06 March 2007

Representasi Perlawanan Tokoh Perempuan

::elsa nur s faruk, universitas airlangga surabaya

Penelitian ini diberi judul ‘Representasi Perlawanan Tokoh Perempuan dalam novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah karya Muhidin M Dahlan’. Masalah yang diteliti dalam novel ini berkaitan dengan usaha perlawanan tokoh utamanya berupa penggoncangan, pembongkaran, dan pembalikan terhadap tradisi kultural agama.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan segala aspek dekonstruksi yang ada di dalam novel ini. Aspek dekonstruksi yang dimaksud di sini adalah semua bentuk perlawanan, pengaburan, pendobrakan, maupun pembalikan yang dilakukan oleh tokoh utamanya pada tradisi kultural agama yang ada di masyarakat.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris. Langkah awal penelitian ini adalah pengidentifikasian data yang berhubungan dengan jejak-jejak dekonstruksi, kemudian dianalisis dengan memakai teori dekonstruksi dan dihubungkan dengan feminisme.

Dekonstruksi adalah istilah yang dipakai untuk sebuah teori pembacaan (a theory of reading) yang bertujuan untuk melakukan ‘subversi’ atau ‘penghancuran’ atas klaim implisit bahwa sebuah teks memiliki landasan yang cukup, dalam sistem bahasa yang dipakainya, untuk menetapkan batas-batasnya sendiri, koherensi atau kesatuannya, dan makna tetap tak berubah dari unsur-unsur verbalnya.

Menurut teori ini, tidak ada teks yang mampu merepresentasikan secara tetap, apalagi menunjukkan, ‘kebenaran’ dari subjek apa pun. Sedangkan feminisme berbeda dengan pandangan atau pemahaman lainnya karena tidak berasal dari sebuah teori atau konsep yang didasarkan pada formula teori tunggal. Hal itu menyebabkan tidak ada abstraksi definisi secara spesifik atas pengaplikasian feminisme. Feminisme bertujuan meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup pelbagai macam cara.

Salah satunya ditunjukkan oleh Nidah Kirani, tokoh utama novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur!

Dalam novel ini, Kiran mencoba untuk melakukan perlawanan pada tradisi kultural agama karena merasa posisinya sebagai perempuan telah direndahkan dan diperlakukan tidak adil oleh Tuhan dan lelaki. Perlawanan yang dilakukan oleh Kiran di sini merupakan suatu usaha dekonstruksi karena di dalamnya terdapat upaya pengguncangan, pendobrakan, dan pembalikan.

Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan Kiran di sini sangatlah menarik karena tidak hanya melawan dengan pemikiran barunya, tetapi tindakannya yang juga merupakan konstruksi baru.

Perlawanan pertama yang dilakukan Kiran adalah perlawanan pada keyakinan dan cinta terhadap Tuhan. Konstruksi awal konsep ini adalah bahwa seorang hamba yang merasa yakin dan cinta kepada Tuhannya selalu berusaha mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Usaha pendekatan ini biasa dilakukan dengan memperbanyak ibadah, menghamba dengan sepenuh jiwa dan menjalankan semua aturan agama dengan sebaik-baiknya.

Perlawanan kedua dilakukan terhadap konstruksi atas konsep hijab dan jilbab. Konstruksi yang ada di masyarakat mengenai konsep ini adalah bahwa hijab dan jilbab merupakan kewajiban bagi setiap muslimah. Konsep ini belum begitu mengakar dalam tradisi kultural masyarakat Jawa dan Indonesia, maka terdapat konstruksi mengenai nilai seorang perempuan yang mengenakan jilbab. Masyarakat menganggap bahwa perempuan berjilbab adalah perempuan yang lebih baik dibanding mereka yang tidak berjilbab.

Perlawanan ketiga adalah perlawanan atas lelaki. Konstruksi lelaki yang ada dimasyarakat sesuai dengan konstruksi awal Kiran. Konstruksi ini menempatkan lelaki sebagai sosok yang kuat, perkasa, cerdas, bertanggung jawab, melindungi dan memimpin perempuan. Kiran menganggap bahwa perempuan selama ini tidak berdaya dan selalu direndahkan posisinya oleh Tuhan dan lelaki. Menurutnya perempuan diciptakan sangat menderita dalam dunia falus.

