05 August 2015

Soeharto dan Muhammadiyah

Muhammadiyah tak pernah lupa pada pengakuan Soeharto sebagai warga Muhammadiyah. Karena itulah di Edisi Khusus Suara Muhammadiyah (SM) untuk Muktamar ke-47 Makassar diperlukan satu artikel spesial yang mengingatkan hubungan manis itu.

Soeharto pada pembukaan muktamar di Stadion Lam Pineung, Banda Aceh, tahun 1995 membuat pengakuan yang isinya: "Tanpa tedheng aling-aling, saya ini bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia; dan alhamdulillah memperoleh kepercayaan masyarakat Indonesia untuk memimpin pembangunan nasional. Semoga apa yang saya lakukan ini tidak mengecewakan warga Muhammadiyah". (SM No 15, Th 100)

Pengakuan itu tak hanya memiliki sayap tafsiran yang banyak, tapi juga bisa membaca bagaimana tarik-menarik politik praktis dalam tubuh Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah, pengakuan Soeharto itu menjadi tonggak bahwa ia berada dalam perhatian khusus kekuasaan. Sementara bagi Soeharto, merangkul Muhammadiyah – termasuk kelompok intelektual dan tokoh utama kelas menengah Muslim yang tergabung di ICMI—menjadi modal besar untuk Indonesia yang "tinggal landas". 

Menjinakkan Muhammadiyah berarti langkah besar untuk menghalau radikalisme kanan yang lukanya belum sembuh benar dari rusuh Tanjung Priok 1984. Sekaligus “menggembosi” suara sengak “muazin” Amien Rais yang juga Ketua PP Muhammadiyah agar saatnya suksesi kekuasaan dilangsungkan.

Muhammadiyah memang tak pernah secara gamblang masuk dalam kerja praktis kekuasaan. Konsentrasi sepenuhnya dicurahkan untuk bekerja di lapangan sosial dan pendidikan. Mengurus TPA dan rumah sakit dipandang sama bermartabatnya dengan ikut dalam gerbong kementerian atau mengurusi partai politik.

Tapi “pengaruh” Muhammadiyah pada Soeharto itu masih bisa dilacak. Mengikuti pengakuan Soeharto, gagasan membuat mushola di ruang-ruang publik semacam terminal bus, stasiun kereta api, dermaga kapal laut, kantor pemerintah, sekolah tak lain tak bukan semata karena Muhammadiyah. Bahkan kalau bisa diulur lebih jauh, Soeharto naik haji ke Mekkah tahun 1991 itu tak lain tak bukan demi Muhammadiyah semata.

Soeharto memang punya urgensi menarik kembali Muhammadiyah dalam pusaran kekuasaan setelah trauma dengan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang piagam pembentukannya ditandatangani PP Muhammadiyah yang diwakili H Djarnawi Hadikusumo dan M Daris Tamim pada 8 September 1967. 

Bagi Muhammadiyah, pendirian Parmusi adalah “hadiah” dari kekuasaan yang sukses menumbangkan rezim Sukarno dan mengubur PKI. Parmusi, bagi Muhammadiyah, adalah: “Keputusan Sidang Tanwir th 1966 di Bandung jg setjara tegas menekankan perlunja partai politik Masjumi direhabilitir dan djika belum mungkin sedang keperluan telah mendesak maka dapat dibentuk Partai Islam baru, jang akhir2 ini ternjata dapat direalisir dengan telah selesainja semua persiapan tentang pendirian Partai Muslimin Indonesia …” (SM No 21-22, Nov 1967)

Seperti halnya di masa Sukarno yang mendaku diri sebagai warga sah Muhammadiyah, persyarikatan yang ikut membidani lahirnya Masjumi ini juga mengalami bad mood yang parah. Ketika tahun 1960-an Sukarno pada akhirnya “menyakiti” Muhammadiyah saat membubarkan Masjumi, begitu pula Soeharto yang hanya butuh lima tahun untuk melumat Parmusi dengan memaksanya masuk dalam proyek fusi partai 1973 yang melahirkan orpol PPP.

Dua kali disakiti politik dari presiden yang mendaku diri sebagai warga sah Muhammdiyah itu yang membuat persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini kembali ke langgar mengaji Surat Al-Maun dan menghabiskan energi yang terluka untuk kerja sosial dan pendidikan.

Seakan belum cukup luka itu, Muhammadiyah kembali lagi membidani lahirnya partai baru di era baru politik nasional. Dan Anda semua tahu bagaimana kutukan partai itu terus memayungi nasib Muhammadiyah.

* Edisi cetak pertama kali dipublikasikan Harian Koran Tempo, 5 Agustus 2015