adalah permainan mula-mula sebagai kesenangan; tapi juga ketika sepak bola adalah pertaruhan politik sebuah negara. Ia jurnalis, sekaligus aktivis kiri yang tulisan tajamnya selalu hadir saat diktator tumbuh dan ditumbangkan, kekerasan meluber di jalan-jalan, dan kesia-siaan seperti tarian massal yang memabukkan. Suara Galeano, tidak hanya menyusup di rongga-rongga dinding stadion yang merekam histeria kemenangan dan sesenggukan tangis kekalahan, tapi juga menerobos dapur ibu-ibu pemberani Amerika Latin di Argentina, Venezuela, Guatemala, dan Kuba.
Isu-isu dan keberpihakan yang terus-terang seperti itulah yang mengisi buku-buku eseinya yang terkenang, antara lain: Open Veins of Latin America (1971), Trilogi Memory of Fire (Genesis, 1982; Faces and Masks, 1984; Century of the Wind, 1986), dan The Book of Embraces (1992).
Buku-buku itu justru saya kenal ketika Halim HD dengan penuh semangat mengenalkannya di Indonesia Buku tiga tahun silam dalam forum komunitas. Networker kebudayaan yang tak pernah kehabisan tenaga itu tak hanya membawa jilid-jilid buku esei tebal itu, melainkan juga menerjemahkan puluhan esei pendek Galeano.
Tepat saat kematian Galeano tiba di bulan April 1915, salah satu jurnalis muda yang terpukau mendengar uraian Halim HD atas posisi Galeano dan esei-esei revolusinya, Ardyan M Erlangga, memutuskan menerjemahkan 26 esei dalam tujuh hari tahlilan. Setahun sebelumnya, saat Piala Dunia kembali ke Amerika atin (Brasil), dengan dilambari semangat penggila, Mahfud Ikhwan dan sekutunya, Darmanto Simaepa, berjibaku menerjemahkan 28 esei bola Galeano yang terdapat di buku Soccer in Sun and Shadow.
Dengan cara klandestin dan perayaan kesenangan -- dan bukan musabab uang -- seperti inilah nama Galeano beserta semangat revolusionernya dan perangkat teknis menulisnya (esei yang efisien) diperkenalkan kepada publik di Indonesia; saat Copa America 2015 yang bergulir sepi di setiap pagi waktu Indonesia sepanjang Juni hingga awal Juli.
* Edisi cetak dipublikasikan Harian Jawa Pos Minggu, 21 Juni 2015
1 comment:
Blog kakak bagus. Saya penjual motor untuk area Tulungagung, Kediri dan Trenggalek. Jika ingin membeli motor klik disini kak
Post a Comment