Perlawanan terakhir mengenai konsep cinta, seks, dan pernikahan. Konstruksi dari konsep ini adalah anggapan yang telah diterima sebelumnya bahwa cinta merupakan sebuah perasaan kasih sayang antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, atau manusia dengan yang lainnya. Tentu saja yang menjadi pembahasan utama penelitian ini adalah konstruksi cinta Kiran kepada Tuhan dan cinta Kiran kepada lelaki. Konstruksi tentang konsep seks yang ditemukan yaitu bahwa seks adalah hubungan paling pribadi antara dua manusia yang hanya boleh dilakukan setelah pernikahan. Konstruksi tentang pernikahan sendiri dalam bahasan ini adalah sebuah fase dalam kehidupan manusia yang fitrah/manusiawi sebagai saranan pemenuhan kebutuhan biologis dan untuk tujuan yang mulia, seperti membentuk keluarga yang sehat dan harmonis.

Konstruksi-konstruksi di atas merupakan konstruksi yang ada di masyarakat dan sesuai dengan konstruksi/pemikiran awal Kiran. Setelah mengalami kekecewaan dan kemarahan, Kiran melakukan perlawanan terhadap semua konstruksi tersebut. Perlawanan itu menghasilkan beberapa tawaran baru yang berupa pemikiran dan tindakan Kiran untuk mendobrak, menggoncang, dan membalikkan semua konstruksi awal tersebut. Hasil dari perlawanan-perlawanan tersebut antara lain sebagai berikut:

Konsep keyakinan dan cinta kepada Tuhan menghasilkan tawaran baru berupa pemikiran Kiran untuk meragukan, melupakan, dan tidak meyakini Tuhan yang dinilai telah mengecewakan. Tuhan bersifat tidak baik dan cenderung jahat karena telah mencampakkan, mempermainkan, dan tidak menolong hambanya. Tuhan lemah, tidak adil, tidak berkuasa, cemburu, dan melakukan tipu.

Mengenai syariat, tawaran baru Kiran adalah pemikiran bahwa syariat tidak perlu dipatuhi karena syariat tidak bersifat tetap, bisa ditawar/diubah dan syariat dibuat untuk menyiksa umat. Dari pemikiran-pemikiran baru tersebut muncullah tindakan dari Kiran sebagai hamba yang memilih untuk tidak pasrah kepada Tuhan, sebaliknya melawan dengan kekuatan sendiri. Tindakan ini merupakan sebuah konstruksi baru dari hasil pendekonstruksian yang dilakukan oleh Kiran.

Pendekonstruksian kedua dilakukan dengan melawan konsep hijab dan jilbab. Pendekonstruksian ini menghasilkan pemikiran baru yaitu hijab tak perlu ada dan jilbab hanya konsep pakaian (penutup kepala) tanpa makna dan fungsi yang lebih bagi pemakainya. Berkenaan dengan konstruksi masyarakat tentang perempuan berjilbab, Kiran menawarkan konstruksi baru, yaitu anggapan bahwa perempuan berjilbab tetap bisa melakukan hal-hal yang dimurkai Allah seperti seks bebas dan bahkan menjadi pelacur seperti yang ia lakukan.

Selanjutnya adalah pendekonstruksian atas konsep lelaki dan perempuan. Tawaran baru dari perlawanan atas lelaki antara lain adalah pemikiran bahwa lelaki itu lemah sama dengan perempuan, maka seharusnya posisinya sejajar atau perempuan bisa lebih tinggi. Kiran juga menemukan sebuah konstruksi baru tentang lelaki dengan menyatakan bahwa lelaki adalah sosok yang munafik. Sedangkan tawaran baru dari perlawanannya atas konsep perempuan adalah perempuan harus bebas dan memiliki kuasa sehingga tidak bergantung pada lelaki. Perempuan tidak boleh lagi patuh pada dogma agama dan tradisi.

Sebagai perempuan, Kiran menekankan konstruksi barunya berupa pernyataan sikap yaitu perempuan harus bisa menaklukkan kaum lelaki. Kiran juga menghadirkan pemikiran baru dari hasil pendekonstruksiannya berkaitan dengan masalah Tuhan dan perempuan, bahwa Tuhan telah tidak adil menciptakan dunia yang falus, dunia yang menguntungkan lelaki dan merugikan perempuan dengan seperangkat hukum Islam yang timpang. Oleh karena itu, puncak dari perlawanan Kiran diwujudkan dengan pilihan Kiran menjadi pelacur.

Pilihan menjadi pelacur tersebut juga merupakan konstruksi baru yang ditawarkan Kiran. Pemikiran Kiran menyatakan bahwa menjadi pelacur tidaklah salah. Pelacur tidak berbeda dengan lelaki munafik. Dengan menjadi pelacur, perempuan dalam posisi yang diuntungkan karena memiliki daya tawar, bisa mendapatkan kekuasaan dan dapat menaklukkan lelaki.

Pendekonstruksian yang terakhir adalah mengenai perlawanan pada konsep cinta, seks, dan pernikahan. Pendekonstruksian ini menghasilkan tawaran baru berupa tindakan-tindakan dan pemikiran baru Kiran. Mengenai konsep cinta, Kiran menawarkan sebuah pemikiran bahwa cinta antara lelaki dan perempuan adalah nafsu/seks belaka. Cinta hanya dalih untuk merenggut dan memperkosa perempuan. Sedangkan cinta kepada Tuhan diwujudkan dengan cara lain, yaitu tidak menjalankan ajaran/perintahnya, tidak beribadah kepadaNya, bahkan dengan melanggar aturanNya. Hal ini dibuktikan oleh Kiran melalui pilihannya menjadi seorang pelacur.

Pikiran Kiran mengenai seks adalah bahwa seks sebagai titik organisme manusia bisa dilakukan pranikah atau kapan saja dengan satu atau banyak lelaki. Hal ini didukung dengan pendekonstruksian selanjutnya tentang konstruksi pernikahan. Bagi Kiran, pernikahan adalah ide aneh yang hanya akan membelenggu dan menghilangkan kekuasaan ataupun kebebasan perempuan melalui ego negatif dari kepemilikan energi cinta sebagai bentuk superioritas lelaki. Perempuan dalam pernikahan/keluarga hanya akan menjadipelayan lelaki. Penolakan dan pembalikan konsep pernikahan ini juga diakhiri dengan pernyataan sikap Kiran yang lebih memilih untuk menjadi pelacur daripada menjadi istri atau ibu dari sebuah keluarga.

Demikianlah simpulan dari penelitian ini. kehadiran tokoh Kiran yang melakukan perlawanan pada tradisi kultural agama membuat kita bisa berpikir ulang atau setidaknya memiliki gambaran lain tentang banyak hal, terutama tentang emansipasi perempuan.

Kiran mengajak seluruh perempuan untuk melakukan perlawanan terhadap keadaan yang dinilainya tidak adil dengan melakukan pengaburan konsep, penggoncangan, pembongkaran dan pembalikan atas nilai-nilai yang dianggap telah merendahkan posisi perempuan.

Tentu saja hal ini tidak mutlak dilakukan karena semua orang berhak memiliki pemikirannya sendiri tentang nilai-nilai tersebut, mereka juga berhak mengapresiasikannya dalam tindakan yang menjadi pilihannya. Dan pilihan setiap orang adalah benar bagi dirinya sendiri karena benar dan salah adalah bentukan dari konstruksi masyarakat.

Skripsi ini berhasil dipertahankan untuk meraih gelar sarjana sastra di Universitas Airlangga Surabaya pada semester genap tahun 2004/2005. Skripsi ini diuji pada 9 Juni 2005 dan mendapat nilai A.

2 comments:

kuyazr said...

hahaha...kasihan juga si Nidah ini. Dia telah melupakan "the big picture". Pengalaman hidup bisa merubah paradigma sedemikian rupa. Memang, saya percaya dengan apapun. Sebab apapun itu adalah sebuah proses untuk menuju suatu titik maksimal yang tidak diketahui keberadaannya, yaitu ketiadaan. Kata kunci disini, menurut saya adalah pengalaman hidup yang pahit yang dihadapkan standar kebahagiaan menurut Nidah sendiri.

Apakah Nidah bahagia setelah diizinkan menjadi seorang pelacur?

wahyudi fajar firmansyah said...

sudah lama sekali saya baca novel ini. dulu sekali...,bagus sekali. membakar tapi dari dalam. memukul tapi dengan hati. menguliti tapi tanpa harus mengadili. membuat orang jujur demi kebenaran walau membuat sedikit malu..

hidup buku.